Harga Sastra Indonesia, oleh Ngadiyo



Sastra Indonesia kekinian mulai hangat. Penerbitan kerja sastra, terutama dari sastrawan muda semakin menggeliat. Terlebih, seleksi naskah yang sepertinya tidak terlalu sulit, membuat gairah menerbitkan buku-buku berupa kumpulan cerpen, kumpulan puisi dan novel terus bertambah banyak. Hampir tidak ada penerbitan buku drama/ lakon.
Munculnya penerbit-penerbit indie memberi kemudahan sekaligus kerja keras bagaimana menjual buku-buku sastra karya pengarang Indonesia. Bahkan, pengarang yang belum pernah dimuat di media massa berburu bukunya sendiri untuk diterbitkan. Kalau pengalaman sastrawan senior dulu harus mengantre kesabaran mengirim naskah dan ditolak berkali-kali, sehingga namanya diperhitungkan media dan penerbit besar, saya merasa kerja sastra Indonesia memang mengalami banyak perubahan. Terutama berkat pencagihan teknologi informasi.
Sewaktu masyarakat Indonesia belum berbuku, berkoran dan berlangganan majalah, secara mengglobal dan massif, telepon pintar menghantui mata-mata masyarakat kita. Halaman koran semakin menipis. Beberapa majalah nasional kawakan harus tidak terbit lagi. Kolom demi kolom khusus rubrik sastra, terutama puisi, cerpen, esai, resensi buku tetap dipertahankan.
Pemuatan karya sastra semakin lebih cepat dan mudah diakses. Alamat redaksi dari koran-koran lokal dan nasional seluruh Indonesia menerima karya sastra. Pengumuman pemuatannya pun menjadi kebahagiaan tersendiri. Ada beberapa teman penulis yang mengelola grup sastra untuk mengabarkan karya siapa dan dimuat di koran apa. Karya  sastra mingguan yang terbit akhir pekan: Sabtu dan Minggu menjadi penantian para pengarang. Saling memberi ucapan selamat kepada sesama pengarang bila dimuat menjadi komunikasi di layar telepon pintar yang mengasyikkan.
Nama-nama pengarang di sosial media semakin mudah dikenali publik. Ini saling menguntungkan. Karya-karya mereka juga bisa dibeli secara on line lewat akun media sosial mulai dari Facebook, Instagram, juga web khusus untuk jual beli: tokopedia, dan lainnya. Keberkahan penjualan karya sastra membuat semakin menjamurnya jasa pengiriman barang. Karena, penjualan on line shop terus saja meningkat.
Namun, daya tahan membaca, berbelanja buku dan jumlah buku-buku sastra, bercampur dengan gempuran penerbitan buku sastra terjemahan membuat saya kewalahan menikmati bacaan sastra itu. Saya tidak mau menyalahkan diri dengan tidak punya banyak waktu untuk membaca. Terlebih, program kerja dari banyak penerbit yang membuka ruang selebar dan sebebas untuk para pengarang agar karya sastra mereka diterbitkan secara terbatas. Paling tidak cetak 300 eksemplar, juga banyak tawaran dari penerbit untuk bekerja sama dengan para pengarang menerbitkan karya mereka dengan komitmen biaya ditanggung pengarang sendiri.
Sehingga, sekarang ini, saya merasakan secara pribadi dengan sesama pengarang untuk sama-sama berjualan karya sendiri. Dikarang sendiri, diterbitkan sendiri, dijual sendiri. Walaupun pada dasarnya tidak masalah.
Saya ingat, Godlob karya Danarto penerbitannya dibiayai oleh sahabatnya, yaitu koreografer kondang Sardono. Sehingga karya Danarto melejit dan melegenda sampai sekarang. Sapardi Djoko Damono penerbitan puisinya juga dibantu oleh sahabatnya yang seorang pelukis. Saling membantu menerbitkan karya sastra semakin membuat harga sastra Indonesia memiliki rasa pertemanan sesama pengarang.
Perdagangan buku di Indonesia, secara bisnis harus saling menguntungkan antara pengarang, penerbit, dan pembaca. Kekayaan tema yang digarap, memberi sentuhan tersendiri untuk memilih bacaan selera. Walaupun, harga karya sastra Indonesia dari pengarang terkenal secara berkala seiring oplah yang membabibuta harus berangsung diobral mulai dari lima ribuan di pameran dan toko buku paling besar di Indonesia.
Sayembara penulisan novel dan puisi Dewan Kesenian Jakarta melahirkan sastrawan-sastrawan lomba mengarang. Nama-nama pengarang baru, yang sebelumnya jarang ditemukan karyanya di koran, tiba-tiba terkenal sebagai novelis. Keberhasilan ini membuat harga sastra berupa novel, kumpulan cerpen dan kumpulan puisi semakin diperhitungkan. Pembaca sastra semakin merasakan hal ini.
Para sastrawan senior Indonesia sebutlah Umar Kayam, Seno Gumira Aji Darma, Leila S Chudori, memiliki daya jual yang selalu mapan atau stabil. Sangat jarang dan hampir tidak pernah karya mereka diobal. Juga, pengarang ngepop kekinian seperti Dewi Lestari, dan yang lebih mengerikan dengan stempel di sampul depan telah dibaca sekian juta berkat teknologi Wattpad, muncul selebritas sastrawan yang digemari anak muda. Dari teknologi aplikasi menulis ini, kemudian dicetak menjadi buku fisik. Para pembaca membeli novel mereka dengan harga sebanding dengan para sastrawan yang sudah malang melintang. Tidak bisa dihindari pencagihan teknologi ini, mengurangi daya beli buku fisik. Kecewa. ||

Tags:

Share:

0 komentar