Aku berusaha tak memikirkan proses kreatif. Yang kuinginkan, suatu malam aku pergi tidur dan besoknya aku menemukan naskah novelku di atas meja, wawancara dengan Dea Anugrah






Buku puisinya yang pertama Misa Arwah diterbitkan Indie Book Corner pada 2015. Kumcernya, Bakat Menggonggong (Mojok, 2016) dinyatakan sebagai salah satu buku Indonesia terbaik 2016 oleh Majalah Rolling Stone Indonesia. Setelahnya, pengumuman ke haribaan publik ihwal nominasi-nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2017 mencantumkan Bakat Menggonggong dalam sepuluh besar nominasi kategori fiksi. Digadang-gadang sebagai sastrawan lokal masa depan yang mumpuni, berikut wawancara Pawon dengan Dea Anugrah.

Menurut Dea, di mana batas fiksi dan fakta dalam penulisan sastra saat ini? Melihat banyak fiksi yang masuk ke fakta atau sebaliknya.
Fiksi yang masuk ke fakta itu bagaimana? Maksudmu hoax alias kabar burung? Kalau ya, wilayah pembahasannya ialah jurnalisme (atau disiplin penulisan nonfiksi lainnya), bukan sastra.
Aku bicara soal fiksi dalam kerangka sastra saja, ya.
Sebenarnya tak ada pengarang yang tidak memasukkan fakta ke ceritanya. Hanya, tiap-tiap pengarang punya cara dan takaran sendiri-sendiri. Ada yang senang memasukkan fakta dalam bentuk gelondongan, mungkin takut dikira kurang riset, tapi ada pula yang menyuntikkan fakta sedikit-sedikit, menaruhnya di antara “kebohongan-kebohongan” dengan perhitungan penuh, memodifikasinya, dan seterusnya.
Kedua cara itu boleh saja dilakukan, tapi aku lebih menyukai yang terakhir. Dalam tempayan-tempayan fiksi, khayalan dan fakta semestinya tak jadi minyak dan air. Keduanya harus berpadu menjadi sesuatu yang bukan sekadar fakta sekaligus bukan semata khayalan.

Dea lebih suka nulis puisi atauwa cerpen?
Aku mempelajari ritme dan ketepatan dari penulisan puisi, dan mempelajari cara menyampaikan pikiran secara runtut dari penulisan prosa. Keduanya penting buatku.
Seturut pembacaan kami, cerpen-cerpen Dea memiliki rasa humor yang pedih, sementara puisi-puisi Dea condong ke arah filsafat. Bagaimana tanggapan Dea?
Seorang teman mengatakan jika namaku dihapus dari Misa Arwah dan Bakat Menggonggong, pembaca tak akan menyangka bahwa kedua buku itu ditulis oleh orang yang sama. Mungkin dia benar, mungkin juga tidak. Yang kusadari, aku lebih banyak bertanya dalam puisi dan lebih banyak menilai dalam prosa.
Menurut Dea, bagaimana filsafat mempengaruhi sastra?
Ada banyak sekali karya sastra yang ditulis berdasarkan pemikiran filsafat, termasuk karya-karya Borges, Camus, Proust, dan lain-lain. Ada pula karya-karya filsafat yang memiliki kualitas-kualitas sastrawi seperti karya-karya Schopenhauer dan Nietzsche dan Emil Cioran.
Untuk mengetahui cara-cara kedua disiplin itu saling mempengaruhi, sepertinya perlu penelitian. Yang kutahu, setiap penulis pasti dibentuk oleh sejarah membacanya.
Dalam kumcer Bakat Menggonggong, tampak upaya Dea untuk menjajal beragam teknik penceritaan. Tanggapan Dea?
Kalau urusan bisa dibikin sulit, kenapa memilih yang gampang?


Tiga buku karya penulis Indonesia yang turut mempengaruhi Dea, adakah?
Tentu ada dan tak hanya tiga. Ini judul-judul yang langsung terlintas saja, ya: Orang-orang Bloomington (Budi Darma), Bidadari yang Mengembara (AS Laksana), dan Dan Kematian Makin Akrab (Subagio Sastrowardoyo).
Seberapa banyak bacaan yang musti dituntaskan Dea untuk melahirkan sebuah tulisan?
Sesungguhnya menghitung hal-hal demikian ialah perbuatan dungu. Aku senang membaca dan kupikir membaca lebih penting ketimbang menulis. Kalau boleh, aku ingin dituduh produktif tanpa perlu menulis dan menerbitkan buku dalam empat tahun ke depan.
Pekerjaan sebagai wartawan di Tirto.id dan hubungan Dea dengan rekan-rekan kerja di sana, apakah mempengaruhi proses kreatif kepenulisan Dea?
Aku berusaha tak memikirkan proses kreatif. Yang kuinginkan, suatu malam aku pergi tidur dan besoknya aku menemukan naskah novelku di atas meja.
Kenapa memilih menulis, dan bekerja di dunia yang berkaitan dengan tulis-menulis? Alasan mendasar Dea?
Karena sadar tak punya keterampilan lain. Namun, asal tahu saja, aku belum mengubur cita-citaku untuk membuka bengkel las duco terbesar di Pulau Jawa.
Seberapa besar pengaruh orang-orang terdekat (sahabat, pacar, orangtua) dalam proses kreatif Dea?
Tanpa mereka aku tak bisa berfungsi sebagai manusia, apa lagi secara kreatif. []

Rizka Nur Laily Mualifa

Share:

0 komentar