Puisi Anna Subekti
Merah Marah Darah
Bayang api berpendar di jendela kaca rumahmu
lelaki lajang dan wanita jalang
bercengkerama tanpa kata di ambang pintu
marah merah
peri malam bersandar batu pualam
menangkap tatap kosong
nanar
aku meminta jeda, dalam setiap baris yang kau sebut kata
Puisi Fatimah Wahyu Sundari
Lukisan-lukisan Garam
Berjalan sunyi di tepi laut
Menuju gubug tua
Kita akan bercerita
Dalam kaca bermuram cahaya
Kudengar dengkurmu di kamar sebelah
Ingin segera kuserahkan
Segala tunduk, cium, rinduku padamu
Mata kita menemukan lukisan-lukisan garam
Tak memerihkan namun memerahkan
Kau hisap darahku rakus
Hingga ombak yang menjerit
Terkalahkan gelombang tawamu
Lalu kita menapaki serakan pasir putih
Ku sapa angin bersama nyawa yang terlelap
Menuju jembatan dingin
Aku tak sanggup mengungkap senyum
Meski jejak langkahmu selalu kuikuti
Fatimah Wahyu Sundari, penyair muda asli Karanganyar. Siswi XII IPS SMA Al Muayyad Surakarta. Bergiat di komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad.
Puisi Fanny Chotimah
Gelas-gelas Tak Bertuan
Gelas-gelas itu berdiri pasrah di atas meja
dengan endapan teh manis, ampas kopi, air putih dan genangan semut.
Gelas-gelas itu menunggu sebuah genggaman.
Gelas-gelas itu selalu terjaga meski ditinggalkan.
Ia mungkin tak ingat berapa banyak bibir yang pernah mengecupnya.
Namun ia tak pernah lupa akan kecupan pertama dari perempuan
tanpa perona bibir. Meninggalkan jejak lekat di ingatan,
air sabun tak bisa menghapusnya.
Jejak itu selalu ada di sana, menunggu pemiliknya kembali.
Gelas-gelas itu setia menemani percakapan.
Kunjungan tak terduga seorang tamu
yang diharapkan maupun tidak.
Gelas-gelas itu merayakan kedatangan.
Gelas-gelas itu teman kesepian.
2010
Fanny Chotimah, perempuan pemalas yang sering bangun kesiangan, hobi cuci piring ditinggal di Solo.
Puisi Indah Darmastuti
Mengartikanmu
: Yang Pernah Tinggal di Osaka
Kelopak melati cintaku
Mengantar mekar, mengumbar wangi setanggi temui hatimu
Kau yang di jauh
Kau yang tak tersentuh oleh jejariku dengan madu yang menyepuh
Manis tercecap gilapkan bibir hausmu
Mengayuh rengkuh tatkala rindu hadir menggebu
Ingin kuselimutkan padamu, rambutku yang telah kucuci
Ingin kutidurkan engkau dalam gelaran zaman yang teranyam
Lalu kukidungkan nyanyian sukma dan doa tanpa ratap dan air mata
Lalu kau akan terbangun pada pagi
Tanpa kau temui tubuhku berada di sisi
Selain wangi melati
yang mengantarmu menjumpai hadirku dalam bayang dan mimpi
Solo, 6 Juni 2000
Indah Darmastuti, karya-karyanya tersebar di berbagai media. Novelnya Kepompong telah diterbitkan oleh Jalasutra.
Puisi Miftahul Abrori
Kancing Baju
1
Di Ranjang aku tertusuk kain matamu
Benang biru yang memburu benih
Tergantung di jendela berpagar rindu
Mengurai mimpi di selakang waktu
Aku membiarkan pijakan kakimu
Terbenam di antara rayuan
Melupakan warna pilu
lalu terburai di kancing baju
Malam yang telah kita sepakati
Lelap dalam sepi menipu
2
Bumi merah menelan darah
manusia digelendeng seperti keledai
menjadi tumbal kebodohjan
orang-orang penuh debu
orang-orang berwajah biru
dipermainkan peradaban
Tangan melepuh membuka pagar besi
pelan tanpa menyesatkan bunyi
sepatu dilepas lalu menyapa pintu
matanya tertinggal
menatap sekeranjang tumpukan benang
api tak lagi panas
mengambang tersengat tali
dikancing baju
ia menitip semburat ngilu
Bumi Mangkuyudan, Januari 2011
Miftahul Abrori, bergiat di Thariqat Sastra Sapu Jagad dan Paguyuban Manunggaling Kawula lan Sastra. Masih kuliah di Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta.
Puisi Sartika Dian
Ibuku dan Ibumu
air dan hujan
siapa kalian? ibuku atau ibumu?
ataukah ibu yang lain yang diam
sementara debu beterbangan dan menempel di rimbunnya pepohonan
langit yang di atasnya
ada pendar bintang seribu
kejora, kaliankah ibuku atau ibumu yang turut melangkah bersama pendulum bisu yang berdetak detik
pasir putih dan segala
gejolak di dalamnya
adalah klimaks da gambar-gambar kosong
gelombangnya membawaku, musuh dalam ketiadaan
semalam entah mengapa ada
mimpi yang kosong
berbicara tentangmu
tak ada klimaks
yang ada hanya samar-samar
memayahkan tubuhmu
dan putih bergoyang-goyang
sutau hari ada pualam yang retak di antara kakiku dan kakimu
kita menikmati malam pukah berdua
ibuku patah
ibumu ternyata juga
25 Nov 2010
Sartika Dian Nuraini, esais dan aktif di Pengajian Senin (Solo)
Puisi Siska Afriani
Kesaksian Kelopak Mawar Hutan
Dan ketika subuh itu berada dalam kedamaian tak bertuan,
Kau selalu terbangun dari mimpi-mimpi tak beralasan,
Lalu bersicepat dengan waktu,
Menyibak kerumunan embun pagi yang mungkin
akan meremukkan tubuh ringkihmu,
Mendaki punggung bukit yang tak lagi sepantaran dengan usiamu.
Kau tau.....?
Semua orang masih terlelap menjemput mimpinya dalam angan tak nyata,
Nyonya-nyonya besar itu masih berpeluk erat dengan suami mereka,
Dan para pelacur itu baru saja menikmati hidup yang baru mereka rengkuh,
Sementara kau.....
Harus bergelut dengan dinginnya pagi,
Memunguti kelopak-kelopak mawar hutan
Untuk memuaskan cacing-cacing yang selalu berkerontangan dalam perutmu.
Lalu adilkah hidup ini bagimu...?
***
Alunan lagu sunyi disubuh itu
selalu membangunkanku dari mimpi-mimpi yang berkesan,
Lalu berpacu dengan waktu,
Menyibak kerumunan embun pagi yang menyejukkan tubuh ringkihku,
Bercengkrama dengan punggung bukit yang mematangkanku bersama dengan waktu.
Ketika aku melangkah dalam hening subuh itu
Mungkin saja orang-orang di kota besar-yang tak pernah kutahu pasti namanya-
masih terlelap menjemput mimpi,
Tapi bagiku ini kenikmatan hidup tak terperi.
Bagiku inilah kenikmatan hidup,
Menjadi tua tanpa perlu bergantung pada anak cucu,
Memberi hidup pada hidupku tanpa perlu menunggu,
Mengumpulkan mawar-mawar hutan yang akan menyenangkan
cacing-cacing yang kadang berontak dalam perutku,
Dan kembali menunggu pagi,
Untuk kembali berpacu dengan waktu,
Bukankah hidup ini adil padaku...???
Januari 2011
Siska Afriani, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, 2009, Universitas Negeri Padang.
Puisi Yudhi Herwibowo
Kain Merah Pudar
kain merah pudar yang kausampirkan di relungku
adalah kain yang dulunya putih
tempat kita mencoreti masa lalu
kau masih saja terluka
di meja makan bundar, tempat kau dan aku bersantap
bersama anak-anakmu, anak-anakku
kau akan selalu bercerita tentang bekas luka di dahimu: kemarahanmu
seakan luka itu masih mengerak perih
dengan kata-kata kramat leluhur yang terpekik
dan aku: hanya bisa menggelung kata
kau memang telah berubah,
tidak semenjak kau sampirkan kain merah pudar itu di relungku
tidak, tidak: tapi jauh, jauh selebih itu
kini kau bahkan begitu berapi
seakan mendapat wangsit, yang sebenarnya hanyalah pangsit di wadah busuk
kau bahkan mengubah semuanya: mencoreti lagi dengan kata-kata leluhurmu di kain merah pudar ini, hingga menjadi lebih kusam
seakan telah menyembuhkan penyakit paling kronis diri kita: kematian
dan aku hanya akan berlirih: ‘maafkan aku, karena tak bisa ikut denganmu…’
tapi kain merah pudar ini, biarlah tetap di sini.
solo, juli 2008
Yudhi Herwibowo, sudah menulis beberapa buku, buku terakhirnya yang baru dirilis Untung Surapati, sebuah roman sejarah.
Jika ada yang bertanya kepada saya: “Bagaimana perasaanmu saat Anak Arloji dibincang teman-teman penggiat sastra di Solo?” – akan saya jawab: “Itulah malam paling mengharukan untuk awal perjalanan buku.”
Syahdan, saya, Endah, dan Raya berniat membesuk sahabat kami, Sanie B Kuncoro di Solo yang sakit dan baru menjalani operasi. Disepakati akan terbang pada Sabtu pagi, 26 Maret. Tidak ada niat lain kecuali hendak membesarkan hati Sanie, mau ngobrol sepuasnya untuk menghiburnya. Namun, empat hari menjelang keberangkatan, Susan (panggilan lain Sanie) justru mengusulkan agar kedatangan kami sekalian untuk mendiskusikan buku saya, Anak Arloji. Hah?
Sungguh kami merasa tak tahu diri jika niat besuk berubah jadi mendiskusikan buku andai kata usul itu datang dari salah satu di antara kami. Susan berulang kali meyakinkan bahwa itu tak masalah, bahkan ia yang kemudian mengerahkan para sahabatnya untuk bertindak cepat membentuk “panitia”. Demikianlah, maka pada Rabu malam 23 Maret, saya mengirimkan naskah Anak Arloji, untuk mempercepat pembacaan mengingat buku belum tentu terkejar jika dikirim via pos.
Yudhi Herwibowo, kawan seiring ketika di Festival Ubud, begitu ringan tangan menghubungi lima penulis Solo untuk membahas (mengurai, menurut bahasa Yudhi) dan seorang pembaca cerpen. Lima penulis itu tampaknya mewakili beberapa ‘aliran’. Endah, sebagai marketing komunikasi penerbit Serambi menjanjikan 5 buah buku untuk para pengurai itu.
Ringkas kisah, kami bertiga tiba di Solo langsung ke rumah Susan untuk menunaikan tujuan utama: berkunjung dan menghibur. Suasana terasa mengharu-biru ketika Susan turun ke jalan untuk menyambut kami, memeluk dengan sepenuh rindu. Susan yang menyebut dirinya sebagai kunang-kunang dengan sebelah sayap itu sudah pandai tersenyum dan bercerita tiada henti. Apalagi, ternyata, ia mendapat kejutan dengan kehadiran Aling dan Widya yang diam-diam.
Menjelang sore, saya dan Raya check in di Lor In, sedangkan Endah akan menginap di rumah Susan. Kami berpisah, beristirahat untuk persiapan acara “Mengurai Anak Arloji” di Balai Soedjatmoko lantai dasar Gramedia Jl. Slamet Riyadi, Solo. Usai magrib kami janjian bertemu di lokasi.
Demikianlah…dari berbagai jurusan akhirnya kami berkumpul di tempat acara. Karpet digelar di salah satu ruang yang konon dulu merupakan rumah dan perpustakaan milik Soedjatmoko, sang budayawan. Satu per satu pengurai dan peserta datang. Sebelum acara berlangsung, kami makan malam nasi gudeg Adem Ayem. Pukul 19:30, Susan mengambil mic dan memulai ‘tugasnya’ sebagai moderator. Teman-teman, para pembahas dan pendengar, yang pada satu titik tertentu mencapai jumlah 34 orang, menyeputar lesehan dengan karib.
Susan memperkenalkan saya, lalu saya bercerita sedikit mengenai perjalanan buku Anak Arloji sejak manuskrip sampai Anton Kurnia dari Serambi meminang untuk menerbitkannya. Rasanya begitu lekas, tanggal 17 Februari keputusan dibuat, pada 11 Maret buku sudah selesai cetak dan sempat mejeng dengan aroma tinta cetak masih segar di Islamic Book Fair Istora Senayan, Jakarta. Pada hari Minggu 13 Maret, Anak Arloji menjadi bahan talkshow di RRI Pro 2 Fm. Launching berlangsung pada malam Minggu, 19 Maret di Taman Kuliner Kalimalang Jakarta Timur dengan pembacaan yang mengasyikkan oleh: Aurelia Tiara Widjanarko, Budiman Sudjatmiko, Khrisna Pabichara, Ine Febrianti, dan Sujiwo Tejo. Penampilan music oleh E-coustic dan Diksy Traff. Keesokan sorenya, kembali talkshow Anak Arloji mengudara di radio D-Fm.
Gairah tak kunjung reda dengan adanya perbincangan Anak Arloji di ruang yang menjadi bagian dari Bentara Budaya Solo. Sengaja formatnya dibikin bukan sebagai diskusi serius. Kami berbincang santai dengan saling mengungkapkan kesan pembacaan dari masing-masing pengurai. Dan malam itu, saya meminta semua teman jujur menyampaikan kritik dan saran, bukan untuk memberikan pujian. Dengan suasana serupa itu, justru saya mendapatkan banyak manfaat.
Pembacaan petikan cerpen Anak Arloji oleh Sartikan Dian, mengawali perbincangan. Susan mendaulat secara berturut-turut: Abednego, Yudi Teha, Andri Saptono, Nashita, Han Gagas, dan Yudhi Herwibowo. Sesekali Bandung Mawardi member komentar. Nah, saya merasa senang karena kemudian mendapatkan beberapa hal penting, antara lain:
- Ada ketidaklogisan pada cerpen Kuku Kelingking (Nashita), sementara menurut Yudi Teha, cerpen itu merupakan simbolisasi pengorbanan seorang Ibu yang mencintai anaknya. Lain lagi dengan pendapat Han Gagas, yang menganggap ide sederhana tentang anak-anak yang sulit makan namun menjadi cerita yang berkembang.
- Aromawar yang dibangun dengan indah berakhir mentah menurut Andri, tetapi justru menjadi favorit Nashita, sedangkan Yudhi Herwibowo merasa surprise karena tokoh cerpen ini merujuk pada kisah-kisah HC Andersen
- Han Gagas menganggap cerpen-cerpen dalam Anak Arloji tidak berpihak pada kesadaran lingkungan dan tidak menemukan gagasan ilmu lain semisal filsafat. Di sisi lain, Nashita (dari Forum Lingkar Pena Solo) menganggap tidak ada pesan moral dalam buku itu.
- Yudhi Herwibowo merasa terganggu oleh nama Andria pada cerpen Tetes Hujan Menjadi Abu, juga kecewa dengan akhir cerpen Noriyu yang terasa dipaksakan. Sedangkan Andri Saptono menganggap kisah nabi yang dikutip untuk cerpen Jalan Teduh Menuju Rumah kurang akurat.
Dan tentu banyak lagi yang saya anggap sebagai uraian kritis dan menjadi masukan bermanfaat. Perbedaan pendapat antarsahabat juga menunjukkan selera dan tafsir masing-masing yang justru memperkaya wawasan. Saya yakin, malam itu, teman-teman begitu tulus menyampaikan pendapat dan itu bukti rasa sayang terhadap kepengarangan saya.
Susan tidak setuju dengan istilah “pengarang sudah mati”, untuk membuat saya perlu bertanggung jawab dengan hasil proses kreatif itu. Malam bergerak dengan sangat menarik, diakhiri dengan book signing dan foto bersama. Mudah-mudahan iklim keterbukaan semacam itu bisa saya pelihara dalam banyak diskusi berikutnya.
Untuk semua yang telah berjalan dengan indah, ternyata merupakan campur tangan ikhlas banyak sahabat. Oleh karena itu, sangat patut saya mengucapkan terima kasih kepada:
-Susan Sanie B. Kuncoro atas prakarsa menyelenggarakan bincang Anak Arloji di Solo dan menyediakan kudapan jajan pasar untuk para peserta
-Yudhi Herwibowo yang menggerakan semua penggiat sastra untuk membaca, mengurai, dan memberikan pendapat secara jujur
-Yunanto yang menyediakan fasilitas ruang dan sound system di Balai Soedjatmoko, Gramedia Solo
-Abednego, Andri Saptono, Nashita, Yudi Teha, Han Gagas, Bandung Mawardi, dan Yudhi Herwibowo yang telah mengurai Anak Arloji dengan sudut pandang dan cara masing-masing
-Sartika Dian yang telah membacakan petikan cerpen Anak Arloji
-Pak Edy Susanto, Pak Santoso, dan Pak Teguh Jaya dari Solo Indonesia Utama yang telah memberikan fasilitas kendaraan dan wisata kuliner selama saya di Solo
-Pak Doni Warna yang menyediakan makan malam para peserta diskusi
-Henri Raya Batubara yang menyediakan penginapan di hotel Lor In Solo
-Endah Sulwesi yang mengawal kegiatan diskusi dan dokumentasi acara
Tak lupa untuk para peserta yang hadir malam itu, terima kasih mendalam.
Salam,
Kurnia Effendi
Para kontributor edisi ini:
Aliko Sunawang
Alyn
Anna Subekti
Afinawan
Arif Saifudin Yudistira
Ashfiya Nur Atqiya
Asni Furaida
Bandung Mawardi
Budiawan Dwi S.
Budhi Setyawan
Berto Tukan
Dinda Ayu Is Wardani
Dieqy Hasbi Widhana
Doli
Eko Cahyono
Ekwan N. Wiratno
Erwina
Fanny Chotimah
Fatimah Wahyu Sundari
Han Gagas
Haris Firdaus
I Putu Gede Pradipta
Indah Darmastuti
J.B. Sukoco
Joko Wahyono
Kukuh
Miftahul Abrori
Niken Kinanti
Puitri Hati Ningsih
Saeful Achyar
Sartika Dian Nuraini
Seruni
Shinjie
Sije Nastino
Siska Afriani
Sonksky Ekalya Mardika
Yudhi Herwibowo
Yunanto Sutyastomo
catatan:
karena keterbatasan dana buletin pawon kali ini kami cetak lebih terbatas,dan cover pun hanya kami cetak 1 warna... maaf...
Tentang Kami
- Buletin Sastra PAWON
- didirikan dan didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo, Jawa Tengah. Terbit pertama kali pada Januari 2007. Dalam perjalanan waktu, buletin PAWON meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan lain sebagainya.