Monday 21 May 2018

Danarto: Si Masinis Mabuk, oleh Han Gagas


Dalam cerpen Godlob dan Rintrik, Danarto menjelontorkan gaya menulis yang edan, kata-kata berlarian seperti kereta dengan masinis yang sedang mabuk. Menggabungkan yang kuno dan modern seperti sawah dan piano, gagak dan kota, menajamkan bahasa, dan menebarkan kata yang serba maut dan lugas seperti setan, bangkai, buas, buta, dan mani namun di atas semua hal juga selalu ada kata malaikat dan Tuhan.
 Iya Danarto seperti yang diakui oleh Goenawan Mohamad adalah sastrawan yang memulai penulisan Realisme Magis di Indonesia. Apakah ia meniru gaya Gabriel Garcia Marquez, sang pelopor realisme magis dunia? Setahu saya keterpengaruhan gaya antar penulis adalah sah dalam rahim sastra kita. Aliran realism magis ini tampak paling kuat muncul di cerpen Danarto berjudul simbol cinta, dengan tokoh utama bernama Rintrik, di mana bayi-bayi yang dibuang bangkit dari kubur, bayi-bayi yang dimakamkan Rintrik ikut bernyanyi bergandengan tangan dalam alunan piano yang dimainkannya.
Kalau Kuntowijoyo dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan kita akan menemukan cerita lisan serupa yang bertebaran di tanah Jawa tentang pesugihan dengan jalan ritual mengambil kain kafan di hari weton tertentu dengan cara menggigit seperti anjing, di Rintrik dan Godlob magis terasa lebih keras. Umpama minuman keras, kadar alkohol magisme karya Danarto tertinggi diantara jajaran sastrawan senior Indonesia, termasuk Kuntowijoyo.
Ajaibnya magisnya Danarto masih membumi, masih realism, kita bisa mendengar cerita-cerita yang dia angkat walau terdengar sayup-sayup di masa lalu.
Keanehan Danarto adalah meletakkan piano di masa itu, masa yang terasa kuno dan di pedesaan, apakah ini masuk akal? Pengontrasan semacam ini, ajaibnya, diterima oleh publik sastra dan kritikus saat itu, ditandai dengan moncernya Danarto dan dari penghargaan-penghargaan yang ia peroleh. Benar ada idiom yang menyatakan sastra adalah anak jamannya.
Sekarang, di tengah tak jelas dan juntrungnya kritik sastra, bisa sangat mungkin akan melumat hal-hal macam begitu. Sastra sekarang yang seolah tak punya bapak, seperti bayi-bayi yang disayangi Rintrik, hidup sendiri-sendiri dan bikin legitimasi sendiri-sendiri. Fakta masa lalu dan fakta sekarang adalah semangat jaman yang memang begitu, tak ada yang benar dan tak ada yang salah.
Namun dibalik hal-ahal yang aneh, Danarto juga mencoba berfilsafat dengan dialog dalam cerita: “Rintrik yang buta, aku bertanya padamu, adakah Rintrik yang Tidak Buta?” dan bereksperimen tentang eksistensialisme macam Iwan Simatupang, seorang manusia yang eksis sendiri tanpa pengaruh Tuhan sekalipun. Hal tersebut diperlihatkan oleh tokoh pemuda terakhir yang menyerahkan bayi kepada Rintrik. “Biarlah orang lain mengakuiMu, aku tidak!”
“Sedang engkau di dalamNYa,” balas Rintrik. “Tidak! Aku tidak di dalamNya. Aku di luarNya. Akulah yang berdiri sendiri,” tukas si pemuda.
Tapi di Rintrik pula, Danarto seakan terpengaruh oleh waham Al halajj atau yang diwakili oleh Syekh Siti jenar di Jawa dengan paham aku adalah Tuhan. Inilah keanehan Danarto, ia sufikah, ia manunggaling kawula gustikah, bahkan juga diketahui penulis, bahwa ia juga pernah ikut aliran “keagamaan” Lia Eden yang kemudian akhirnya keluar. Danarto dalam realitas keagamaan tampak komplet, corak surealisme yang bercorak religinya juga indah terutama dalam penggambaran malaikat seperti cerpen Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat.
Dalam buku Godlob, cerpen Sandiwara di Atas Sandiwara agak lepas dari aliran sebelumnya. Ini lebih ke eksperimentasi tema, dan penjungkirbalikkan logika. Teater berubah porak poranda karena penonton yang menentukan lakon. Rutras sang pemimpin jenuh dengan lakon-lakon yang diperankan, karena baginya lakon di panggung itu telah merusak kemurnian kepribadiannya. Akhirnya panggung terbakar, dan menimbulkan banyak kejadian tragis dan meminta korban, termasuk Rutras sendiri. Danarto tampaknya kadang bosan dengan tema yang selama ini lekat dengannya: surealisme, hal yang sangat manusiawi karena menulis sesungguhnya –kecenderungannya- adalah tindakan mana suka saja. Pada cerpen Nostalgia yang menceritakan soal Abimanyu dan lakon Pandawa-Kurawa, Danarto juga melepaskan sahwat magis surealismenya. 
Surealisme katakanlah begitu tampak diwakili oleh cerpen Kecubung Pengasihan di mana tokoh bisa berbicara dengan tanaman. Atau apakah ini sesungguhnya juga nyata, realism, seperti Nabi Sulaiman yang bisa berbicara dengan binatang. Danarto menyelipkan tokoh perempuan bunting yang suka bercerita kepada mereka para tanaman bunga, cerita kesyahduan kepada Tuhan, menyentil reinkarnasi, sekaligus meledek kelakuan orang-orang. Ia menganggap orang yang menuduhnya gila karena bercakap-cakap dengan bunga adalah yang gila sesungguhnya karena suka merugikan orang lain. Cerita ini berkelok-kelok, bahkan sampai terjadi peperangan antar bunga –kelokan yang aneh- karena pertentangan pendapat tentang kematian. Peperangan yang aneh ini sangat tragis karena pihak yang mengerubuti ternyata hanya hendak bunuh diri. Mereka melepaskan semua senjata saat senjata musuh terayun. Semua tewas, dan kemenangan terasa jadi nista.
Peperangan atau pembunuhan juga terdapat dalam cerpen Armageddon, atas hasutan atau kesaksian Bekakrak-an –hantu kepala dengan jeroan tanpa tulang dan daging- seorang ibu melenyapkan anak gadisnya karena telah serong dengan pacarnya. Cerpen yang terbilang sadis dalam penggambaran pembunuhannya dimana ayunan kapak menebas tubuh dan kepala anak sendiri, dan kemudian diteruskan dengan pemenggalan kepala.
Danarto telah tutup usia, namun Godlob, Rintrik, dan Bekakrak-an masih bergentayangan di ribuan benak para pembacanya. []

//  Han Gagas, sudah menulis beberapa buku: Tembang Tolak Bala (LKIS), Ritual, Catatan Orang Gila (Gramedia) dan yang terbaru: Orang-orang Gila (Mojok)

No comments:

Post a Comment