Sate kere, sebutan untuk menyebut sate dari
tempe, tempe gembus dan jerohan yang dibumbu sate khas Solo. Disebut kere
karena dulunya adalah sate modifikasi dari kaum melarat atau kere yang ingin
makan sate. Kepepet memang sering membuat kreatif. Sate tidak harus dari
daging, yang penting rasanya sudah seperti sate. Gembus berbumbu sate sudah
bisa membuat orang merasa kaya barang sejenak.
Zaman yang serba kekinian dengan segala
tuntutan unggahan aktivitas di media sosial turut membuat sate kere naik
derajat. Sate kere makanan yang mengingatkan pada Solo tidak lagi menjadi
makanan kaum kere tapi sate yang bahkan bisa membuat kaum menengah menjadi kere
karena harganya yang mahal. Anak-anak kos mempunyai rumus jangan membeli sate
kere dari tempat wisata yang hits. Sate kere Pak No dan Bu Sih adalah
andalan kami. Harga yang benar-benar cocok dengan kesan kere anak kos dan
penjualnya yang ramah membuat gerobak sate itu tidak pernah sepi dari
pelanggan. Dari keluarga, rombongan teman, sampai pasangan kekasih rela
mengantre untuk merasakan kelezatan racikan sate kere Pak No dan Bu Sih.
Tidak ada ceritanya Pak No dan Bu Sih
sampai menawarkan sate kere-nya. Tidak ada ceritanya Pak No mengantar sate kere
ke pelanggan karena biasanya bisa dipastikan habis sebelum tengah malam. Tidak
ada ceritanya seperti itu sebelum pageblug menghantam dunia, sampai pada
dunia kecil Pak No dan Bu Sih. Mahasiswa yang belum kembali ke kampus, larangan
makan di tempat, membuat para penjual kecil harus memutar otak agar mereka
tetap bisa bertahan hidup.
Aku membalas pesan Bu Sih, memesan beberapa
porsi untuk diantar ke tempat teman-temanku yang tidak jauh dari tempatnya
berjualan. Pageblug juga memaksaku untuk mengurung diri, jauh dari
gerobak sate kere Pak No dan Bu Sih. Tiga tusuk sate tempe dan gembus, satu
lontong, guyuran sambal ditaburi irisan cabe rawit dan bawang merah, segelas
teh oplosan yang masih hangat. Ah, romantisme yang sangat kurindukan. []
Kurnia Effendi seperti tak pernah kehilangan ide dan inspirasi menulis. Pria kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960 ini sudah menggeluti sastra dengan menulis cerpen dan puisi untuk publik sejak 1978. Hingga kini, Mas Kef, demikian ia akrab disapa, tetap produktif berkarya. Ia telah menerbitkan 25 buku beraneka genre berupa puisi, cerpen, esai, novel, dan memoar. Novel terbarunya berjudul Pangeran dari Timur (Bentang Pustaka, Februari 2020), ia tulis bersama Iksaka Banu.
Kurnia Effendi menulis fiksi pop dan fiksi
sastra. Ia memilih menulis dalam berbagai genre dan membidik segmen pembaca
yang beragam. Ada kompromi saat berkarya dengan mempertimbangkan selera pasar,
selera pembaca, atau selera redaktur. Kompromi itu justru baginya peluang untuk
bereksperimen dan bereksplorasi.
Pembaca sastra akhir-akhir ini tergoda
dengan karya di platform digital dan
media online. Menurut Mas Kef, pergeseran media penerbitan dari fisik ke
digital merupakan keniscayaan, “Dan
percayalah, dengan perubahan peranti, sastra tidak lenyap. Hanya berganti
medium, berganti cara menikmati,” tegasnya. Berikut ini hasil lengkap wawancara
Pawon dengan Kurnia Effendi lewat surel pada awal
Oktober 2020.
Sebagai penulis mumpuni, bagaimana pendapat
Mas Kef tentang karya yang mengikuti selera pasar, selera pembaca, atau selera
redaktur? Mana yang lebih penting?
Hahaha … jangan menyebut penulis mumpuni
lah. Saya penulis yang teberkati. Maksud saya mendapatkan kurnia.
Mengikuti ketiga selera itu sama
pentingnya. Saya melakukan itu semua sesuai kondisi dan kepentingan. Saat mau
menerbitkan buku, ada kompromi dengan pihak penerbit, misalnya soal menghindari
SARA, bagaimana sebaiknya tampilan kover (supaya memikat dan laris), nah ini
kan selera pasar. Selera pembaca akan saya tempuh kalau memang ada segmen yang
saya sasar. Saat menulis untuk remaja yang islami, kumpulan cerpen pun saya
bikin aman dari urusan yang mengandung dosa. Selera redaktur tetap saya imbangi
dengan idealisme pribadi. Misalnya mengirim cerpen untuk Kompas, Tempo, Femina, dan Horison,
saya melakukan pendekatan kreatif yang berbeda. Malah bagi saya, itu merupakan
peluang untuk bereksperimen dan bereksplorasi.
Seberapa penting idealisme? Apakah penulis
harus mempertahankan sikap idealis dalam berkarya?
Bagi seorang seniman, apa pun bidangnya
(rupa, musik, film, tari, sastra, teater, dll), idealisme itu roh dalam
berkarya. Dulu, saat saya masih aktif menulis di Anita Cemerlang dan Gadis,
itu jalan untuk mencari uang. Uangnya untuk “belajar” sastra. Membeli buku dan
mengikuti berbagai diskusi, saat masih di Semarang dan lanjut ke Bandung.
Sejak di Semarang saya sudah mulai menulis
puisi serius di Suara Merdeka, lalu
saat di Bandung ikut “pertemuan kecil” Pak Saini KM, mulai menulis di Pikiran Rakyat, dan seterusnya.
Idealisme saya ya di jalur sastra itu, tetapi tidak menafikan pentingnya
menulis karya pop. Namanya juga pop, populer, jadi … haha yang bikin saya tenar
ya cerpen-cerpen yang disukai para gadis. Fans saya dulu lumayan banyak lho.
Mas Kef menulis sastra dalam berbagai genre
dan tema dengan membidik segmen pembaca yang beragam. Bagaimana “siasat” Anda
saat menulis?
Menyambung pertanyaan sebelumnya, tak ada
siasat apa pun selain menulis seiring sejalan. Tentu pergaulan saya berubah.
Fans unyu-unyu – ini istilah sekarang
ya – kan lewat surat. Sementara itu saya rajin menemui kawan-kawan atau senior
yang memang sudah memasuki dunia sastra secara serius. Kalau Pak Budi Darma
pernah mengatakan tak ada yang disebut sastra madya, mungkin benar. Saya tidak
menulis sastra madya, tetapi saya menulis fiksi pop dan fiksi sastra, bukan di
tengah-tengah. Untungnya teman-teman yang di jalur sastra ini tidak “menolak”
kehadiran saya di tengah-tengah mereka. Itu kan soal membawa diri, saya yang
sedang cari ilmu ya tak berani songong
atau sedikit-sedikit pongah.
Novel Pangeran
dari Timur yang Anda tulis berkolaborasi dengan Mas Iksaka Banu membutuhkan
proses hingga 20 tahun. Upaya terbesar apa sehingga novel tersebut terbit?
Terutama karena malu sama teman-teman dan
calon penerbit. Sejak 2005 sudah dilamar Bentang Pustaka. Kami pikir akan
selesai 2008, ternyata meleset. Referensi yang semakin lengkap, narasumber yang
memang ahli Raden Saleh, yakni Werner Kraus, dan pada tahun 2017 saya
mendapatkan kesempatan mengikuti program residensi dari Kemendibud ke Belanda …
masa iya tidak selesai? Sungguh terlalu. Sejak itu kami ngebut, maksudnya
intensif menulis. Untuk menjalin dua plot besar itu juga membutuhkan waktu
lama. Jadi, saat manuskrip selesai sekitar Oktober 2019, masih ada proses editing yang lama karena memang ratusan
halaman. Kalau dibuat dengan ukuran buku normal plus font huruf normal 12, pasti akan lebih dari 800 halaman.
Novel sejarah sempat populer beberapa tahun
lalu, apakah tulisan bertema sejarah masih memiliki pembaca setia?
Saya kira masih. Penulisnya juga masih
banyak yang berminat pada sejarah. Misalnya yang menang di sayembara novel DKJ
tahun lalu ada Sang Keris, lalu
terbit novel tentang Diponegoro, dan beberapa sejarah lagi dari ranah Nusantara
yang berbeda. Saya kira bukan hanya soal sejarahnya, tetapi ada sesuatu yang
lain, misalnya nuansa politik, kearifan lokal, dan yang paling klasik adalah
kisah cinta dalam balutan sejarah.
Mengapa Mas Kef memutuskan menulis novel
kolaborasi dengan Iksaka Banu? Adakah hambatannya?
Soal awalnya bagaimana, ini sudah
berulang-ulang kami sampaikan dalam berbagai kesempatan diskusi daring plus
ketika 2 kali peluncuran (7 dan 14 Maret 2020) sebelum stay at home karena pandemic. Awalnya mau ikut lomba skenario.
Dekat-dekat waktu itu ada bursa buku di Utan Kayu, di sana kami mendapati buku
tentang Raden Saleh yang cukup riil dan lengkap. Iksaka Banu lalu mengajak saya
menggarap skenario tentang RS, tapi waktunya tak terkejar. Akhirnya diteruskan
tanpa target. Kami lalu membuat persiapan macam-macam. Outline dengan dua plot berlatar waktu berbeda, tujuannya buat
berdebat tentang Raden Saleh. Menciptakan tokoh-tokoh fiksi, membuat linimasa
agar tidak terjadi anakronisme.
Kami berdua yang merupakan alumni satu
almamater, Seni Rupa ITB, waktu itu beranggapan: belum ada biografi lengkap
tentang Raden Saleh. Setelah menemukan fakta sejarah yang menarik, kami
bermaksud memanusiakan Raden Saleh.
Hambatannya banyak juga, terutama soal waktu,
karena saya saat itu masih bekerja sebagai karyawan Suzuki. Jadi, menulisnya
memang putus-sambung, tidak istiqomah haha.
Bagaimana masa depan sastra cetak seiring
menjamurnya platform digital seperti
Strorial dan Kwikku? Di sisi lain beberapa koran menghilangkan rubrik sastra,
bahkan ada yang berhenti terbit.
Saya pribadi tidak ingin menolak teknologi,
karena percuma, pasti akan tergilas juga. Koleksi ratusan kaset lagu sekarang
mau disetel di mana? Itu contohnya. Jadi jalan seiring saja, sambil mempelajari
peranti digital melalui anak-anak agar tidak gaptek. Semua ada zamannya. Cari
duit juga akan mengikuti zaman. Dan percayalah, dengan perubahan peranti,
sastra tidak lenyap. Hanya berganti medium, berganti cara menikmati. Bahkan
kini anak-anak muda tidak hanya ketemu karya Chairil Anwar dan Sutan Takdir
Alisyahbana, tetapi langsung Gabriel Garcia Marquez, Haruki Murakami, Orhan
Pamuk .... Tidak ada yang salah, kan? Mereka berkarya melalui media platform itu, malah dampaknya segera
mendunia, karena yang membaca bukan hanya di Indonesia, melainkan di Los
Angeles atau Korea Selatan.
Kalau koran menghilangkan rubrik sastra,
saya anggap itu jalan paling realistis. Kini sedang susah cari uang kok malah
membayar karya yang “hanya” dibaca oleh teman-teman si penulis. Bisa dimaklumi,
tak dapat dipaksakan.
Mas Kef bisa menceritakan tentang majalah Majas? Bagaimana Majas terbentuk dan
keterlibatan Mas Kef?
Majas diinisiasi
oleh Valent Mustamin. Lalu kakaknya, Ana Mustamin, mengajak kami sesama alumni Anita Cemerlang (saya, Kurniawan
Junaedhie, dan Agnes Majestika), merumuskan majalah sastra yang berbeda. Muncul
unsur gaya hidup untuk mendorong sastra menjadi lebih inklusif. Final keputusan
kami adalah majalah fisik dengan 100 halaman bewarna, bahan artpaper. Majalah yang dirancang
berbasis pelanggan ini terbit triwulanan, berisi cerpen, puisi, esai, wawancara
tokoh sastra dan nonsastra yang menggemari literasi. Ada pustaka, bahasa,
lanskap, kiprah. Setiap terbit mengusung isu tertentu dengan liputan khusus.
Ini bukan majalah berita sehingga bisa dibaca kapan saja. Untuk menghindari
selera yang ajek, kami menunjuk kurator berbeda setiap edisi. Selain menjadi
objektif, menolak perkubuan, juga tidak bisa ditebak selera kurasinya oleh
pengirim naskah. Melalui Majas ini
kami ingin menghargai sastrawan dengan honor yang baik, dengan tampilan majalah
yang keren, dengan ilustrasi pelukis terkenal yang juga setiap nomor berganti.
Karena kami kerjakan sendiri, kami berbagi
tugas. Ana memimpin bisnis dan marketing, Agnes Majestika bagian keuangan, saya
bertanggung jawab terhadap konten, dan Mas KJ yang mengurus cetak dan
penerbitannya. Kami juga ikut menulis untuk wawancara, isu, dan liputan
tertentu.
Bagaimana Mas Kef mengatur waktu menulis di
tengah kesibukan bekerja di perusahaan otomotif dengan jabatan yang cukup
mentereng? Mengapa memutuskan tetap menulis?
Sejak tahun 2015 saya pensiun, ya
seharusnya sih tidak lagi sesibuk saat bekerja formal. Dulu saya menyiasati
dengan cara disiplin pribadi. Menulis tiap pagi setelah mengantar anak-anak ke
sekolah. Saya punya kesempatan satu jam sebelum kantor dimulai. Pulang kantor
setelah mandi, makan, dan ngobrol, masih punya satu jam sebelum mengaso.
Jabatan saya tidak mentereng. Kebetulan
saja saya di bagian pengembangan outlet
nasional, sehingga memiliki banyak kesempatan keliling Indonesia. Mulai dari
survei sampai peresmian showroom
mobil Suzuki, saya mengikuti prosesnya. Dari Aceh sampai Papua, saya banyak
mendapatkan inspirasi. Meskipun tidak secara khusus melakukan riset, tetapi
setidaknya dapat menggambarkan situasi dan karakter tiap daerah karena pernah
secara indrawi merasakan.
Rupanya menulis itu kegiatan yang tak dapat
saya hentikan. Bagi saya sudah jadi kebutuhan harian. Mungkin itu yang membuat
saya cukup rileks karena memperolah katarsis dan pelepasan yang tanpa disadari
menjadi “obat” dalam menghadapi hidup yang sesungguhnya berat ini. Syukur kini
pengalaman menulis itu dapat dibagikan pada komunitas-komunitas, tentu secara
daring sejak Maret 2020.
Mas Kef beberapa kali berkunjung ke Solo
dan berkawan dengan penulis Solo. Bagaimana Anda melihat geliat perkembangan
sastra di Solo?
Sebetulnya sudah lama juga tidak ke Solo.
Terakhir tahun 2016, terkait dengan kegiatan batik. Tahun 2019 ke Klaten,
tetapi tidak mampir ke Solo. Awal tahun 2020 ke Yogya karena ada acara di
Tembi, juga tidak mampir ke Solo.
Koleksi Pawon Milik Mas Kurnia Effendi
Hal yang menggembirakan saat ini adalah
karena berlangsung regenerasi. Para senior tidak melepaskan begitu saja
kawan-kawan muda yang sedang tumbuh. Saya kira iklim seperti itu akan sehat
sepanjang tidak terjadi perselisihan antarkubu. Di Solo ada Bandung Mawardi
yang tak berhenti merawat literasi. Ada Yuditeha dan Wahyu Indro Sasongko yang
memberi ruang kecil untuk tampilnya karya-karya para penyair dan cerpenis di
media online. Kegiatan Indah
Darmastuti melalui sastra suara di radio kian me-Nusantara. Tentu salut sama
Sastra Pawon yang walau sempat kendor kini mampu bangkit dan bertahan
menggumuli sastra. Seno Gumira bilang, sastra ini dunia yang sunyi tetapi masih
ada orang-orang yang ingin menjadi penghuninya. Ini kan unik.
Saya masih menyimpan buletin sastra Pawon
dua tahun yang lalu lho. [Miftahul Abrori]
Beberapa hari lalu, status WhatsApp teman membagikan sampul buku ketiga dari trilogi Pu Gajah Mada garapan Agus Sunyoto. Tentu, nama penulis Atlas Wali Songo itu tidak asing bagi kita. Saya telah menunggu buku ketiga terbit sejak November tahun lalu berdasar kabar rencana terbit akhir tahun. Entah, sebab pandemi atau lainnya, sampai menginjak Oktober ini, belum juga terbit. Saya melihat Agus Sunyoto sebagai penulis yang kerap melawan arus umum sejarah atau pernyataan yang menyimpang.
Kita mengingat Atlas Wali Songo (2017, cet vii) sebagai pernyataan keras atas
buku-buku yang membahas Wali Songo adalah cerita fiktif belaka. Kita mengingat
sampul berwarna hijau dengan sub judul “Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo
Sebagai Fakta Sejarah”. Kita simak prakata penulis: “… penulis menilai bahwa
penerbitan Ensiklopedia Islam oleh
penerbit Ikhtiar Baru Van Hoeve dan penerbit buku-buku picisan adalah bagian
dari strategi golongan minoritas untuk meraih kemenangan. Sebab, lewat
buku-buku tersebut, tidak saja keberadaan Wali Songo akan dihapus dari sejarah
penyebaran Islam di Nusantara, melainkan juga lewat penghujatan dan penistaan
terhadap ajaran yang ditinggalkan Wali Songo…”
Di tahun 2017 pula, terbit buku besar dan
berat dengan judul Fatwa dan Resolusi
Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10 November 1945. Buku
berkisah tentang perjalanan panjang perlawanan golongan kiai dan santri
semenjak Perang Jawa. Sisa pengikut Pangeran Diponegoro menyebar di pelbagai
wilayah dan mendirikan pesantren digenapi pohon sawo sebagai tetenger berdasar pada ayat sawuu sufufakum (merapatkan shaf).
Diceritakan, Pertempuran Surabaya bukanlah peristiwa yang begitu saja terjadi.
Kita simak sambutan penulis: “… telah mengungkapkan suatu fakta sejarah yang
tidak pernah diakui sebelumnya; bahwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945
bukanlah peristiwa sekonyong-konyong terjadi sebagai reaksi spontan arek-arek
Surabaya terhadap kedatangan pasukan Sekutu…”
Konon, salah satu pertimbangan pemilihan
Surabaya sebagai medan tempur adalah faktor sosio-kultur masyarakat Surabaya
yang memuja keberanian dan adanya tradisi tawuran. Kita sulit meremehkan buku
yang bergelimang data. Penulis mengaku mengumpulkan data semenjak 1984 ketika
menjadi wartawan Jawa Pos.
Agus Sunyoto sepertinya tertarik menyibak
kabut-kabut misteri sejarah. Sebelumnya, ia menulis novel tokoh kontroversial
di masa Wali Songo yakni Siti Jenar. Tidak tanggung-tanggung, 7 jilid
dihidangkan pada pembaca dengan judul Suluk
Syekh Abdul Jalil. Kini, tokoh misterius lain ingin diungkap bernama Gajah
Mada. Kisah tentang tokoh bernama Mada yang terbit sebagai novel dengan judul Pu Gajah Mada (Pustaka Pesantren
Nusantara, 2019) adalah kisah-kisah yang rutin terbit bersambung di harian Radar Kediri (Jawa Pos Group) pada tahun
2016-2019. Dijelaskan pula bahwa cerita Gajah Mada yang terbit setiap hari
diminati pembaca seusia SMP dan SMA sederajat.
Kendati
sebuah novel, Pu Gajah Mada digenapi
690 glosarium dan 128 daftar kepustakaan. Kita patut gembira disuguhi novel
sejarah dengan data berlimpah. Sebab, kita telah disuguhi pula buku “racun”
yang mengisahkan Gajah Mada sebagai seorang muslim bernama Gajah Ahmada atau
Gaj Ahmada yang andil memperjuangkan khilafah di tubuh (kasultanan) Majapahit.
Kita percaya integritas seorang Agus Sunyoto, ketua PB Lesbumi NU. Dengan jujur
dikisahkan bahwa belum jelas “agama” yang dianut Gajah Mada karena saat
berbicara Hindu, Buddha, maupun Kapitayan, tokoh Mada seolah menguasai laiknya
pemeluk keyakinan tersebut.
Dengan memahami karakter buku-buku Agus
Sunyoto, kita mungkin tidak terlalu kaget dengan paparan kisah-kisahnya yang
menjadi sudut pandang baru. Pembaca tidak akan menemukan kisah heroik seorang
Gajah Mada menyampaikan Sumpah Palapa:
“Lamun
huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring Seran,
Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Di ujung buku kesatu ini, pembaca bakal
menemukan sumpah yang lain sama sekali:
“Hong
nihanta Sanghyang Widhi hunimgan sembah ning hrdaya sira Sang Tunggal malar i
helem anemwa Sunyata.. Hamba bersumpah demi kemuliaan Sanghyang Widhi, Hyang
Mahatunggal, sinembah atisraya pada Hyang Taya, bahwa hamba adalah Putera
Sejati Majapahit. Ibunda dan ayahanda hamba adalah Majapahit. Kakek hamba
adalah Singhasari. Hamba adalah abdi Majapahit. Hidup dan mati hamba akan hamba
pesembahkan kepada Majapahit!...”
Sumpah itu dijelaskan dengan nama “Sapatha
Sumpah Hamongmong Rimong”. Berbeda sama sekali dengan “Sumpah Hamukti Palapa”.
Tidak ada “nafsu” penaklukan kerajaan lain. Adanya “pengabdian”.
Selain kisah nyeleneh itu, pembaca juga disuguhi sosok Gajah Mada sebagai ahli
hukum dan ditugasi menyempurnakan KUHP Majapahit “Kutaramanawa Dharmasashtra”.
Mada dikisahkan diberi kebebasan akses ke Grha Pustaka (perpustakaan kerajaan
di komplek kepatihan) oleh Patih Daha Arya Tilam karena kekagumannya terhadap
sosok Mada yang cerdas. Mada diajari pelbagai disiplin ilmu seperti sastra,
filsafat, tata pemerintahan, keprajuritan, byuha, dan hukum. Dari semuanya,
yang paling diminati Mada adalah hukum karena dianggap sebagai kunci
kesejahteraan dunia.
Di
tahun yang sama, buku kedua turut terbit lebih mungil. Buku pertama berdimensi
18x24 cm dan buku kedua 14x20 cm. Lebih nyaman dipangku tangan. Di buku kedua,
ada selingan kisah tokoh bernama Rangga Rajasa yang ternyata diceritakan
sebagai nama asli dari Ken Arok. Sedangkan nama Ken Arok, konon, adalah nama
fiktif buatan kolonial seperti beberapa nama fiktif anggota Wali Songo. Sosok
Rangga Rajasa tidak diceritakan sebagai begundal, preman, atau pun begal hutan.
Ia lebih diceritakan sebagai satria piningit yang mendalami ajaran Bhairawa di
sebuah hutan. Dalam masa Majapahit, buku kedua berkisah tentang makar yang
dilakukan Ra Kuti.
Pada
status WhatsApp teman yang memamerkan sampul buku ketiga, saya berkomentar
pertanyaan: “Jadi diakhiri buku ketiga, Mas?” Jawaban masih mengambang. Belum
ada kepastian. Bagi saya, kisah Gajah Mada terlalu singkat jika hanya dijadikan
tiga jilid saja.
Judul Mahapatih Mangkubhumi Majapahit Pu Gajah Mada |
Sub Judul Kisah Epik Tentang Perang dan Kepahlawanan Pada Zaman Foedal di
Nusantara Abad ke-13 & 14 (Buku Pertama) |Jumlah Halaman | 324
halaman | Penulis Agus Sunyoto |Penerbit Pustaka Pesantren Nusantara
|Tahun Terbit 2019 []
M.A.
Mas’ud, Penghayat bahasa dan sedang belajar mengobrol
serta menuliskan Sidoarjo bersama komunitas Sidosinau.
Thappad bercerita mengenai kehidupan Amrita
(Taapsee Pannu) yang semula semuanya sangat tampak baik-baik saja. Kehidupan
rumah tangganya digambarkan dengan cukup ideal dan mungkin juga menjadi harapan
bagi sebagian orang, meski memang bukan hal yang istimewa apalagi sempurna.
Sebagai seorang istri dari keluarga kelas menengah, Amrita menjalankan tugas
dan kegiatan hariannya yang statis dengan tanpa beban apapun. Ia digambarkan
sebagai seorang istri yang sangat dan selalu suportif terhadap suaminya. Amrita
adalah ibu rumah tangga yang ceria dalam menghadapi kesehariannya.
Tak berbeda dari Amrita, Vikram (Pavail
Gulati), juga merupakan tipe suami yang suportif dan penyayang terhadap
istrinya. Sebagai kepala rumah tangga, ia tahu betul apa yang harus
dilakukannya. Ia selalu ingin menyenangkan hati sang istri. Bersama Amrita, ia
tampak sebagai sepasang suami-istri idaman yang seolah takkan pernah tertimpa
masalah besar dalam biduk rumah tangganya. Jika ketenangan dan keceriaan adalah
definisi rumah tangga sempurna, maka rumah tangga mereka juga demikian adanya.
Akan tetapi, sebuah kejadian di sebuah pesta
malam itu telah mengubah segalanya. Kejadian pada malam itu seolah menjadi
titik balik dari segala hal yang akan membuat film ini menjadi suguhan drama
keluarga paling menarik sekaligus mengusik. Satu pertanyaan muncul setelah
kejadian malam itu: “Akankah sebuah tamparan menjadi alasan yang cukup untuk
mempertanyakan apa arti sesungguhnya dari suatu hubungan?”
Beberapa orang yang sudah memiliki pemahaman
atau konsep tertentu dalam hal rumah tangga mungkin akan sulit memahami esensi
film ini atau bahkan mungkin akan menertawakan konflik yang dibangun oleh sang
penulis cerita. Mereka juga akan sulit bersimpati kepada sang pemeran utama.
Alih-alih simpati, mereka bisa saja kesal dibuatnya. Itu sebabnya, film ini tak
bisa sesukses film-film wanita-sentris tentang patriarki seperti sebelumnya,
seperti Pink (2016), meski sambutan yang diterimanya cukup melebihi ekspektasi
banyak kalangan.
Thappad merupakan film yang yang cukup thought-provoking.
Selama sekitar 2,5 jam, ia bisa membuat penontonnya belajar tentang arti sebuah
hubungan yang harus juga didasari oleh rasa hormat, bukan hanya soal cinta dan
pengorbanan semata. Perkara hormat bukan hanya soal untuk salah satu pihak
saja, melainkan bagaimana kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama
mendapatkannya, bahkan tanpa diminta dan dalam berbagai kondisi apa saja.
Tak banyak hal menarik yang perlu dibahas
dari sisi teknis ataupun akting dan penyutradaraan. Namun, jika membahas aspek
naskah, sang penulis memang terlihat tidak sedang ingin memihak salah satu
gender dalam konflik yang dibangunnya. Penonton tidak dituntut untuk menyukai
karakter Amrita sepenuhnya, begitupun untuk membenci karakter Vikram seutuhnya.
Karakter keduanya tidak diciptakan 100% akan disukai ataupun dibenci. Si
Sutradara juga masih tak lupa memberi ruang penjelasan implisit terhadap
berbagai kondisi lain jika ada yang mempertanyakan atau ingin mendebat esensi
dari konflik yang dibangun dalam film ini. Setidaknya hal itu tergambar dan
bisa terlihat dari potret kehidupan rumah tangga orang tua dan mertua,
pembantu, pengacara, serta adik sang pemeran utama. Kesemuanya berfungsi
sebagai kontraposisi dari segala pertanyaan-pertanyaan penonton yang belum atau
sulit terjawab.
Thappad bukanlah film yang akan dapat dengan
mudah disukai banyak orang, baik wanita apalagi pria, terutama mereka yang
cenderung memiliki pemikiran saklek. Thappad juga bukan tipikal film
yang akan mudah dijalani bagi mereka pecinta film-film dengan konflik pelik,
aksi menegangkan nan penuh kejutan atau bahkan kisah romansa memilukan yang
hanya ingin memeras emosi dan air mata.
Terakhir, Thappad (2020) merupakan karya
terbaik Anubhav Sinha setelah film drama sosial berjudul Article 15 (2019) dan
Mulk (2018). Ini juga merupakan film terbaik sang aktris utama (Taapsee Pannu)
dan tentu saja film Hindi terbaik sejauh ini di tahun 2020. Film yang akan
membuat penontonnya tak nyaman dalam setiap detik yg ditontonnya, mengusik
egonya dan bahkan tak bisa menerimanya. Ini bukan hanya tamparan bagi sang
pemeran utama, melainkan juga tamparan bagi para penonton yang membangun
hubungan atau tak ingin memiliki hubungan dengan pondasi serupa. Film yang
harus ditonton bagi semua kalangan untuk memahami arti sebuah hubungan dan arti
kesetaraan (gender).
Tanggal rilis 28 Februari 2020 |
Sutradara Anubhav Sinha | Pemeran Taapsee Pannu, Pavail Gulati, Kumud
Mishra, Ratna Pathak Shah, Geetika Vidya, Maya Sarao, Dia Mirza, Tanvi Azmi,
Ram Kapoor | Nominasi Asian Film Awards Ke-14 Film Terbaik, Penyuntingan
Terbaik | Skenario Mrunmayee Lagoo, Anubhav Sinha []
Ackiel
Khan. Eks penerjemah teks film India sekaligus
penikmat dan pengulas film India yang bukan hanya Bollywood. Berbagai ulasan
film India yang ia tulis bisa dibaca di akun facebook-nya, Ackiel Khan.
Geliat literasi menjadi problem yang hanya diperhatikan oleh segelintir kalangan, kelompok, orang. Bahkan pemerintah pun kadang alpa untuk melihat sudah sejauh mana literasi bergerak di daerah-daerah, apalagi yang jauh dari akses. Padahal jelas, literasi menjadi bagian dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Pembangunan taman baca, lingkaran diskusi, koleksi buku di perpustakaan, dan festival bazar buku menjadi serentetan aktivitas yang dijalankan dengan ngos-ngosan oleh segelintir kalangan, komunitas, orang.
Seperti
cerita yang datang dari salah satu teman saya di malam itu. Ia datang dari Kota
Reog, Ponorogo. Kota yang menyimpan salah satu warisan budaya yang dielu-elukan
di negeri ini. Meskipun tepuk tangan dan apresiasi dari pemerintah hanya
didapat dengan kadang-kadang.
Ia datang
malam itu dengan wajah yang segera ingin mendapatkan jawaban. Beberapa
persoalan disodorkan dan kami obrolkan. Ada banyak bahan, kami meloncat dari
satu topik ke topik yang lain. Tidak menentu. Namun saya terbatas untuk menggurat
semua obrolan pada malam itu. Saya hanya tertarik soal jerih payahnya nguri-nguri
literasi yang ada di daerahnya.
Ia mengawali
ceritanya dengan nada inferior. Ia mengatakan bahwa geliat literasi di
daerahnya tidak sesemarak seperti kota-kota besar di negeri ini. Sebut saja di
Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Solo, Malang, dan Surabaya. Kota-kota yang memang
menjadi tujuan banyak orang untuk beradu nasib, termasuk soal literasi.
Kota-kota yang dituduh sebagai gembong lahirnya penulis-penulis tersohor di
negeri ini.
Meski
begitu, ia masih punya senyum jika membandingkan literasi di daerahnya dengan
daerah sekitar. “Literasi di kota ketiga”, katanya menamai. Nama yang mungkin
dicomot dan diduplikat dengan sedikit edit dari dunia ketiga, mungkin begitu.
Ia
melanjutkan dengan menuturkan problem lumrah dalam dunia literasi. Kalau saya
tidak salah tangkap, ada dua hal yang ia garis bawahi. Pertama, soal daya beli
buku. Ia menyayangkan banyak orang yang meremehkan buku. Baginya buku bisa
menjadi semacam investasi di masa depan. Tidak hanya soal koleksi kertas
dijilid berjejer rapi, tapi soal ilmu pengetahuandengan ideal pemikiran di dalamnya.
Soal harga
buku yang dianggap oleh kebanyakan orang masih mahal, juga ia singgung. Ia
menggarisbawahi orang-orang yang tiap bulannya jika dikalkulasi bisa
mengeluarkan kisaran tiga ratus sampai lima ratus ribu, namun masih mengeluh
kemahalan untuk membeli buku seharga lima puluh ribu. Padahal, pengeluaran itu
hanya habis untuk ngopi, jajan, jalan-jalan, dan aktivitas yang menurutnya
sayang sekali jika harus mengeluarkan banyak uang. “Mending ditabung atau
dibelikan buku”, tandasnya.
Problem ini secara
tidak langsung menggiring orang untuk membeli buku bajakan. Buku bajakan yang
menjadi momok dan menghancurkan banyak penerbit. Karena menurunkan harga buku
tanpa ada rasa bersalah dan pertimbangan lain yang harus dipenuhi. Memang
tarifnya lebih murah, bisa hemat sampai 60% dari harga buku aslinya.
Menyebalkan bukan?
Ia bercerita
seperti itu sembari menggelengkan kepala. Mungkin itu tanda semacam tidak
percaya dengan apa yang sudah ditemuinya. Dan saya rasa itu wajar. Perasaan
yang muncul dari segelintir orang dengan kesadaran literasi, kemudian
terkungkung dengan lingkungan yang menunjukkan wajah sebaliknya. Ya, tentu saja
asa dengan gelimang khayal terciptanya masyarakat berbudaya literasi mengempis,
kalau tidak mau dikatakan musnah.
Soal kedua,
ia menggugat dengan tajam budaya fanatik. Budaya yang sampai hari ini banyak
dikritik dengan argumen kitab suci dan rasio manusia. Namun kadang kala, kitab
suci justru dijadikan legitimasi kemudian rasio mengamininya dengan argumen
kesalehan.
Ia gerah dan
gelisah dengan budaya semacam itu. Budaya yang menurutnya bisa mengkerdilkan
pemikiran manusia, lebih-lebih generasi yang datang belakangan. Budaya itu bisa
mengerikan jika diakumulasikan dengan kesadaran literasi yang tidak digalakkan.
Kita boleh menebak arahnya akan jatuh pada kemapanan. Menurutnya, mapan itu
belum tentu benar, dan saya mengiyakan tanpa ada sanggah. Budaya semacam ini
secara tidak langsung juga membatasi manusia dalam berliterasi. Manusia mau
membaca jika bukunya memuat pemikiran satu frekuensi, mau ikut diskusi jika
seafiliasi, dan mau menulis jika ada nada kritik untuk menjatuhkan kelompok
lain.
Ia
memberikan prototipe soal dunia pendidikan yang dialaminya. Mulai dari pondok
pesantren sampai ke universitas, ia dicekoki dengan buku yang wajib dibaca
khatam. Membaca selain itu dianggap pelanggaran. Ia mempertanyakan kenapa bisa
demikian? Bukankah dunia pendidikan ada untuk mencerdaskan? Padahal bisa jadi,
di luar buku-buku yang telah disediakan, si murid bisa menemukan jawaban yang
tidak tersedia di buku wajib. Jawaban yang diperoleh melalui dialektika panjang
membaca ragam buku. Pikirannya bisa terbuka, sikapnya bisa melunak, dan
menerima kebhinekaan.
Tiga poin
terakhir ini secara tidak langsung punya kontribusi besar terhadap nalar kritis
murid. Sudah barang tentu, murid kritis jika berada di tempat yang
mengkultuskan fanatik, akan dicap sebagai pemberontak. Murid nakal.
Kenapa bisa
begitu. Lebih jauh lagi, si murid akan disebut sebagai pembangkang yang
ngeyelan. Tidak mau mendengar dan menurut terhadap titah yang telah
disampaikan. Padahal dalam dunia pendidikan, kritis itu sah-sah saja. Bukankah
keberhasilan pendidikan itu ketika si murid bisa mengembangkan pemikiran
gurunya? Dan indikasi mudah untuk melihat itu adalah melalui nalar kritisnya.
Saya agak
kurang mufakat dengan konsep nalar kritis yang ia sampaikan. Bahwa nalar kritis
berangkat dari diksi meragukan, itu iya. Ragu untuk mendapat jawaban baru. Ia
berangkat dari pertanyaan, dan mempersangsikan setiap jawaban yang ada. Saya
kira baiknya tidak seperti itu. Mungkin dari sekian jawaban yang tersedia,
dipilih satu dua jawaban yang dirasa mendekati benar. Jawaban itu yang dipegang
dan ditahan sampai mendapat jawaban baru yang lebih relevan.
Begitu ia
ceritakan ihwal literasi di daerahnya sebagai kota ketiga: literasi yang
berjalan dengan kembang kempis; literasi yang mungkin juga tidak masuk dalam
serentetan penilaian statistik. Malah bisa jadi, angka-angka statistik yang
selama ini digemborkan bahwa Indonesia berada di peringkat bawah dari sekian
negara tidak menyentuh geliat literasi seperti ini. Begitu juga literasi di
kota-kota lainnya. Demikian. []
Ahmad Sugeng Riady. Seorang
bujangan yang merangkap menjadi marbot di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.
Tubuh
Dalam tubuhku pijar gemintang menyala terang, menaruh
semangat tanpa mengenal musim di lipatan kurun. Menerawang terang pada
kaca-kaca mungkin tanpa mengenal ketidakmungkinan. Itu dulu, sebelum kesunyian
bertamu membawa redup, pandangan yang jauh.
Dan kini, aku mematung dengan kaca-kaca retak bendungan air
mata, mengalir.
Sirna dalam gelayut sunyi, menjadi dermaga kosong beraroma
bunga tabur di pemakaman.
Menunggu labuh atas layar-layar kapal dengan nahkoda bermata
pagi. Sebuah kehadiran yang mengabarkan kehidupan masih bergerak, jauh, terus,
dan tak berkesudahan...
Trenggalek, 29-09-2020
Perempuan di Seberang Jalan
Sepotong hati telah aku persembahkan pada perempuan di
seberang jalan. Pada sesiapa yang pada mula-mula kehidupan diperkenalkan, pada
ia yang kasihnya menjuntai didik memuliakan atau pada mereka yang merawat
kehidupan melewati musim semi melampau gugur tanpa tapi.
Pada perempuan di seberang jalan, syair bisu hendak aku
lantun. Karena kata-kata tak cukup membahasakan rasa berserak yang menghujan
aroma kagum, nyeri, juga haru padamu.
Dan seperti biasa, kau selalu penuh menjadi manusia mulia
saat pagi menyapa. Jauh dari lusuh tertekuk kebutuhan, berjejer di antara
bunga-bunga yang kau tanam di depan rumah. menunggu kupu-kupu mengintip wajahmu
ke dalam ruang masak.
Pagi kau selalu penuh, menawarkan rapi pada sudut-sudut
rumah berpenghuni ramai, menyeduh kopi penjaga keseimbangan mata sayu pada
kantuk yang bertamu, mengganjal perut-perut keluarga atas lapar yang menyapa
tanpa mengenal jeda. Lapar dan kantuk pada persilangan duka atas keserakahan
orang-orang yang mengambil jatah sejahtera.
Malam ini, kutemukan wajahmu di beranda rumah dengan listrik
redup yang kau bayar dengan menukar kesenangan. Padamu uban tergambar,
menampakkan raut wajah dengan menghela nafas panjang. Kau, sesosok hidup yang
melipat duka batin yang kau gantung pada langit-langit rumahmu saat anak-anak
terlelap, pada sunyi malam yang menghujani air mata hingga kau sulit terpejam
lelap. Kau, menawarkan kehidupan bagi jiwa keluargamu yang mati kesekian kali,
ditinggal lelaki mati yang kau cintai.
Trenggalek, 29-09-2020
Malam
Malam bagiku masihlah analgesik, atas hari-hari penuh dera,
dalam candu cinta yang tak kunjung reda. Malam adalah kesejatian, sanjung
penciptaan, ruang waktu, dan harmoni kehidupan. Malamku mungkin
adalah tempat memungut iba, ruang maaf
bagimu tanpa perlu meninggalkan seluruh rasa
Kau bisa menyebut bahwa malam sebatas siklus atas hari,
sebuah nuansa gelap setelah silau cahaya matahari. Tapi bagiku gelap malam adalah teduh, ia oase
atas segala luruh. Begitulah.
Malam bagiku adalah tempat bersembunyi. Serupa resah yang memilih lahir menjadi
sajak-sajak alegori.
Saat ketidakhadiran mengantarku pada kesendirian, memungutku
dalam puncak cemas atas kehilangan. Malam bagiku adalah ruang yang menenangkan,
ilham yang menuntun, pun dengan ritma dunia yang memastikan janji-janji
semesta.
Tapi aku bukanlah pengagummu, Sayang. Lantas siapakah aku?
Aku masihlah kekasihmu.
Sebuah maha karya indah yang memilih senyap, yang menjelma
imajinasi pada malam-malam gelap.
Watulimo yang gelap, saat arloji menunjukkan pukul 19.24 WIB
Dian
Meiningtias. Penulis Buku Perempuan yang Menikahi Burung
Hantu. Bisa disapa di laman Facebook Dian Meiningtias
Asal-Usul Kematian
Dua
sejarawan memiliki sikap yang berbeda perihal akhir cerita ini. Menurut Liem
Thian Joe, tokoh kita—Kwee An Say—ditangkap Compagnie
bersama sebagian warga yang masih hidup sebelum akhirnya dieksekusi dan kita
tak pernah tahu apakah ia mati dihadapan regu tembak atau di bawah tiang
gantungan.
Sedangkan kesimpulan Daradjadi menyatakan, tak
berlaku bagi Kwee An Say buat tunduk begitu saja di hadapan
lutut Compagnie, ia melawan demi
memulihkan martabat rasnya, saudara-saudaranya, dari kebengisan Compagnie
yang menghabisi da nmelucuti kepribadian mereka
dengan memenggal leher serta taucang-taucangnya. Dia dikabarkan mati di dalam
benteng.
Manusia bisa mati dengan banyak cara dan beginilah jalannya
sejarah. Simak saja dulu, sebelum akhirnya kau memutuskan untuk mempercayai
sepenuhnya atau menganggapnya kebohongan belaka.
Pedoman Berdagang
Tersedia dua pilihan bagi orang-orang bermata sipit,
berambut kuncir berkepang itu: terlunta-lunta menjadi batur di tanah rantau
atau punya banyak duit dan bisa sarapan semangkuk bubur dengan irisan tipis
daging babi yang dihidangkan bersama secawan teh di pagi hari.
Mereka paham rasanya berbulan-bulan dipiuhkan angin muson di
dalam kapal. Terombang-ambing laksana nasib ditubir pedang, terhunus atau
melawan sebaik-baiknya buat jadi pemenang. Tak sedikit dari mereka yang jadi
taipan gula atau pedagang kain sutera atau mencegat petani, membeli tanaman
pala mereka sebelum akhirnya dijual di pelabuhan dengan harga lebih tinggi.
Keluwesan bergaul dengan pribumi merupakan taktik dagang mereka.
Pada mulanya, tokoh kita ini adalah seorang pedagang kain
sutera. Tak ada pilihan lain baginya untuk menggelar lapak dagangannya di
pasar. Di perkampungan itu, semua orang adalah pendatang, semua orang mencari
peruntungan di pasar.Tokoh kita bukan pendatang baru tentu saja.Iaseorang totok
yang murah senyumdari Haiting-Hokkian bermargakan Kwee.
“Saya kabarkan ke semua orang, ini ada barang istimewa. Warna cerah sedap di mata,
halus di kulit ini kain sutera namanya,” begitulah ia berceloteh tiap hari pada
para pengunjung.
Tuan Kwee An Say melafalkan itu setengah berteriak, setengah
melagu. Ia mafhum bahwa bersilat lidah adalah cara mujarab yang bisa membuat
setiap mata orang-orang di pasar melirik dagangannya. Ia menjadikan setiap
kisah, setiap tuturan adalah pedoman berdagang dan siapapun patut mendengar
sebelum akhirnya kepincut pada lipatan-lipatan kain suteranya.
Tokoh kita ini tak menyangkabahwa pedoman yang ia yakinibisa
memantik iri hatisesama pedagang dan akibatnya, ia tersembur fitnah. Mula-mula
semua pedagang percaya bahwa rejeki oleh dewa-dewa pasti dibagi rata. Tapi
pernah pada satu waktu, berhari-hari, orang-orang lalu-lalang saja di depan lapak mereka.
Sesama pedagang mengeluh tak terkecuali Kwee An Say.
Tak ingin larut berpanjang angan. Keesokan paginya, tuan
Kwee An Say keluar dari pondok kayu miliknya, mampir ke kelenteng Kwee Lak
Kwaa, ia sembahyang memohon pada dewa supaya dirinya ditimpa nasib baik hari
ini. Setibanya di pasar, ia gelar kain-kainnya dan mengawali hari itu dengan
sebuah cerita.
Ia mengangkat kain sutera putih. Kedua tangannya terbuka,
menengadah seperti tengah memanjatkan puja-puji dan segala doa. “Ada kisah
lama, mengalir dari telinga ke telinga. Seorang pendekar pedang yang punya
hasrat membunuh sang raja. Muasalnya dari Dinasti Qin, jaman perang tak kenal
surga. Dendam menyala sampai jarak sepuluh depa dari sang raja…”
Tak satupun mata yang luput memandang si juru cerita.Semua
orang tahu akhir cerita itu. Sang raja tak hilang nyawa. Jubahnya tetap putih
serupa salju. Ia menutup ceritanya begini,
“Putih ini kain surga. Siapa pakai bakal beroleh damai.”
Cerita terus menggelinding dari hari ke hari. Hingga pada
hari ketujuh, orang-orang mulai merubunginya ketika ia membawakan hikayat daun
bambu. “Bolehlah dengar cerita soal warna hijau perlambang cerdik pandai.” Tuan
pedagang berkisah tentang seorang lintah darat yang kena tipu pak tua manakala
ia menagih hutang padanya. Merasa tak bisa bayar hutang, si kakek mengadali si
lintah dengan sebilah bambu dan daunnya. “’Tuan, hanya ini yang hamba punya,’
kata si kakek, ‘lekatkan daun bambu ini di jidat tuan, niscaya tuan tak
terlihat.’” Sebagaimana orang-orang mempercayai setiap kisah tuan pedagang,
demikian pula dengan si lintah. Ia datang ke pasar dan berjalan dengan sehelai
daun bambu di jidat dan nyaris mati kena bogem orang sepasar karena ulahnya
meremas setiap bokong perempuan. Kata tuan pedagang, “Boleh remas bokong istri,
asal belikan sutera hijau ini.”
“Jangan dengar…” seseorang berteriak lebih kencang, bikin
kerumunan buyar.Mereka menoleh serempak.Seorang pedagang kain yang lain, siap
jadi pesaing Tuan Kwee. Tubuhnya kerempeng, bermata cekung, pakaian yang ia
kenakan nampak kedodoran. “Tiada guna kalian dengar dia punya cerita,” serunya. “Sini-sini, aku beri kisah
asli. Kisah
pedagang kain sutera yang hidupnya berpeluh bohong belaka.”
Biadab betul itu orang mengarang cerita, batin Tuan Kwee. Ia pendam hasrat buat balas
dendam. Disambanginya lapak dagang milik si kerempeng. “Ini kain dari Daratan
Selatan, halus di badan, sedap di pandang,” kata si kerempeng. Ekor matanya
menangkap keberadaan Tuan Kwee di antara kerumunan. “Orang dagang dalam
Pecinan, dagang kain dalam pasar Gang Baru, Tuan Kwee barangnya tak laku, kena
saing dia sama diriku.”
“Aku yang belah ruyung, kau yang beroleh sagunya.”Tuan Kwee
tajam menatap sebelum akhirnya, si kerempeng hanya balas dengan seringai.
Tokoh Kita Seorang Pendekar
Dua hari kemudian,ia undur diri dari Pasar Gang Baru.
Mengembaralah tokoh kita ke Barat. Ia bertandang ke Kendal dan di alun-alun
Kaliwungu dagangannya ludes dan memutuskan pulang setelah tiga hari di sana dan
sepulangnya dari Kendal, ia memutuskan memakai dua buruh pribumi buat
menggendong pauwhok (buntalan), naik ke arah Selatan, ke Ungaran.
Perjalanan ke Selatan lumayan melelahkan. Mereka dikepung
bukit di kanan-kiri, hawa dingin, dan jalanan setapak rebah menanjak. Tak ada
peristiwa berarti pada hari pertama perjalanan mereka. Matahari tergantung di
atas kepala, ketika mereka mulai memasuki daerah Ungaran.
Masuklah ketiganya ke sebuah pondokan.Mereka tentu ingin
membuang dahaga dan di musim kemarau seperti sekarang, tiada pilihan yang lebih
menyegarkan selain kelapa muda.Dua orang batur
dan majikannya itu, nyaris bersamaan menyeka lelehan air degan yang
merembes di pinggiran bibir dengan punggung tangannya.
Di luar, di daerah dataran tinggi ini, angin kemarau terhenti
sejenak.Cericit burung beku.Di muka pintu, seseorang berdiri angkuh, berkacak
pinggang. Matanya tajam menatap ke arah Kwee An Say. Di tangan kirinya,
tergenggam sebilah golok.Mereka masuk ke dalam, bertiga,mendekati rombongan
tokoh kita.
“Tentu kau tidak buta,” kata seseorang bertubuh kekar sambil
petentang-petenteng membusungkan dada, “dan bisa melihat kedatanganku kemari,
tiada lain buat minta upeti padamu.” Nampaknya, ia ketua regu bromocorah dengan
golok seukuran lengan terselip di pinggang.
Kwee An Say menoleh ke arah mata batur-baturnya. Ia ayunkan
kepalanya ke atas, celingak-celinguk. Dia meminta pertimbangan, siapa yang
dimaksud kau di sini.Pimpinan regu
begal itu meraung.Ia jungkalkan degan milik Kwee An Say. Di hadapan mereka,
wajahpemilik kedai pucat pasi, tubuhnya gemetar.Kwee An Say tenang saja menoleh
ke muka pimpinan regu begal. Ia mengangguk-angguk. “Si Kuncir ini kelihatannya
tuli,” ucapnya menunjuk Kwee An Say, “aku merasa tak berdosa jika harus
memecahkan kepalamu, Kuncir. Beri kami separuh kepeng uang yang kau punya dan
kau bisa minggat dari sini.”
“Tapi tuan-tuan, hanya nyawa yang hamba punya.Hamba
rombongan pedagang dan belum ada hasil sama sekali.”Itu bukan jawaban
menyenangkan bagi regu begal Cabang Atas dan bukan suatu kekhilafan manakala
sebilah golok terhunus menyabet leher Kwee An Say. Iahanya merenggangkan
kakinya lebih lebar, mengokohkan kuda-kudanya lalu menarik mundur dua tapak
kakinya.
Ia enteng saja menekuk tubuhnya ke belakang membuat
taucangnya menyentuh tanah. Tanpa
aba-aba dua baturnya menyingkirkeluar warung sambil menenteng pauwhok. Hasrat buat mencincang tubuh
Kwee An Say kian membuncah. Tapi kali ini mereka keliru berhadapan dengan
seseorang.Keributan ini jadi tontonan menyenangkan di siang bolong bagi
insan-insan yang ingin mengusir rasa lapar dan dahaga di warung.Satu tendangan
kaki kiri, cepat dan keras menghantam lengan si kekar, membuat goloknya lepas
dan terjatuh ke tanah. Dua orang yang lain maju mendekat. Tokoh kita, pendekar
kita, memicingkan mata ke arah keduanya.Ia berdiri dari kursinya kemudian
membatin, “Demi dewa bumi, Fu De Zheng Shen, demi keadilan dan kesejahteraan,
takluklah bromocarah-bromocorah ini.” Ia melolos sebilah bambu sepanjang
tangannya dari balik baju. Kemudian berputar menghindari tusukan golok. Debu
mengambang tersinari matahari. Semua orang tahu, semua mata menyimak liukan
lentur tubuhnya menghindari tendangan dan tebasan golok, membuat mereka paham
kini tengah berhadapan dengan siapa. Pendekar kita lumayan berkeringat.
Bulir-bulirnya meleleh di kanan dan kiri keningnya. Di bawahnya, si lelaki
gagah berleher pendek serupa lembu, berdada bidang dan berlengan kekar itu,
yang sedari awal petentang-petenteng nyaris mencium kaki Kwee An Say. Tak ada
tambahan luka sayatan di lengan kirinya. Hal itu semestinya bisa dilakukan Kwee
An Say, tapi ia memilih yang lain.Ia ulurkan tangannya ke muka si leher pendek.
Atas tumbangnya regu bandit Cabang Atas, orang-orang
kemudian menyebut tokoh kita Kiai Angsee, pendekar seruling bambu. Sungguh
sejarah tak mencatat yang ini: sebenarnya di dalam bambu itu adalah wadah
sebilah belati. Akan tetapi sejarah mencatat yang lain, bahwa regu bromocorah
itu setia mengantar dan atau melindungi perjalanan rombongan dagang Kwee An Say
demi menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang merintangi perjalanan.
Kekalahan
Sudah menjadi catatan sejarah bahwa pada tahun-tahun
berikutnya di kehidupan Kwee Ansay adalah zaman sulit. Akhir Oktober 1741. Ini
adalah zaman perangdi mana orang-orang Cina di Batavia membakar kampung mereka
sebelum memilih bergabung dengan pribumi dan akhirnya keliling Jawa melawan Compagnie.Mula-mula Valckenier—penerus
Murjangkung—tak ambil pusing atas keberadaan orang-orang bermata sipit itu.
Lama kelamaan, populasi mereka membludak dan dia sadar bahwa di tangan mereka
apapun bisa jadi duit. Mereka keluyuran di kota-kota sebagai ahli kunci,
penjual arak, dan tentu saja berdagang kain seperti tokoh kita.
Orang-orang Cina itu cepat sekali kaya harta karena keuletan
mereka dan yang demikian menjadikan si bengis Valckenier tak terima. Mula-mula
ia mencekik mereka dengan pajak tinggi tapi ia keliru. Kian tinggi pajak, kian
melejit pula kekayaan mereka.Dimaklumatkanlah perintah penangkapan
besar-besaran orang Cina.Sebagian dipenggal di lapangan untuk tontonan, sisanya
dicemplung-cemplungkan ke tengah laut.
Maka, di bawah pimpinan Kapiten Sepanjang, mereka membentuk
laskar Cina, bergerilya dari satu kota ke kota lain. Membakar benteng-benteng
dan menggempur tembok-tembok pemerintahan dengan meriam.
Di malam Oktober yang dingin itu terjadi pertemuan di tengah
hujan deras yang menghardik atap gubuk di perbukitan Bergota. Kapiten Sepanjang
duduk di atas dipan mengudungi dirinya dengan selimut sutra penuh
tambal-tambalan karung bekas gula. Saat itu Kwee An Say menghimpun gerakan di
Semarang dan menemuinya buat mengabarkan kalau Compagnie mulai merayap menuju Pecinan.
“Kapiten Kwee,” kata Sepanjang, “Semarang aku percayakan
padamu.Aku tak mungkin berlama-lama di sini. Besok aku bakal ke Jepara dan
menurut telik sandi, kekuatan pasukan di sana kian menipis. Kita jangan sampai
dipecundangi oleh anak buah Valckenier.Lebih baik mati berkalang tanah,
ketimbang hidup berkalung malu.”
Kwee An Say menitahkan nyaris setengah pasukannya yang
berjaga dalam Pecinan mengawal Kapitan Sepanjang. Itu membuat kerja mereka
mendirikan Pan Shia molor hingga
seminggu. Mereka kerja lembur hingga larut malam, berselimut dingin, dan kerap
membuat orang-orang Cina melongok dari jendela rumahnya. Benteng yang terbangun
dari tumpukan balok-balok kayu itu akhrinya jadi juga mengelilingi bagian barat
Pecinan. Orang-orang dijadwal berjaga bergiliran. Dan malam ketika Kwee An Say
baru keluar dari kelenteng Kwee Lak Kwa, Pecinan diserang. Benteng Pan Shia (balok kayu) itu menjadi
kuburannya setelah sempat menghunus belati berselongsong bambu itu dari
balik bajunya, menghujamkan ujung lancipnya ke lambung serdadu yang
mengepungnya dan nyaris memotong hidung Kapten Hugo Verijsel. Tapi bagaimanapun
derasnya peluru merobohkannya terlebih dulu. []
Catatan:
* Bentuk kisah ini sepenuhnya
berhutang pada Sejarah Aib (2006)
karya Jorge Luis Borges
Ahsanul Mahdzi. Aktif di komunitas baca-tulis Kelab Buku
Semarang. Bisa dihubungi di media sosial (twitter) @san_sanoel.
Tentang Kami
- Buletin Sastra PAWON
- didirikan dan didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo, Jawa Tengah. Terbit pertama kali pada Januari 2007. Dalam perjalanan waktu, buletin PAWON meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan lain sebagainya.