Sastra Itu Tulisan Melulu, Jadi Malas Buat Baca, oleh Bintang Maulana Zakariya



Dunia sastra identik dengan buku, naskah atau manuskrip yang sebenarnya saat ini telah dianggap ketinggalan zaman. Keberadaan media elektronik telah hampir membunuh keberadaan buku-buku sastra, terlebih sastra-sastra klasik. Zaman telah berubah, karya sastra tidak lagi seelok beberapa tahun yang lalu. Para penulis muda rupa-rupanya lebih memilih untuk menjadi penulis gosip dadakan di media sosial ketimbang menjadi penulis karya sastra. Perpustakaan-perpustakaan di kota-kota besar, baik perpustakaan daerah, perpustakaan kampus maupun perpustakaan sekolah terlihat lebih rapi dalam beberapa tahun belakangan, kecuali perpustakaan yang berfasilitas wifi.
Semakin banyaknya orang terdidik, semakin jarang pula kesadaran mereka untuk membaca karya sastra. Sebagian besar manusia terdidik yang pernah saya temui mengatakan bahwa karya sastra itu membosankan. Tulisan-tulisan yang begitu panjang dengan tata bahasa yang rumit untuk dipahami menjadi salah satu penyebab mereka menjadi malas untuk membaca karya sastra. Apalagi ditambah bahwa sebagian besar karya sastra tidak menyertakan gambar atau ilustrasi di dalamnya. Memangnya bacaan komik, kok, minta ada gambarnya? Karya sastra seakan-akan dikalahkan dengan berita-berita semacam gosip, isu politik, hiburan, teknologi dan tulisan-tulisan non-sastra lainnya.
Masih teringat betul wejangan dari guru sastra saya semasa duduk di bangku SMA dahulu. Beliau berkata bahwa “sastra membuat hidup lebih hidup”, yang mana karya sastra adalah penawar kenikmatan bagi manusia dari rutinitas kesehariannya yang begitu menjenuhkan. Kejenuhan manusia saat ini rasa-rasanya cukup diobati dengan rekreasi semata, tidak lagi memerlukan karya sastra sebagai sarana hiburan. Penyair Romawi kuno, Horatius merumuskan manfaat karya sastra dengan ungkapan yang padat, yaitu dulce et utile “menyenangkan dan bermanfaat”. Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang diberikan oleh karya sastra, sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan karya sastra.
Pengalaman hidup yang ditawarkan karya sastra hendaknya dapat diambil hikmahnya dari setiap peristiwa yang diceritakan. Melalui penggalan-penggalan kata yang memiliki makna dapat dijadikan pembelajaran bagi kehidupan manusia. Karya sastra juga turut berperan serta dalam membentuk kebudayaan bangsa dan melahirkan peradaban baru. Namun sayang seribu sayang, karena kita mulai terbiasa mengacuhkan karya sastra rupa-rupanya kita juga seperti telah kehilangan kepribadian sebagai bangsa yang berbudaya. Akibatnya saat ini begitu banyak ketimpangan kepribadian yang kita rasakan secara tidak langsung.

Apa yang Salah dengan Sastra?
Merujuk pada komentar Yudhi Herwibowo yang dimuat di koran Solopos pada hari Senin 19 Desember 2016, bahwa faktanya sejumlah generasi muda saat ini kesulitan membaca sastra klasik lantaran tidak familiar dengan bahasanya. Yudhi memiliki ide agar muncul upaya kreatif agar karya sastra tetap hidup di kalangan generasi muda. Hal ini tentunya turut mendongkrak bagaimana caranya agar generasi muda mulai terbiasa untuk membaca karya sastra sejak dini.
Tapi yang menjadi pertanyaan awal adalah mengapa rata-rata generasi muda kita tiba-tiba menjadi malas untuk membaca karya sastra? Apakah memang bahasa yang digunakan dalam karya sastra begitu sulit untuk dipahami? Atau karena berbeda zaman? Atau seperti asumsi penulis di awal, yang mana karya sastra itu identik dengan tulisan yang panjang-panjang sehingga mereka benar-benar malas untuk membacanya? Atau memang sejak awal mereka memang tidak suka dengan yang namanya kegiatan membaca?
Dampak yang dirasakan dari mengacuhkan karya sastra adalah munculnya rasa malas bagi para manusia untuk membaca. Malas untuk membaca kebenaran. Malas untuk membaca keseluruhan tulisan dari awal, karena memang kita telah membiasakan diri untuk tidak mengulas sebuah tulisan atau karya sastra secara mendalam. Akibatnya, kita menjadi lebih terbiasa dengan tulisan-tulisan instan semacam headline news, sinopsis atau tulisan-tulisan yang tidak jelas asal muasal sumber terpercayanya. Imbasnya di kemudian waktu, akan bemunculan yang namanya informasi palsu atau yang saat ini akrab disebut sebagai hoax.
Dari bangku akademik saat ini yang notabene diisi oleh manusia-manusia terdidik bahkan jauh lebih parah. Akibat tidak melatih diri untuk membaca karya sastra, mereka kebanyakan justru lebih memilih jalan pintas dengan cara copy paste untuk karya tulis mereka atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Padahal cara copy paste adalah bentuk plagiasi yang diharamkan oleh dunia akademik. Mengutip suatu tulisan pun kadang kala tak mereka lakukan. Entah tidak memahami cara mengutip sebuah tulisan yang benar atau memang mereka malas untuk membaca kutipan tersebut.
Mungkinkah kita perlu merenovasi bentuk karya sastra sehingga para manusia menjadi tertarik untuk membaca karya sastra? Syukur-syukur mau untuk memperdalaminya. Apakah perlu mengganti gaya kepenulisan karya sastra menjadi lebih pop atau kekinian sehingga semua manusia dapat memahami karya sastra sebagai bagian dari kehidupan mereka? Atau bahkan perlu menambahkan ilustrasi pada tiap-tiap kata dalam karya sastra sehingga lebih mudah dipahami? Entahlah, mungkin upaya-upaya kreatif mutlak diperlukan di sini, supaya karya sastra dapat menjadi pondasi utama dalam menciptakan kepribadian manusia dan kepribadian bangsa.

Tags:

Share:

0 komentar