Sinayuh: Tulisan Memotret, Berkisah, dan Menabur Benih Keluhuran, oleh Agatha Febriany


Membaca “Sinayuh”, saya merasa seperti ikut dalam perjalanan yang dilakukan oleh Astuti Parengkuh bersama Guyub Bocah-nya. Aktivitasnya sebagai seorang pendamping kelompok anak-anak ternyata memberinya dorongan yang kuat untuk menulis sebuah buku. Sebagai seorang yang mengenal sosok Astuti Parengkuh, saya merasa mendapat satu pelajaran berharga lagi darinya. Mengabadikan suatu moment yang berharga bukan hanya bisa dilakukan dengan media foto atau video belaka, namun juga bisa dilakukan dengan tulisan. Di dalam beberapa cerita, Mbak Astuti (demikian saya biasa memanggilnya) secara jelas memaparkan tentang ajakan untuk mengabadikan berbagai pengalaman ini melalui tulisan.
            Isu-isu mengenai HAM (Hak Asasi Manusia) yang begitu kuat menghidupi buku ini mengingatkan saya pada satu teori sastra lama yang menyebutkan bahwa karya sastra itu lahir bukan dari lingkungan yang “kosong” budaya. Karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat pada jamannya. Saya merasa bahwa semua yang diungkapkan oleh Mbak Astuti dalam “Sinayuh” ini bukan sekedar cerita imajinatif semata. Keseluruhan cerita-ceritanya berbicara tentang realitas yang terjadi di negara kita. Kisah-kisah perjuangan Sedulur Sikep di Pegunungan Kendeng, masyarakat di lereng Gunung Merapi, ataupun masyarakat di sekitar kawasan wisata Parangkusumo adalah kisah-kisah nyata. Sosok Mbak Astuti sendiri sebagai seorang jurnalis juga sangat menjiwai tulisan-tulisannya. Meskipun di dalam buku ini dia muncul sebagai tokoh dengan nama lain, saya kira, pembaca yang cermat bisa menebak dimana posisi penulis dalam keseluruhan cerita-ceritanya.
            Sebetulnya ketika mendapatkan tawaran untuk membedah buku “Sinayuh” ini, saya bertekad untuk menempatkan diri sebagai pembaca “murni”, tanpa memperdulikan latar belakang Mbak Astuti sebagai penulisnya. Namun tekad saya tersebut langsung luntur saat saya membaca keseluruhan isi buku. Menurut saya, melepaskan sosok Mbak Astuti dari tulisan-tulisannya sama saja mengurangi nafas dari buku ini. Saya tidak mengatakan bahwa pembaca-pembaca yang tidak/ belum mengenal sosok Astuti Parengkuh akan “gagal” dalam memaknai buku ini. “Sinayuh” tetap akan menjadi buku yang menurut saya wajib dibaca oleh semua kalangan, terutama oleh anak-anak dan orangtua. Beberapa nilai kehidupan yang hakiki; seperti penyadaran akan hak anak, tanggung jawab dalam kelestarian lingkungan hidup, keteguhan untuk menjaga tradisi dan budaya, dan semangat kebersamaan dalam keragaman; menjadi pesan-pesan kemanusiaan yang tidak dapat diabaikan di dalam buku ini. Akan tetapi, akan sangat sayang bagi saya, apabila pembaca kehilangan informasi bahwa semua cerita yang tertuang di dalam “Sinayuh” adalah sekumpulan kisah yang “hidup”. Dan untuk hal tersebut, pengenalan akan sosok Astuti Parengkuh sebagai penulis buku tetap harus dilakukan. Latar belakang Mbak Astuti sebagai pendamping kelompok anak sekaligus sebagai seorang jurnalis memberi roh tersendiri bagi “Sinayuh”.

Hak Anak yang Diperjuangkan Sinayuh.
Sinayuh, senada dengan kata yang dipilih menjadi judul dalam buku ini, sebenarnya merupakan nama bagi Guyub Bocah yang diceritakan. Kata “guyub” sendiri mengandung makna rukun (KBBI). Sementara “bocah” berarti anakkecil, kanak-kanak (KBBI). Keduanya merupakan istilah bahasa Jawa. Jadi ketika saya membaca buku ini saya membayangkan bahwa konsep yang diusung oleh  Sinayuh ini adalah sekelompok anak kecil yang telah terikat oleh rasa persaudaraan.
Guyub Bocah dalam “Sinayuh” banyak berbicara tentang hak anak, terutama kaitannya dengan asap rokok. Hak anak untuk hidup di dalam lingkungan yang sehat juga menjadi isu penting dalam “Sinayuh”. Dengan jelas dituliskan pada akhir cerita pesan bahwa anak-anaklah yang akan menjadi aktor kunci bagi keberlangsungan/ kelestarian lingkungan hidup.
     “Betul, kepada mereka Desa Keningar ini akan kami titipkan. Bukan tak mungkin Penambangan pasir dan batu akan beroperasi lagi di sini, itu tugas mereka untuk menjaga desa. Perjuangan belum selesai, Mbak. Jalan masih sangat panjang,” (Halaman 80)
     Hak anak untuk bermain, berkumpul, berproses kreatif, dan menentukan pilihan hidupnya sendiri menjadi informasi yang tidak kalah penting bagi pembaca. Cerita-cerita yang mendeskripsikan tentang indahnya dunia bermain anak-anak mengidentifikasikan bahwa anak-anak memiliki hak untuk menikmati masa-masa di mana mereka bisa bermain. Kegiatan Guyub Bocah di bidang kesenian (bermusik, menari, dan bermain peran) menunjukkan potensi-potensi anak yang luar biasa dan mereka berhak atas kesempatan untuk proses kreatif tersebut. Cerita tentang Enting yang mencintai seni karawitan dan mendapat dukungan dari lingkungannya membuktikan bahwa kesempatan atas pilihan yang bebas pada anak-anak justru bisa memunculkan pribadi-pribadi yang berkarakter tangguh.
     “Sinayuh”, bagi saya, secara garis besar adalah cermin dari “kecerdasan” anak-anak. Saya percaya bahwa setiap anak memiliki kecerdasan dalam membaca, merekam, dan menilai situasi-situasi yang terjadi di sekitar mereka. Peran orangtua sebenarnya tinggal mengarahkan dan mendukung saja. Di dalam “Sinayuh”, peran orangtua banyak digantikan oleh kehadiran para pendamping Guyub Bocah. Mengarahkan anak-anak untuk tidak menyisakan makanan di piring mereka, meminta anak-anak untuk membawa sendiri bekal minum di dalam botol minuman mereka, dan melatih anak-anak untuk bisa memanajemern waktu merupakan langkah-langkah riil bagi para orangtua dalam menunjukkan eksistensinya.

Isu Difabel dalam “Sinayuh”
     Difabel atau different ability person adalah orang-orang yang memyiliki kemampuan berbeda. Dahulu, masyarakat kita masih menggunakan istilah “cacat” dan “tuna”. Saya rasa Mbak Astuti memilih menggunakan istilah ini karena ia juga merupakan salah seorang yang aktif mengikuti perkembangan isu difabilitas. Pasalnya, istilah difabel merupakan istilah yang dipilih oleh rekan-rekan pegiat isu difabilitas, bukan istilah yang digunakan secara resmi di Indonesia. Dalam ratifikasi UNCRPD (United Nations Convention on The Rights of People with Disabilities), UU No. 8 Tahun 2016, pemerintah Indonesia menggunakan istilah “penyandang disabilitas”.
     Cerita berjudul “Sholeh dan Anak-anak Parangkusumo” serta “Bu Jumilah dan Salam Erat Bu Fatimah” memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan difabel. Meskipun kemunculan tokoh difabel di sini belum cukup banyak memotret kehidupan difabel di negara kita, akan tetapi cukup memberikan informasi bahwa difabel juga memiliki hak yang sama untuk berbahagia. Sholeh merasa bahagia ketika dirinya diberi kesempatan untuk berkumpul dan bermain bersama teman-temannya yang non-difabel. Begitu pula dengan Bu Fatimah yang merasa bahagia ketika ada orang yang mau bermain bersamanya.
     Stigma yang dilekatkan oleh masyarakat kepada para difabel kerap kali menempatkan mereka pada posisi-posisi terasing dari lingkungannya. Hal ini semakin menjerumuskan mereka ke dalam pemahaman konsep diri yang salah. Karena situasi ini, mereka merasa bahwa dirinya tidak berguna, jelek, menjijikkan, dan menjadi beban bagi sekitarnya. Lebih jauh, konsep diri yang salah ini dapat menjadi stimulus akan munculnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap difabel, terutama perempuan dan anak.
     Saya bersyukur Sinayuh telah mengambil peran dalam melawan stigma ini. Anak-anak dengan “kecerdasan” yang mereka miliki diarahkan untuk melihat teman-teman difabel mereka sebagai “sesama” mereka. Sesama yang dalam hal ini bukan sekedar dilihat sebagai seseorang yang patut dikasihani, akan tetapi sesama yang juga bisa diajak berbicara, bercanda, dan bermain.
     Ketika membaca “Sinayuh”, para pembaca akan menangkap pesan-pesan kehidupan di dalamnya. Inisiatif Mbak Astuti untuk menuliskan pengalaman-pengalamannya bersama Guyub Bocah merupakan ide yang luar biasa dan patut mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Sama seperti isu-isu mengenai hak anak, isu-isu tentang hak difabel juga menjadi isu-isu yang lintas sektoral. Ketika ada yang menginisiasi untuk mendokumentasikan semua kisah ini dalam bentuk tulisan, saya percaya perubahan bukan hanya berimbas pada anak-anak dan difabel semata, akan tetapi pada semua bidang kehidupan.

Kritik untuk “Sinayuh”
Di awal cerita, “Sinayuh” terkesan sangat membosankan untuk dibaca. Dari segi gaya bercerita, Mbak Astuti kurang bisa membawa pembaca untuk merasa larut ke dalam cerita sampai mereka merasa perlu menyelesaikan bacaannya. Baru setelah masuk ke cerita ketiga, saya mulai bisa menikmati gaya bercerita Mbak Astuti.
            Dalam beberapa cerita, Mbak Astuti masih membawa kebiasaannya sebagai seorang jurnalis dalam menuliskan cerita. Terkadang membuat cerita menjadi terkesan tidak mengalir apa adanya. Meskipun informasi yang disampaikan mungkin penting untuk diketahui pembaca, namun bukan berarti penulis bisa mengabaikan seni bercerita.
            Saya bukan penganut aliran sastra lama yang mengedepankan nilai estetika (keindahan) karya sastra. Saya juga termasuk kelompok yang pro terhadap karya-karya sastra yang tidak meluluu menggunakan media kata. Namun, bagaimana strategi penulis dalam mempengaruhi mainstream pembaca dengan gaya bercerita yang sesuai akan sangat mempengaruhi keberhasilan karya sastra tersebut.

Agatha Febriany, Penikmat Sastra


Share:

0 komentar