Kembang Pasren: Jerat Asmara dan Pelipur Lara, oleh Dwi Supriyadi


Selesai membaca Kembang Pasren (2017) garapan Impian Nopitasari ini saya merasa ditarik untuk bernostalgia ke masa kecil bersama bapak. Sekitar tahun 1990-an, saat bapak masih aktif pentas sebagai pemain kethoprak (wayang orang). Ia akan bercerita panjang sebelum pentas: berperan sebagai apa, kapan muncul, apa istimewanya memerankan tokoh itu, dan seterusnya. Ternyata bernostalgia memang syahdu. Sering datang begitu saja minta disesep, dimamah, lan diulu. Mengenang masa lalu terkadang membuat seseorang semakin tegar menapaki hidup masa kini dan melihat masa depan. Pun sebaliknya, bisa membuat seseorang nestapa, sengsara, dan putus asa.
Seperti dalam cerkak berjudul “Blendrang” di buku ini. Rayi Nisada memanglah penyuka blendrang (sayur sisa kemarin yang dihangatkan kembali) dan penyuka blendrang biasanya penyuka kenangan. “Penikmat blendrang lan kenangan ikut wong-wong sing uripe kebak dimensi, warna-warna, bercitarasa. Wong-wong sing keren amarga seneng nggatuk-nggathukke cuwilan-cuwilan masa lalu dadi bongkahan masa kini. Nanging…uga duwe potensi dadi wong sing menderita..akeh gembenge..”
Inilah salah satu ciri khas dari Cerkak Impian. Ia memiliki “Rasa Jawa” yang kuat, karena memang ia orang Jawa. Kata Darmanto Jatman dalam Psikologi Jawa (1997), “Wong Jawa iku nggone rasa”. Rasa Jawa sudah menyatu dalam diri orang Jawa. Hanya saja ada orang Jawa yang terus mengasah (mengaktifkan) rasa Jawanya ada yang mengabaikannya. Saya rasa Impian ini orang yang pertama. Misalnya ia bisa menemukan keterkaitan dua hal, yang mungkin orang lain tidak terpikiran. Dalam istilah Jawa dikenal “othak-athik-gathuk”. Ya seperti menemukan hubungan antara blendrang dengan hidup dalam cerkak ini.
Menuliskan sesuatu othak-athik-gathuk semacam ini memang akan memunculkan rasa kebaruan kemudian membangkitkan rasa ingin tahu pembaca dan meyalakan momen “a-ha”. Meskipun bagi sebagian yang lain terkadang terasa ganjil, tidak biasa, dan belum bisa berterima. Namun semua itu sah saja, ia tetap akan menemukan pembaca yang entah kapan dan di mana.
Menulis cerita tak melulu berurusan tema penting, politis, atau menyangkut hajat hidup publik. Hal remeh temeh dan pengalaman hidup yang penuh “drama” di sekitar penulis, bisa  ditulis menjadi cerkak menarik sarat dengan pelajaran hidup. Seperti Blendrang ini, bisa menjadi tema serius, menarik, dan “nges”.

Cerkak Masa Kini
Meskipun sang penulis tidak memiliki latar belakang pendidikan formal belajar sastra Jawa, saya sepakat dengan pendapat Mas Ichwan Prasetyo (Redaktur Jagad Jawa Solopos) dalam pengantarnya, cerkak-cerkak yang dihadirkan dalam Kembang Pasren ini Basa Jawane “nges” lan kandel “rasa Jawane”. Meski banyak idiom kosa kata-benda mutakhir (kekinian) yang masuk, Bahasa Jawa yang digunakan tidak bergeser dari kaidah “Basa Jawa Baku”. Memang kisah yang diangkat dalam cerkak Kembang Pasren ini kebanyakan kehidupan kaula muda masa kini yang akrab dengan bahasa dan teknologi mutakhir.
Kita bisa melihatnya dalam cerkak berjudul: Es Susu Sokelat, Tesis 378 lan Dhasi Kupu, Oglangan, Satriya Keyboard bertebaran kata mutakhir: charger, laptop, tesis, linguistic, teaching, literature, komputer, fortuner, facebook, request strategis, fokus, love at first read, hingga lagu mutakhir dari jeng Agnes Monica “Tak ada Logika”. Impian terlihat piawai memainkan kata, benda, istilah kekinian mutakhir dalam pergaulan kekinian meski dalam dialog bahasa Jawa.  Ia berhasil menghadirkan kemutakhiran cerkak tanpa kehilangan rasa dan nuansa Jawanya. Tentu kita akan sulit menemukan kata-kata serupa dalam cerkak-cerkak lawas  karena memang situasi zamannya berbeda.
Bahkan ketika kita membaca cerkak yang berjudul Es Susu Sokelat, Tesis 378 lan Dhasi Kupu, Kupon Keramat Uda Fajri, Sop Manten Saka Ngawen yang di dalamnya ada karakter orang dari luar Jawa (Uda Fajri Habibi, orang Minang tulen dari Sumatera Barat) tetap saja cerkak itu tidak kehilangan Jawanya, bahkan dalam beberapa dialog terasa sangat Jawa. Saya kira tiga cerkak ini bisa diramu dan dikembang lagi menjadi novel Jawa bernuansa cinta yang kuat. Kita tidak tahu apakah sang penulis berkenan mengembangkan cerkak-cerkak di dalam Kembang Pasren ini menjadi Novel?
Jika memang dikembangkan menjadi novel, mungkin bisa semenarik karya Soeratman Sastradihardja berjudul Katresnan (Kiblat Buku Utama, 2013). Tentu akan ada sentuhan cerita yang berbeda karena terasa lebih mutakhir dengan latar  kaula muda masa kini yang akrab dengan bahasa dan teknologi mutakhir.

Keluarga
Selain berisi cerkak dengan tokoh dan setting kampus, buku ini juga banyak mengangkat cerkak bertema keluarga seperti: Jodho Kanggo Bapak, Kembang Pasren, Lelakon Uripe Pri, Mantu, Wirang. Membaca cerkak-cerkak ini kita diajak melihat sisi lain dari kehidupan berumah tangga yang tidak selalu harmonis dan berakhir manis. Berbagai polemik dan badai hidup akan menghampiri mulai dari urusan kehilangan pasangan hidup (duda, janda), urusan kekurangan mencukupi kebutuhan hidup hingga harus merantau keluar Jawa atua menjadi TKI, urusan menikah yang dirasuki ambisi mewah meski berisiko mananggung hutang dan beban hidup yang lebih berat dikemudian hari.
Polemik keluarga ini mengingatkan kita dengan buku Keluarga Jawa (1983) karya Hildred Geertz, istri ahli antropologi Amerika Clifford Geertz (penulis buku Agama Jawa). Ia melakukan penelitian selama 15 bulan dari tahun 1953 hingga tahun 1954. Buku Keluarga Jawa setidaknya memberikan gambaran bagaimana fungsi sistem kekerabatan Jawa dalam kehidupan sehari-hari, perkembangan sikap mental, dan orientasi nilai budaya orang jawa pada umumnya.
Masyarakat/keluarga Jawa di desa umum memiliki pertalian keluarga Jawa sangat ketat, khas, dan kuat. Ada pertalian “somah” (keluarga inti, keluarga serumah), sedulur cedhak (keluarga dekat), dan sedulur adoh (keluarga jauh) sebagai pertalian keluarga terpenting. Dalam Kembang Pasren kita bisa melihat kuatnya pertalian keluarga dalam cerkak berjudul Oglangan. Saat tokoh Galang kalang kabut karena kejar detlen menulis skenario. Dari Kentingan ia ngungsi ke rumah budhe Agus di Mendungan sambil membawa sambel tumpang titipan ibunya. Galang merasa nyaman tinggal di sana. Ia sudah dianggap keluarga sendiri oleh Budhenya.
Hildred Geertz juga mencatat beberapa kasus perceraian dalam rumah tangga di masyarakan Jawa terjadi ketika anak sudah lahir. Rumitnya kehidupan rumah tangga setelah memiliki anak bisa kita simak dalam cerkak berjudul Lelakon Uripe Pri. Lastri merasa sengsara hidupnya “Ora ana dhuwit nggo tuku kopi, nggo nempur beras wae megap-megap. Rega kabeh mundhak, anak sansaya gedhe, mbutuhke wragad. Duwe bojo ora bisa dijagakke pametune.” Cek-cok semakin memanas dan membuat Pri murka. Lastri minggat menjadi TKI dan berakhir cerai dengan Pri karena ia pulang membawa suami baru.
Di sisi lain posisi anak dalam rumah tangga Jawa juga sebagai penguat hubungan suami-istri dan keluarga besar. Sehingga ketika salah satu anggota keluarga memiliki anak, ia bisa menitipkan anak kepada keluarga lain baik keluarga somah, sedulur cedhak, atau sedulur adoh. Terlebih lagi ketika si anak kehilangan orang tua entah karena perceraian ataupun kematian, siapapun keluarganya yang lain wajib menyediakan tempat bernaung bagi anak-anak tersebut.
Fenomena ini juga tak luput diceritakan Impian dalam cerkaknya berjudul “Kembang Pasren”. Pak Wimbadi yang memiliki anak Indras dan Bu Pramesthi yang memiliki anak Danan, ternyata keduanya bukan anak kandung mereka. Masing-masing hanya dititipi untuk merawat dan mendidik. Kembang kamboja menjadi saksi dan bukti kesetiaan cinta.

Masalah Sosial
Lelakon Uripe Pri menjadi cerkak yang paling kuat permasalahan sosial dibandingkan lainnya. Mulai dari cekcok dalam rumah tangga, masalah ekonomi, gunjingan para tetangga, istri menjadi TKI, repotnya menjadi seorang bapak membesarkan anak sendiri (single fighter), kabar tentang kerasnya kehidupan seorang TKI, hingga berujung pada perceraian. Kenekatan Lastri minggat dari rumah, meninggalkan suami dan anaknya, kemudian menjadi seorang TKI mengingatkan kita dengan Tilarsih dalam novel Jawa berjudul Trah (Narasi, 2008) garapan Atas S. Danusubrata. Novel ini konon pernah mendapat penghargaan renchage award pada tahun 2009.
Tilarsih mirip dengan Lastri. Seorang perempuan desa yang memiliki obsesi merubah nasib dengan jalan pintas. Terburu-buru ingin menjadi orang terpandang, bisa memenuhi segala kebutuhan, dan membahagiakan keluarganya. Namun orang sering lupa bahwa jalan pintas sering menjerumuskan seseorang masuk ke polemik hidup yang lebih rumit. Perjuangan, putus asa, bahagian, penderitaan, kasih sayang, kebenaran, kemunafikan, nafsu, dan polemik manusia bertumpuk. Lastri terlunta-lunta di negeri orang hingga diperistri sang majikan. Tilarsih nestapa di Ibukota dan menjadi seorang PSK.
Semua polemik itu ditutup Danusubrata dengan kalimat “mula wis ana tembung, manungsa urip kuwi sakjane nggolek swarga dhewe-dhewe, nggolek neraka dhewe-dhewe. Marga kabeh kang dumadi mbesukke gumantung marang tumindake dhewe-dhewe” (Novel Trah, hal 266)

Panglipur Wuyung Zaman Ini
Dalam hal asmara dan jodoh, orangtua tidak lagi memiliki peran besar dalam memilihkan jodoh untuk anaknya. Anak diberikan kebebasan untuk memilih tambatan hatinya. Berbeda dengan cerkak/novel Jawa di era lawas yang masih menampilkan kuasa orang tua menjodohkan anaknya. Dalam novel karya Soeratman Sastradihardja berjudul Katresnan (Kiblat Buku Utama, 2013), kita bisa merasakan betapa digdayanya orang tua di jaman itu. Cinta mendalam Mursiati kepada Sutrisna, harus kandas karena ia akan dijodohkan dengan Pangeran dari Tulungagung. Menolak dijodohkan berakibat fatal, nelangsa, sengsara. Mursiati dan Sutrisna menjalani laku “tirakat” yang akhirnya membuat luluh kedua orang tuanya. Mereka dinikahkan.
Impian sendiri sepertinya memiliki ketertarikan kuat untuk mengulik jerat asmara. Meski jika ditarik garis lurus, Kembang Pasren ini lebih pada cerita cinta yang tak sampai. Mereka mengalami nestapa tiada tara: entah karena patah hati, ditinggal kekasih, cinta ditolak, ataupun kasmaran (wuyung) yang terlalu mendalam. Seperti yang dikatakan Ismanto dalam gubahan lagunya Wuyung: Laraning lara/ Ora kaya wong kang nandang wuyung/ Mangan ora doyan/ Ora jenak dolan neng omah bingung/…..
Meski demikian, sepertinya jerat asmara tetap menarik dibuat cerita hingga akhir zaman nanti. Membaca Kembang Pasren, kita akan mengalami nuansa yang serupa ketika membaca Panglipur Wuyung-nya Any Asmara. Roman panglipur wuyung (pelipur lara) yang kala itu terbit dalam bentuk buku saku sekitar tahun 1960an hingga tahun 1970an. Kalau boleh saya katakan, Kembang Pasren ini Panglipur Wuyung-nya zaman ini.

Dwi SupriyadiPenikmat Cerita Berbahasa Jawa, santri Bilik Literasi

Share:

0 komentar