Sudah sejak lama saya memiliki buku Balthasar’s Odyssey,
Mencari Nama Tuhan yang Keseratus,
tapi baru beberapa bulan lalu saya merampungkannya. Dulu, saya
sebenarnya sudah tertarik untuk membacanya dan sudah emngantrikannya di
di samping tempat tidur saya. Ini gara-gara sewaktu pergi ke pameran,
Haris Firdaus -seorang kawan Pawon- bener-benar mencari buku itu. Sampai
ketika ada buku Amin Maalouf yang saya rasa merupakan bajakan (?), ia
tetap membelinya. Waktu itu saya hanya berpikir,
sampai segitunya…
Tapi saat mulai membaca Balthasar’s Odyssey semua itu terjawab. Di
blurps buku itu tertulis pembaca akan terbawa dari halaman pertama. Itu
tentu kalimat pasaran yang sering kita baca di blurps-blurps novel. Tapi
sungguh di novel ini itu ternyata bukan kalimat mitos.
Maka itulah, saya merancang membicarakan sosok Amin Maalouf di
#bincangsastra Solopos FM. Saya pikir sosok penulis ini masih jarang
sekali diulas. Di internet pun data-datanya begitu sedikit. Mungkin
karena Maalouf berbahasa Prancis.
Sosok Lain dari Lebanon selain Gibran
Bicara tentang Lebanon, satu hal yang langsung teringat adalah sosok
Kahlil Gibran. Itu tak bisa disangkal. Padahal sebenarnya ketenaran Amin
Maalof tak kalah menjulang. Ia lahir di Lebanon tahun 1949. Merupakan
anak kedua dari 4 bersaudara. Ayahnya adalah seorang Katolik dan ibunya
dari keluarga Kristen.
Tahun 1971, Maalouf menikah dengan Andree -seorang guru di institut
bagi anak-anak tuna rungu. Kelak dari istrinya itu, Maalof dikaruniai 3
anak.
Komentar Maalouf tentang Andree, “Ia adalah pembaca pertama naskah-naskahnya. Andree sangat hebat.”
Sayangnya kehidupan di tanah Lebanon tak berjalan mulus. Saat Maalouf
bekerja sebagai jurnalis di Beirut, perang sipil meledak di Beirut.
Perang sipil itu terjadi antara orang-orang Palestina dan orang-orang
Kriten. Kejadian ini merupakan tragedi bagi Maalouf. Ia besar dari 2
tradisi itu. Apalagi selama ini tak ada batas yang nyata antara Islam
dan Kristen.
Maalouf akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Lebanon. Mengenang
masa kepindahan itu, ia pernah berujar, “Sepanjang masa mudanya, ide
untuk pindah dari Lebanon tak pernah terpikirkan.”
Tapi kali ini, ia harus pergi. Dengan menaiki kapal ke Siprus, ia
lalu melanjutkannya menuju Prancis. Dua bulan kemudian istrinya yang
baru melahirkan anak ketiga menyusulnya.
Maalof kemudian bergabung dengan majalah
Jeune Afrique. Itulah adalah kali pertama ia menulis dalam bahas Prancis.
Buku Pertama dan Novel Pertama
Buku pertama Maalouf adalah
The Crusaders Through Arab Eyes.
Ini merupakan buku sejarah tetang orang-orang yang terlibat dalam
Perang Salib, namun dilihat dari sisi orang-orang Arab. Selama ini di
Prancis, orang-orang selalu melihat kejadian Perang Salib dari sisi yang
lain. Buku ini cukup mendapat sambutan. Selama 20 tahun buku ini dapat
terus terjual. Seorang kritikus pernah menilai, membaca buku
The Crusaders Through Arab Eyes adalah membaca buku non fiksi yang ditulis seperti novel
.
Ini tak bisa dipungkiri, sejak dulu Maalouf memang selalu
berkeinginan menulis novel. Ujarnya, “Ada hubungan yang kuat antara diri
saya dan dunia. Saya selalu mencoba melarikan diri dari relitas. Saya
adalah seorang pemimpi. Saya tak merasakan harmoni di kehidupan saya
atau di kehidupan sekitar saya.”
Maka pada akhirnya, novel pertama Malouf
Leo the African
(1986) terbit. Ini merupakan novel yang berawal dari kejatuhan Granada
yang diceritakan dari sisi yang lain. Kisah tentang penjelajah abad 16,
Hassan al- Wazzan atau lebih dikenal sebagai Leo Africanus. Ia lahir di
Granada, lalu tumbuh di Fez, tampil di Mecca, kemudian berkonversi ke
Kristen dan terlibat dalam intrik di Vatikan di masa Renaisance Roma,
namun pada kahirnya kembali pada Islam. Maalouf mengatakan bila buku ini
adalah buku bagi imigran baru. Kredo dari buku itu yang begitu terkenal
adalah: I come from no country,
from no city, no tribe. I am the son of the road… All tongues and all players belong to me. But i belong none of them.
Setelah menulis novel itu, Maalof seperti tersadar, ”Sesuatu
keajaiban terjadi. Saya tahu saya akan menghabiskan waktu untuk menulis
fiksi.”
Tahun 1985, Maalouf keluar dari pekerjaannya dan mulai menjadi penulis penuh waktu.
Novel Kedua, Samarkand
Di novel keduanya, Maalouf menulis tetang Omar Kayyam. Berlatar
belakang Revolusi Islam di Iran tahun 1979, Maalouf membuat semacam
teka-teki tentang revolusi agama dalam abad 20 terakhir ini. Nampak
sekali Maalouf ingin menghubung-hubungkan antara politik, agama dan
budaya. Omar Khayyam sendiri dikenal sebagai astronom, matematikawan,
dokter, dan filsuf yang tak tertandingi pada masanya. Ia juga berbakat
menulis Rubaiyat, sajak empat seuntai atau kwatrain. Dengan fokus pada
karakter besar ini, Maalouf merangkai dan perburuan manuskrip asli
Rubaiyat yang dikenal sebagai “Naskah Samarkand”.
Perjalanan panjang Naskah Samarkand itu tiba hingga di dua kota utama
peradaban dunia pada masa itu, Samarkand dan Isfahan, hingga terkurung
di benteng Alamut, markas Kaum Pembunuh—sekte paling mengerikan
sepanjang sejarah. Setelah lama dikira musnah terbakar dalam serbuan
bangsa Mongol di abad ketiga belas, naskah itu muncul kembali enam abad
kemudian di tangan seorang pembunuh Syah Parsi.
Maalouf berkata buku ini seperti mengusik keluarganya. Kakeknya tak
ingin cucu-cucunya dibabtis, dan ayahnya serta saudara-saudaanya
akhirnya memeluk Protestan, Katholik dan aliran yang tak disebutkan.
Maalouf sendiri seperti menjadi skeptik terhadap semua agama. Walau
begitu, dalam satu wawancara ia berkata, kalau ia menghormati
orang-orang yang baik hati karena agama, tapi ia merasa berasal dari
negara di mana agama telah disalahgunakan. Baginya seorang yang percaya
adalah seseorang yang memiliki keyakinan dalam nilai-nilai yang dapat
dipercaya.
Maalouf memang hidup di Eropa. Ini yang membuatnya merasa tak akrab
dengan kisah-kisah dari Arab. Apalagi ia dekat dengan kisah-kisah
semacam Gullivers Travels, Dickens, Dumas, Mark Twain dll. Maka itulah,
ia jarang menulis tentang tanah leluhurnya.
Tahun 1991 novelnya berikutnya The Gardens of Light terbit. Disusul novel selanjutnya, The First Century after Beatrice setahun berikutnya. Tetap tak ada cerita tentang Lebanon. Barulah kemudian
The Rock of Tanios terbit…
The Rock of Tanios
Sebuah kritik datang pada Maalof, ia merupakan sosok Lebanon yang
jarang mengekspos tanah Lebanon. Sepanjang karirnya menulis ia hanya
menulis
The Rock of Tanios. Dalam edisi Indonesia di terjemahkan oleh penerbit Obor dengan judul
Cadas Tanios.
Kisah dalam novel ini membawa kita ke sebuah desa di pegunungan
Lebanon dan mempertemukan kita dengan Tanios, putra Lamia, Istri Kepala
Rumah Tangga Istana yang cantik jelita, idaman setiap pria. Kelahiran
Tanios memang disambut gembira, namun ada desas-desus, bila ayah Tanios
adalah Cheikh, penguasa desa itu.
Tetapi Sang Penguasa bersumpah dengan jari terkembang di atas injil
di depan bibi Tanios, bukanlah dia yang membuahi Tanios. Tapi ini tak
membuat gunjingan mereda. Ketidakpastian mengenai siapa ayahnya
sebenarnya inilah yang menjadi titik awal semua peristiwa yang menimpa
Tanios semasa kecil, hingga mencapai puncaknya ketika pada suatu hari
ayahnya, anak buah kesayangan sang Penguasa, anak buah yang penurut,
rajin, pendiam, tanpa keinginan yang lebih tinggi selain mengabdi pada
majikannya, menghadang Pemimpin Gereja dan meremuk kepalanya dengan
sebutir peluru yang ditembakkan dari sebuah senapan, untuk membela
anaknya dan kehormatan dirinya sendiri. Tanios dan ayahnya kemudian lari
bersama dari desanya. Kisah yang berlatar belakang keadaan zaman
1830-an ini, menghanyutkan saya betapa nasib seseorang ditentukan oleh
tangan-tangan yang tidak tampak dan berkekuatan maha besar.
Identitas memang selalu dipertanyakan pada sosok Maalouf, “Pertanyaan
tentang identitas tak pernah pergi dari kepala saya, karena sangat
problematik. Identitas saya dibuat dari banyak element. Dan saya harus
mengakui semuanya. Orang-orang di Prancis lebih menyikai saya mengatakan
‘dimana pun asal saya, saya tetaplah seorang Prancis’. Di Lebanon
mereka lebih menyukai, ‘walau saya menghabiskan waktu di Prancis, saya
tetaplah orang Lebanon’. Maalouf kemudian menyatakan kalau dirinya
adalah keduanya.
Menulis Memoar: Origins
Walau sudah menulis novel, Maalouf tak henti menulis buku-buku non fiksi. Tahun 2004 ia mengeluarkan buku
Origins.
Origins
seperti menjawab lagi soal identitas Maalouf. Di sini ia kembali
menulis tentang Lebanon. Adalah 2 tokoh: Gebrayel yang bermigrasi ke
Cuba dan mulai mencari keberuntungannya sebelum meninggal karena
kecelakaan, dan Bountos yang memilih menetap di Lebanon dan membuka
sekolah bagi anak-anak. Yang istimewa dua karakter dalam adalah
orang-orang yang begitu dekat dengan kehidupan Maalouf. Gebrayel adalah
paman tertua Maalouf, dan Boutros adalah sosok kakeknya. Dalam sebuah
wawancara via telepon dengan Carole Corn, seorang reporter dari Al Jadid Magazine, Maalouf
menjawab, kalau ia memang selalu ingin membicarakn kakeknya. Kakeknya
adalah figur penting dalam keluarganya, walau sebenarnya Maalouf merasa
ia dan keluarganya tak mengenal kakeknya secara dalam. Selama ini
cerita-cerita tentang kakeknya didengarnya terasa kurang kredibel.
Itulah yang membuat Maalouf mulai mencari kisah sebenarnya.
Data-data penting saat penulisan buku ini banyak didapatnya dari
cerita neneknya. Namun lebih dari itu, ternyata neneknya pun masih
menyimpan seluruh surat-surat pamannya yang bermigrasi ke Cuba. Ini
mengejutkan bagi Maalouf.
Balthasar’s Odyssey
Novel Maalouf selanjutnya adalah
Ports of Call (1996), Namun ang kemudian banyak mendapat pembicaraan adalah novel selanjutnya
Balthasar’s Odyssey di tahun 2000.
Novel ini dimulai di tahun yang diramalkan akan kiamat. Berkisah
tentang Balthasar Embriaco, seorang saudagar buku dan barang-barang
antik di Gibelet, Lebanon. Petualangan Balthasar dimulai ketika ia
mendapatkan buku
Nama Tuhan yang Keseratus, dari seorang
tetangganya yang fakir. Akan tetapi, tanpa dapat dicegah, Balthasar
melepaskan buku itu pada seorang langganannya, perwira tinggi Perancis
yang bertugas mengumpulkan naskah-naskah kuno dan barang-barang antik.
Kematian sang tetangga fakir secara tiba-tiba, membuat Balthasar
memutuskan pergi dari Gibelet untuk kembali mengambil buku berharga itu
ke Istambul.
Bersama 2 keponakan, dan seorang pelayan setianya, Balthazar pergi.
Dari sinilah konflik mulai muncul, setelah seorang janda –perempuan yang
sejak dulu dicintai Balthazar- ternyata ikut dalam perjalanan itu.
Tujuan awal yang hanya ingin pergi ke Istambul, pada akhirnya Balthtazar
mengunjungi kota-kota indah hampir di seluruh Eropa: Constatinopel,
Genoa, Lisbon, London, dsb
Rekan novelis Maalouf -Michelle Robert- mengatakan, “Novel ini adalah
meditasi yang dibutuhkan bagi orang-orang Kristen, Muslim dan Yahudi
untuk bertoleransi antar sesama dalam sebuah perjalanan yang fantastis.”
Penghargaan
Di umurnya yang ke 53 tahun, Maalouf sudah menerbitkan 10 novel,
esai-esai dan beberapa buku sejarah. Tak lupa ia juga pernah menulis
libreto, semacam syair dalam sebuah pertunjukan musik.
Tahun 2016 ini ia mendapatkan penghargaan
Cultural Personality of the Year Award dalam
The Sheikh Zayed Book Award. Ini adalah penghargaan yang kesekian. Tahun 1993 novelnya
The Rock of Tanios juga pernah memenangkan
The Prince of Asturians Award.
Satu kunci dari seluruh novel-novel Maalouf adalah: seluruh
kisah-kisahnya menceritakan masa lalu. Secara terus terang, Maalouf
memang lebih menyukai menulis masa lalu. Ia menganggap di masa lalu ada
moment-moment besar yang membuat bangga. Walau ia tak yakin apakah
cucu-cucu akan bangga dengan generasinya, tapi melihat apa yang
digambarkan dunia sekarang ini yang penuh dengan kekerasan, kehancuran
dan ketakutan, Maalouf memilih masa lalu. []
Picture diambil dari:
http://www.high-five-mag.com/wp-content/uploads/2015/01/amin.jpg