Monday 21 May 2018

Mistik Dan Imajinasi Tentang Yang Tak Kasat Mata Dalam Kumpulan Cerpen Ikan-Ikan Dari Laut Merah Karya Danarto, oleh Y Agusta Akhir


Membaca cerpen-cerpen Danarto, agaknya sulit manafikan unsur mistik di dalamnya. Cerpen-cerpen tersebut tidak hanya bicara persoalan-persoalan riil semata, namun juga hal-hal yang sulit sekali dicarikan referensinya di dunia nyata. Demikian juga dengan cerpen-cerpen yang terhimpun di dalam buku kumpulan cerpen Ikan-ikan Dari Laut Merah. Apabila membaca cerpen-cerpen tersebut secara sekilas, sepertinya hanya mendedahkan persoalan-persoalan ‘biasa’ yang galib terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya masalah kematian, konflik keluarga, penderitaan hidup dan sebagainya. Akan tetapi kalau dicermati secara lebih jauh lagi, unsur-unsur mistik (atau sufistik) banyak terkandung di dalam cerpen-cerpen Danarto.  Abdul Hadi W. M. (1999) berpendapat bahwa karya-karya Danarto memperlihatkan kecenderungan sufistik dan gagasan-gagasannya memiliki pertalian dengan gagasan para sufi. Cerita mistis mustahil dicarikan referensinya pada dunia rill/nyata. Demikian juga dengan gagasan-gagasan yang diimajinasikan Danarto dalam cerpen-cerpennya. Misalnya dalam kutipan cerpen berjudul “Jantung Hati” di bawah ini. 
Baru saja saya menyadari telah berada di alam lain, tubuh saya dan sejumlah yang lain berupa entah, bersayap, lentur, melenting-lenting, dan bersinar, melayang, mengalun ke mana-mana. Lalu muncul sekuntum malaikat di depan saya. Kami lalu mengerumuni malaikat yang mematung itu. tubuh malaikat itu dipenuhi mata yang bukan main banyaknya, boleh jadi tak terhitung.
Dari mana penulis, dalam hal ini Danarto, mengetahui bahwa di alam lain (alam ghaib) terdapat makhluk yang sulit didefinisikan tetapi dapat digambarkan bersayap, melenting-lenting, dan bersinar, melayang, dan sebagainya itu? Tentu saja hanya Danarto yang tahu. Bisa jadi penulis cerpen tersebut mengalami atau memiliki kemampuan untuk melihat ‘dunia lain’ itu atau hal itu hanyalah buah imajinasi belaka. Terlepas dari problematik semacam itu, penggalan cerpen di atas menunjukkan adanya unsur mistik. Di dalam penggalan lain dapat dilihat sebagai berikut: 
Tanpa memberi isyarat, gerakan badan atau tangan, supaya saya begini atau begitu, malaikat itu bergulir lurus. Tak juga menoleh ke arah saya, seperti tak kenal atau tak mau tahu, malaikat itu melaju di atas permukaan sehingga saya cukup terbirit-birit mengikutinya. Alam sekeliling tampak berkabut, hening, dan sejuk.
Kabut itu cukup tebal, cukup menutupi jalan di depan sehingga keberadaan malaikat itu menjadi penentu arah jalan saya. Setiap ia bergerak ke depan, kabut itu menyibak. Menggumpal ke kiri ke kiri-ke kanan menjadi dinding terowongan. Memanjang. Ia seperti menuntun saya, tetapi juga menakutkan saya. Diamnya itulah yang menyebabkan rasa waswas. Bagaimana kalau tiba-tiba ia ditelan kabut?
Cerpen-cerpen yang ditulis Danarto selain mendedahkan hal-hal nyata, riil, juga hal-hal atau persoalan yang tak kasat mata, hal-hal ghaib. Hal-hal ghaib tersebut menurut hemat saya, selain didapatkan dari pengalamannya dalam menjalani laku spiritual, juga merupakan buah imajinasi Danarto sebagai pengarang cerpen. Tentu saja sulit membuktikan apakah Danarto mengalami atau melihat sendiri (dengan kemampuannya sebagai seorang yang menjalankan laku spiritual, misalnya). Mendapatkan referensi dari orang lain, buku atau kitab suci tentu memungkinkan, akan tetapi perlu penelaahan lebih lanjut. Tetapi apa pun itu, hal-hal yang bersifat ghaib atau mistik tidak mungkin dicarikan rujukannya di dunia nyata yang kasat mata, selain untuk diyakini. Bagi yang tidak memiliki keyakinan, tentu juga menganggap masalah tersebut hanyalah fiktif belaka alias tidak nyata.
Dalam cerpen berjudul “Ikan-ikan dari Laut Merah” disebutkan:
Ketika saya berwudhu untuk shalat Asar dengan air oase itu, seseorang menghampiri saya dalam sosok yang membayang dalam air oase. Saya menoleh ke belakang namun tidak ada seorang pun. Saya shalat berjamaah dengan sejumlah orang tua yang datang dari ngeri jauh, sosok yang membayang itu rasanya ikut bermakmum di belakang saya. Begitu selesai shalat, saya cepat-cepat menoleh ke belakang namun tak seorang pun tampak.
Dunia mistik adalah dunia yang jauh dari nalar. Malah kejadian-kejadian mistis acap kali bertentangan dengan akal sehat. Akan tetapi, sebagian orang meyakini kebenarannya; menganggap hal semacam itu bisa saja terjadi, setidaknya kita pernah mendengar cerita semacam itu dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak melihat atau mengalaminya sendiri. Wajah mistik kadang tampak dalam apa yang disebut dengan keajaiban. Sesuatu yang seharusnya tidak mungkin terjadi, kecuali atas kehendak Tuhan. 
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan, ketika saya terbangun saya melihat seorang tua sedang menarik mobil kami dengan tali ke atas. Saya terheran-heran, bagamana mungkin seorang yang sudah sangat sepuh mampu menaikkan mobil yang sudah ringsek dari jurang ke atas jalan raya sendirian. Lalu satu per satu keluarga saya ditariknya ke atas dengan tali yang diikatkan pada pinggang.
Seorang anak muda yang bertubuh kekar saja rasanya tidak akan mampu menarik mobil sendirian dari jurang. Dalam kutipan yang saya ambil dari cerpen berjudul “Zamrud” di atas, lebih tidak masuk akal lagi kalau kita menggunakan pendekatan akal sehat untuk menelaah peristiwa tersebut. Yang lebih mencengangkan lagi, diakhir kisah, ketika keluarga itu mencari alamat orang tua (Kasan Menhad) yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan tersebut, ternyata kiai atau orang tua itu sudah meninggal. Mereka hanya menemukan sebuah makam. Jelas-jelas ini ora mulih nalar.
Di dalam penggalan cerpen lain yang berjudul “Bengawan Solo”, Danarto juga menampilkan sosok atau tokoh yang nyentrik, yang berperilaku tidak seperti orang pada umumnya, nyeleneh, tetapi sekaligus memiliki kemampuan ilmu laduni yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Di dalam karya sastra, tokoh semacam ini bisa dijumpai pada karya Mustofa Bisri yang berjudul “Gus Djafar”.
Sepanjang hayat kyai kinthir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar, semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu adalah sumbangan Kiai Kinthir.
Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya, pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil gambarnya. Ternyata wajah beliau tidak terekam, gelap gulita saja yang muncul. Jika beliau mulai menghanyutkan diri di bengawan solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu.
Rasanya hampir mustahil menjumpai tokoh semacam itu di dunia nyata, sekalipun mungkin saja ada. Mengasingkan diri adalah salah satu cerminan dari laku seorang sufi. Seorang sufi memiliki sifat zuhud atau meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi demi menggapai cinta kepada Allah, bahkan bersatu dengan Tuhan. Dalam makrifat Jawa disebut sebagai Manunggaling kawulo Gusti. Sifat zuhud tersebut tampak pada tokoh Kiai Kinthir saeperti dalam penggalan cerpen “Bengawan Solo” di atas.
Ada juga cerita-cerita Danarto dalam antologi Ikan-ikan dari laut merah yang tampak nyata atau faktual seperti Alhamdulillah, masih ada dangdut dan Mie Instan  Slamet, tokoh utama dalam cerpen tersebut, …Bagaimanapun jatuh malangnya mujur, sak tiba malange mujur, seburuk-buruk pahala mujur juga. Disebut mujur karena masih hidup pula. Biar pahala segede gunung tapi jika pahala merenggut nyawanya itu tidak mujur…
Cerpen-cerpen Danarto, yang juga terhimpun dalam buku kumpulan Ikan-ikan dari Laut Merah ini betapapun mendedahkan persoalan atau peristiwa-peristiwa yang tak kasat mata, yang mustahil dicari rujukannya di dunia nyata, telah memberikan warna tersendiri dalam dunia sastra. Cerpen-cerpen Danarto tidak sekadar mendedahkan peristiwa-peristiwa yang sdang hangan terjadi kala itu, yang oleh Gunawan Muhammad (2000) disebut sebagai cerpen-cerpen yang ditulis dengan niat untuk ikut bicara dalam soal-soal sosial yang sedang hangat. Lebih dari itu, karya Danarto merupakan spirit keagamaan yang tidak hanya di permukaan saja, yang tampak lahiriahnya belaka, melainkan juga lebih jauh dan dalam lagi, yaitu dalam tataran makrifat dan hakikat.  []

// Y. Agusta Akhir, menulis cerpen dan novel. Novelnya Requim Musim Gugur (Grasindo) dan Kita Tak Pernah Tahu, ke Manakah Burung-burung Itu Terbang (Unsapress)

No comments:

Post a Comment