Romantisme Sate Kere - Kolom Akhir Impian Nopitasari
Sate kere, sebutan untuk menyebut sate dari
tempe, tempe gembus dan jerohan yang dibumbu sate khas Solo. Disebut kere
karena dulunya adalah sate modifikasi dari kaum melarat atau kere yang ingin
makan sate. Kepepet memang sering membuat kreatif. Sate tidak harus dari
daging, yang penting rasanya sudah seperti sate. Gembus berbumbu sate sudah
bisa membuat orang merasa kaya barang sejenak.
Zaman yang serba kekinian dengan segala
tuntutan unggahan aktivitas di media sosial turut membuat sate kere naik
derajat. Sate kere makanan yang mengingatkan pada Solo tidak lagi menjadi
makanan kaum kere tapi sate yang bahkan bisa membuat kaum menengah menjadi kere
karena harganya yang mahal. Anak-anak kos mempunyai rumus jangan membeli sate
kere dari tempat wisata yang hits. Sate kere Pak No dan Bu Sih adalah
andalan kami. Harga yang benar-benar cocok dengan kesan kere anak kos dan
penjualnya yang ramah membuat gerobak sate itu tidak pernah sepi dari
pelanggan. Dari keluarga, rombongan teman, sampai pasangan kekasih rela
mengantre untuk merasakan kelezatan racikan sate kere Pak No dan Bu Sih.
Tidak ada ceritanya Pak No dan Bu Sih
sampai menawarkan sate kere-nya. Tidak ada ceritanya Pak No mengantar sate kere
ke pelanggan karena biasanya bisa dipastikan habis sebelum tengah malam. Tidak
ada ceritanya seperti itu sebelum pageblug menghantam dunia, sampai pada
dunia kecil Pak No dan Bu Sih. Mahasiswa yang belum kembali ke kampus, larangan
makan di tempat, membuat para penjual kecil harus memutar otak agar mereka
tetap bisa bertahan hidup.
Aku membalas pesan Bu Sih, memesan beberapa
porsi untuk diantar ke tempat teman-temanku yang tidak jauh dari tempatnya
berjualan. Pageblug juga memaksaku untuk mengurung diri, jauh dari
gerobak sate kere Pak No dan Bu Sih. Tiga tusuk sate tempe dan gembus, satu
lontong, guyuran sambal ditaburi irisan cabe rawit dan bawang merah, segelas
teh oplosan yang masih hangat. Ah, romantisme yang sangat kurindukan. []
0 komentar