Sunday 12 November 2017

Hujan Bulan Juni yang Saya Pahami, oleh Astuti Parengkuh



Terus terang, tanpa referensi apapun (thriller, resensi, kutipan) saya menonton film ‘Hujan Bulan Juni’ sebab saya belum pernah membaca novelnya. Memasuki menit-menit pertama, tergambar bagaimana sosok Sarwono dengan penampilan jadul, --belakangan saya membaca di novel-- jadul ditulis zadul, entah, Sapardi ingin membedakan biar tampak kekinian, mungkin. Sarwono suka mengenakan kemeja, dengan kerah tegak, di suasana apa pun, di kampus, makan malam dengan keluarga Pingkan kekasihnya, maupun saat di danau.
Berbeda dengan Pingkan, perempuan muda campuran Ibu Jawa ayah Menado, yang kekinian dalam cara berbusana, casual, modis, humble ketika berkomunikasi dengan orang lain. Pokoknya bisa mewakili generasi millenial-lah. Sarwono yang Jawa dan Solo, pendiam, mahal senyum --cenderung muram-- padahal tidak ada latar belakang yang bercerita tentang kesuraman hidupnya, kecuali cerita bahwa ayahnya seorang PNS, bukan orang miskin-miskin banget. Jadi saat adegan Sarwono di-shoot, maka saya selalu kucek-kucek mata saya untuk meyakinkan, oke...ini setting zaman now,eh,  sekarang, bukan setting tahun 70-80-an.
Plot film di setengah jam pertama membosankan, tidak ada hentakan-hentakan yang membuat otak bekerja dengan cepat. Jika film ini digolongkan drama romantis, tak ada gambaran yang menunjukkan drama yang sebenarnya. Akting Velove datar, pun Adipati Dolken. Lalu ada Baim Wong yang diposisikan sebagai sepupu Pingkan yang akan dijodohkan oleh keluarga besarnya berusaha membangun sedikit suasana, berbeda dengan akting Velove dan Dolken.
Saya berharap mestinya ada drama di sana, pertengkaran kek, hingga pergumulan alot dong, baku -pukul mungkin kayaknya. Atau misal saat mereka bertiga melakukan perjalanan darat menuju Gorontalo, tempat Sarwono akan melakukan kerja sama dari universitasnya. Demi Tuhan saya ingin ada adegan dramatik di sana. Eh, malahan Pingkan yang ingin mencari toilet, kemudian disusul Sarwono ke tepi laut, mereka malah melamun berjamaah.
Sungguh pemandangan yang membosankan. Jika benar Pingkan hendak mempertahankan jalinan cintanya dengan Sarwono, mestinya dari awal itu sudah ditunjukkan dengan mengambil jarak dengan Benny. Meskipun kemudian dijelaskan jika Benny bertekuk lutut kepada sepasang kekasih tersebut.
Lalu ada Katsuo, laki-laki Jepang yang pernah belajar di UI,kemudian memfasilitasi Pingkan untuk studi lanjutan di Jepang. Ada rasa cemburu di benak Sarwono, namun ditepis oleh Pingkan. Tidak ada gambaran romantisme yang ditunjukkan Pingkan dan Katsuo kecuali percakapan dalam bahasa WhatsApp seperti ‘Di sini lagi musim dingin, mau kubelikan jaket?” lalu dijawab oleh Pingkan, “Aku sudah beli,” sepertinya begitu. Percakapan keduanya tak beda sepasang teman.
Tidak ada jerih upaya Katsuo untuk mendapatkan cinta Pingkan. Gambar-gambar di bukit yang bercerita tentang dongeng/legenda Putri Pingkan dan Matindas, berlatar belakang patung, tidak memiliki arti apapun, baik ketika adegan Sarwono bersama dengan Pingkan di sana. Percakapan puitis di antaranya keduanya hanya menjelaskan bahwa di negeri Menado pernah ada cerita tentang Matindas yang bertaruh cintanya demi Putri Pingkan.
Tatkala bukit itu tiba-tiba dipenuhi backdrobe ala-ala Jepang, dengan lampion, payung dan baju kimono. Tidak ada satu pun yang menggambarkan Katsuo memperjuangkan cintanya untuk Pingkan. Jadi ketika pertanyaan Pingkan kepada Katsuo, pun dia ajukan pula kepada Sarwono, “jadi cinta itu apa?” tak pernah terjawab. Tidak ada cinta yang diperjuangkan oleh masing-masing karakter. Mereka bertiga lemah secara karakter, Sarwono, Pingkan, dan Katsuo.
Sarwono lalu jatuh sakit, sebab penyakit yang mungkin lama diidapnya karena  kebiasaan merokok. Ditunjukkan dengan akting di sebuah adegan tiba-tiba dia memegang sebatang rokok. Dia meringkuk ditemani oleh sang ibu. Kemudian Sarwono mati. Sementara kepulangan Pingkan ke Indonesia bukan karena sakitnya Sarwono, tetapi karena dia menyertai 20 mahasiswa Jepang yang hendak ke Indonesia. 
Saya tidak tahu tentang teknis film, tetapi sedikit yang saya amati adalah kecanggihan kamera saat mengambil gambar pingkan ; rambutnya yang tergerai, jelas sangat sulur-sulurnya_tentu ini bukan kamera sembarangan. Saat ada adegan dengan setting di tengah-tengah ladang jagung_mirip gambar punya Garin di Cinta dalam Sepotong Roti_ saya berharap banyak ada ‘disturb’ di situ, biar agak rame gitu. Ada sih, ada kereta yang ditarik sapi lewat. Saya berharap adegan-adegan sebelumnya saat di tepi danau, mbok ada bercandaannya gitu yang kemudian salah satu dari mereka_Pingkan atau Sarwono jatuh kecebur di air gitu kan asyik.
Latar belakang bukit, kemudian danau dan laut tentu bagus, tetapi dengan porsi yang terlalu sering, ditambah dengan tampilan puisi-puisi di slide pada dua pertiga perjalanan film, yang porsinya kebanyakan. Ada sembilan puisi sepertinya malahan mengganggu. Puisi menjadi hal yang dominan ditampilkan dalam gambar bergerak. Inilah yang kemudian saya pahami film sebagai seni yang intermedialitas atau multimedialitas.
Dalam seminar bertema Seni dan Multimedialitas yang saya ikuti sehari di Gedung Sekolah Pascasarjana, oleh Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM pada Sabtu (11/11). Sebagai salah seorang pembicara, Sapardi Djoko Damono membawakan materi tentang intermedialitas/intertekstualitas/multimedialitas. Pengertian multimedialitas menurut Sapardi adalah campuran tulisan, audio, visual yang dikombinasikan dengan media untuk menciptakan makna. Intermedialitas dimaknai sebagai cara-cara untuk memahami hubungan antarmedia. 
Sapardi mengutip Marshall Mc Luhan,”Dalam sebuah medium ada medium.”
“Saya perlu duit. Saya tidak turut campur atas film itu, kalau bagus ya katakan bagus, jika jelek ya jelek,”kata Sapardi Djoko Damono di hadapan para peserta seminar. Dia mengartikan bahwa Hujan Bulan Juni telah mengalami alihwahana. Alihwahana diperlukan sebagai pengetahuan. Kalimat sama juga disampaikan saat kunjungannya di Solo 27 September dalam Meet and Great, Booksigning di Toko Buku Gramedia, bahwa kebudayaan bisa berjalan hanya dengan alihwahana.
“Anda pernah membaca Siti Nurbaya? Salah satu kalimatnya berbunyi jika Siti Nurbaya berkulit bening, sehingga ketika dia minum maka akan kelihatan di tenggorokannya aliran air itu. Matanya indah seperti mata janda yang bangun tidur. Ini kalau sama penerjemahannya maka filmnya akan menjadi film horor. Tetapi Anda tahu, pemain Siti Nurbaya adalah Novia Kolopaking, yang saat itu mahasiswa D3 saya, yang sama sekali berbeda atas penggambaran Siti Nurbaya dalam novel.” Menurut Sapardi itu adalah pengkhianatan dalam penerjemahan.
Setelah menonton film Hujan Bulan Juni, maka saya baru membaca novelnya. Nyaris sama dengan durasi film, sekira dua jam buku itu tamat. Berbeda saat menonton film yang setengah jam di awal membosankan, ditambah sepertiga akhir tak beda pula, membaca novel Hujan Bulan Juni membuat saya ingin segera menuntaskan tanpa melepas buku itu. Saya lebih menikmati membaca buku Hujan Bulan Juni, karena ada banyak pengayaan di sana, tentang Menado tentang Solo. Latar Solo yang akrab dengan saya karena saya Wong Solo.
Munculnya idiom-idiom Jawa seperti “sing ngecet Lombok” untuk membahasakan Tuhan, lalu istilah ‘kaum pidak pejarakan’ untuk mengganti kata ‘rakyat’. Saya suka Sapardi melontarkan kata-kata yang akrab di telinga saya sebagai orang Jawa, “Yen modar ya modaro’ sarkasm tetapi itu yang biasa ada di telinga saya, kami, kaum rakyat. Saya suka sekali ada kata ‘pengung’ untuk menggantikan kata ‘bodoh/naif’ dan istilah ‘sontoloyo’ yang berkali-kali disuarakan Sapardi.
Bagi saya novel Hujan Bulan Juni lebih hidup dari ‘gambar hidup’-nya. 




 

Wednesday 8 November 2017

30 Buku Gratis: Panglipur Wuyung - Any Asmara



Agar acara dapat berlangsung ramai, dibagikan 30 eks buku Panglipur Wuyung bagi pengunjung pertama. Ini merupakan buku Panglipur Wuyung seri 6, yang diketik ulang dengan ejaan baru oleh Mbak Impian Nopitasari.
Semoga bermanfaat.

Mengenang Any Asmara: Kehidupan dan Karyanya, oleh Iman Budhi Santosa



Sosok Any Asmara telah menjadi bagian nyata dari sejarah perkembangan dinamika sastra Jawa pasca kemerdekaan. Paling tidak, sejak dekade-50an hingga pertengahan 70-an, karya prosanya yang dibukukan (terutama berupa novel) banyak diapresiasi dan disukai sehingga penyerapan pasarnya terhitung “laris manis” di DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kisah hidup ringkas
Any Asmara nama aslinya adalah Achmad Ngubaeni. Lahir di Banjarnegara, 13 Agustus 1913. Ayahnya meninggal saat dia masih dalam kandungan. Setelah beberapa waktu menjanda ibunya menikah lagi dan mempunyai tiga orang anak. Pendidikannya hanya sampai Sekolah Rakyat (SR) dan tidak melanjutkan karena ketiadaan biaya. Untuk menyelesaikan sekolahnya di SR saja terpaksa harus “ngenger” ikut saudaranya satu tahun di Purbalingga.
            Sejak kecil sosok ini menyukai wayang. Sedangkan pada masa dewasa awal sempat bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Seperti bekerja di pabrik setrup di Semarang, sebagai pedagang keliling menjual barang-barang imitasi, dan pembuatan reklame (1931). Sejak pertengahan dekade 30-an ikut menjaga toko buku pamannya di Dagen, Yogyakarta, sambil berdagang buku bekas di pasar Beringharjo. Selanjutnya berusaha mendirikan persewaan buku bacaan di Jalan Sosrowijayan 68, Yogyakarta, yang akhirnya berkembang menjadi toko buku (Boekhandel Trisirah) yang menjual buku serta majalah baru dan bekas.
            Pada zaman Jepang sempat menjadi pasukan heiho. Setelah kemerdekaan, Any Asmara bekerja di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Ia ditugaskan di pemandian Umbang Tirto, Kotabaru, Yogyakarta, hingga dipercaya menjabat kepala pemandian tersebut. Di PDAM, seperti pegawai lainnya, ia memperoleh nama dan gelar dari keraton Yogyakarta, Ng. Ranusastra Asmara. Sedangkan nama samaran Any Asmara yang dipakai dalam menulis karya merupakan penggabungan nama asli Achmad Ngubaeni dengan Ranusastra Asmara. Awalnya nama samaran yang digunakan hanya: Any.
Kecuali menjadi pegawai PDAM, sejak 1957 Any Asmara juga bekerja sebagai pembantu tetap majalah Mekarsari sampai akhir hayatnya. Sekitar tahun 1975 menjadi redaktur pelaksana koran Parikesit (Sala) hingga bubarnya koran tersebut (awal-80an). Gara-gara peristiwa September 1965, beliau diberhentikan tidak dengan hormat dari pekerjaannya di PDAM Yogya (1967). Alasan utamanya karena terkena screening (kategori C3) lantaran menjadi anggota Serikat Buruh Daerah (SEBDA) yang berfiliasi dengan PKI.
            Any Asmara menikah pertama kali dengan seorang bidan RSU Banjarnegara dan berputera dua orang: Teguh Haryono/Teguh Ranusastra Asmara (alm)  dan Dwi Astuti Hartiningsih (alm). Setelah bercerai dengan istri pertama ia menikah lagi dengan bidan Rumah Sakit Bethesda yang berasal dari Demak. Dengan istri kedua berputera dua orang:  Tyas Wahyu Widiati (alm) dan Agung Budi Prasetya (alm). Setelah dengan istri kedua juga bercerai, kemudian menikah dengan Hartiatin dari Magetan (1961). Dari istri ketiga berputera tiga orang: Bambang Wahyu Nugroho (alm), Kusumaningati Sulistya Wardani, dan Mulyaningati Ambyaring Sulistyarini.
            Selama tinggal di Yogya, beliau sempat mengontrak rumah di Sosrowijayan, Tegalpanggung, Lempuyangan, Blunyah Gede, dan Demakan Baru. Terakhir membuat rumah sendiri di Tegalmulyo (1966) yang ditempati sampai 1975. Selanjutnya pindah ke Sala setelah rumah di Tegalmulyo dijual. Sesudah beberapa kali pindah rumah kontrakan di Sala kemudian menetap di perumahan Josroyo Indah, Jaten, Karanganyar hingga wafatnya (1990). Jenazahnya dimakamkan di makam Jatilaya, Jaten, Karanganyar.

Proses menulis, karya dan buku yang diciptakan
Konon, keinginan menulisnya sudah tumbuh gara-gara banyak membaca sejak berjualan buku bekas di pasar Beringharjo. Era tahun 30-an, ia menulis wacan bocah (cerita anak) dikirim ke ”Taman Bocah” majalah “Kejawen” di Batavia Centrum (Jakarta) dengan nama samaran Any. Ternyata karyanya dimuat. Kenyataan tadi membuat semangat menulisnya makin menjadi-jadi. Ketika Taman Bocah mengadakan sayembara mengarang, beliau ikut dan menang sebagai juara I. Hadiahnya berupa buku-buku senilai 25,00. Sekian waktu kemudian, tanpa Adisangka-sangka ia malah diminta mengasuh rubrik Taman Bocah tersebut dan namanya disamarkan dengan Bu Mar.
Berkat kegigihannya mencipta prosa, akhirnya cerkak-nya berhasil dimuat majalah mingguan Espres, Surabaya. Tahun 1933, beliau sudah berhasil mencipta cerbung berjudul Ngoho Mataram. Oleh Panyebar Semangat judul itu diganti menjadi Grombolan Gagak Mataram (cerita ini pernah jadi polemik karena dianggap memplagiasi cerita Ngulandara). Tahun 1934 beliau menulis cerita bersambung Intarti, dan  di tahun 1961 dicetak menjadi buku oleh PT. Jaker, Yogyakarta, dengan judul Anteping Wanita.
Tahun 1950, nama Any Asmara makin berkibar dalam dunia penulisan fiksi  (prosa) berbahasa Jawa. Karya-karyanya bertebaran di majalah Kekasihku, Panyebar Semangat, Crita Cekak, Pustaka Roman. Jayabaya. Juga di koran majalah terbitan selanjutnya: Waspada, Djaka Lodhang, Panglipur Wuyung, Dharma Kandha, Kumandang, Kunthi, Parikesit, Mekarsari. Karyanya sering dibacakan di RRI Yogyakarta, Sala, dan Semarang.
Sekitar awal tahun 60-an beliau mendirikan penerbit CV. Dua “A” berkat dukungan seorang pengusaha tenun Surya Tex di Prawirotaman, Yogyakarta. Buku diterbitkan sendiri dan dipasarkan sendiri ke berbagai toko buku di Jawa, dan penyerapan pasarnya bagus sekali. Artinya, buku karya beliau disukai oleh masyarakat Jawa waktu itu. Konon, sebelum 1966 beliau sudah menghasilkan tidak kurang dari 70 novel dan 700-an cerkak. Hingga pertengahan 70-an, cukup banyak buku karya novel beliau yang diterbitkan, antara lain: Grombolan Gagak Mataram (1954), Gandrung Putri Sala (1962), Korbaning Katresnan (1962), Putri Tirtagangga (1962), Grombolan Nomer 13 (1963), Panglipur Wuyung (1963), Donyane Peteng (1964), Kumandange Katresnan (1964), Pangurbanan (1964), Tangise Kenya Ayu (1964), Lelewane Putri Sala (1965), Duraka (1966), Kraman (1966), Kumandhange Dwikora (1966), Maju terus Suthik Mundur (1966), Nyaiku (1966), Panggodhaning Iblis (1967), Singalodra (1968), Tante Lies (1969), Jagade Wis Peteng (1970), Ni Wungkuk (1970), Tatiek Indriani Putri Sala (1972), Telik Sandi (1974), Tilas Buwangan Nusa Kambangan (1976), dan lain-lain. Selama berkreasi, Any Asmara nyaris hanya menulis cerkak dan novel dan sesekali kisah sejarah. Juga tidak pernah mencipta geguritan serta menulis karya prosa dalam bahasa Indonesia.

Analisis kasar posisi karya-karya dan kreativitas Any Asmara dalam dunia sastra Jawa
1.      Mencermati sejarah kehidupan beliau, terkesan kepenulisannya diwarnai: 1) latar belakang budaya Jawa dan Banyumasan yang kental, 2) adanya dorongan berekspresi untuk memperoleh (meningkatkan) eksistensi/kredibilitas pribadi, 3) mengomunikasikan ide/tema yang disukai masyarakat pada zamannya, 4) dalam perkembangan berikutnya, karya yang dihasilkan nyaris menyerupai “kerajinan” dalam rangka “dijual” untuk memperoleh penghasilan guna menopang kehidupan.
2.      Jika melihat kecenderungan karya tulisnya adalah prosa (cerkak dan novel) berbahasa Jawa mengindikasikan: 1) memiliki kemampuan prima dalam bercerita, 2) memiliki ketrampilan berbahasa Jawa yang cukup bagus dan mapan, namun terkesan “mandeg”/kurang dikembangkan, 3) adanya dorongan untuk mendapat honorarium yang layak, karena honor prosa lebih besar dari geguritan (puisi), 4) kurang memiliki komitmen dan perhatian terhadap sastra Indonesia.
3.      Dimungkinkan, popularitas karya-karyanya juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan eksternal, antara lain: 1) keberadaan majalah berbahasa Jawa yang cukup banyak menayangkan karyanya, 2) terjadinya kecocokan selera dan minat baca masyarakat dengan tema romantik dan gaya bertutur yang “njawani” dalam menulis prosa, 3)  adanya pengaruh dari  fenomena cerita silat dalam bentuk buku saku yang populer di masyarakat waktu itu, 4) iklim sosial di Jawa yang penuh ketegangan politik membuat masyarakat ingin memperoleh bacaan yang ringan sebagai perintang-perintang waktu (menghibur diri) dalam hidup keseharian, 5) karyanya banyak dikemas menjadi buku saku dengan kualitas sederhana sehingga harga jualnya terjangkau.
4.      Setelah peristiwa 1965 dan memasuki era-70an, terkesan pandangan masyarakat Jawa mengalami perubahan visi dan selera baca yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan individual, sehingga berakibat terjadinya penurunan minat baca terhadap sastra Jawa di mana-mana. Beberapa hal yang patut dibayangkan kaitannya dengan menurunnya minat baca terhadap karya-karya beliau, antara lain: 1) tema dan gaya penulisannya relatif ajeg, sementara masyarakat menghendaki keragaman, 2) munculnya persaingan dengan novel-novel pop berbahasa Indonesia, 3) terjadinya persaingan antar kreator sastra Jawa sendiri dalam meraih pasar (panggung pemuatan karya di media massa) yang makin terbatas.
5.      Pandangan kalangan akademisi dan pengamat sastra Jawa terhadap karya-karya beliau, antara lain: 1) munculnya pandangan dikotomis (seperti dalam sastra Indonesia) mengenai sastra pop, dan sastra serius, di mana karya beliau cenderung dikategorikan sebagai karya pop (bacaan), 2) karya beliau dianggap memiliki tema dan gaya “panglipur wuyung” yang pada gilirannya terkesan “membosankan”, 3) ada kalangan yang menganggap beliau kurang “dalam” menggali tema yang diangkat.
6.      Beberapa kelemahan yang dinilai pengamat terhadapat karya dan proses kreatif beliau, antara lain: 1) kurang melakukan penelitian terhadap tema yang diangkat, dan hanya cenderung melakukan rekonstruksi realitas di permukaan, 2) cenderung mengangkat tema yang akrab dengan selera umum sehingga terkesan karyanya hanya untuk “memuaskan” pembaca, 3) beberapa pihak menganggap beliau kurang terbuka pada kritik dan kurang mengembangkan visi, gagasan, dan kreativitas dalam berkarya dengan tidak mencoba menulis karya selain novel (dan cerkak), 4) beberapa karya dinilai hasil plagiasi.
7.      Hal-hal yang patut dijadikan suri-tauladan, antara lain: 1) semangat menulisnya cukup tinggi dan hampir setiap hari selalu berada di depan mesin ketik, 2) mampu menguasai dan menggunakan bahasa Jawa dengan baik, 3) mempunyai bakat dan visi entrepreneur (menerbitkan buku karya sendiri dan memasarkan) serta melakukan gerakan literasi (mendirikan perpustakaan), 4) mempunyai pandangan kokoh dengan tetap berdiri pada pilihannya menulis karya prosa berbahasa Jawa, 5) berusaha memadukan kreativitas penulisan dengan jurnalisme, 6) mampu menjadikan hasil penulisan sastra/buku sebagai sarana menopang kehidupan.


                                                        Yogyakarta, 5 November 2017

Pengantar tentang Sosok Any Asmara, oleh Impian Nopitasari


Berawal dari acara #bincangsastra solopos fm bulan Mei 2017, sosok Any Asmara diangkat oleh Impian Nopitasari dan Dimas Suro Aji. Acara itu termasuk satu yang paling banyak direspon pendengar. Tapi tak banyak data yang beredar tentang Any Asmara. Bahkan fotonya pun tak ditemukan di internet (foto yang dipakai Pawon merupakan upaya keras Mbak Impian menanyai kawan2nya yang telah lama berkecimpung di sastra Jawa).
Untunglah, bapak Iman Budhi Santoso sebagai anak tiri dari beliau, mau bercerita tentang sosok yang tak banyak dibicarakan ini di hari Minggu esok.

***



Any Asmara, merupakan nama pena dari Achmad Ngubeni Ranusastra Asmara. Ia merupakan seorang pengarang berbahasa Jawa yang cukup masyhur, salah satunya yang paling populer adalah Gerombolan Gagak Mataram. Balai Bahasa Yogyakarta mencatat sudah 70 judul novel dan 750 cerkak, sebuah angka yang fantastis di zaman itu.
Pria kelahiran 13 Agustus 1913 tersebut disebut sebagai penanda angkatan dalam sejarah kesusastraan Jawa, yang kita kenal sebagai Angkatan Panglipur Wuyung. Menurut George Quinn, karya-karya Any Asmara merupakan roman moralistik yang dibumbui berbagai peristiwa sensasional atau sadistis dan diwarnai dengan gelitikan erotis dan adi kodrati. Salah satu novelnya yang lain Tiga Putri Gangga bahkan sempat menyabet gelar novel terbaik Panjebar Semangat.
Di tengah krisis ekonomi tahun 1960an, novel-novel Any Asmara laku keras. Di tengah kerasnya badai ekonomi, novel-novel tersebut menjawab kebutuhan masyarakat yang membutuhkan hiburan. Tetapi kondisi sosio-politik awal masa orde baru menyebabkan keadaan berbalik. OPTERMA atau Operasi Tertib Remaja yang dilakukan pemerintah memberangus roman-roman karyanya. Walau begitu pada masa Orde Baru pemilik nama samaran Bu Mar dan Mbak Any ini sempat menerbitkan 20 judul novel.
Sampai meninggalnya tahun 1990, Any Asmara menghabiskan masa tua di pinggiran kota Solo. Selain beberapa akademisi sastra, tak ada lagi kini yang membincangkannya. Padahal sebagai pengarang yang telah menulis banyak karya seperti ini, sudah selayaknya Any Asmara tetap diperbincangkan oleh generasi-generasi sekarang.