Romantisme Sate Kere - Kolom Akhir Impian Nopitasari

Sebuah
pesan pendek masuk ke telepon selulerku. Pesan yang dikirimkan secara manual, bukan melalui layanan aplikasi pesan instan. Nama yang tidak asing tapi menimbulkan keterasingan yang lain: mengapa sampai ada pesan seperti ini? Bu Sih, penjual sate kere paling enak dekat rumah indekos bertanya apa aku berminat membeli sate kerenya, Pak No, suaminya, siap mengantar.

Sate kere, sebutan untuk menyebut sate dari tempe, tempe gembus dan jerohan yang dibumbu sate khas Solo. Disebut kere karena dulunya adalah sate modifikasi dari kaum melarat atau kere yang ingin makan sate. Kepepet memang sering membuat kreatif. Sate tidak harus dari daging, yang penting rasanya sudah seperti sate. Gembus berbumbu sate sudah bisa membuat orang merasa kaya barang sejenak.

Zaman yang serba kekinian dengan segala tuntutan unggahan aktivitas di media sosial turut membuat sate kere naik derajat. Sate kere makanan yang mengingatkan pada Solo tidak lagi menjadi makanan kaum kere tapi sate yang bahkan bisa membuat kaum menengah menjadi kere karena harganya yang mahal. Anak-anak kos mempunyai rumus jangan membeli sate kere dari tempat wisata yang hits. Sate kere Pak No dan Bu Sih adalah andalan kami. Harga yang benar-benar cocok dengan kesan kere anak kos dan penjualnya yang ramah membuat gerobak sate itu tidak pernah sepi dari pelanggan. Dari keluarga, rombongan teman, sampai pasangan kekasih rela mengantre untuk merasakan kelezatan racikan sate kere Pak No dan Bu Sih.

Tidak ada ceritanya Pak No dan Bu Sih sampai menawarkan sate kere-nya. Tidak ada ceritanya Pak No mengantar sate kere ke pelanggan karena biasanya bisa dipastikan habis sebelum tengah malam. Tidak ada ceritanya seperti itu sebelum pageblug menghantam dunia, sampai pada dunia kecil Pak No dan Bu Sih. Mahasiswa yang belum kembali ke kampus, larangan makan di tempat, membuat para penjual kecil harus memutar otak agar mereka tetap bisa bertahan hidup.

Aku membalas pesan Bu Sih, memesan beberapa porsi untuk diantar ke tempat teman-temanku yang tidak jauh dari tempatnya berjualan. Pageblug juga memaksaku untuk mengurung diri, jauh dari gerobak sate kere Pak No dan Bu Sih. Tiga tusuk sate tempe dan gembus, satu lontong, guyuran sambal ditaburi irisan cabe rawit dan bawang merah, segelas teh oplosan yang masih hangat. Ah, romantisme yang sangat kurindukan. []

Dan percayalah, dengan perubahan peranti, sastra tidak lenyap - Wawancara Kurnia Effendi

 


Kurnia Effendi seperti tak pernah kehilangan ide dan inspirasi menulis. Pria kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960 ini sudah menggeluti sastra dengan menulis cerpen dan puisi untuk publik sejak 1978. Hingga kini, Mas Kef, demikian ia akrab disapa, tetap produktif berkarya. Ia telah menerbitkan 25 buku beraneka genre berupa puisi, cerpen, esai, novel, dan memoar. Novel terbarunya berjudul Pangeran dari Timur (Bentang Pustaka, Februari 2020), ia tulis bersama Iksaka Banu.

Kurnia Effendi menulis fiksi pop dan fiksi sastra. Ia memilih menulis dalam berbagai genre dan membidik segmen pembaca yang beragam. Ada kompromi saat berkarya dengan mempertimbangkan selera pasar, selera pembaca, atau selera redaktur. Kompromi itu justru baginya peluang untuk bereksperimen dan bereksplorasi.

Pembaca sastra akhir-akhir ini tergoda dengan karya di platform digital dan media online. Menurut Mas Kef, pergeseran media penerbitan dari fisik ke digital merupakan keniscayaan, “Dan percayalah, dengan perubahan peranti, sastra tidak lenyap. Hanya berganti medium, berganti cara menikmati,” tegasnya. Berikut ini hasil lengkap wawancara Pawon dengan Kurnia Effendi lewat surel pada awal Oktober 2020.

 

Sebagai penulis mumpuni, bagaimana pendapat Mas Kef tentang karya yang mengikuti selera pasar, selera pembaca, atau selera redaktur? Mana yang lebih penting?

Hahaha … jangan menyebut penulis mumpuni lah. Saya penulis yang teberkati. Maksud saya mendapatkan kurnia.

Mengikuti ketiga selera itu sama pentingnya. Saya melakukan itu semua sesuai kondisi dan kepentingan. Saat mau menerbitkan buku, ada kompromi dengan pihak penerbit, misalnya soal menghindari SARA, bagaimana sebaiknya tampilan kover (supaya memikat dan laris), nah ini kan selera pasar. Selera pembaca akan saya tempuh kalau memang ada segmen yang saya sasar. Saat menulis untuk remaja yang islami, kumpulan cerpen pun saya bikin aman dari urusan yang mengandung dosa. Selera redaktur tetap saya imbangi dengan idealisme pribadi. Misalnya mengirim cerpen untuk Kompas, Tempo, Femina, dan Horison, saya melakukan pendekatan kreatif yang berbeda. Malah bagi saya, itu merupakan peluang untuk bereksperimen dan bereksplorasi.

 

Seberapa penting idealisme? Apakah penulis harus mempertahankan sikap idealis dalam berkarya?

Bagi seorang seniman, apa pun bidangnya (rupa, musik, film, tari, sastra, teater, dll), idealisme itu roh dalam berkarya. Dulu, saat saya masih aktif menulis di Anita Cemerlang dan Gadis, itu jalan untuk mencari uang. Uangnya untuk “belajar” sastra. Membeli buku dan mengikuti berbagai diskusi, saat masih di Semarang dan lanjut ke Bandung.

Sejak di Semarang saya sudah mulai menulis puisi serius di Suara Merdeka, lalu saat di Bandung ikut “pertemuan kecil” Pak Saini KM, mulai menulis di Pikiran Rakyat, dan seterusnya. Idealisme saya ya di jalur sastra itu, tetapi tidak menafikan pentingnya menulis karya pop. Namanya juga pop, populer, jadi … haha yang bikin saya tenar ya cerpen-cerpen yang disukai para gadis. Fans saya dulu lumayan banyak lho.

 

Mas Kef menulis sastra dalam berbagai genre dan tema dengan membidik segmen pembaca yang beragam. Bagaimana “siasat” Anda saat menulis?

Menyambung pertanyaan sebelumnya, tak ada siasat apa pun selain menulis seiring sejalan. Tentu pergaulan saya berubah. Fans unyu-unyu – ini istilah sekarang ya – kan lewat surat. Sementara itu saya rajin menemui kawan-kawan atau senior yang memang sudah memasuki dunia sastra secara serius. Kalau Pak Budi Darma pernah mengatakan tak ada yang disebut sastra madya, mungkin benar. Saya tidak menulis sastra madya, tetapi saya menulis fiksi pop dan fiksi sastra, bukan di tengah-tengah. Untungnya teman-teman yang di jalur sastra ini tidak “menolak” kehadiran saya di tengah-tengah mereka. Itu kan soal membawa diri, saya yang sedang cari ilmu ya tak berani songong atau sedikit-sedikit pongah.

 

Novel Pangeran dari Timur yang Anda tulis berkolaborasi dengan Mas Iksaka Banu membutuhkan proses hingga 20 tahun. Upaya terbesar apa sehingga novel tersebut terbit?

Terutama karena malu sama teman-teman dan calon penerbit. Sejak 2005 sudah dilamar Bentang Pustaka. Kami pikir akan selesai 2008, ternyata meleset. Referensi yang semakin lengkap, narasumber yang memang ahli Raden Saleh, yakni Werner Kraus, dan pada tahun 2017 saya mendapatkan kesempatan mengikuti program residensi dari Kemendibud ke Belanda … masa iya tidak selesai? Sungguh terlalu. Sejak itu kami ngebut, maksudnya intensif menulis. Untuk menjalin dua plot besar itu juga membutuhkan waktu lama. Jadi, saat manuskrip selesai sekitar Oktober 2019, masih ada proses editing yang lama karena memang ratusan halaman. Kalau dibuat dengan ukuran buku normal plus font huruf normal 12, pasti akan lebih dari 800 halaman.

 

Novel sejarah sempat populer beberapa tahun lalu, apakah tulisan bertema sejarah masih memiliki pembaca setia?

Saya kira masih. Penulisnya juga masih banyak yang berminat pada sejarah. Misalnya yang menang di sayembara novel DKJ tahun lalu ada Sang Keris, lalu terbit novel tentang Diponegoro, dan beberapa sejarah lagi dari ranah Nusantara yang berbeda. Saya kira bukan hanya soal sejarahnya, tetapi ada sesuatu yang lain, misalnya nuansa politik, kearifan lokal, dan yang paling klasik adalah kisah cinta dalam balutan sejarah.

 

Mengapa Mas Kef memutuskan menulis novel kolaborasi dengan Iksaka Banu? Adakah hambatannya?

Soal awalnya bagaimana, ini sudah berulang-ulang kami sampaikan dalam berbagai kesempatan diskusi daring plus ketika 2 kali peluncuran (7 dan 14 Maret 2020) sebelum stay at home karena pandemic. Awalnya mau ikut lomba skenario. Dekat-dekat waktu itu ada bursa buku di Utan Kayu, di sana kami mendapati buku tentang Raden Saleh yang cukup riil dan lengkap. Iksaka Banu lalu mengajak saya menggarap skenario tentang RS, tapi waktunya tak terkejar. Akhirnya diteruskan tanpa target. Kami lalu membuat persiapan macam-macam. Outline dengan dua plot berlatar waktu berbeda, tujuannya buat berdebat tentang Raden Saleh. Menciptakan tokoh-tokoh fiksi, membuat linimasa agar tidak terjadi anakronisme.

Kami berdua yang merupakan alumni satu almamater, Seni Rupa ITB, waktu itu beranggapan: belum ada biografi lengkap tentang Raden Saleh. Setelah menemukan fakta sejarah yang menarik, kami bermaksud memanusiakan Raden Saleh.

Hambatannya banyak juga, terutama soal waktu, karena saya saat itu masih bekerja sebagai karyawan Suzuki. Jadi, menulisnya memang putus-sambung, tidak istiqomah haha.

 

Bagaimana masa depan sastra cetak seiring menjamurnya platform digital seperti Strorial dan Kwikku? Di sisi lain beberapa koran menghilangkan rubrik sastra, bahkan ada yang berhenti terbit.

Saya pribadi tidak ingin menolak teknologi, karena percuma, pasti akan tergilas juga. Koleksi ratusan kaset lagu sekarang mau disetel di mana? Itu contohnya. Jadi jalan seiring saja, sambil mempelajari peranti digital melalui anak-anak agar tidak gaptek. Semua ada zamannya. Cari duit juga akan mengikuti zaman. Dan percayalah, dengan perubahan peranti, sastra tidak lenyap. Hanya berganti medium, berganti cara menikmati. Bahkan kini anak-anak muda tidak hanya ketemu karya Chairil Anwar dan Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi langsung Gabriel Garcia Marquez, Haruki Murakami, Orhan Pamuk .... Tidak ada yang salah, kan? Mereka berkarya melalui media platform itu, malah dampaknya segera mendunia, karena yang membaca bukan hanya di Indonesia, melainkan di Los Angeles atau Korea Selatan.

Kalau koran menghilangkan rubrik sastra, saya anggap itu jalan paling realistis. Kini sedang susah cari uang kok malah membayar karya yang “hanya” dibaca oleh teman-teman si penulis. Bisa dimaklumi, tak dapat dipaksakan.

 

Mas Kef bisa menceritakan tentang majalah Majas? Bagaimana Majas terbentuk dan keterlibatan Mas Kef?

Majas diinisiasi oleh Valent Mustamin. Lalu kakaknya, Ana Mustamin, mengajak kami sesama alumni Anita Cemerlang (saya, Kurniawan Junaedhie, dan Agnes Majestika), merumuskan majalah sastra yang berbeda. Muncul unsur gaya hidup untuk mendorong sastra menjadi lebih inklusif. Final keputusan kami adalah majalah fisik dengan 100 halaman bewarna, bahan artpaper. Majalah yang dirancang berbasis pelanggan ini terbit triwulanan, berisi cerpen, puisi, esai, wawancara tokoh sastra dan nonsastra yang menggemari literasi. Ada pustaka, bahasa, lanskap, kiprah. Setiap terbit mengusung isu tertentu dengan liputan khusus. Ini bukan majalah berita sehingga bisa dibaca kapan saja. Untuk menghindari selera yang ajek, kami menunjuk kurator berbeda setiap edisi. Selain menjadi objektif, menolak perkubuan, juga tidak bisa ditebak selera kurasinya oleh pengirim naskah. Melalui Majas ini kami ingin menghargai sastrawan dengan honor yang baik, dengan tampilan majalah yang keren, dengan ilustrasi pelukis terkenal yang juga setiap nomor berganti.

Karena kami kerjakan sendiri, kami berbagi tugas. Ana memimpin bisnis dan marketing, Agnes Majestika bagian keuangan, saya bertanggung jawab terhadap konten, dan Mas KJ yang mengurus cetak dan penerbitannya. Kami juga ikut menulis untuk wawancara, isu, dan liputan tertentu.

 

Bagaimana Mas Kef mengatur waktu menulis di tengah kesibukan bekerja di perusahaan otomotif dengan jabatan yang cukup mentereng? Mengapa memutuskan tetap menulis?

Sejak tahun 2015 saya pensiun, ya seharusnya sih tidak lagi sesibuk saat bekerja formal. Dulu saya menyiasati dengan cara disiplin pribadi. Menulis tiap pagi setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Saya punya kesempatan satu jam sebelum kantor dimulai. Pulang kantor setelah mandi, makan, dan ngobrol, masih punya satu jam sebelum mengaso.

Jabatan saya tidak mentereng. Kebetulan saja saya di bagian pengembangan outlet nasional, sehingga memiliki banyak kesempatan keliling Indonesia. Mulai dari survei sampai peresmian showroom mobil Suzuki, saya mengikuti prosesnya. Dari Aceh sampai Papua, saya banyak mendapatkan inspirasi. Meskipun tidak secara khusus melakukan riset, tetapi setidaknya dapat menggambarkan situasi dan karakter tiap daerah karena pernah secara indrawi merasakan.

Rupanya menulis itu kegiatan yang tak dapat saya hentikan. Bagi saya sudah jadi kebutuhan harian. Mungkin itu yang membuat saya cukup rileks karena memperolah katarsis dan pelepasan yang tanpa disadari menjadi “obat” dalam menghadapi hidup yang sesungguhnya berat ini. Syukur kini pengalaman menulis itu dapat dibagikan pada komunitas-komunitas, tentu secara daring sejak Maret 2020.

 

Mas Kef beberapa kali berkunjung ke Solo dan berkawan dengan penulis Solo. Bagaimana Anda melihat geliat perkembangan sastra di Solo?

Sebetulnya sudah lama juga tidak ke Solo. Terakhir tahun 2016, terkait dengan kegiatan batik. Tahun 2019 ke Klaten, tetapi tidak mampir ke Solo. Awal tahun 2020 ke Yogya karena ada acara di Tembi, juga tidak mampir ke Solo.

 

Koleksi Pawon Milik Mas Kurnia Effendi

 

Hal yang menggembirakan saat ini adalah karena berlangsung regenerasi. Para senior tidak melepaskan begitu saja kawan-kawan muda yang sedang tumbuh. Saya kira iklim seperti itu akan sehat sepanjang tidak terjadi perselisihan antarkubu. Di Solo ada Bandung Mawardi yang tak berhenti merawat literasi. Ada Yuditeha dan Wahyu Indro Sasongko yang memberi ruang kecil untuk tampilnya karya-karya para penyair dan cerpenis di media online. Kegiatan Indah Darmastuti melalui sastra suara di radio kian me-Nusantara. Tentu salut sama Sastra Pawon yang walau sempat kendor kini mampu bangkit dan bertahan menggumuli sastra. Seno Gumira bilang, sastra ini dunia yang sunyi tetapi masih ada orang-orang yang ingin menjadi penghuninya. Ini kan unik.

Saya masih menyimpan buletin sastra Pawon dua tahun yang lalu lho. [Miftahul Abrori]

 

 

Agus Sunyoto dan (Trilogi) Pu Gajah Mada - Kisah Buku M.A. Mas’ud

Beberapa hari lalu, status WhatsApp teman membagikan sampul buku ketiga dari trilogi Pu Gajah Mada garapan Agus Sunyoto. Tentu, nama penulis Atlas Wali Songo itu tidak asing bagi kita. Saya telah menunggu buku ketiga terbit sejak November tahun lalu berdasar kabar rencana terbit akhir tahun. Entah, sebab pandemi atau lainnya, sampai menginjak Oktober ini, belum juga terbit. Saya melihat Agus Sunyoto sebagai penulis yang kerap melawan arus umum sejarah atau pernyataan yang menyimpang.

Kita mengingat Atlas Wali Songo (2017, cet vii) sebagai pernyataan keras atas buku-buku yang membahas Wali Songo adalah cerita fiktif belaka. Kita mengingat sampul berwarna hijau dengan sub judul “Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”. Kita simak prakata penulis: “… penulis menilai bahwa penerbitan Ensiklopedia Islam oleh penerbit Ikhtiar Baru Van Hoeve dan penerbit buku-buku picisan adalah bagian dari strategi golongan minoritas untuk meraih kemenangan. Sebab, lewat buku-buku tersebut, tidak saja keberadaan Wali Songo akan dihapus dari sejarah penyebaran Islam di Nusantara, melainkan juga lewat penghujatan dan penistaan terhadap ajaran yang ditinggalkan Wali Songo…”

Di tahun 2017 pula, terbit buku besar dan berat dengan judul Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10 November 1945. Buku berkisah tentang perjalanan panjang perlawanan golongan kiai dan santri semenjak Perang Jawa. Sisa pengikut Pangeran Diponegoro menyebar di pelbagai wilayah dan mendirikan pesantren digenapi pohon sawo sebagai tetenger berdasar pada ayat sawuu sufufakum (merapatkan shaf). Diceritakan, Pertempuran Surabaya bukanlah peristiwa yang begitu saja terjadi. Kita simak sambutan penulis: “… telah mengungkapkan suatu fakta sejarah yang tidak pernah diakui sebelumnya; bahwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945 bukanlah peristiwa sekonyong-konyong terjadi sebagai reaksi spontan arek-arek Surabaya terhadap kedatangan pasukan Sekutu…”

Konon, salah satu pertimbangan pemilihan Surabaya sebagai medan tempur adalah faktor sosio-kultur masyarakat Surabaya yang memuja keberanian dan adanya tradisi tawuran. Kita sulit meremehkan buku yang bergelimang data. Penulis mengaku mengumpulkan data semenjak 1984 ketika menjadi wartawan Jawa Pos.

Agus Sunyoto sepertinya tertarik menyibak kabut-kabut misteri sejarah. Sebelumnya, ia menulis novel tokoh kontroversial di masa Wali Songo yakni Siti Jenar. Tidak tanggung-tanggung, 7 jilid dihidangkan pada pembaca dengan judul Suluk Syekh Abdul Jalil. Kini, tokoh misterius lain ingin diungkap bernama Gajah Mada. Kisah tentang tokoh bernama Mada yang terbit sebagai novel dengan judul Pu Gajah Mada (Pustaka Pesantren Nusantara, 2019) adalah kisah-kisah yang rutin terbit bersambung di harian Radar Kediri (Jawa Pos Group) pada tahun 2016-2019. Dijelaskan pula bahwa cerita Gajah Mada yang terbit setiap hari diminati pembaca seusia SMP dan SMA sederajat.

   Kendati sebuah novel, Pu Gajah Mada digenapi 690 glosarium dan 128 daftar kepustakaan. Kita patut gembira disuguhi novel sejarah dengan data berlimpah. Sebab, kita telah disuguhi pula buku “racun” yang mengisahkan Gajah Mada sebagai seorang muslim bernama Gajah Ahmada atau Gaj Ahmada yang andil memperjuangkan khilafah di tubuh (kasultanan) Majapahit. Kita percaya integritas seorang Agus Sunyoto, ketua PB Lesbumi NU. Dengan jujur dikisahkan bahwa belum jelas “agama” yang dianut Gajah Mada karena saat berbicara Hindu, Buddha, maupun Kapitayan, tokoh Mada seolah menguasai laiknya pemeluk keyakinan tersebut.

Dengan memahami karakter buku-buku Agus Sunyoto, kita mungkin tidak terlalu kaget dengan paparan kisah-kisahnya yang menjadi sudut pandang baru. Pembaca tidak akan menemukan kisah heroik seorang Gajah Mada menyampaikan Sumpah Palapa:

Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Di ujung buku kesatu ini, pembaca bakal menemukan sumpah yang lain sama sekali:

“Hong nihanta Sanghyang Widhi hunimgan sembah ning hrdaya sira Sang Tunggal malar i helem anemwa Sunyata.. Hamba bersumpah demi kemuliaan Sanghyang Widhi, Hyang Mahatunggal, sinembah atisraya pada Hyang Taya, bahwa hamba adalah Putera Sejati Majapahit. Ibunda dan ayahanda hamba adalah Majapahit. Kakek hamba adalah Singhasari. Hamba adalah abdi Majapahit. Hidup dan mati hamba akan hamba pesembahkan kepada Majapahit!...”

Sumpah itu dijelaskan dengan nama “Sapatha Sumpah Hamongmong Rimong”. Berbeda sama sekali dengan “Sumpah Hamukti Palapa”. Tidak ada “nafsu” penaklukan kerajaan lain. Adanya “pengabdian”.

Selain kisah nyeleneh itu, pembaca juga disuguhi sosok Gajah Mada sebagai ahli hukum dan ditugasi menyempurnakan KUHP Majapahit “Kutaramanawa Dharmasashtra”. Mada dikisahkan diberi kebebasan akses ke Grha Pustaka (perpustakaan kerajaan di komplek kepatihan) oleh Patih Daha Arya Tilam karena kekagumannya terhadap sosok Mada yang cerdas. Mada diajari pelbagai disiplin ilmu seperti sastra, filsafat, tata pemerintahan, keprajuritan, byuha, dan hukum. Dari semuanya, yang paling diminati Mada adalah hukum karena dianggap sebagai kunci kesejahteraan dunia.

   Di tahun yang sama, buku kedua turut terbit lebih mungil. Buku pertama berdimensi 18x24 cm dan buku kedua 14x20 cm. Lebih nyaman dipangku tangan. Di buku kedua, ada selingan kisah tokoh bernama Rangga Rajasa yang ternyata diceritakan sebagai nama asli dari Ken Arok. Sedangkan nama Ken Arok, konon, adalah nama fiktif buatan kolonial seperti beberapa nama fiktif anggota Wali Songo. Sosok Rangga Rajasa tidak diceritakan sebagai begundal, preman, atau pun begal hutan. Ia lebih diceritakan sebagai satria piningit yang mendalami ajaran Bhairawa di sebuah hutan. Dalam masa Majapahit, buku kedua berkisah tentang makar yang dilakukan Ra Kuti.

   Pada status WhatsApp teman yang memamerkan sampul buku ketiga, saya berkomentar pertanyaan: “Jadi diakhiri buku ketiga, Mas?” Jawaban masih mengambang. Belum ada kepastian. Bagi saya, kisah Gajah Mada terlalu singkat jika hanya dijadikan tiga jilid saja.  

 

Judul Mahapatih Mangkubhumi Majapahit Pu Gajah Mada | Sub Judul Kisah Epik Tentang Perang dan Kepahlawanan Pada Zaman Foedal di Nusantara Abad ke-13 & 14 (Buku Pertama) |Jumlah Halaman | 324 halaman | Penulis Agus Sunyoto |Penerbit Pustaka Pesantren Nusantara |Tahun Terbit 2019 []

 

 

M.A. Mas’ud, Penghayat bahasa dan sedang belajar mengobrol serta menuliskan Sidoarjo bersama komunitas Sidosinau.

Sebuah Tamparan dengan Berjuta Makna dan Pesan - Layar Kata Ackiel Khan

 Thappad yang berarti tamparan seolah bukan hanya ingin menampar masyarakat patriarki yang biasanya cenderung bersikap abai terhadap hal-hal yang selalu dianggap kecil, remeh, bahkan tak penting. Film berdurasi kurang lebih 2,5 jam ini seolah mengajak semua orang untuk memikirkan kembali esensi hidup dan bagaimana memaknai kehidupan itu sendiri. Thappad akan terus mengusik pikiran para penontonnya sembari memposisikan penonton di tengah keadaan dilematis, tetapi juga tetap realistis.

Thappad bercerita mengenai kehidupan Amrita (Taapsee Pannu) yang semula semuanya sangat tampak baik-baik saja. Kehidupan rumah tangganya digambarkan dengan cukup ideal dan mungkin juga menjadi harapan bagi sebagian orang, meski memang bukan hal yang istimewa apalagi sempurna. Sebagai seorang istri dari keluarga kelas menengah, Amrita menjalankan tugas dan kegiatan hariannya yang statis dengan tanpa beban apapun. Ia digambarkan sebagai seorang istri yang sangat dan selalu suportif terhadap suaminya. Amrita adalah ibu rumah tangga yang ceria dalam menghadapi kesehariannya.

Tak berbeda dari Amrita, Vikram (Pavail Gulati), juga merupakan tipe suami yang suportif dan penyayang terhadap istrinya. Sebagai kepala rumah tangga, ia tahu betul apa yang harus dilakukannya. Ia selalu ingin menyenangkan hati sang istri. Bersama Amrita, ia tampak sebagai sepasang suami-istri idaman yang seolah takkan pernah tertimpa masalah besar dalam biduk rumah tangganya. Jika ketenangan dan keceriaan adalah definisi rumah tangga sempurna, maka rumah tangga mereka juga demikian adanya.

Akan tetapi, sebuah kejadian di sebuah pesta malam itu telah mengubah segalanya. Kejadian pada malam itu seolah menjadi titik balik dari segala hal yang akan membuat film ini menjadi suguhan drama keluarga paling menarik sekaligus mengusik. Satu pertanyaan muncul setelah kejadian malam itu: “Akankah sebuah tamparan menjadi alasan yang cukup untuk mempertanyakan apa arti sesungguhnya dari suatu hubungan?”

Beberapa orang yang sudah memiliki pemahaman atau konsep tertentu dalam hal rumah tangga mungkin akan sulit memahami esensi film ini atau bahkan mungkin akan menertawakan konflik yang dibangun oleh sang penulis cerita. Mereka juga akan sulit bersimpati kepada sang pemeran utama. Alih-alih simpati, mereka bisa saja kesal dibuatnya. Itu sebabnya, film ini tak bisa sesukses film-film wanita-sentris tentang patriarki seperti sebelumnya, seperti Pink (2016), meski sambutan yang diterimanya cukup melebihi ekspektasi banyak kalangan.

Thappad merupakan film yang yang cukup thought-provoking. Selama sekitar 2,5 jam, ia bisa membuat penontonnya belajar tentang arti sebuah hubungan yang harus juga didasari oleh rasa hormat, bukan hanya soal cinta dan pengorbanan semata. Perkara hormat bukan hanya soal untuk salah satu pihak saja, melainkan bagaimana kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama mendapatkannya, bahkan tanpa diminta dan dalam berbagai kondisi apa saja.

Tak banyak hal menarik yang perlu dibahas dari sisi teknis ataupun akting dan penyutradaraan. Namun, jika membahas aspek naskah, sang penulis memang terlihat tidak sedang ingin memihak salah satu gender dalam konflik yang dibangunnya. Penonton tidak dituntut untuk menyukai karakter Amrita sepenuhnya, begitupun untuk membenci karakter Vikram seutuhnya. Karakter keduanya tidak diciptakan 100% akan disukai ataupun dibenci. Si Sutradara juga masih tak lupa memberi ruang penjelasan implisit terhadap berbagai kondisi lain jika ada yang mempertanyakan atau ingin mendebat esensi dari konflik yang dibangun dalam film ini. Setidaknya hal itu tergambar dan bisa terlihat dari potret kehidupan rumah tangga orang tua dan mertua, pembantu, pengacara, serta adik sang pemeran utama. Kesemuanya berfungsi sebagai kontraposisi dari segala pertanyaan-pertanyaan penonton yang belum atau sulit terjawab.

Thappad bukanlah film yang akan dapat dengan mudah disukai banyak orang, baik wanita apalagi pria, terutama mereka yang cenderung memiliki pemikiran saklek. Thappad juga bukan tipikal film yang akan mudah dijalani bagi mereka pecinta film-film dengan konflik pelik, aksi menegangkan nan penuh kejutan atau bahkan kisah romansa memilukan yang hanya ingin memeras emosi dan air mata.

Terakhir, Thappad (2020) merupakan karya terbaik Anubhav Sinha setelah film drama sosial berjudul Article 15 (2019) dan Mulk (2018). Ini juga merupakan film terbaik sang aktris utama (Taapsee Pannu) dan tentu saja film Hindi terbaik sejauh ini di tahun 2020. Film yang akan membuat penontonnya tak nyaman dalam setiap detik yg ditontonnya, mengusik egonya dan bahkan tak bisa menerimanya. Ini bukan hanya tamparan bagi sang pemeran utama, melainkan juga tamparan bagi para penonton yang membangun hubungan atau tak ingin memiliki hubungan dengan pondasi serupa. Film yang harus ditonton bagi semua kalangan untuk memahami arti sebuah hubungan dan arti kesetaraan (gender).

 

Tanggal rilis 28 Februari 2020 | Sutradara Anubhav Sinha | Pemeran Taapsee Pannu, Pavail Gulati, Kumud Mishra, Ratna Pathak Shah, Geetika Vidya, Maya Sarao, Dia Mirza, Tanvi Azmi, Ram Kapoor | Nominasi Asian Film Awards Ke-14 Film Terbaik, Penyuntingan Terbaik | Skenario Mrunmayee Lagoo, Anubhav Sinha []

 

 

Ackiel Khan. Eks penerjemah teks film India sekaligus penikmat dan pengulas film India yang bukan hanya Bollywood. Berbagai ulasan film India yang ia tulis bisa dibaca di akun facebook-nya, Ackiel Khan.

Literasi di Kota Ketiga - Esai Ahmad Sugeng Riady

 Geliat literasi menjadi problem yang hanya diperhatikan oleh segelintir kalangan, kelompok, orang. Bahkan pemerintah pun kadang alpa untuk melihat sudah sejauh mana literasi bergerak di daerah-daerah, apalagi yang jauh dari akses. Padahal jelas, literasi menjadi bagian dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Pembangunan taman baca, lingkaran diskusi, koleksi buku di perpustakaan, dan festival bazar buku menjadi serentetan aktivitas yang dijalankan dengan ngos-ngosan oleh segelintir kalangan, komunitas, orang.

Seperti cerita yang datang dari salah satu teman saya di malam itu. Ia datang dari Kota Reog, Ponorogo. Kota yang menyimpan salah satu warisan budaya yang dielu-elukan di negeri ini. Meskipun tepuk tangan dan apresiasi dari pemerintah hanya didapat dengan kadang-kadang.

Ia datang malam itu dengan wajah yang segera ingin mendapatkan jawaban. Beberapa persoalan disodorkan dan kami obrolkan. Ada banyak bahan, kami meloncat dari satu topik ke topik yang lain. Tidak menentu. Namun saya terbatas untuk menggurat semua obrolan pada malam itu. Saya hanya tertarik soal jerih payahnya nguri-nguri literasi yang ada di daerahnya.

Ia mengawali ceritanya dengan nada inferior. Ia mengatakan bahwa geliat literasi di daerahnya tidak sesemarak seperti kota-kota besar di negeri ini. Sebut saja di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Solo, Malang, dan Surabaya. Kota-kota yang memang menjadi tujuan banyak orang untuk beradu nasib, termasuk soal literasi. Kota-kota yang dituduh sebagai gembong lahirnya penulis-penulis tersohor di negeri ini.

Meski begitu, ia masih punya senyum jika membandingkan literasi di daerahnya dengan daerah sekitar. “Literasi di kota ketiga”, katanya menamai. Nama yang mungkin dicomot dan diduplikat dengan sedikit edit dari dunia ketiga, mungkin begitu.

Ia melanjutkan dengan menuturkan problem lumrah dalam dunia literasi. Kalau saya tidak salah tangkap, ada dua hal yang ia garis bawahi. Pertama, soal daya beli buku. Ia menyayangkan banyak orang yang meremehkan buku. Baginya buku bisa menjadi semacam investasi di masa depan. Tidak hanya soal koleksi kertas dijilid berjejer rapi, tapi soal ilmu pengetahuandengan ideal pemikiran di dalamnya.

Soal harga buku yang dianggap oleh kebanyakan orang masih mahal, juga ia singgung. Ia menggarisbawahi orang-orang yang tiap bulannya jika dikalkulasi bisa mengeluarkan kisaran tiga ratus sampai lima ratus ribu, namun masih mengeluh kemahalan untuk membeli buku seharga lima puluh ribu. Padahal, pengeluaran itu hanya habis untuk ngopi, jajan, jalan-jalan, dan aktivitas yang menurutnya sayang sekali jika harus mengeluarkan banyak uang. “Mending ditabung atau dibelikan buku”, tandasnya.

Problem ini secara tidak langsung menggiring orang untuk membeli buku bajakan. Buku bajakan yang menjadi momok dan menghancurkan banyak penerbit. Karena menurunkan harga buku tanpa ada rasa bersalah dan pertimbangan lain yang harus dipenuhi. Memang tarifnya lebih murah, bisa hemat sampai 60% dari harga buku aslinya. Menyebalkan bukan?

Ia bercerita seperti itu sembari menggelengkan kepala. Mungkin itu tanda semacam tidak percaya dengan apa yang sudah ditemuinya. Dan saya rasa itu wajar. Perasaan yang muncul dari segelintir orang dengan kesadaran literasi, kemudian terkungkung dengan lingkungan yang menunjukkan wajah sebaliknya. Ya, tentu saja asa dengan gelimang khayal terciptanya masyarakat berbudaya literasi mengempis, kalau tidak mau dikatakan musnah.

Soal kedua, ia menggugat dengan tajam budaya fanatik. Budaya yang sampai hari ini banyak dikritik dengan argumen kitab suci dan rasio manusia. Namun kadang kala, kitab suci justru dijadikan legitimasi kemudian rasio mengamininya dengan argumen kesalehan.

Ia gerah dan gelisah dengan budaya semacam itu. Budaya yang menurutnya bisa mengkerdilkan pemikiran manusia, lebih-lebih generasi yang datang belakangan. Budaya itu bisa mengerikan jika diakumulasikan dengan kesadaran literasi yang tidak digalakkan. Kita boleh menebak arahnya akan jatuh pada kemapanan. Menurutnya, mapan itu belum tentu benar, dan saya mengiyakan tanpa ada sanggah. Budaya semacam ini secara tidak langsung juga membatasi manusia dalam berliterasi. Manusia mau membaca jika bukunya memuat pemikiran satu frekuensi, mau ikut diskusi jika seafiliasi, dan mau menulis jika ada nada kritik untuk menjatuhkan kelompok lain.

Ia memberikan prototipe soal dunia pendidikan yang dialaminya. Mulai dari pondok pesantren sampai ke universitas, ia dicekoki dengan buku yang wajib dibaca khatam. Membaca selain itu dianggap pelanggaran. Ia mempertanyakan kenapa bisa demikian? Bukankah dunia pendidikan ada untuk mencerdaskan? Padahal bisa jadi, di luar buku-buku yang telah disediakan, si murid bisa menemukan jawaban yang tidak tersedia di buku wajib. Jawaban yang diperoleh melalui dialektika panjang membaca ragam buku. Pikirannya bisa terbuka, sikapnya bisa melunak, dan menerima kebhinekaan.

Tiga poin terakhir ini secara tidak langsung punya kontribusi besar terhadap nalar kritis murid. Sudah barang tentu, murid kritis jika berada di tempat yang mengkultuskan fanatik, akan dicap sebagai pemberontak. Murid nakal.

Kenapa bisa begitu. Lebih jauh lagi, si murid akan disebut sebagai pembangkang yang ngeyelan. Tidak mau mendengar dan menurut terhadap titah yang telah disampaikan. Padahal dalam dunia pendidikan, kritis itu sah-sah saja. Bukankah keberhasilan pendidikan itu ketika si murid bisa mengembangkan pemikiran gurunya? Dan indikasi mudah untuk melihat itu adalah melalui nalar kritisnya.

Saya agak kurang mufakat dengan konsep nalar kritis yang ia sampaikan. Bahwa nalar kritis berangkat dari diksi meragukan, itu iya. Ragu untuk mendapat jawaban baru. Ia berangkat dari pertanyaan, dan mempersangsikan setiap jawaban yang ada. Saya kira baiknya tidak seperti itu. Mungkin dari sekian jawaban yang tersedia, dipilih satu dua jawaban yang dirasa mendekati benar. Jawaban itu yang dipegang dan ditahan sampai mendapat jawaban baru yang lebih relevan.

Begitu ia ceritakan ihwal literasi di daerahnya sebagai kota ketiga: literasi yang berjalan dengan kembang kempis; literasi yang mungkin juga tidak masuk dalam serentetan penilaian statistik. Malah bisa jadi, angka-angka statistik yang selama ini digemborkan bahwa Indonesia berada di peringkat bawah dari sekian negara tidak menyentuh geliat literasi seperti ini. Begitu juga literasi di kota-kota lainnya. Demikian. []

 

 

Ahmad Sugeng Riady. Seorang bujangan yang merangkap menjadi marbot di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.

Tubuh Perempuan di Seberang Jalan - Puisi-puisi Dian Meiningtias

 

Ilustrasi Nurina Susanti


Tubuh

Dalam tubuhku pijar gemintang menyala terang, menaruh semangat tanpa mengenal musim di lipatan kurun. Menerawang terang pada kaca-kaca mungkin tanpa mengenal ketidakmungkinan. Itu dulu, sebelum kesunyian bertamu membawa redup, pandangan yang jauh.

Dan kini, aku mematung dengan kaca-kaca retak bendungan air mata, mengalir.

Sirna dalam gelayut sunyi, menjadi dermaga kosong beraroma bunga tabur di pemakaman.

Menunggu labuh atas layar-layar kapal dengan nahkoda bermata pagi. Sebuah kehadiran yang mengabarkan kehidupan masih bergerak, jauh, terus, dan tak berkesudahan...

Trenggalek, 29-09-2020

 

 

Perempuan di Seberang Jalan

Sepotong hati telah aku persembahkan pada perempuan di seberang jalan. Pada sesiapa yang pada mula-mula kehidupan diperkenalkan, pada ia yang kasihnya menjuntai didik memuliakan atau pada mereka yang merawat kehidupan melewati musim semi melampau gugur tanpa tapi.

Pada perempuan di seberang jalan, syair bisu hendak aku lantun. Karena kata-kata tak cukup membahasakan rasa berserak yang menghujan aroma kagum, nyeri, juga haru padamu.

Dan seperti biasa, kau selalu penuh menjadi manusia mulia saat pagi menyapa. Jauh dari lusuh tertekuk kebutuhan, berjejer di antara bunga-bunga yang kau tanam di depan rumah. menunggu kupu-kupu mengintip wajahmu ke dalam ruang masak.

Pagi kau selalu penuh, menawarkan rapi pada sudut-sudut rumah berpenghuni ramai, menyeduh kopi penjaga keseimbangan mata sayu pada kantuk yang bertamu, mengganjal perut-perut keluarga atas lapar yang menyapa tanpa mengenal jeda. Lapar dan kantuk pada persilangan duka atas keserakahan orang-orang yang mengambil jatah sejahtera.

Malam ini, kutemukan wajahmu di beranda rumah dengan listrik redup yang kau bayar dengan menukar kesenangan. Padamu uban tergambar, menampakkan raut wajah dengan menghela nafas panjang. Kau, sesosok hidup yang melipat duka batin yang kau gantung pada langit-langit rumahmu saat anak-anak terlelap, pada sunyi malam yang menghujani air mata hingga kau sulit terpejam lelap. Kau, menawarkan kehidupan bagi jiwa keluargamu yang mati kesekian kali, ditinggal lelaki mati yang kau cintai.

Trenggalek, 29-09-2020

 

 

Malam

Malam bagiku masihlah analgesik, atas hari-hari penuh dera, dalam candu cinta yang tak kunjung reda. Malam adalah kesejatian, sanjung penciptaan, ruang waktu, dan harmoni kehidupan. Malamku  mungkin  adalah tempat memungut iba, ruang maaf  bagimu tanpa perlu meninggalkan seluruh rasa

Kau bisa menyebut bahwa malam sebatas siklus atas hari, sebuah nuansa gelap setelah silau cahaya matahari.  Tapi bagiku gelap malam adalah teduh, ia oase atas segala luruh. Begitulah. Malam bagiku adalah tempat bersembunyi. Serupa resah yang memilih lahir menjadi sajak-sajak alegori.

Saat ketidakhadiran mengantarku pada kesendirian, memungutku dalam puncak cemas atas kehilangan. Malam bagiku adalah ruang yang menenangkan, ilham yang menuntun, pun dengan ritma dunia yang memastikan janji-janji semesta.

Tapi aku bukanlah pengagummu, Sayang. Lantas siapakah aku? Aku masihlah kekasihmu.

Sebuah maha karya indah yang memilih senyap, yang menjelma imajinasi pada malam-malam gelap.


Watulimo yang gelap, saat arloji menunjukkan pukul 19.24 WIB

 


Dian Meiningtias. Penulis Buku Perempuan yang Menikahi Burung Hantu. Bisa disapa di laman Facebook Dian Meiningtias

Riwayat Singkat Kiai Angsee* - Cerpen Ahsanul Mahdzi

 


Asal-Usul Kematian

Dua sejarawan memiliki sikap yang berbeda perihal akhir cerita ini. Menurut Liem Thian Joe, tokoh kita—Kwee An Say—ditangkap Compagnie bersama sebagian warga yang masih hidup sebelum akhirnya dieksekusi dan kita tak pernah tahu apakah ia mati dihadapan regu tembak atau di bawah tiang gantungan.

Sedangkan kesimpulan Daradjadi menyatakan, tak berlaku bagi Kwee An Say buat tunduk begitu saja di hadapan lutut Compagnie, ia melawan demi memulihkan martabat rasnya, saudara-saudaranya, dari kebengisan Compagnie yang menghabisi da nmelucuti kepribadian mereka dengan memenggal leher serta taucang-taucangnya. Dia dikabarkan mati di dalam benteng.

Manusia bisa mati dengan banyak cara dan beginilah jalannya sejarah. Simak saja dulu, sebelum akhirnya kau memutuskan untuk mempercayai sepenuhnya atau menganggapnya kebohongan belaka.

 

Pedoman Berdagang

Tersedia dua pilihan bagi orang-orang bermata sipit, berambut kuncir berkepang itu: terlunta-lunta menjadi batur di tanah rantau atau punya banyak duit dan bisa sarapan semangkuk bubur dengan irisan tipis daging babi yang dihidangkan bersama secawan teh di pagi hari.

Mereka paham rasanya berbulan-bulan dipiuhkan angin muson di dalam kapal. Terombang-ambing laksana nasib ditubir pedang, terhunus atau melawan sebaik-baiknya buat jadi pemenang. Tak sedikit dari mereka yang jadi taipan gula atau pedagang kain sutera atau mencegat petani, membeli tanaman pala mereka sebelum akhirnya dijual di pelabuhan dengan harga lebih tinggi. Keluwesan bergaul dengan pribumi merupakan taktik dagang mereka.

Pada mulanya, tokoh kita ini adalah seorang pedagang kain sutera. Tak ada pilihan lain baginya untuk menggelar lapak dagangannya di pasar. Di perkampungan itu, semua orang adalah pendatang, semua orang mencari peruntungan di pasar.Tokoh kita bukan pendatang baru tentu saja.Iaseorang totok yang murah senyumdari Haiting-Hokkian bermargakan Kwee.

“Saya kabarkan ke semua orang, ini ada barang istimewa. Warna cerah sedap di mata, halus di kulit ini kain sutera namanya,” begitulah ia berceloteh tiap hari pada para pengunjung.

Tuan Kwee An Say melafalkan itu setengah berteriak, setengah melagu. Ia mafhum bahwa bersilat lidah adalah cara mujarab yang bisa membuat setiap mata orang-orang di pasar melirik dagangannya. Ia menjadikan setiap kisah, setiap tuturan adalah pedoman berdagang dan siapapun patut mendengar sebelum akhirnya kepincut pada lipatan-lipatan kain suteranya.

Tokoh kita ini tak menyangkabahwa pedoman yang ia yakinibisa memantik iri hatisesama pedagang dan akibatnya, ia tersembur fitnah. Mula-mula semua pedagang percaya bahwa rejeki oleh dewa-dewa pasti dibagi rata. Tapi pernah pada satu waktu, berhari-hari, orang-orang lalu-lalang saja di depan lapak mereka. Sesama pedagang mengeluh tak terkecuali Kwee An Say.

Tak ingin larut berpanjang angan. Keesokan paginya, tuan Kwee An Say keluar dari pondok kayu miliknya, mampir ke kelenteng Kwee Lak Kwaa, ia sembahyang memohon pada dewa supaya dirinya ditimpa nasib baik hari ini. Setibanya di pasar, ia gelar kain-kainnya dan mengawali hari itu dengan sebuah cerita.

Ia mengangkat kain sutera putih. Kedua tangannya terbuka, menengadah seperti tengah memanjatkan puja-puji dan segala doa. “Ada kisah lama, mengalir dari telinga ke telinga. Seorang pendekar pedang yang punya hasrat membunuh sang raja. Muasalnya dari Dinasti Qin, jaman perang tak kenal surga. Dendam menyala sampai jarak sepuluh depa dari sang raja…”

Tak satupun mata yang luput memandang si juru cerita.Semua orang tahu akhir cerita itu. Sang raja tak hilang nyawa. Jubahnya tetap putih serupa salju. Ia menutup ceritanya begini, “Putih ini kain surga. Siapa pakai bakal beroleh damai.”

Cerita terus menggelinding dari hari ke hari. Hingga pada hari ketujuh, orang-orang mulai merubunginya ketika ia membawakan hikayat daun bambu. “Bolehlah dengar cerita soal warna hijau perlambang cerdik pandai.” Tuan pedagang berkisah tentang seorang lintah darat yang kena tipu pak tua manakala ia menagih hutang padanya. Merasa tak bisa bayar hutang, si kakek mengadali si lintah dengan sebilah bambu dan daunnya. “’Tuan, hanya ini yang hamba punya,’ kata si kakek, ‘lekatkan daun bambu ini di jidat tuan, niscaya tuan tak terlihat.’” Sebagaimana orang-orang mempercayai setiap kisah tuan pedagang, demikian pula dengan si lintah. Ia datang ke pasar dan berjalan dengan sehelai daun bambu di jidat dan nyaris mati kena bogem orang sepasar karena ulahnya meremas setiap bokong perempuan. Kata tuan pedagang, “Boleh remas bokong istri, asal belikan sutera hijau ini.”

“Jangan dengar…” seseorang berteriak lebih kencang, bikin kerumunan buyar.Mereka menoleh serempak.Seorang pedagang kain yang lain, siap jadi pesaing Tuan Kwee. Tubuhnya kerempeng, bermata cekung, pakaian yang ia kenakan nampak kedodoran. “Tiada guna kalian dengar dia punya cerita,” serunya. “Sini-sini, aku beri kisah asli. Kisah pedagang kain sutera yang hidupnya berpeluh bohong belaka.”

Biadab betul itu orang mengarang cerita, batin Tuan Kwee. Ia pendam hasrat buat balas dendam. Disambanginya lapak dagang milik si kerempeng. “Ini kain dari Daratan Selatan, halus di badan, sedap di pandang,” kata si kerempeng. Ekor matanya menangkap keberadaan Tuan Kwee di antara kerumunan. “Orang dagang dalam Pecinan, dagang kain dalam pasar Gang Baru, Tuan Kwee barangnya tak laku, kena saing dia sama diriku.”

“Aku yang belah ruyung, kau yang beroleh sagunya.”Tuan Kwee tajam menatap sebelum akhirnya, si kerempeng hanya balas dengan seringai.

 

Tokoh Kita Seorang Pendekar

Dua hari kemudian,ia undur diri dari Pasar Gang Baru. Mengembaralah tokoh kita ke Barat. Ia bertandang ke Kendal dan di alun-alun Kaliwungu dagangannya ludes dan memutuskan pulang setelah tiga hari di sana dan sepulangnya dari Kendal, ia memutuskan memakai dua buruh pribumi buat menggendong pauwhok (buntalan), naik ke arah Selatan, ke Ungaran.

Perjalanan ke Selatan lumayan melelahkan. Mereka dikepung bukit di kanan-kiri, hawa dingin, dan jalanan setapak rebah menanjak. Tak ada peristiwa berarti pada hari pertama perjalanan mereka. Matahari tergantung di atas kepala, ketika mereka mulai memasuki daerah Ungaran.

Masuklah ketiganya ke sebuah pondokan.Mereka tentu ingin membuang dahaga dan di musim kemarau seperti sekarang, tiada pilihan yang lebih menyegarkan selain kelapa muda.Dua orang batur dan majikannya itu, nyaris bersamaan menyeka lelehan air degan yang merembes di pinggiran bibir dengan punggung tangannya.

Di luar, di daerah dataran tinggi ini, angin kemarau terhenti sejenak.Cericit burung beku.Di muka pintu, seseorang berdiri angkuh, berkacak pinggang. Matanya tajam menatap ke arah Kwee An Say. Di tangan kirinya, tergenggam sebilah golok.Mereka masuk ke dalam, bertiga,mendekati rombongan tokoh kita.

“Tentu kau tidak buta,” kata seseorang bertubuh kekar sambil petentang-petenteng membusungkan dada, “dan bisa melihat kedatanganku kemari, tiada lain buat minta upeti padamu.” Nampaknya, ia ketua regu bromocorah dengan golok seukuran lengan terselip di pinggang.

Kwee An Say menoleh ke arah mata batur-baturnya. Ia ayunkan kepalanya ke atas, celingak-celinguk. Dia meminta pertimbangan, siapa yang dimaksud kau di sini.Pimpinan regu begal itu meraung.Ia jungkalkan degan milik Kwee An Say. Di hadapan mereka, wajahpemilik kedai pucat pasi, tubuhnya gemetar.Kwee An Say tenang saja menoleh ke muka pimpinan regu begal. Ia mengangguk-angguk. “Si Kuncir ini kelihatannya tuli,” ucapnya menunjuk Kwee An Say, “aku merasa tak berdosa jika harus memecahkan kepalamu, Kuncir. Beri kami separuh kepeng uang yang kau punya dan kau bisa minggat dari sini.”

“Tapi tuan-tuan, hanya nyawa yang hamba punya.Hamba rombongan pedagang dan belum ada hasil sama sekali.”Itu bukan jawaban menyenangkan bagi regu begal Cabang Atas dan bukan suatu kekhilafan manakala sebilah golok terhunus menyabet leher Kwee An Say. Iahanya merenggangkan kakinya lebih lebar, mengokohkan kuda-kudanya lalu menarik mundur dua tapak kakinya.

Ia enteng saja menekuk tubuhnya ke belakang membuat taucangnya menyentuh tanah. Tanpa aba-aba dua baturnya menyingkirkeluar warung sambil menenteng pauwhok. Hasrat buat mencincang tubuh Kwee An Say kian membuncah. Tapi kali ini mereka keliru berhadapan dengan seseorang.Keributan ini jadi tontonan menyenangkan di siang bolong bagi insan-insan yang ingin mengusir rasa lapar dan dahaga di warung.Satu tendangan kaki kiri, cepat dan keras menghantam lengan si kekar, membuat goloknya lepas dan terjatuh ke tanah. Dua orang yang lain maju mendekat. Tokoh kita, pendekar kita, memicingkan mata ke arah keduanya.Ia berdiri dari kursinya kemudian membatin, “Demi dewa bumi, Fu De Zheng Shen, demi keadilan dan kesejahteraan, takluklah bromocarah-bromocorah ini.” Ia melolos sebilah bambu sepanjang tangannya dari balik baju. Kemudian berputar menghindari tusukan golok. Debu mengambang tersinari matahari. Semua orang tahu, semua mata menyimak liukan lentur tubuhnya menghindari tendangan dan tebasan golok, membuat mereka paham kini tengah berhadapan dengan siapa. Pendekar kita lumayan berkeringat. Bulir-bulirnya meleleh di kanan dan kiri keningnya. Di bawahnya, si lelaki gagah berleher pendek serupa lembu, berdada bidang dan berlengan kekar itu, yang sedari awal petentang-petenteng nyaris mencium kaki Kwee An Say. Tak ada tambahan luka sayatan di lengan kirinya. Hal itu semestinya bisa dilakukan Kwee An Say, tapi ia memilih yang lain.Ia ulurkan tangannya ke muka si leher pendek.

Atas tumbangnya regu bandit Cabang Atas, orang-orang kemudian menyebut tokoh kita Kiai Angsee, pendekar seruling bambu. Sungguh sejarah tak mencatat yang ini: sebenarnya di dalam bambu itu adalah wadah sebilah belati. Akan tetapi sejarah mencatat yang lain, bahwa regu bromocorah itu setia mengantar dan atau melindungi perjalanan rombongan dagang Kwee An Say demi menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang merintangi perjalanan.

 

Kekalahan

Sudah menjadi catatan sejarah bahwa pada tahun-tahun berikutnya di kehidupan Kwee Ansay adalah zaman sulit. Akhir Oktober 1741. Ini adalah zaman perangdi mana orang-orang Cina di Batavia membakar kampung mereka sebelum memilih bergabung dengan pribumi dan akhirnya keliling Jawa melawan Compagnie.Mula-mula Valckenier—penerus Murjangkung—tak ambil pusing atas keberadaan orang-orang bermata sipit itu. Lama kelamaan, populasi mereka membludak dan dia sadar bahwa di tangan mereka apapun bisa jadi duit. Mereka keluyuran di kota-kota sebagai ahli kunci, penjual arak, dan tentu saja berdagang kain seperti tokoh kita.

Orang-orang Cina itu cepat sekali kaya harta karena keuletan mereka dan yang demikian menjadikan si bengis Valckenier tak terima. Mula-mula ia mencekik mereka dengan pajak tinggi tapi ia keliru. Kian tinggi pajak, kian melejit pula kekayaan mereka.Dimaklumatkanlah perintah penangkapan besar-besaran orang Cina.Sebagian dipenggal di lapangan untuk tontonan, sisanya dicemplung-cemplungkan ke tengah laut.

Maka, di bawah pimpinan Kapiten Sepanjang, mereka membentuk laskar Cina, bergerilya dari satu kota ke kota lain. Membakar benteng-benteng dan menggempur tembok-tembok pemerintahan dengan meriam.

Di malam Oktober yang dingin itu terjadi pertemuan di tengah hujan deras yang menghardik atap gubuk di perbukitan Bergota. Kapiten Sepanjang duduk di atas dipan mengudungi dirinya dengan selimut sutra penuh tambal-tambalan karung bekas gula. Saat itu Kwee An Say menghimpun gerakan di Semarang dan menemuinya buat mengabarkan kalau Compagnie mulai merayap menuju Pecinan.

“Kapiten Kwee,” kata Sepanjang, “Semarang aku percayakan padamu.Aku tak mungkin berlama-lama di sini. Besok aku bakal ke Jepara dan menurut telik sandi, kekuatan pasukan di sana kian menipis. Kita jangan sampai dipecundangi oleh anak buah Valckenier.Lebih baik mati berkalang tanah, ketimbang hidup berkalung malu.”

Kwee An Say menitahkan nyaris setengah pasukannya yang berjaga dalam Pecinan mengawal Kapitan Sepanjang. Itu membuat kerja mereka mendirikan Pan Shia molor hingga seminggu. Mereka kerja lembur hingga larut malam, berselimut dingin, dan kerap membuat orang-orang Cina melongok dari jendela rumahnya. Benteng yang terbangun dari tumpukan balok-balok kayu itu akhrinya jadi juga mengelilingi bagian barat Pecinan. Orang-orang dijadwal berjaga bergiliran. Dan malam ketika Kwee An Say baru keluar dari kelenteng Kwee Lak Kwa, Pecinan diserang. Benteng Pan Shia (balok kayu) itu menjadi kuburannya setelah sempat menghunus belati berselongsong bambu itu dari balik bajunya, menghujamkan ujung lancipnya ke lambung serdadu yang mengepungnya dan nyaris memotong hidung Kapten Hugo Verijsel. Tapi bagaimanapun derasnya peluru merobohkannya terlebih dulu. []

 

Catatan:

* Bentuk kisah ini sepenuhnya berhutang pada Sejarah Aib (2006) karya Jorge Luis Borges

 

 

Ahsanul Mahdzi. Aktif di komunitas baca-tulis Kelab Buku Semarang. Bisa dihubungi di media sosial (twitter) @san_sanoel.