#BincangSastra Solopos FM 19 Juni 2016 - Amin Maalouf, Sosok Lain dari Lebanon oleh Yudhi Herwibowo (yudhiherwibowo.wordpress.com)
Tapi saat mulai membaca Balthasar’s Odyssey semua itu terjawab. Di blurps buku itu tertulis pembaca akan terbawa dari halaman pertama. Itu tentu kalimat pasaran yang sering kita baca di blurps-blurps novel. Tapi sungguh di novel ini itu ternyata bukan kalimat mitos.
Maka itulah, saya merancang membicarakan sosok Amin Maalouf di #bincangsastra Solopos FM. Saya pikir sosok penulis ini masih jarang sekali diulas. Di internet pun data-datanya begitu sedikit. Mungkin karena Maalouf berbahasa Prancis.
Sosok Lain dari Lebanon selain Gibran
Bicara tentang Lebanon, satu hal yang langsung teringat adalah sosok Kahlil Gibran. Itu tak bisa disangkal. Padahal sebenarnya ketenaran Amin Maalof tak kalah menjulang. Ia lahir di Lebanon tahun 1949. Merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. Ayahnya adalah seorang Katolik dan ibunya dari keluarga Kristen.
Tahun 1971, Maalouf menikah dengan Andree -seorang guru di institut bagi anak-anak tuna rungu. Kelak dari istrinya itu, Maalof dikaruniai 3 anak.
Komentar Maalouf tentang Andree, “Ia adalah pembaca pertama naskah-naskahnya. Andree sangat hebat.”
Sayangnya kehidupan di tanah Lebanon tak berjalan mulus. Saat Maalouf bekerja sebagai jurnalis di Beirut, perang sipil meledak di Beirut. Perang sipil itu terjadi antara orang-orang Palestina dan orang-orang Kriten. Kejadian ini merupakan tragedi bagi Maalouf. Ia besar dari 2 tradisi itu. Apalagi selama ini tak ada batas yang nyata antara Islam dan Kristen.
Maalouf akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Lebanon. Mengenang masa kepindahan itu, ia pernah berujar, “Sepanjang masa mudanya, ide untuk pindah dari Lebanon tak pernah terpikirkan.”
Tapi kali ini, ia harus pergi. Dengan menaiki kapal ke Siprus, ia lalu melanjutkannya menuju Prancis. Dua bulan kemudian istrinya yang baru melahirkan anak ketiga menyusulnya.
Maalof kemudian bergabung dengan majalah Jeune Afrique. Itulah adalah kali pertama ia menulis dalam bahas Prancis.
Buku Pertama dan Novel Pertama
Buku pertama Maalouf adalah The Crusaders Through Arab Eyes. Ini merupakan buku sejarah tetang orang-orang yang terlibat dalam Perang Salib, namun dilihat dari sisi orang-orang Arab. Selama ini di Prancis, orang-orang selalu melihat kejadian Perang Salib dari sisi yang lain. Buku ini cukup mendapat sambutan. Selama 20 tahun buku ini dapat terus terjual. Seorang kritikus pernah menilai, membaca buku The Crusaders Through Arab Eyes adalah membaca buku non fiksi yang ditulis seperti novel.
Ini tak bisa dipungkiri, sejak dulu Maalouf memang selalu berkeinginan menulis novel. Ujarnya, “Ada hubungan yang kuat antara diri saya dan dunia. Saya selalu mencoba melarikan diri dari relitas. Saya adalah seorang pemimpi. Saya tak merasakan harmoni di kehidupan saya atau di kehidupan sekitar saya.”
Maka pada akhirnya, novel pertama Malouf Leo the African (1986) terbit. Ini merupakan novel yang berawal dari kejatuhan Granada yang diceritakan dari sisi yang lain. Kisah tentang penjelajah abad 16, Hassan al- Wazzan atau lebih dikenal sebagai Leo Africanus. Ia lahir di Granada, lalu tumbuh di Fez, tampil di Mecca, kemudian berkonversi ke Kristen dan terlibat dalam intrik di Vatikan di masa Renaisance Roma, namun pada kahirnya kembali pada Islam. Maalouf mengatakan bila buku ini adalah buku bagi imigran baru. Kredo dari buku itu yang begitu terkenal adalah: I come from no country, from no city, no tribe. I am the son of the road… All tongues and all players belong to me. But i belong none of them.
Setelah menulis novel itu, Maalof seperti tersadar, ”Sesuatu keajaiban terjadi. Saya tahu saya akan menghabiskan waktu untuk menulis fiksi.”
Tahun 1985, Maalouf keluar dari pekerjaannya dan mulai menjadi penulis penuh waktu.
Novel Kedua, Samarkand
Di novel keduanya, Maalouf menulis tetang Omar Kayyam. Berlatar belakang Revolusi Islam di Iran tahun 1979, Maalouf membuat semacam teka-teki tentang revolusi agama dalam abad 20 terakhir ini. Nampak sekali Maalouf ingin menghubung-hubungkan antara politik, agama dan budaya. Omar Khayyam sendiri dikenal sebagai astronom, matematikawan, dokter, dan filsuf yang tak tertandingi pada masanya. Ia juga berbakat menulis Rubaiyat, sajak empat seuntai atau kwatrain. Dengan fokus pada karakter besar ini, Maalouf merangkai dan perburuan manuskrip asli Rubaiyat yang dikenal sebagai “Naskah Samarkand”.
Perjalanan panjang Naskah Samarkand itu tiba hingga di dua kota utama peradaban dunia pada masa itu, Samarkand dan Isfahan, hingga terkurung di benteng Alamut, markas Kaum Pembunuh—sekte paling mengerikan sepanjang sejarah. Setelah lama dikira musnah terbakar dalam serbuan bangsa Mongol di abad ketiga belas, naskah itu muncul kembali enam abad kemudian di tangan seorang pembunuh Syah Parsi.
Maalouf berkata buku ini seperti mengusik keluarganya. Kakeknya tak ingin cucu-cucunya dibabtis, dan ayahnya serta saudara-saudaanya akhirnya memeluk Protestan, Katholik dan aliran yang tak disebutkan.
Maalouf sendiri seperti menjadi skeptik terhadap semua agama. Walau begitu, dalam satu wawancara ia berkata, kalau ia menghormati orang-orang yang baik hati karena agama, tapi ia merasa berasal dari negara di mana agama telah disalahgunakan. Baginya seorang yang percaya adalah seseorang yang memiliki keyakinan dalam nilai-nilai yang dapat dipercaya.
Maalouf memang hidup di Eropa. Ini yang membuatnya merasa tak akrab dengan kisah-kisah dari Arab. Apalagi ia dekat dengan kisah-kisah semacam Gullivers Travels, Dickens, Dumas, Mark Twain dll. Maka itulah, ia jarang menulis tentang tanah leluhurnya.
Tahun 1991 novelnya berikutnya The Gardens of Light terbit. Disusul novel selanjutnya, The First Century after Beatrice setahun berikutnya. Tetap tak ada cerita tentang Lebanon. Barulah kemudian The Rock of Tanios terbit…
The Rock of Tanios
Sebuah kritik datang pada Maalof, ia merupakan sosok Lebanon yang jarang mengekspos tanah Lebanon. Sepanjang karirnya menulis ia hanya menulis The Rock of Tanios. Dalam edisi Indonesia di terjemahkan oleh penerbit Obor dengan judul Cadas Tanios.
Kisah dalam novel ini membawa kita ke sebuah desa di pegunungan Lebanon dan mempertemukan kita dengan Tanios, putra Lamia, Istri Kepala Rumah Tangga Istana yang cantik jelita, idaman setiap pria. Kelahiran Tanios memang disambut gembira, namun ada desas-desus, bila ayah Tanios adalah Cheikh, penguasa desa itu.
Tetapi Sang Penguasa bersumpah dengan jari terkembang di atas injil di depan bibi Tanios, bukanlah dia yang membuahi Tanios. Tapi ini tak membuat gunjingan mereda. Ketidakpastian mengenai siapa ayahnya sebenarnya inilah yang menjadi titik awal semua peristiwa yang menimpa Tanios semasa kecil, hingga mencapai puncaknya ketika pada suatu hari ayahnya, anak buah kesayangan sang Penguasa, anak buah yang penurut, rajin, pendiam, tanpa keinginan yang lebih tinggi selain mengabdi pada majikannya, menghadang Pemimpin Gereja dan meremuk kepalanya dengan sebutir peluru yang ditembakkan dari sebuah senapan, untuk membela anaknya dan kehormatan dirinya sendiri. Tanios dan ayahnya kemudian lari bersama dari desanya. Kisah yang berlatar belakang keadaan zaman 1830-an ini, menghanyutkan saya betapa nasib seseorang ditentukan oleh tangan-tangan yang tidak tampak dan berkekuatan maha besar.
Identitas memang selalu dipertanyakan pada sosok Maalouf, “Pertanyaan tentang identitas tak pernah pergi dari kepala saya, karena sangat problematik. Identitas saya dibuat dari banyak element. Dan saya harus mengakui semuanya. Orang-orang di Prancis lebih menyikai saya mengatakan ‘dimana pun asal saya, saya tetaplah seorang Prancis’. Di Lebanon mereka lebih menyukai, ‘walau saya menghabiskan waktu di Prancis, saya tetaplah orang Lebanon’. Maalouf kemudian menyatakan kalau dirinya adalah keduanya.
Menulis Memoar: Origins
Walau sudah menulis novel, Maalouf tak henti menulis buku-buku non fiksi. Tahun 2004 ia mengeluarkan buku Origins. Origins seperti menjawab lagi soal identitas Maalouf. Di sini ia kembali menulis tentang Lebanon. Adalah 2 tokoh: Gebrayel yang bermigrasi ke Cuba dan mulai mencari keberuntungannya sebelum meninggal karena kecelakaan, dan Bountos yang memilih menetap di Lebanon dan membuka sekolah bagi anak-anak. Yang istimewa dua karakter dalam adalah orang-orang yang begitu dekat dengan kehidupan Maalouf. Gebrayel adalah paman tertua Maalouf, dan Boutros adalah sosok kakeknya. Dalam sebuah wawancara via telepon dengan Carole Corn, seorang reporter dari Al Jadid Magazine, Maalouf menjawab, kalau ia memang selalu ingin membicarakn kakeknya. Kakeknya adalah figur penting dalam keluarganya, walau sebenarnya Maalouf merasa ia dan keluarganya tak mengenal kakeknya secara dalam. Selama ini cerita-cerita tentang kakeknya didengarnya terasa kurang kredibel. Itulah yang membuat Maalouf mulai mencari kisah sebenarnya.
Data-data penting saat penulisan buku ini banyak didapatnya dari cerita neneknya. Namun lebih dari itu, ternyata neneknya pun masih menyimpan seluruh surat-surat pamannya yang bermigrasi ke Cuba. Ini mengejutkan bagi Maalouf.
Balthasar’s Odyssey
Novel Maalouf selanjutnya adalah Ports of Call (1996), Namun ang kemudian banyak mendapat pembicaraan adalah novel selanjutnya Balthasar’s Odyssey di tahun 2000.
Novel ini dimulai di tahun yang diramalkan akan kiamat. Berkisah tentang Balthasar Embriaco, seorang saudagar buku dan barang-barang antik di Gibelet, Lebanon. Petualangan Balthasar dimulai ketika ia mendapatkan buku Nama Tuhan yang Keseratus, dari seorang tetangganya yang fakir. Akan tetapi, tanpa dapat dicegah, Balthasar melepaskan buku itu pada seorang langganannya, perwira tinggi Perancis yang bertugas mengumpulkan naskah-naskah kuno dan barang-barang antik. Kematian sang tetangga fakir secara tiba-tiba, membuat Balthasar memutuskan pergi dari Gibelet untuk kembali mengambil buku berharga itu ke Istambul.
Bersama 2 keponakan, dan seorang pelayan setianya, Balthazar pergi. Dari sinilah konflik mulai muncul, setelah seorang janda –perempuan yang sejak dulu dicintai Balthazar- ternyata ikut dalam perjalanan itu. Tujuan awal yang hanya ingin pergi ke Istambul, pada akhirnya Balthtazar mengunjungi kota-kota indah hampir di seluruh Eropa: Constatinopel, Genoa, Lisbon, London, dsb
Rekan novelis Maalouf -Michelle Robert- mengatakan, “Novel ini adalah meditasi yang dibutuhkan bagi orang-orang Kristen, Muslim dan Yahudi untuk bertoleransi antar sesama dalam sebuah perjalanan yang fantastis.”
Penghargaan
Di umurnya yang ke 53 tahun, Maalouf sudah menerbitkan 10 novel, esai-esai dan beberapa buku sejarah. Tak lupa ia juga pernah menulis libreto, semacam syair dalam sebuah pertunjukan musik.
Tahun 2016 ini ia mendapatkan penghargaan Cultural Personality of the Year Award dalam The Sheikh Zayed Book Award. Ini adalah penghargaan yang kesekian. Tahun 1993 novelnya The Rock of Tanios juga pernah memenangkan The Prince of Asturians Award.
Satu kunci dari seluruh novel-novel Maalouf adalah: seluruh kisah-kisahnya menceritakan masa lalu. Secara terus terang, Maalouf memang lebih menyukai menulis masa lalu. Ia menganggap di masa lalu ada moment-moment besar yang membuat bangga. Walau ia tak yakin apakah cucu-cucu akan bangga dengan generasinya, tapi melihat apa yang digambarkan dunia sekarang ini yang penuh dengan kekerasan, kehancuran dan ketakutan, Maalouf memilih masa lalu. []
Picture diambil dari:
http://www.high-five-mag.com/wp-content/uploads/2015/01/amin.jpg
Tags:
esai
0 komentar