TIDURLAH ENGKAU, TIDUR
Tidurlah
engkau, tidur
bagai
seseorang bertamasya dalam sihir
Tidurlah
engkau, tidur
pulas
dalam seribu impian
dari
awal sampai akhir
Hari
kan lena berlalu tanpa cerita
peristiwa
kan berlalu tiada berita
Di sini
engkau bakal terlelap jauh dan dalam
aman
dalam pelukan anugerah alam
Tidurlah
engkau, tidur
puas
tanpa sedu sedan jaman yang sakit
Tidurlah
engkau, tidur
tiada
peduli tangis sejarah
yang
tak pernah bangkit
Hari
ini genaplah sudah
apa
lagi yang dirisaukan?
Hari
ini sempurna sudah lingkaran waktu
apa
lagi yang ditunggu?
Tidurlah
jiwaku, tidur
pulas
dalam sihir waktu
Tidurlah
sukmaku, tidur
lelap
dalam jiwa yang padu
1969
SAJAK 1969
Hujan
Desember masih bertahan sejak siang
Renyai.
Mengurung waktu
Senja
semakin asing
kota
pun malas terkantuk-kantuk
Segalanya
tergenang
Menderas
kenangan
lagu
pun sayup. Belaian
yang
tersia, sisa usia
Ragu
dan bertanya
kapan
engkau terbangun
dari
lena kantukmu
Nikmat
dan
lupa
Di sini
berdiri tugu
dan di
sini engkau istirah
Di sini
kita bertemu
di sini
kita berpisah
Menderas
kenangan
menderas
haru
Menderas
hujan
menderas
tangis
kenangan
pun
tak
habis-habis
1969
KUPANDANG LANGIT DARI BERANDA
Baru
jam 9 pagi, aku masih ingat, engkau berdiri di beranda itu. Gerimis belum sampai
menderas menjadi hujan, matahari masih sempat menganyam ribuan jari-jari
berwarna, membiaskan bianglala yang biru dan ungu, merah jingga di langit
utara. Engkau mulai terhibur dari mimpi buruk yang mengusik tidurmu semalam. Dari
sangkar kuning yang tergantung di pokok jambu, burung nuri yang mungil
bercuit-cuit menyambut lagu kanak-kanak dari radio tetangga: "Kupandang langit penuh bintang..."
Adakah
yang akan kaukatakan menjelang parak siang, sebelum mimpi kembali datang lalu
menjelma bayang-bayang? Engkau selalu terdiam pabila aku bertanya adakah hari
akan hujan kalau aku jadi berangkat. Dan sekarang kita berpisah dan engkau
merasa tak perlu lagi menunggu di beranda itu. Tapi memang ada yang hilang
sekarang: cahaya matamu yang mengembun di
balik kaca jendela.
Dari
beranda rumah itu, malam itu sebelum berangkat aku masih ingat, rasanya ada
kulihat engkau terbang, samar kabur di langit. Adakah yang tertinggal di kamar
belakang ketika aku buru-buru pamit malam itu dan lupa menutup pintu sementara
engkau membetulkan selimutmu? Ketika itu radio sudah menutup siaran dan nuri
tak lagi tergantung di halaman. Dan sekarang, aku bergumam sendirian: "Kupandang langit..."
1976
NYANYIAN SEORANG PETANI MUDA
Aku
sekarang duduk di pematang
memandang
jauh hari depan mengambang di awan
Aku
sekarang termenung di rumputan
menatap
hijau padang, burung dan ilalang
Hari
sudah tinggi dalam tikaman terik matahari
hari
sudah larut dalam kerja sehari-hari
Anak-anak
gembala menyanyikan lagu derita desanya
lembu
dan kerbau bekerja dan makan seenaknya
Aku
sekarang di sini menanti kiriman makan siang
dari
pacarku yang sederhana, pelan berlenggang di pematang
Aku
sekarang terlena di sini menanti hujan tercurah
dari
langit Tuhan yang katanya maha pemurah
Hari
pun kian larut buat bersenda dan berpacaran
hari
sudah terlambat buat mengeluhkan nasib tanaman
Terlalu
letih aku memikirkan kemakmuran
sedang
tanaman di sawah ladang belum kunjung bermatangan
Aku
sekarang di sini berpikir tentang perkawinan
Dan
bila kawin nanti bulan depan
aku khawatirkan nasib ternakku sayang
sebab
pastilah ia bakal dijual buat ongkos peralatan
Hari
makin senja, senja makin malam
burung-burung
pulang ke sarang
gembala
menggiring ternak ke kandang
Beriringan
mereka pulang
beriringan
keluh warga desa, harga kerja tak seimbang
Aku
sekarang di sini berbicara dengan alam
yang
sabar dan ramah dibelai angin lembah yang rawan
Tak
kutahu adakah ia tahu
tetesan
keringat dan nasib tersia kerabat desaku
1962
DI RUANG TUNGGU BANDAR UDARA ANTARBANGSA
"SUBANG", KUALALUMPUR SUATU SENJA
Sebentar
aku pun terhenyak
ketika
matahari mengusap hangat
kulit
wajahku
"Lepaskan
jaket Enchik, di sini amat panas," sambutmu
nyaring
seperti suara keramahan di rumahku
(Kugenggam
dendamku, kupendam rinduku
setelah
lama luput dari cahaya bola matamu
yang
lembut, seperti matahari mimpi
menjelang
tidurnya senja hari)
Orang-orang
pun mendadak tersentak
ketika
butiran air tiba-tiba terjatuh
dari
langit
yang
mengawalku
"Inilah
payung Tuan, mengapa tak jalan sama-sama?" serumu
sambil
berlari kecil di belakangku
Kusurukkan
kepalaku
lalu
kurangkul pinggangmu
tanpa
ragu
(Aku
ingin melepas nafas
persis
di bawah lubang hidungmu)
Di sini
seolah tiada lagi rindu
pada
tanah air
Memang
ada terasa damai di bawah payung kembangmu
(Mungkinkah
aku tinggal di sini
barang
sehari?)
Di
ruang tunggu
tak
siapa menunggu
tak
siapa ditunggu
Kita
duduk termangu
tak
siapa kutunggu
tak
siapa kautunggu
Toh
terasa akrab juga pandangmu
seperti
kita pernah bersahabat sejak dulu
Sebentar-sebentar
engkau senyum. Mengapa
aku tak
tahu. Barangkali kebiasaan beramah-ramah saja
Atau
mungkin karena kautangkap gelisahku
menunggu
waktu
ketika
tiap sebentar kukibaskan celana
yang
basah oleh hujan barusan
Di
kursi empuk sudut sana itu
seorang
kakek duduk tertidur
nafasnya
bebas teratur
(sehat
sekali tampaknya)
Cambang
dan janggutnya lebat
putih,
rapih – memantulkan semangat
Mengingatkan aku pada seorang dosen sejarah
di
sebuah universitas swasta yang bangkrut
Bau
harum asap tembakau
masih
mengepul tipis dari pipa cangklong
di tangan
kirinya
Dan di
tangan kanannya
terkulai
sebuah buku saku:
Soekarno, A Political Biography
DOA
Aku mengenal-Mu
Aku melihat-Mu
Tuhanku
(Ah, apakah Kau tersenyum
Melihat tingkah-laku yang lucu
Bersimpuh begini?)
Jangan memandangku begitu, Tuhanku
Betapa pun!
Jangan palingkan Wajah-Mu
Betapa pun!
Ya, betapa pun telah Kau saksikan
pola tingkah-laku selama ini
seperti mainan gasing di tengah galau kehidupan
Yang Kau putar-putar
Apa yang Kau maksud
dengan kediam-diaman begitu?
Apakah jelas Kau lihat
dosa-dosaku?
(Ah. Engkau diam saja!)
Betapa pun, ya Allah
Jangan palingkan Wajah-Mu Betapa pun kusandang dosa-dosaku dan
dengan
rasa malu
Aku datang menghadap-Mu
Tapi pandang-Mu jangan begitu...
Aku datang menghadap-Mu
Tapi pandang-Mu jangan begitu...
Budiman
S. Hartoyo, Sebelum Tidur, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977
Sejak
kecil Budiman S Hartojo dididik di
rumah oleh ayahnya sendiri yang menjadi guru pada Madrasah Tinggi
"Mamba'ul Ulum" milik Kraton Kasunanan Surakarta. Sejak 1972 bekerja
sebagai redaksi majalah Tempo. Sebelumnya giat di kota kelahirannya, Sala,
menyelenggarakan ruang sastra "Sumbangsih" pada mingguan Surakarta
dan membantu siaran sastra dan sandiwara RRI studio Surakarta. Antara
1966-1968, menjadi pemimpin redaksi majalah Genta, dan anggota redaksi majalah
Patria, keduanya terbit di Sala. Juga pernah menjadi sekretaris PWI cabang
Sala. Puisi-puisi awalnya dimuat dalam majalah-majalah mahasiswa di Yogya
seperti Pulsus, Criterium,
Uchuwwah, Media, dan Gajah
Mada. Kemudian merambah ke beberapa majalah budaya seperti Basis, Budaya, Gelora, Waktu, Mimbar
Indonesia, Gelanggang, Sastra, Horison, dan Budaya Jaya.
- dipetik dari buku Tiga yang dikenang hari ini dan esok!
Tentang Kami
- Buletin Sastra PAWON
- didirikan dan didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo, Jawa Tengah. Terbit pertama kali pada Januari 2007. Dalam perjalanan waktu, buletin PAWON meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan lain sebagainya.