Ketika Danarto Selfie Dalam Setangkai Melati di Sayap Jibril, oleh Yuditeha


Bagi sebagian besar kita, dalam menggambarkan sesuatu akan mengandalkan mata. Artinya apa yang tampak di mata kita memang itulah kenyataannya. Tangan kanan menggenggam sesuatu akan kita lihat begitu adanya - tangan kanan yang memegang sesuatu itu.
Dalam gambar selfie akan terlihat berkebalikan. Tangan kanan menggenggam sesuatu, di gambar selfie sesuatu itu akan tampak digenggam tangan kiri. Pada kenyataannya baik tangan kanan maupun tangan kiri tersebut adalah satu tangan. Danarto mampu melakukannya     . Banyak orang sering mengatakan, cerita Danarto adalah cerita sufistik: sebuah contoh perilaku ganjil yang digambarkan dalam pengejawantahan dari petuah dan peristiwa dengan permasalahan yang rumit. Biasanya memakai simbol dan didaktis. Cara yang ganjil di sinilah yang menurut saya bagian selfie-nya Danarto.
Pengertian lain yang juga sering kita dengar atas karya Danarto adalah sebuah karya yang diurai dengan ketelitian penuh, menyeluruh dan saling terkait. Menurut saya memahami sampai unsur terbalik dari gambar selfie adalah gambaran dari kedetailan tersebut.
Ilmu tanda atau isyarat juga sering digunakan Danarto. Hal itu bisa berarti tingkat kesadaran yang dipakai Danarto melampaui kita yang awam. Jika kita melihat tangan kanan, tapi Danarto melihat hal itu bukan hanya bisa tangan kanan, tetapi juga bisa tangan kiri, seperti yang terurai dalam pengertian gambar selfie.

***

Berikut tiga contoh ulasan selfie-nya Danarto pada cerpen di kumpulan Setangkai Melati di Sayap Jibril:
1.       Cerpen Paris Nostradamus
Catatan pengantar: Nostradamus adalah seorang sastrawan yang terkenal dengan ramalan-ramalannya yang menghebohkan dunia. Setiap ramalannya memang membingungkan tapi para ahli mulai menemukan arti dari sebagian ramalannya yang memang terbukti benar. ( https://temperer.wordpress.com/2010/03/28/293/)
Dalam cerpen ini Danarto mengisahkan Paris yang luluh lantah karena serangan nuklir. Cerpen ini dibuat Danarto pada tahun 1988, dimana pada masa itu, selfie belum populer, tapi Danarto sudah melakukannya dalam cerpen ini. Pada akhirnya istilah Selfie kini semarak. Sedangkan selfie-nya Danarto waktu itu dalam cerpen tersebut adalah membuat cerpen ramalan tentang Paris, dan hal itu terbukti pada tahun 2015, dimana Paris benar-benar mendapat serangan bom, meski peristiwa itu tidak berskala besar seperti dalam kisah Paris Nostradamus.
2.      Cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril
Danarto berbicara jimat pada cerpen ini. (Disimbolkan dengan Setangkai Melati). Selain itu cerpen ini juga ada bahasan tentang Al Qur’an dan sajadah, sebagai simbol kebaikan. Di sana dikisahkan perjalanan jimat yang pada akhirnya sampai di Jalan Cendana. Tidak adanya pernyataan jimat itu sesuatu yang buruk, dan juga tidak adanya penyataan jimat itu sesuatu yang baik itulah unsur selfie dari cerpen ini – tangan kanan dan tangan kiri, sesungguhnya satu tangan.
3.      Cerpen Buku Putih Seorang Preman
Cerita tentang seorang preman yang disarankan bertobat oleh kiai. Cerpen ini bukan menceritakan sisi jahat dari sosok preman – yang sebenarnya dapat menjadi pengertian dan keterangan pendukung bahwa dia telah dianggap berada pada kondisi harus bertobat - tetapi justru mengisahkan perjalanan hidup preman itu sendiri. Inti dari tanda besar dalam cerpen ini adalah datangnya sosok bersayap yang berbinar-binar, lebih terang dari matahari menjadi tameng sang kiai. Cara penyajian tentang sosok preman, dan kenyataan bahwa kekuatan dari kiai yang sesungguhnya bukan dari aku-nya kiai tersebut adalah sisi unsur selfie dari cerpen ini.
Ke-27 cerpen dalam buku ini memiliki gaya penceritaan yang hampir sama, yaitu bergaya selfie, dengan mengusung tema yang berbeda-beda. []

// Yuditeha, Pendiri Kamar Kata Karanganyar. Menuis cerpen, puisi, dan novel. Buku-bukunya: Komodo Inside (Grasindo), Balada Bidadari (Kompas), Kematian Seekor Anjing Pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya (Basabasi), dll.


Mistik Dan Imajinasi Tentang Yang Tak Kasat Mata Dalam Kumpulan Cerpen Ikan-Ikan Dari Laut Merah Karya Danarto, oleh Y Agusta Akhir


Membaca cerpen-cerpen Danarto, agaknya sulit manafikan unsur mistik di dalamnya. Cerpen-cerpen tersebut tidak hanya bicara persoalan-persoalan riil semata, namun juga hal-hal yang sulit sekali dicarikan referensinya di dunia nyata. Demikian juga dengan cerpen-cerpen yang terhimpun di dalam buku kumpulan cerpen Ikan-ikan Dari Laut Merah. Apabila membaca cerpen-cerpen tersebut secara sekilas, sepertinya hanya mendedahkan persoalan-persoalan ‘biasa’ yang galib terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya masalah kematian, konflik keluarga, penderitaan hidup dan sebagainya. Akan tetapi kalau dicermati secara lebih jauh lagi, unsur-unsur mistik (atau sufistik) banyak terkandung di dalam cerpen-cerpen Danarto.  Abdul Hadi W. M. (1999) berpendapat bahwa karya-karya Danarto memperlihatkan kecenderungan sufistik dan gagasan-gagasannya memiliki pertalian dengan gagasan para sufi. Cerita mistis mustahil dicarikan referensinya pada dunia rill/nyata. Demikian juga dengan gagasan-gagasan yang diimajinasikan Danarto dalam cerpen-cerpennya. Misalnya dalam kutipan cerpen berjudul “Jantung Hati” di bawah ini. 
Baru saja saya menyadari telah berada di alam lain, tubuh saya dan sejumlah yang lain berupa entah, bersayap, lentur, melenting-lenting, dan bersinar, melayang, mengalun ke mana-mana. Lalu muncul sekuntum malaikat di depan saya. Kami lalu mengerumuni malaikat yang mematung itu. tubuh malaikat itu dipenuhi mata yang bukan main banyaknya, boleh jadi tak terhitung.
Dari mana penulis, dalam hal ini Danarto, mengetahui bahwa di alam lain (alam ghaib) terdapat makhluk yang sulit didefinisikan tetapi dapat digambarkan bersayap, melenting-lenting, dan bersinar, melayang, dan sebagainya itu? Tentu saja hanya Danarto yang tahu. Bisa jadi penulis cerpen tersebut mengalami atau memiliki kemampuan untuk melihat ‘dunia lain’ itu atau hal itu hanyalah buah imajinasi belaka. Terlepas dari problematik semacam itu, penggalan cerpen di atas menunjukkan adanya unsur mistik. Di dalam penggalan lain dapat dilihat sebagai berikut: 
Tanpa memberi isyarat, gerakan badan atau tangan, supaya saya begini atau begitu, malaikat itu bergulir lurus. Tak juga menoleh ke arah saya, seperti tak kenal atau tak mau tahu, malaikat itu melaju di atas permukaan sehingga saya cukup terbirit-birit mengikutinya. Alam sekeliling tampak berkabut, hening, dan sejuk.
Kabut itu cukup tebal, cukup menutupi jalan di depan sehingga keberadaan malaikat itu menjadi penentu arah jalan saya. Setiap ia bergerak ke depan, kabut itu menyibak. Menggumpal ke kiri ke kiri-ke kanan menjadi dinding terowongan. Memanjang. Ia seperti menuntun saya, tetapi juga menakutkan saya. Diamnya itulah yang menyebabkan rasa waswas. Bagaimana kalau tiba-tiba ia ditelan kabut?
Cerpen-cerpen yang ditulis Danarto selain mendedahkan hal-hal nyata, riil, juga hal-hal atau persoalan yang tak kasat mata, hal-hal ghaib. Hal-hal ghaib tersebut menurut hemat saya, selain didapatkan dari pengalamannya dalam menjalani laku spiritual, juga merupakan buah imajinasi Danarto sebagai pengarang cerpen. Tentu saja sulit membuktikan apakah Danarto mengalami atau melihat sendiri (dengan kemampuannya sebagai seorang yang menjalankan laku spiritual, misalnya). Mendapatkan referensi dari orang lain, buku atau kitab suci tentu memungkinkan, akan tetapi perlu penelaahan lebih lanjut. Tetapi apa pun itu, hal-hal yang bersifat ghaib atau mistik tidak mungkin dicarikan rujukannya di dunia nyata yang kasat mata, selain untuk diyakini. Bagi yang tidak memiliki keyakinan, tentu juga menganggap masalah tersebut hanyalah fiktif belaka alias tidak nyata.
Dalam cerpen berjudul “Ikan-ikan dari Laut Merah” disebutkan:
Ketika saya berwudhu untuk shalat Asar dengan air oase itu, seseorang menghampiri saya dalam sosok yang membayang dalam air oase. Saya menoleh ke belakang namun tidak ada seorang pun. Saya shalat berjamaah dengan sejumlah orang tua yang datang dari ngeri jauh, sosok yang membayang itu rasanya ikut bermakmum di belakang saya. Begitu selesai shalat, saya cepat-cepat menoleh ke belakang namun tak seorang pun tampak.
Dunia mistik adalah dunia yang jauh dari nalar. Malah kejadian-kejadian mistis acap kali bertentangan dengan akal sehat. Akan tetapi, sebagian orang meyakini kebenarannya; menganggap hal semacam itu bisa saja terjadi, setidaknya kita pernah mendengar cerita semacam itu dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak melihat atau mengalaminya sendiri. Wajah mistik kadang tampak dalam apa yang disebut dengan keajaiban. Sesuatu yang seharusnya tidak mungkin terjadi, kecuali atas kehendak Tuhan. 
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan, ketika saya terbangun saya melihat seorang tua sedang menarik mobil kami dengan tali ke atas. Saya terheran-heran, bagamana mungkin seorang yang sudah sangat sepuh mampu menaikkan mobil yang sudah ringsek dari jurang ke atas jalan raya sendirian. Lalu satu per satu keluarga saya ditariknya ke atas dengan tali yang diikatkan pada pinggang.
Seorang anak muda yang bertubuh kekar saja rasanya tidak akan mampu menarik mobil sendirian dari jurang. Dalam kutipan yang saya ambil dari cerpen berjudul “Zamrud” di atas, lebih tidak masuk akal lagi kalau kita menggunakan pendekatan akal sehat untuk menelaah peristiwa tersebut. Yang lebih mencengangkan lagi, diakhir kisah, ketika keluarga itu mencari alamat orang tua (Kasan Menhad) yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan tersebut, ternyata kiai atau orang tua itu sudah meninggal. Mereka hanya menemukan sebuah makam. Jelas-jelas ini ora mulih nalar.
Di dalam penggalan cerpen lain yang berjudul “Bengawan Solo”, Danarto juga menampilkan sosok atau tokoh yang nyentrik, yang berperilaku tidak seperti orang pada umumnya, nyeleneh, tetapi sekaligus memiliki kemampuan ilmu laduni yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Di dalam karya sastra, tokoh semacam ini bisa dijumpai pada karya Mustofa Bisri yang berjudul “Gus Djafar”.
Sepanjang hayat kyai kinthir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar, semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu adalah sumbangan Kiai Kinthir.
Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya, pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil gambarnya. Ternyata wajah beliau tidak terekam, gelap gulita saja yang muncul. Jika beliau mulai menghanyutkan diri di bengawan solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu.
Rasanya hampir mustahil menjumpai tokoh semacam itu di dunia nyata, sekalipun mungkin saja ada. Mengasingkan diri adalah salah satu cerminan dari laku seorang sufi. Seorang sufi memiliki sifat zuhud atau meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi demi menggapai cinta kepada Allah, bahkan bersatu dengan Tuhan. Dalam makrifat Jawa disebut sebagai Manunggaling kawulo Gusti. Sifat zuhud tersebut tampak pada tokoh Kiai Kinthir saeperti dalam penggalan cerpen “Bengawan Solo” di atas.
Ada juga cerita-cerita Danarto dalam antologi Ikan-ikan dari laut merah yang tampak nyata atau faktual seperti Alhamdulillah, masih ada dangdut dan Mie Instan  Slamet, tokoh utama dalam cerpen tersebut, …Bagaimanapun jatuh malangnya mujur, sak tiba malange mujur, seburuk-buruk pahala mujur juga. Disebut mujur karena masih hidup pula. Biar pahala segede gunung tapi jika pahala merenggut nyawanya itu tidak mujur…
Cerpen-cerpen Danarto, yang juga terhimpun dalam buku kumpulan Ikan-ikan dari Laut Merah ini betapapun mendedahkan persoalan atau peristiwa-peristiwa yang tak kasat mata, yang mustahil dicari rujukannya di dunia nyata, telah memberikan warna tersendiri dalam dunia sastra. Cerpen-cerpen Danarto tidak sekadar mendedahkan peristiwa-peristiwa yang sdang hangan terjadi kala itu, yang oleh Gunawan Muhammad (2000) disebut sebagai cerpen-cerpen yang ditulis dengan niat untuk ikut bicara dalam soal-soal sosial yang sedang hangat. Lebih dari itu, karya Danarto merupakan spirit keagamaan yang tidak hanya di permukaan saja, yang tampak lahiriahnya belaka, melainkan juga lebih jauh dan dalam lagi, yaitu dalam tataran makrifat dan hakikat.  []

// Y. Agusta Akhir, menulis cerpen dan novel. Novelnya Requim Musim Gugur (Grasindo) dan Kita Tak Pernah Tahu, ke Manakah Burung-burung Itu Terbang (Unsapress)

Pemecahan Dimensi Waktu dalam Rekayasa Perang dan Kerinduan Asmaraloka, oleh Ruly R.


Asmaraloka dibuka dengan cerita yang sukar dinalar ketika pembaca disuguhkan langsung adegan seorang perempuan mengikuti malaikat pencabut nyawa yang memanggul mayat suami perempuan tersebut. Dalam indera sebagian kita mungkin akan menangkap sebuah hal yang tidak lumrah, tapi ketidaklumrahan itulah yang coba digarap Danarto. Kalau kita yang menulis, mungkin perempuan itu akan langsung takut ketika berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Tapi di Asmaraloka, Danarto justru membuat anomali dengan menciptakan tokoh perempuan yang bernama Arum yang terus mengikuti malaikat pencabut nyawa. Danarto seakan memberi keajaiban sifat gigih dan semangat yang membara pada perempuan itu, hingga akhirnya dia kehilangan jejak malaikat pencabut nyawa yang sebenarnya tak punya jejak, dan sampai pada sebuah pondok pesantren milik seorang kyai dan medan perang.
Sebagian besar novel dengan latar perang mungkin akan ditulis dengan gaya yang menghadirkan penderitaannya secara langsung, tapi tidak dengan novel Asmaraloka. Justru di novel ini ada semacam sarkasme besar yang diusung Danarto. Bagaimana perang justru menjadi komoditi selayaknya barang dagangan. Penciptaan perang yang terus berlangsung dan rangkaian perasaan menang dari masing-masing pihak akhirnya membentuk pemahaman baru dan pertanyaan yang akhirnya dikembalikan pada diri masing-masing. Benarkah perang memang hanya bentuk buatan dari sebagian orang atau kelompok? Danarto tidak memberi pemecahan terhadap problem yang hadir, melainkan dengan narasi-narasi kuat dalam ceritanya ada sebuah kerinduan akan suatu perasaan di mana sebagian besar manusia sebenarnya lebih menginginkan kedamaian. 
Menukil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Asmaraloka berarti dunia (alam) cinta kasih. Lewat novel Asmaraloka, Danarto menarik sebuah relativitas yang besar. Sebuah penggambaran tentang benar dan salah tidak lagi kentara, tapi perasaan akan pertentangan yang berkesimpulan pada masing-masing yang merasa paling benar itu sendiri. Pemecahan dimensi waktu digunakan sebagai media pengantar pada konflik yang terus timbul. Kehadiran yang paling jelas diciptakan dengan kembali hidupnya satu tokoh yang bernama Kyai Ora Weruh. Danarto seakan memberi pengertian lain pada sebuah kehidupan yang sebenarnya fana selayaknya perang yang ada dalam novel Asmaraloka.
Jika Baudrillard—pemikir Prancis pernah berargumen tentang situasi di mana batas-batas realitas dan yang bukan realitas sudah kabur, Danarto justru menabrak batas-batas ruang realitas yang mungkin dipikirkan sebagian besar dari kita. Percakapan dalam Asmaraloka dihadirkan dengan gaya yang rumit namun langsung mengena pada pembaca, sehingga secara umum pembaca digiring dalam balutan kesadaran yang selalu diperbarui. Tapi satu hal yang mungkin sebenarnya ingin terus dikatakan Danarto dalam novel ini adalah bagaimana tanpa waktu yang terbatas manusia terus berperang bukan dengan yang lain, melainkan melawan dirinya sendiri. []

// Ruly R, bergiat di Kamar Kata Karanganyar

Allah yang Tak Henti-hentinya, oleh Rizka Nur Laily Muallifa


Jibril ialah Allah yang ngejawantah. Adam Ma’rifat ialah Allah yang ngejawantah. Zat asam ialah Allah yang ngejawantah. SMPVTU ialah Allah yang ngejawantah. Komputer ialah Allah yang ngejawantah. Ng. Ngung. K. Cak. ssszzzzzz. Matahari. Lonceng. Sebuah Kota Suci. Sampur. Tari Bedoyo  ialah Allah yang ngejawantah. Ialah Allah yang senantiasa ngejawantah dalam perjalanan membaca enam cerpen Danarto di buku Adam Ma’rifat (2017).
Penerbit Divapress dan Basabasi yang digawangi Edi Mulyono menerbitkan ulang buku-buku Danarto. Di antaranya Setangkai Melati di Sayap Jibril (2016), Godlob (2017), dan Adam Ma’rifat (2017). Buku menggoda mata beli kala diri beribadah suci di toko buku diskon di sudut kota Solo. Hingga berganti tahun, buku nyenyak dalam tidur agak berjejalan dengan buku-buku lain di kamar indekos. Buku kalah dengan aktivitas sehari-hari yang kadangkala pikuk.
Lalu, kabar duka datang agak malam, agak mengejutkan. Keterkejutan musti diredam dan diri lekas-lekas membikin janji untuk segera membaca buku Danarto yang kadung terbeli di tahun lalu. Sembari berikhtiar merapal doa-doa lucu demi kealpaan tak gegas membaca karya-karyanya yang baik.

Allah dan Pohon Mangga
Sebagai pembaca sasta yang lugu dan tak mau menuntut, aku menurut saja pada penulis. Termasuk kala membaca cerpen-cerpen Danarto dalam buku Adam Ma’rifat. Satu-satunya kelancanganku sebagai pembaca kumpulan cerpen barangkali ialah memilih membaca cerpen dengan acak. Seringkali dari judul cerpen yang pertengahan. Adam Ma’rifat bernomor urut dua. Aku membacanya sebagai yang pertama.
Adam Ma’rifat memperkenalkan diri bukan sebagai Nabi atawa Dewa, dengan percaya diri ia berkata kepada orang-orang di dalam bus: “…aku hanyalah Allah yang ngejawantah” (hlm. 33). Ketika orang-orang bergegas mengambil batu lekas-lekas ia berkata: “tetapi akulah pohon mangga”. Batu-batu terlempar ke pokok pohon mangga yang penuh buah, yang tumbuh di dalam bus. Mangga-mangga molek jatuh tepat di genggaman tiap-tiap orang, tak ada yang meleset barangkali menimpa jidat atawa kepala seseorang. Adam Ma’rifat, Allah yang ngejawantah ialah pohon mangga yang menghitung dengan tepat jumlah buahnya sama dengan jumlah orang di dalam bus. Sehingga tak perlu ada keributan sekadar untuk berebut buah mangga.
Langkah Jibril yang lentur melayang-layang di antara batang pisang dan pokok mangga. Kendati dalam cerpen Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat,Jibril memperkenalkan diri sebagai malaikat pembagi-bagi wahyu bagi para nabi, ia tak lain ialah Allah sendiri. Ialah Allah yang ngejawantah. Jibril yang membuka kemampatan pikir anak-anak di sekolah dasar supaya mudah mengerjakan ujian. Jibril yang menurunkan hujan di lingkup sekolah demi keinginannya melihat anak-anak belajar di bukit yang rimbun. Jibril yang mengganti genting kelas yang pecah oleh kelakuannya sendiri, lalu buru-buru menyapu lantai yang kotor musabab kepingan-kepingan genting. Kepada anak-anak yang hendak menjaringnya, Jibril bertaruh: Jika jaring kukais, kalian pasti menangis (hlm. 19).Siapa lagi yang punya kuasa sedemikian rupa. Benarkan Jibril?
Selain dua cerpen itu, dalam cerpen Megatruh, pembaca mudah saja menebak bahwa zat asam ialah juga Allah yang ngejawantah. Di mula pertemuannya, tokoh aku, batang pisang, dan kadal yang cerewet lekas yakin bahwa mereka tak mungkin berpisah dengan zat asam yang tak lain dan tak bukan ialah nyawanya sendiri. “Banyak pelajaran bagus-bagus yang kami dapatkan dari zat asam itu. Tidak hanya pesan yang terucap lewat mulut tapi pikiran-pikiran kami dihantarkannya ke mana kami suka”. Yang begini ini kan jelas-jelas identik dengan Allah atawa Tuhan yang Esa.
Allah ialah juga tipografi-tipografi yang kuduga dibuat dengan iseng demi kegandrungannya pada daya ekplorasi, seperti nampak dalam cerpen keempat. Yang judulnya berupa notasi dengan beberapa kata “ngung” dan “cak”. Allah ialah juga SMPVTU dan komputer yang membuat penonton tari bali kesurupan dan tak sadarkan diri laiknya orang mati kala komputer dimatikan. Makna lainnya, bila komputer bukan Allah yang ngejawantah toh kini manusia sengaja mendudukkan komputer dan barang elektronik pintar lain sejajar dengan Allah atawa Tuhan yang Esa.

Gejala Sufisme
Adam Ma’rifat disebut-sebut sebagai salah satu karya agung Danarto, selain Godlob(Basabasi, 2017).Sudah lama Danarto dikenal sebagai sastrawan dan perupa yang karya-karyanya senantiasa menuju pada Zat yang Agung. Mahfud Ikhwan berani bertaruh bila ada pembicaraan tentang gejala sufisme dalam sastra di Indonesia, Adam Ma’rifat tak mungkin abstain dari penyebutan.
Aku juga mesti mengamini kata Mahfud, enam cerpen Danarto menantang kehati-hatian diri sebagai pembaca. Pembaca musti menyiapkan dirinya untuk mabuk, kesurupan, dan tak sadarkan diri entah sesudah merampungkan halaman pengakhiran entah belum. Aku barangkali agak mabuk setelah rampung menutup cerpen Bedoyo Robot Membelot dan membaca identitas diri penulis yang tak terlalu panjang.
Tepat sebelum menutup sampul belakang. Diri pembaca menemu cerpen yang tak kalah baik. Ia cukup pendek sahaja. Ialah identitas diri yang memuat doa khusyuk penulis. Penulis memohon Allah Azza wa Jalla berkenan menambahi umurnya sekitar sepuluh tahun lagi, kalau mungkin agak lebih, guna menikmati pemandangan indah di seluruh dunia yang belum sempat ia nikmati. Semoga Tuhan mengabulkan permohonannya itu (hlm. 112). Tsah! []

// Rizka Nur Laily Muallifa. Tertarik dengan isu apa saja. Mengaja kata di Diskusi Kecil Pawon, Kisi Kelir, dan Bentara Muda Solo.


Danarto: Si Masinis Mabuk, oleh Han Gagas


Dalam cerpen Godlob dan Rintrik, Danarto menjelontorkan gaya menulis yang edan, kata-kata berlarian seperti kereta dengan masinis yang sedang mabuk. Menggabungkan yang kuno dan modern seperti sawah dan piano, gagak dan kota, menajamkan bahasa, dan menebarkan kata yang serba maut dan lugas seperti setan, bangkai, buas, buta, dan mani namun di atas semua hal juga selalu ada kata malaikat dan Tuhan.
 Iya Danarto seperti yang diakui oleh Goenawan Mohamad adalah sastrawan yang memulai penulisan Realisme Magis di Indonesia. Apakah ia meniru gaya Gabriel Garcia Marquez, sang pelopor realisme magis dunia? Setahu saya keterpengaruhan gaya antar penulis adalah sah dalam rahim sastra kita. Aliran realism magis ini tampak paling kuat muncul di cerpen Danarto berjudul simbol cinta, dengan tokoh utama bernama Rintrik, di mana bayi-bayi yang dibuang bangkit dari kubur, bayi-bayi yang dimakamkan Rintrik ikut bernyanyi bergandengan tangan dalam alunan piano yang dimainkannya.
Kalau Kuntowijoyo dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan kita akan menemukan cerita lisan serupa yang bertebaran di tanah Jawa tentang pesugihan dengan jalan ritual mengambil kain kafan di hari weton tertentu dengan cara menggigit seperti anjing, di Rintrik dan Godlob magis terasa lebih keras. Umpama minuman keras, kadar alkohol magisme karya Danarto tertinggi diantara jajaran sastrawan senior Indonesia, termasuk Kuntowijoyo.
Ajaibnya magisnya Danarto masih membumi, masih realism, kita bisa mendengar cerita-cerita yang dia angkat walau terdengar sayup-sayup di masa lalu.
Keanehan Danarto adalah meletakkan piano di masa itu, masa yang terasa kuno dan di pedesaan, apakah ini masuk akal? Pengontrasan semacam ini, ajaibnya, diterima oleh publik sastra dan kritikus saat itu, ditandai dengan moncernya Danarto dan dari penghargaan-penghargaan yang ia peroleh. Benar ada idiom yang menyatakan sastra adalah anak jamannya.
Sekarang, di tengah tak jelas dan juntrungnya kritik sastra, bisa sangat mungkin akan melumat hal-hal macam begitu. Sastra sekarang yang seolah tak punya bapak, seperti bayi-bayi yang disayangi Rintrik, hidup sendiri-sendiri dan bikin legitimasi sendiri-sendiri. Fakta masa lalu dan fakta sekarang adalah semangat jaman yang memang begitu, tak ada yang benar dan tak ada yang salah.
Namun dibalik hal-ahal yang aneh, Danarto juga mencoba berfilsafat dengan dialog dalam cerita: “Rintrik yang buta, aku bertanya padamu, adakah Rintrik yang Tidak Buta?” dan bereksperimen tentang eksistensialisme macam Iwan Simatupang, seorang manusia yang eksis sendiri tanpa pengaruh Tuhan sekalipun. Hal tersebut diperlihatkan oleh tokoh pemuda terakhir yang menyerahkan bayi kepada Rintrik. “Biarlah orang lain mengakuiMu, aku tidak!”
“Sedang engkau di dalamNYa,” balas Rintrik. “Tidak! Aku tidak di dalamNya. Aku di luarNya. Akulah yang berdiri sendiri,” tukas si pemuda.
Tapi di Rintrik pula, Danarto seakan terpengaruh oleh waham Al halajj atau yang diwakili oleh Syekh Siti jenar di Jawa dengan paham aku adalah Tuhan. Inilah keanehan Danarto, ia sufikah, ia manunggaling kawula gustikah, bahkan juga diketahui penulis, bahwa ia juga pernah ikut aliran “keagamaan” Lia Eden yang kemudian akhirnya keluar. Danarto dalam realitas keagamaan tampak komplet, corak surealisme yang bercorak religinya juga indah terutama dalam penggambaran malaikat seperti cerpen Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat.
Dalam buku Godlob, cerpen Sandiwara di Atas Sandiwara agak lepas dari aliran sebelumnya. Ini lebih ke eksperimentasi tema, dan penjungkirbalikkan logika. Teater berubah porak poranda karena penonton yang menentukan lakon. Rutras sang pemimpin jenuh dengan lakon-lakon yang diperankan, karena baginya lakon di panggung itu telah merusak kemurnian kepribadiannya. Akhirnya panggung terbakar, dan menimbulkan banyak kejadian tragis dan meminta korban, termasuk Rutras sendiri. Danarto tampaknya kadang bosan dengan tema yang selama ini lekat dengannya: surealisme, hal yang sangat manusiawi karena menulis sesungguhnya –kecenderungannya- adalah tindakan mana suka saja. Pada cerpen Nostalgia yang menceritakan soal Abimanyu dan lakon Pandawa-Kurawa, Danarto juga melepaskan sahwat magis surealismenya. 
Surealisme katakanlah begitu tampak diwakili oleh cerpen Kecubung Pengasihan di mana tokoh bisa berbicara dengan tanaman. Atau apakah ini sesungguhnya juga nyata, realism, seperti Nabi Sulaiman yang bisa berbicara dengan binatang. Danarto menyelipkan tokoh perempuan bunting yang suka bercerita kepada mereka para tanaman bunga, cerita kesyahduan kepada Tuhan, menyentil reinkarnasi, sekaligus meledek kelakuan orang-orang. Ia menganggap orang yang menuduhnya gila karena bercakap-cakap dengan bunga adalah yang gila sesungguhnya karena suka merugikan orang lain. Cerita ini berkelok-kelok, bahkan sampai terjadi peperangan antar bunga –kelokan yang aneh- karena pertentangan pendapat tentang kematian. Peperangan yang aneh ini sangat tragis karena pihak yang mengerubuti ternyata hanya hendak bunuh diri. Mereka melepaskan semua senjata saat senjata musuh terayun. Semua tewas, dan kemenangan terasa jadi nista.
Peperangan atau pembunuhan juga terdapat dalam cerpen Armageddon, atas hasutan atau kesaksian Bekakrak-an –hantu kepala dengan jeroan tanpa tulang dan daging- seorang ibu melenyapkan anak gadisnya karena telah serong dengan pacarnya. Cerpen yang terbilang sadis dalam penggambaran pembunuhannya dimana ayunan kapak menebas tubuh dan kepala anak sendiri, dan kemudian diteruskan dengan pemenggalan kepala.
Danarto telah tutup usia, namun Godlob, Rintrik, dan Bekakrak-an masih bergentayangan di ribuan benak para pembacanya. []

//  Han Gagas, sudah menulis beberapa buku: Tembang Tolak Bala (LKIS), Ritual, Catatan Orang Gila (Gramedia) dan yang terbaru: Orang-orang Gila (Mojok)

Membaca Buku Gerak-Gerik Allah: Sejumput Hikmah Spiritual, oleh Bunga Hening Maulidina


DOA
Danarto. Nama akrab di telinga saya, karena Bapak pernah menyebut-nyebutnya. Saya ingat Bapak menunjukkan sampul buku Godlob (berwarna putih dengan gambar raksasa). Diterbitkan Rombongan “Dongeng Dari Dirah” (1974). Sampai kini saya belum membaca seluruhnya Godlob.
Danarto. Di rubric Potret, SuaraMerdeka, hari Minggu 27 November 1994. Di situ ada keterangan, setelah sempat menetap di Majalah Zaman (1975-1984) dan mengajar di IKJ (1973-1984) sebagai dosen menggambar, kegiatannya menulis lepas. Lalu membantu lepas di kolom Refleksi dan Hikmah ketika Republika berdiri. Namun juga banyak mengirim naskah ke perbagai majalah maupun harian.
Beserta pula Kompas, Sabtu 27 Juli 2002 “CeritaRupa dan Mistik Danarto”. Kisah yang tidak lengkap. Bertahun-tahun setelah mengetahui nama Danarto saja—akhirnya kini saya (jadi) membaca tentang Danarto lewat tulisan-tulisan tersebut. Beserta kemudian buku Gerak-Gerik Allah: Sejumput Hikmah Spiritual, cetakan kedua (1999) diterbitkan Penerbit Risalah Gusti, Surabaya.
Buku ini kumpulan tulisan Danarto pada rubric Hikmah, Republika.
“Mulai pertengahan 1993 dia menulis rubrik “Hikmah” di surat kabar baru ibukota, Republika. Rubrik ini bertempat di halaman depan, muncul setiap hari, dan kolumnisnya berganti-ganti. Sastrawan Danarto sering menulis di ruangan itu, di samping rubric tetapnya di Republika edisi hari Ahad berjudul “Refleksi”.
Tulisan Danarto ini pendek-pendek, antara 35-50 baris saja, selalu dimulai dengan beberapa kalimat dipetik dari masa satu setengah millennium silam, yaitu sekelumit hadis Rasulullah saw. Dengan demikian maka Danarto mengukuhkan makna langgengnya contoh perilaku kehidupan junjungan kita itu di masa lalu, sebagai pedoman akhlaq yang luhur untuk kemanusiaan, bagi zaman ini.
Setiap tulisannya, seperti air kolam di lereng gunung, Nampak biru bening dan bila dimisalkan nyanyian, maka kita menyimak nada yang tenang. Ibarat baju, maka kain bahannya belacu, dengan potongan dan jahitan bersahaja. Susah menunggu waktu bila kolom Danarto jadi keruh dan entah kapan kita mendengar nada suaranya meninggi. Ibarat seorang disainer, kain bahannya sederhana dan dia tidak menyodorkan mode pakaian yang aneh-aneh” (PengantarTaufiq Ismail, 6 Oktober 1996, dalamGerak-Gerik Allah: SejumputHikmah Spiritual, 1999: xi).
Ibarat baju, maka kain bahannya belacu, dengan potongan dan jahitan bersahaja. Begitulah kata Taufiq Ismail.
Danarto. Suatu malam saya melihat kabar di beranda media sosial, tentang kepulangannya. Esoknya Bapak takziah. Buku-buku masih bias dibaca. Tulisan masih bias dibaca. Untuk mendapatkan pelajaran-pelajaran.
Kini Danarto sudah berpulang. Jangan meratap, seperti teladan Kanjeng Nabi. Monggo berdoa seperti ketika Kanjeng Nabi berdoa untuk Abu Salamah; Ya Allah! Ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dalam kelompok orang-orang yang mendapat petunjuk, berilah penggantinya setelah kepergiannya menyusul orang-orang yang telah berlalu ampunilah kami dan dia wahai Tuhan semesta alam, berikan dia kelapangan di dalam kuburnya, dan terangilah dia di dalam kuburnya. Amin. []

// Bunga Hening Maulidina, menulis puisi dan cerpen. Aktif di Diskusi Kecil Pawon