Romantisme Sate Kere - Kolom Akhir Impian Nopitasari

Sebuah
pesan pendek masuk ke telepon selulerku. Pesan yang dikirimkan secara manual, bukan melalui layanan aplikasi pesan instan. Nama yang tidak asing tapi menimbulkan keterasingan yang lain: mengapa sampai ada pesan seperti ini? Bu Sih, penjual sate kere paling enak dekat rumah indekos bertanya apa aku berminat membeli sate kerenya, Pak No, suaminya, siap mengantar.

Sate kere, sebutan untuk menyebut sate dari tempe, tempe gembus dan jerohan yang dibumbu sate khas Solo. Disebut kere karena dulunya adalah sate modifikasi dari kaum melarat atau kere yang ingin makan sate. Kepepet memang sering membuat kreatif. Sate tidak harus dari daging, yang penting rasanya sudah seperti sate. Gembus berbumbu sate sudah bisa membuat orang merasa kaya barang sejenak.

Zaman yang serba kekinian dengan segala tuntutan unggahan aktivitas di media sosial turut membuat sate kere naik derajat. Sate kere makanan yang mengingatkan pada Solo tidak lagi menjadi makanan kaum kere tapi sate yang bahkan bisa membuat kaum menengah menjadi kere karena harganya yang mahal. Anak-anak kos mempunyai rumus jangan membeli sate kere dari tempat wisata yang hits. Sate kere Pak No dan Bu Sih adalah andalan kami. Harga yang benar-benar cocok dengan kesan kere anak kos dan penjualnya yang ramah membuat gerobak sate itu tidak pernah sepi dari pelanggan. Dari keluarga, rombongan teman, sampai pasangan kekasih rela mengantre untuk merasakan kelezatan racikan sate kere Pak No dan Bu Sih.

Tidak ada ceritanya Pak No dan Bu Sih sampai menawarkan sate kere-nya. Tidak ada ceritanya Pak No mengantar sate kere ke pelanggan karena biasanya bisa dipastikan habis sebelum tengah malam. Tidak ada ceritanya seperti itu sebelum pageblug menghantam dunia, sampai pada dunia kecil Pak No dan Bu Sih. Mahasiswa yang belum kembali ke kampus, larangan makan di tempat, membuat para penjual kecil harus memutar otak agar mereka tetap bisa bertahan hidup.

Aku membalas pesan Bu Sih, memesan beberapa porsi untuk diantar ke tempat teman-temanku yang tidak jauh dari tempatnya berjualan. Pageblug juga memaksaku untuk mengurung diri, jauh dari gerobak sate kere Pak No dan Bu Sih. Tiga tusuk sate tempe dan gembus, satu lontong, guyuran sambal ditaburi irisan cabe rawit dan bawang merah, segelas teh oplosan yang masih hangat. Ah, romantisme yang sangat kurindukan. []

Share:

0 komentar