Puisi-puisi Imam Budiman
SETERU PELAKU
KATA DAN PENYAIR
penyair yang hilang akal, gerimis ini, menikam lambung malam dengan kata-kata yang prematur berpinak, "semakin larut, rintik kadung jadi puisi, tak lagi asyik."
biar gerimis dengan sunyi, bukan dengan
kata.
biar kata dengan sukma, bukan dengan
api.
pelaku kata yang terjebak di kedai kopi,
mengisap kreteknya dalam-dalam, batang kesekian, membuat dadanya sedikit sesak.
ia melirik sedikit ke arah si penyair yang tahu-tahu tubuhnya sudah penuh luka
masa lalu.
: pelaku kata dan penyair melakoni kerja
yang sama,
tapi nyaris tak serupa, selalu ada yang
beda.
pelaku kata memasok kata dan
menyulamnya, benang ke benak, senang ke jinak, sampai ia pulang dan memilih
beternak; ternak kata-kata.
penyair tak punya kata, ia hanya
diam-diam mencuri dari pelaku kata ketika lengah, menyimpannya dalam
kantung-kantung kepala. sepulang ke rumah, penyair baru akan
menyusun-nyusunnya, memilah-milihnya, menimang-nimangnya, sampai terbentuk
merah bayi puisi.
pelaku kata menggugat,
penyair kekeuh tak akan minggat.
Ciputat, 2016
PULANG KEPADA
IBU
di tengah hiruk pikuk dan ketidakberaturan ini, aku ingin pulang ke tubuhmu, ibu. memandang miniatur dunia dari etalase rahim hangatmu. mengutuki orang-orang dewasa yang bicara A, namun laku geraknya B. aku jenuh jika harus kembara demi mencari identitas yang, menurut para filosof, tak akan pernah usai dan capai.
ibu yang tak mengerti fitur-fitur smartphone, biarlah kau tetap kaku dalam
kepurbaan isi kepalamu. bahwa hidup seharusnya memang sebatas menanak nasi
serta membakar lauk, membesarkan anak-anak yang pergaulannya semakin kacau, juga
suami yang terserang TBC akibat racun kretek. hidup, bagimu, hanya sebatas
mengurusi itu.
dalam peta pencarian tubuhku yang tersesat, aku ingin selalu mengarah
pulang ke tubuhmu. mengangkut segala payah dan letih retorika yang kubangun
sendiri. atau setidaknya izinkan aku menjadi lenganmu atau kakimu atau
payudaramu atau punggungmu atau keriputmu atau ubanmu atau bahkan usus
pencernaanmu.
aku ingin sekadar bermalam di pangkumu. menyalakan unggun api yang
tenteram. dan tertidur sembari mendengarkan kidung sunyi kematian.
Ciputat, 2016
Imam Budiman, lahir di Samarinda, Kalimantan
Timur. Kini dia aktif di Komunitas Kajian Sastra
Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Puisi-puisinya dimuat di media lokal/nasional.
Buku puisi tunggalnya; Perjalanan Seribu Warna
(2014) & Kampung Halaman (2016).
Tags:
Puisi
0 komentar