Tak Semua Sayembara Menulis Layak Diikuti, oleh Frida Kurniawati



Seorang yang mengaku penulis yang bijak harus bisa menahan nafsunya dan memilah sayembara menulis mana saja yang layak diikuti.
Kalau saya menjadi penyelenggara sayembara menulis se-Indonesia berbasis situs menulis yang memiliki sistem seperti media sosial, saya akan berani menyediakan hadiah uang dengan nominal yang besar untuk menarik peserta sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, pihak saya juga akan menjadi tenar di mata mereka. Hadiah tersedia untuk dua kategori pemenang, terbaik pilihan juri dan terfavorit berdasarkan jumlah like. Nah, lalu lintas situs saya pasti akan ramai, atau bahkan macet, karena saya juga berani menyediakan hadiah besar untuk kategori terfavorit. Zangar, kan?
Lalu, siapa yang tahu, jenis penulis apa saja yang akan mengikuti sayembara ini? Bisa saja mereka berasal dari golongan penganut EYD (Ejaan yang Di-alay-kan), sampai beberapa gelintir alumni pelatihan menulis yang bonafide, yang memandang segala hal tentang sayembara kepenulisan secara serius (meski tak kunjung menelurkan karya jua), mungkin lebih serius ketimbang keseriusan pemerintah dalam memenuhi target proyek listrik 35.000 MW. Makanya, saya akan berusaha menampilkan kesan sekredibel mungkin, jangan sampai para peserta meragukan saya. Saya akan menampilkan nama-nama para juri dengan percaya diri. Lebih baik mengurangi nominal hadiah pemenang untuk menggaji juri yang ternama dan berkompeten ketimbang memakai juri seadanya.
Saya juga akan memilih Admin yang menguasai teknik penulisan yang benar, sehingga ketika mempublikasikan pengumuman, EYD (Ejaan yang Disempurnakan)-nya tidak amburadul. Sistem penilaian saya umumkan secara jelas, lengkap dengan kriteria penilaian, yaitu dari segi orisinalitas ide, kerapian penulisan menurut EYD, unsur twist, dan teknik penyampaian cerita. Seperti kata Pak Edi AH Iyubenu dalam pidato rektornya di tiap acara #KampusFiksi, teknik menulis dan ide cerita sama-sama pentingnya; tak bisa salah satu dinomorduakan dari yang lain. Kalau kata saya, seenak apa pun rasa keripik pisang, jika disajikan dalam kemasan plastik tanpa hiasan dan merk, ia akan kalah menarik dengan keripik pisang yang rasanya biasa saja, tapi dibungkus dalam plastik berstikerkan merk, diikat dengan pita nan cantik.
Pun, kata Damhuri Muhammad, redaktur fiksi Media Indonesia, dalam materi yang beliau sampaikan di #KampusFiksi 15, “Lakukanlah sebisa mungkin hal-hal yang bisa meringankan pekerjaan redaktur (dan editor)”. Akan menjadi aneh, jika juri saya lebih mementingkan kreativitas ide cerita ketimbang EYD. Kecuali jika juri saya masokis, gemar menyakiti mata sendiri demi membaca karya yang teknik menulisnya bak telur orak-arik: hancur.
Dari awal, saya tidak menyebutkan akan ada pemilihan 40 besar. Maka dari itu, kredibilitas saya pasti akan babak-belur oleh inkonsistensi jika tiba-tiba beberapa hari setelah sayembara menulis ditutup, admin saya mengumumkan daftar 40 besar terbaik pilihan juri yang lolos tahap 2. Apalagi jika kebanyakan karya yang termasuk dalam daftar tersebut adalah penganut Ejaan yang Di-alay-kan. Jika saya nekat memilih 40 besar yang seperti itu, bisa dipastikan, status laman Facebook saya akan dihujani komentar nyinyir bernada kekecewaan dari para peserta lain. Nah, kalau itu terjadi, saya akan menggelar rapat internal secepatnya, bagaimana menghadapi komentar-komentar pedas yang terus bertambah itu.
Beberapa hari kemudian, Admin saya mengedit pengumuman itu. Frasa “40 besar terbaik pilihan juri yang lolos ke tahap 2” dihapus, dan diganti dengan “beberapa karya yang dipilih untuk survey peminat genre”, lengkap dengan keterangan di dalam kurung dengan huruf tebal “perlu diingat kalau daftar ini tidak menentukan pemenang”. Kemudian, ada peserta yang bertanya tentang maksud “survey genre” itu, Admin saya akan ngeles, “Juri mengambil beberapa genre dari cerita yang bisa dikembangkan ke depannya (hanya untuk survey cerita yang bagaimana yang disukai user).” Jujur saja, Admin saya juga bingung, apa itu “survey genre”, karena istilah itu murni tercetus berkat bakat ngeles, yang sudah pasti tak menggandeng logika.
“Cerita yang bisa dikembangkan ke depannya ini untuk apa, Min?”
Nah, Admin saya, yang sudah kepepet tidak bisa ngeles lagi, akhirnya menciptakan blunder, “Tidak akan untuk apa-apa, karena kami ingin tahu saja tipe pembaca dari seluruh Indonesia, lebih menyukai genre yang seperti apa.”
Bisa saya bayangkan, betapa kecewanya para peserta yang tadinya masuk 40 besar, dan sudah yakin akan jadi pemenang, ketika tiba-tiba Admin saya menerbitkan pengumuman bahwa 40 besar itu bukan untuk menentukan pemenang. Akhirnya, pada jadwal yang telah saya tentukan untuk pengumuman pemenang yang sesungguhnya, karena rasa tidak enak hati terhadap para 40 besar, juri saya bersikeras memasukkan beberapa dari mereka ke daftar pemenang. Sembari menggigit bibir orang, saya harap-harap cemas, kok pengumuman pemenang ini tidak disambut semeriah pengumuman 40 besar?

***

Kalau saya jadi salah satu peserta sayembara menulis itu, sudah bisa dipastikan saya akan ketawa guling-guling di atas lautan air mata. Betapa gigihnya sang Admin dalam per-ngeles-annya. Padahal sebelumnya, sebagai orang terpelajar, yang baru-baru ini mulai selalu berusaha bersikap dan berpikir adil, sebagaimana wejangan tokoh Jean Marais kepada Minke dalam Bumi Manusia, "Seorang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran," saya berusaha berpikir positif. Berusaha menepis keraguan akan kompetensi para juri yang nama-namanya seolah dirahasiakan itu. Berusaha menepis bisik-bisik setan bahwa situs menulis penyelenggara sayembara ini kurang bonafide.
Selepas drama 40 besar itu, saya pasti tak akan lagi berselera mengikuti perkembangannya. Namun, saya boleh tersenyum sedikit menjumpai secuil karya yang menurut saya berkualitas ada di daftar pemenang sungguhan, meski hanya di jajaran pemenang harapan dan hiburan. Ya, cukup menghibur saya, meski sambil ngedumel, “Katanya keunikan ide lebih penting daripada EYD, lah ini karya pemenang 1-2-3-nya kalah unik daripada beberapa pemenang harapan dan hiburan.”
Kalau saya jadi pemenangnya, saya tak akan bangga sedikit pun. Tapi kalau senang sehabis menerima hadiah besarnya itu, boleh, kan? Sudah bikin karya seadanya, menang, dapat hadiah pula! Betapa nikmatnya hidup jadi penulis! ||

Tags:

Share:

0 komentar