Sufisme Danarto: Ruang Privat yang Menjadi Semesta, oleh Andri Saptono


Danarto dan sastra sufisme adalah sesuatu yang dilekatkan dalam konteks konstelasi cerpen Indonesia mutakhir. Pada tahun 80-an Danarto adalah salah seorang penulis yang sangat dominan dan produktif pada tema ini selain Emha, Gus TF Sakai, Mustofa Bisri, Iwan Simatupang. Lebih dari 11 buku ( baik cerpen atau novel) yang telah ia tulis rata-rata semuanya menulis dengan gaya dan kredo yang sama: sufistik. Namun seorang Danarto bukanlah mistikus sebagaimana William Blake atau seorang Kahlil Gibran, walaupun semuanya sangat terpengaruh dengan Rumi, dan tasawuf. Danarto tetaplah seorang pengarang yang unik dan genial dengan kisahnya. Anak seorang dari pekerja Pabrik Gula yang tinggal dengan saudaranya. Kenakalan-kenakalannya masa kecil kelak menjadi sebuah ruang privat dan intim yang menjadi interaksi antara tokoh-tokoh cerpennya, di mana dalam sebuah wawancaranya dengan Kumparan, Danarto sangat mengenang dan menghormati Ayahnya. Dia bercerita pernah dihukum dengan dicambuki oleh Ayahnya. Alih-alih yang menangis ibunya. Toh, Danarto pun tidak membenci kepada sang Ayah dengan hukuman cambukan ini dan menjadi traumatis. Bahkan, sosok Ayah pun kemudian muncul dalam banyak cerpen-cerpennya. Dia menjadi simbol dan menjadi kekuatan pada cerita itu. Cerpen Rembulan di Dasar Kolam, Bulan Sepotong Semangka, Dinding Ayah, Matahari Mabuk, Bulan Melahap Madu, Semak Belukar, Kolam Merah semuanya membicarakan Ayah. Tokoh adalah cerita dan Danarto telah melukis potrait ayahnya dalam cerita-cerita itu yang diambil dari masa lalunya, dan tentu dalam lukisan surealis.
Gergasi, buku kumpulan cerpen yang kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit Diva Press ini memuat 13 cerpen. Semuanya hampir bercorak sama. Namun, keserentaan ini justru tidak membuat bosan pembaca pada tema yang sama. Danarto mempunyai teknik penceritaan yang unik dan genial yang memungkinkan cerpen-cerpennya selalu menarik ketika ditafsirkan ulang. Ya, hal terakhir ini memang menjadi sebuah hal yang diharus dilakukan ketika membaca cerpen Danarto. Karena corak yang tidak konvensional ini ketika menafsirkan cerpen-cerpen setipe ini adalah menjadi pembaca yang riang dalam menemukan teks baru. Cerpen semisal ini pun kadang ada yang menghujat dengan mengatai cerpen yang menjauhkan pembaca dari masyarakatnya secara sosial dan nihil dari persoalan kemanusiaan temporer.
Saya jadi ingat ketika pada tahun 2012, Danarto melakukan laku kontroversial. Saat itu sedang booming film Kiamat 2012. Apa yang dilakukan Danarto hampir mirip dengan laku tokoh dalam cerpen-cerpen Gergasi ini; dia membeli buku tentang kiamat 2012 dan membagi-bagikannya kepada orang yang dia kenal dan barangkali dia sayangi. Tentu saja sangat absurd, bahkan kita pun akan menyangkal apa yang dia lakukan itu dengan pertanyaan: apakah Danarto itu tidak percaya dengan Tuhan? Apakah dia tidak meyakini Al-Qur’an sebagaimana di mana disebutkan di kitab sucinya itu bahwa tak ada manusia satu pun di dunia ini yang tahu tentang kiamat kapan tiba?
Ya, Danarto tengah menjadi cerpen pada dirinya sendiri. Ketika kita membaca cerpen Alloh berkenan mengejewantah lusa, maka kita akan menemukan sebuah kisah Musa As. Namun, ketika ia mengejawantah dalam cerpen, tentu kisah ini adalah kisah Danarto. Danarto bermain-main dengan tokohnya dan menghantar pembaca untuk menemukan tafsir sufistik ke dalam kisahnya, dan amat berbeda dengan formalisme yang dibawakan oleh Musa dengan 10 perintah Tuhan kepada Bani Israil itu.
 Rabiah dari Basrah adalah juga Rabiah al Adawiyah, seorang sufi yang terkenal karena kezuhudannya. Puisi-puisi indah itu menyiratkan kerinduan dan keintiman seorang Abdi kepada Khalik. Dan kita namakan kerinduan karena kelak para kekasihnya ini akan berjumpa dengan Sang Khalik sebagai balasan atas kerinduan dan penghambaan yang total dari mereka; yang bagi beberapa golongan Sunnah wal Jamaah, menyebut sufisme selalu lekat dengan nihilistik dan bidah-bidah ajaran baru yang melenceng. Tetapi justru pada nilai-nilai kemanusiaan, sufisme kembali diagungkan sebagai sebuah agape: cinta tanpa pamrih. Serupa syair-syair Abu Nawas yang merasa tak layak menjadi ahli surga tetapi mengakui bahwa ia tak akan kuat menanggung hukuman di neraka.
Syair semisal ini kita juga kenal lewat perkataan Nabi Isa: Tuhanku, ampunilah mereka sesungguhnya mereka tidak mengerti. Atau tafsir baru Gunawan Mohammad, yang berkata dalam puisinya, Tuhanku, sesungguhnya aku terlalu pandai untuk tidak mengerti.
Surat atau puisi Rabiah ini akan selalu hidup dari jaman ke jaman.
Wahai Tuhanku, apa pun jua bahagian dari dunia kini yang akan Kau anugerahkan padaku, anugerahkan itu pada musuh-musuh-Mu dan apa pun juga bahagian dari dunia akan tiba yang akan Kau anugerahkan padaku, anugerahkan itu pada sahabat-sahabat-Mu.
Di tangan Danarto cerpen sufisme itu melekat dalam ruang privat: ruang keluarga, keintiman sepasang suami istri, dan simbolisme itu begitu lekat dalam alur kisah cerpen itu sendiri. Bahwa apa yang kemudian hilang itu adalah sesuatu yang tidak hilang, ia mengada dalam sebuah sanubari: dan barangkali ia lebih kekal daripada kehadiran tubuh-tubuh wadaq tokohnya.
Dinding Ayah cerpen yang barangkali begitu menghantui tokohnya. Pencarian kepada sang tokoh ayah yang kita tidak tahu atau malah menebak bahwa sang ayah adalah binatang buas itu sendiri. Ketika sang tokoh, si anak, mencari ayahnya dengan kesia-kesiaan. Bahkan mengorbankan dua bodyguardnya itu. Ini adalah sebuah pencarian yang telah mengorban begitu banyak hal, begitu banyak kesia-siaan untuk menemukan sang ayah, yang tak pernah kembali tentu. Namun, dalam perjalanan yang lebih besar dari sosok sang obyek yang dicari, kita menemukan permata yang banyak: kisah-kisah pertempuran, kisah-kisah kehilangan, menandai peristiwa dan sublimitas waktu yang terjadi dalam rentang kisah itu. Barangkali ini bisa menjadi ciri-ciri sufistik di mana absurditas adalah landasan yang dipakai di dalam alurnya. Toh, hal ini bisa setuju atau tidak setuju.
 Cerpen Gandasturi, corak cerpen ini semacam anomali dari ledakan-ledakan cerpen di depannya. Cerpen ini cenderung realis, mengisahkan seorang Ibu yang dipenjara karena mencuri obat. Anehnya sang Ibu tidak menangis dan diam saja ketika diwawancari bahkan ketika dihabisi oleh jaksa di pengadilan. Kelak Sang Ibu itu akan menjelma sang pahlawan karena sebenarnya obat-obat yang dicuri itu adalah obat-obat yang hendak dijauhkan dari pasien karena bermasalah. Barangkali ini sebuah potrait peristiwa pada jaman Danarto menulis cerpen ini, yakni sekitar 1992. Kemenangan Danarto ketika menggarap cerpen yang ‘realis’ seperti ini adalah teknik penceritaannya, keintimannya dengan tokoh yang membuat kita terharu dan kerangka kemanusiaan di mana tokohnya membuat pandangan dan melakukan laku hidup.
Cerpen Balairung, lewat tokohnya seorang Dalang Ki Ageng Tjiptowiro, dalang sohor dari desa Tanjung Duren yang ditahan atas perintah Pak Bupati, semacam cerpen bertema kritik sosial. Secara tersirat maupun tersurat Danarto hendak mengatakan bahwa seorang “Petruk” representasi dari seorang kawula alit memang tidak berhak bicara/mengkritik seorang Raja ketika di Balairung. Pesan moralnya tentu bukan tidak boleh seorang kawula alit mengkritik seorang raja di balairung dan harus memakai alur protokoler birokrasi misalnya, tetapi bagaimana justru perilaku penguasa yang biasanya “tidak tahan” dengan kritikan yang menjadikan penguasa berbuat “berlebihan dan dzalim” kepada kawula alit tersebut. Nah, dalam cerpen Balairung ini, ending cerita itu menjadi sangat berbeda karena “Sang Bupati alias sang penguasa” kalah dan tenggelam dalam kaset sensor yang tak terhitung banyaknya –menjadi cermin betapa banyaknya korupt atau cacat yang telah ia lakukan sebagai penguasa. Kekalahan sang penguasa ini bisa dilihat bahwasanya “Petruk sebagai kawula alit adalah sang dalang itu sendiri yang ditahan karena menyuarakan hak-hak yang ditindas oleh penguasa.” Ini menjadi sebuah pesan moral yang hampir sama dengan nilai-nilai Syekh Siti Jenar, bahwasanya manunggaling kawula gusti dimaknai, tidak ada istilah kawula (atau rakyat) dan raja, semuanya hakikatnya sama di hadapan Sang Dalang. 
   Sebagai seorang penulis dan juga pelukis yang ingin membawakan pandangan baru dalam karya-karyanya baik itu sastra prosa maupun senirupa, Danarto meracik sebuah cerpen “Menu” yang sangat menyentil. Cerpen ini berkisah tentang seorang tokoh pelukis yang hendak mengundang makan para koleganya. Mereka –para kolega- itu kebanyakan adalah para kolektor lukisannya. Ekspetasi para kolega itu tentu cerminan keinginan dan harapan masyarakat itu tentang hasil senirupa itu sendiri. Baik itu perkembangan, capaian dan wacana-wacana baru dalam senirupa.  Namun, akan sangat berbeda ketika sang tokoh memberikan menu yang tidak biasa di meja makan itu. Para kolega yang mengharap mendapatkan makanan lezat yang bisa dicerna oleh perut hedonis mereka, ternyata hanya menemukan wacana-wacana dalam lukisan-lukisan kertas yang dibungkus tak beraturan. Menu-menu tak biasa itu menjadi santapan rohani yang sangat berbeda dari adat kebiasaan.
Dalam penghabisan kata ini, saya setuju dengan ucapan Eko Triono dalam pengantar kumpulan cerpen Gergasi ini –yang sengaja tidak saya baca sebelum membaca seluruh cerpennya- bahwa keajaiban teks-teks Danarto akan semakin memesona ruang dan waktu, jika bentangan peristiwa teks Danarto tidak dibatasi pembicaraannya, alih-alih langsung menikmati benturannya dengan tuntas. Teks cerpen Danarto melulu bisa menjadi perjumpaan baru justru karena keintiman kita dengan semesta yang selalu berbeda tiap personalnya. Nah, seberapa intim kita dengan semesta menentukan seberapa jauh kita bisa membaca cerpen Danarto. Wassalam.[]

// Andri Saptono, menulis cerpen dan novel. Salah satu bukunya yang memenangi Sayembara Dewan Kesenian Jawa Tengah,  Candik Ayu Segaramadu (Divapress). Aktif di Kamar Kata, Karanganyar.

Share:

0 komentar