Narasi Gerak Sehari-hari, wawancara Suprapto Suryodarmo, oleh Rizka Nur Laily Muallifa

layout Aji Ramadhan

Malam agak matang ketika Pawon menemui begawan gerak Suprapto Suryodarmo (selanjutnya disebut Mbah Prapto). Kawasan seni Rumah Banjarsari sedang tak terlalu riuh. Kami berbincang di salah satu bagian: beberapa kursi kayu tertata melingkar dengan sebuah meja bundar. Di pusat meja itu terdapat lubang tempat penyangga payung. Payung menaungi kepala-kepala penuh tanya.
Paham tak punya basis ihwal tari yang mumpuni, dus laju gerak terbitan Pawon yang memang lebih kepada sastra. Dengan Mbah Prapto, Pawon beritikad berbicara pada perkara seni budaya dengan tari dan sastra di dalamnya. Ponsel disiapkan guna merekam wawancara, sebab generasi kami telanjur manja untuk sekadar mencatat ucapan yang berbuih pada bilah kertas. Mbah Prapto memaklumi.
Pawon ingin tahu apakah ada hubungan antara sastra dengan tari, maka pertanyaan itu didaulat sebagai pembuka obrolan. Mbah Prapto membawa beberapa contoh tari seperti Tari Centhini, Tari Ramayana, Tari Mahabarata. Ketiga tari itu digarap dari karya sastra. Banyak penari yang menggarap karya-karya sastra semacam ketiga tari tersebut. Kemudian ada hubungan atau tidak, menurut Mbah Prapto butuh adanya pengertian terlebih dahulu. Apakah tubuh itu sebagai sastra atau tidak. Beliau menukil cerita jawa ihwal Murwakala, Ruwatan: ada Bathara Kala. Aksaranya Bathara Kala itu dibaca, artinya membaca Tubuh Waktu. Ada aksara bathuk, aksara ilat, aksara tenggorokan, aksara dada, dan sebagainya.
Berpijak dari situ, Mbah Prapto membaca keberadaan gerak. Mata pandangnya beredar, berpendar, membaca kami satu per satu. Beliau melanjutkan, “…paling tidak, saya harus bisa membaca keberadaan kamu, kamu, sebagai sesuatu yang selalu bicara. Kamu bicara, meskipun tidak omong. Hanya, umumnya kita tidak sadar kalau sedang bicara. Gerak tangan, cara duduk, cara berpindah: membaca yang tersurat dan tersirat. Pandangan matamu coba saya maknai. Keberadaanmu ialah keberadaan yang bicara”.
Sastra, memindai pernyataan Mbah Prapto, barangkali lebih tinggi dari sesuatu yang bicara. Kita lantas ingat punya sederet kriteria untuk mendaulat sesuatu laik disebut sebagai sastra. Sementara membincangkan tari tidak harus memakai konsep tari yang naratif. Ada tari ritual, tari yang berdasar tembang, berdasar mantra, bentuk sujud/manembah. Atau bahkan sesuatu yang sifatnya ekspresi.
Apakah kemudian tari bisa masuk ke ranah sastra? Jika iya, apa sebutannya? Sastra tari? Kami saling melempar tawa. Ada idiom lucu yang kami tangkap, meski tak saling gamblang memberi penjelasan satu kepada lainnya. Mbah Prapto laiknya kakek bagi kami, memberi penjelasan dangan tutur khas dongeng yang menyenangkan. Gurat-gurat sepuh di wajahnya menjadi saksi perjalanan menapaki hidup yang baru kami cicipi pinggirnya.
“Tari mempunyai bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa dalam kata-kata yang biasa kamu anggap sastra. Tari yang mencoba menerjemahkan kata-kata biasanya justru lemah. Kalau masih bisa diterjemahkan dengan kata-kata, oh ini menangis, sedih. Itu pantomim. Lebih jauh, bagaimana ada satu perasaan yang diekspresikan lewat keberadaan tubuh gerak si penari. Saya tidak memakai pendekatan tari dengan medium gerak. Tari ialah keberadaan dari sebuah gerak”. Penjelasannya cukup panjang dan obrolan masih menyenangkan.

Kerja Seniman
Kita kemudian mengenal ada idiom “seni untuk seni” yang mirip dengan “sastra untuk sastra”. Bagaimana seni dan juga sastra membaiat dirinya pada seni dan sastra itu sendiri, bukan pada hal ihwal di luar dirinya. Mbah Prapto tidak demikian. Kendati demikian, beliau menghormati para seniman atau sastrawan yang berpegang pada idiom tersebut.
Kerja seniman baginya ialah keharusan meletakkan diri dalam cara-cara yang bisa dipahami. Meski bentuk atau caranya ialah baru. Beliau mewanti-wanti kami supaya tak gegabah meletakkan diri seniman sebagai sosok yang tidak bisa dipahami. Kerja seniman seturut yang beliau yakini ialah mencari bentuk atau ungkapan yang sejauh mungkin bisa dipahami orang lain. Meski untuk mencari bentuk baru itu sulit cum butuh latihan terus-menerus.
“Saya harus bisa menembus (yang mungkin tak terpahami) untuk bisa dipahami manusia, alam, dan Tuhan. Meskipun dengan bahasa lain. Kamu sembahyang itu untuk dimaknai juga kan? Untuk komunikasi dengan manusia lain, malaikat, Tuhan, juga alam. Tuhan kan seru sekalian alam. Saya kliru tidak?”.

Kesatuan Manusia, Alam, dan Tuhan
Disinggung perkara Srawung Seni Candi, airmuka Mbah Prapto tambah antusias. Pawon meminta beliau bercerita apa saja menyoal Srawung Seni Candi yang beliau inisiasi. “Saya melihat candi sebagai sumber pusaka, pustaka pujangga. Candi sebagai sebuah karya di mana di situ juga ada ajaran-ajaran: bukan soal manembah agama saja. Ada pelajaran soal arsitektur, kesenian, dan sebagainya. Pustaka artinya ya referensi lah. Candi tidak hanya dilihat sebagai tempat manembah. Saya senang karena candi mengingatkan saya pada keberadaan konsep manusia, alam, dan Tuhan. Semakin ke sini lahan ungkap kehidupan kita hanya manusia dengan manusia atau manusia dengan Tuhan. Mungkin alam tidak begitu dilibatkan. Festival-festival kesenian di kota, daya ungkapnya pada umumnya hanya manusia dengan Tuhan. Dulu ada konsep segara gunung”.
Sejujurnya kami agak bingung. Lalu perlu meminta Mbah Prapto untuk memberi penjelasan tambahan. Alih-alih jengkel, Mbah Prapto dengan penuh mafhum memberi penjelasan lebih gamblang menyoal konsep manusia, alam, dan Tuhan yang beliau sebut-sebut sebelumnya. Lanjutnya, “ada konsep mawa desa, mawa cara. Berbeda desa berbeda cara, umpamanya begitu. Bahwa alam dan manusia itu diciptakan Tuhan. Di Minangkabau ada istilah “alam takambang jadi guru”. Terkait tari, ada tari tradisi. Sekar Suwun, Wedi Kencer, dan lainnya. Alam juga harus dihargai. Kita harus respek karena itu sama-sama ciptaan Tuhan. Dulu, sebelum ada menara masjid, menara gereja, adanya ya pohon. Pohon sebagai antena, penghubung. Tapi bukan disembah, karena itu bisa musyrik. Selain pohon, penghubung ke Tuhan juga bisa melalui batu, patung, atau apalah. Semakin lama semakin hilang. Bukan hanya pohon di hutan yang habis, tapi binatang juga. Sayang sebenarnya. Ini semua terjadi karena salah tafsir”.
Melengkapi penjelasan tersebut, Mbah Prapto bercerita bahwa di tahun 1986 ada pertemuan yang diinisiasi World Wide Fun for Nature (WWF) bekerjasama dengan komunitas gereja aliran Sir Fransiscus di Italia. Pertemuan itu merupakan pertemuan agama-agama: Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan masih banyak lainnya. Semua agama yang menjadi peserta menyuarakan doa untuk alam. “Dalam islam misalnya ada istiqosah untuk mendatangkan hujan, panen, tumbuhnya pohon, dan lainnya. Saya dulu punya teman anak UNS (Universitas Sebelas Maret) yang setiap malam mendoakan bunganya. Berdoa untuk alam. Bukan menyembah alam”.

Tuk Kehidupan
               Mbah Prapto dalam kaitannya dengan proses keseniannya tidak berangkat dari bentuk tari yang sudah ada. Beliau berangkat dari bentuk gerak kehidupan sehari-hari berikut perubahannya. Mengumpamakan seseorang yang sedang duduk, beliau sadar orang tersebut memiliki bentuk. Berangkat dari bentuk gerak kehidupan sehari-hari, beliau bebas membuat bentuk gerak yang cocok dengan dirinya pada saat dan dalam konteks itu.
Sosoknya tak bisa dilepaskan dari keberadaan Tari Amerta. Amerta, menurut beliau berarti berada dalam tuk/sumber kehidupan di dalam diri kita. “Kamu hidup sampai sekarang kan ada sumber kehidupannya. Kamu katakan itu Allah. Bagaimana kamu merasakan Allah itu sebagai sumber kehidupan di dalam keberadaanmu sekarang?”.
“…Amerta itu dari Bahasa Sansekerta, artinya hidup, esensi kehidupan. Bagaimana mengaitkan Allah di sini (menunjuk dada) dan sini (menunjuk pikiran). Harus berkesinambungan, tidak bisa dipisahkan. Seperti bunga yang mekar. Bagian dalam dan luarnya menjadi satu”.
Beliau membeber kenangan sambil menghembuskan asap rokok ke udara. Cara merokoknya khas. Menurutnya, dulu manusia menghargai pohon atau tanaman dengan mendalam sekali. Ada istilah pohon kehidupan. Lalu ditemukan obat-obat seperti pereda sakit perut, kekurangan vitamin, yang lantas kita kenal dengan sebutan herbal. Itulah hasil pengamatan manusia terhadap alam. Kesadaran mengenai pentingnya mengimani konsep keterhubungan dan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan membawa beliau ajeg berlatih tari di candi-candi: Candi Sukuh, Plaosan, Ratu Boko, Borobudur. Juga ke pantai, misalnya ke Parangtritis. Termasuk ke Wonogiri, di perbatasan Wuryantoro. “Intinya ke alam,” tandasnya. Tsah!

Catatan: Dimuat di Terbitan Komunitas Sastra Pawon edisi Juli 2018




Share:

0 komentar