Minggu, 26 Juni
2016. Sore itu siaran rutin
Bincang Sastra kerja sama antara Pawon Sastra dan Solopos Fm yang telah
berlangsung lebih dari setahun mengambil tema Difabilitas dan Sastra. Pengisi
acara selain saya adalah Agatha Febriani mewakili difabel netra, Aprilian Bima
beserta Epi dan Putra wakil dari tuli serta Yudhi Herwibowo dan Indah
Darmastuti koordinator Komunitas Pawon Sastra. Istiono akrab dipanggil Tio,
pegiat difabel berinisiatiatif mengambil rekam gambar saat kami sedang siaran.
Jadilah studio mungil yang hanya muat untuk lima kursi plus satu kursi penyiar
sekaligus operator penuh sesak, terpaksa dua orang berdiri.
Noer Atmaja, penyiar Solopos FM yang kerap menemani siaran kawan-kawan
Komunitas Pawon Sastra sore itu membuka siaran dengan memperkenalkan kami
sebelum pembicaraan beranjak. Sementara Tio ribet dengan kamera dan Indah
Darmastuti sibuk dengan kamera ponselnya, mencuri-curi momen agar bisa mendapat
sudut pandang yang bagus, sesekali Yudhi pun demikian. Keruan saja ruang studio
yang berada di lantai tiga Griya Solopos beberapa sisi foto yang diambil
berefek backlight, karena ada dari kami membelakangi cahaya matahari
yang meluncur ke barat.
Pembicaraan dibuka dengan salam perkenalan disambung pertanyaan bagaimana
Bima menikmati karya-karya sastra dan dari mana dia memperoleh aksesnya. Lewat
Epi, penerjemah bahasa isyarat, Bima mengatakan bahwa dirinya ngefans dengan
Adimas Immanuel, penyair muda asal Solo yang saat ini namanya sedang populer di
kalangan pegiat sastra. Bima juga menyukai karya-karya WS Rendra. Bima suka
menulis puisi. Dia pernah mengirim karya ke koran Solopos dan itu sudah lama
sekali. Mahasiswa Fakultas Seni dan Budaya UNS itu juga pernah merebut juara menulis
puisi dalam rangka Hari Difabel Internasional (HDI) oleh PPRBM Solo. Terakhir,
Bima menulis dan membaca puisi untuk sewaktu acara Walk For Autism di Mall
Paragon belum lama ini.
Di sela-sela kami sedang berbincang, Agatha Febriani yang datang terlambat
beberapa menit turut bergabung. Agatha sudah lama berkecimpung di dunia sastra
karena dia pernah kuliah di Fakultas Sastra dan Bahasa Indonesia UNS. Dia
memulainya sejak duduk di bangku SMA. Sastra yang diminati atau yang dibaca,
tidak ada yang spesifik, hanya karya yang menarik akan dibaca. Agatha pernah
bergiat dan rutin di Pendapa Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Setelah menjadi
difabel dia bergabung lagi dengan komunitas menulis Alit yang bersifat inklusi.
Kesulitan yang dialami tidak ada karena teman-teman Komunitas Alit dan Pendapa
TBJT bisa memahami netra. Agatha meminta karya yang masuk di Antologi Pendapa
untuk dikirim lewat surel lalu karya-karya itu diaudiokan olehnya sehingga
akses dan dia beri judul “Sastra Audio”.
Pertanyaan kemudian diajukan kepada Bima, tentang bagaimana akses sastra
bagi mereka terutama untuk komunitasnya. Sekitar tahun 2013 pentas teater
pertama tuli bareng dengan komunitas lain terjadi yakni bersama Teater Peron
dan Badan Koordinas Kesenian Tradisional (BKKT) UNS. Menurut referensi beberapa
sumber, pentas teater berjudul Sudo Ora Sudo mendapat antusiasme yang
tinggi ditandai dengan membludaknya penonton. Tahun 2008 Gerkatin juga telah
melakukan pentas teater, lalu kemudian vakum. “Dari situ teman-teman menggeliat
dengan pentas-pentas kecil, di kampus UNS dengan judul “Suara Kosong” pentas
teater dari puisi yang dibuat sendiri oleh Bima,”jelas Epi menirukan Bima.
Bima bercerita mungkin puisi sebenarnya sesuatu yang sulit bagi tuli.
Menurutnya teman-teman tuli masih sulit menerjemahkan karya-karya abstrak dan
surealis. Di pentas “Suara Kosong” Bima ingin menunjukkan bahwa puisi itu tidak
verbal saja.Bima mencoba sebisa mungkin puisi bisa dinikmati oleh dirinya
sendiri dan teman-teman tuli lainnya.
Noer Atmaja menanyakan lagi apakah pernah ada kesulitan yang ditimbulkan
ketika menyaksikan pentas-pentas yang beraudio? Bagaimana menikmati karya
-karya yang tak beraudio? Tenyata selama ini Bima menikmati hanya terbatas
secara visual saja. Pentas tanpa musik yang digelar di UNS, mereka benar-benar
mengoptimalkan gerak tubuh.Pentas di tahun 2009 itu_waktu itu Epi
menonton_menurutnya naskahnya berat. Penonton menikmati secara visual. Mungkin
interpretasi diserahkan ke masing-masing penonton.
Dengan keterbatasan kawan-kawan difabel karya sastra dianggap belum
memudahkan. Karya-karya sastra dengan braille juga terbatas. Noer Atmaja yang
memandu siaran menanyakan apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah, swasta
dan masyarakat. Lalu saya menjawabnya bahwa di Yogya pernah ada gerakan
pengaudiaoan karya sastra, kalau tidak salah penggeraknya adalah seorang
seniman, penyiar radio. Dia mengumpulkan karya-karya yang dihibahkan untuk
diaudiokan. Itu yang dilakukan oleh masyarakat. Tetapi saya tidak tahu,
pemerintah saat ini sejauh mana untuk memenuhi kebutuhan netra dalam mengakses
buku-buku sastra.





Sementara ini dari pemerintah sendiri belum memprioritaskan buku-buku karya
sastra untuk diterjemahkan untuk netra. Pemerintah pada 17 Maret telah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
yang di situ sudah ada pasal-pasal tentang bagaimana netra mengakses buku atau
bacaan dengan fasilitas Braille dan dalam bentuk audio. Lalu tuli juga mestinya
mengakses bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) serta fasilitas penerjemah bahasa.
Tinggal bagaimana nanti implementasinya di tingkat pemangku kebijakan dan
masyarakat.
Agatha menambahkan bahwa pemerintah memiliki Badan Penerbitan Braille
Indonesia (BPBI) di Bandung, lalu kalau di pihak swasta ada Mitra Netra di
Jakarta. Mereka sudah menerbitkan karya sastra dalam bentuk Braille, mungkin
sangat terbatas karena sastra bukan prioritas bagi teman-teman netra. Karena
yang dibutuhkan mereka adalah buku-buku teori misalnya untuk pelatihan kayak massage
atau pemijatan karena kebanyakan teman netra aksesnya kepada pelatihan
pijat. Sampai hari ini perspektif pemerintah untuk pelatihan bagi teman-teman
netra adalah massage. Dan sastra bukan prioritas utama. Kalaupun ada
buku-buku sastra yang di-braille-kan adalah buku-buku yang populer
seperti Romeo and Juliet, Buku-buku baru terbitan penerbit besar belum ada.
Jadi yang dicetak maupun diaudiokan sangat terbatas. “Makanya ketika saya
bertemu dengan Mas Yudhi saya berusaha mengaudiokan bersama teman-teman dari
komunitas netra,”terang Agatha.
Pertanyaan kemudian mengalir bagaimana ide-ide pementasan untuk tuli dan
ide itu datang dari mana. Masih tentang Adimas Immanuel, tepat di tahun baru
2015, menurut Bima, teman-teman membuat acara di Blogger Indonesia, di situ
Bima kenalan dan ngobrol. Bima belum mengenalnya sebagai seorang penulis puisi,
dan baru secara pribadi, ternyata mereka sama-sama suka puisi. Bima menanyakan
kepada Adimas, apakah membuat puisi ada peraturannya, apakah harus SPOK?
Ritmenya begini, rimanya begini, apakah begitu. Hal itu terkait Bima kalau
menulis, SPOK masih rancu dan kadang terbolak-balik, Adimas menjawab puisi itu
bebas, “Terserah kamu menuliskannya,”jawab Adimas saat itu seperti ditirukan
oleh Bima.
Setelah pertemuan pada tahun baru itu, akhirnya mereka bertemu lagi. Adimas
memberi buku yang berjudul Pelesir Mimpi. Ketika membaca karya Adimas di buku
itu, mungkin banyak kosa kata yang lumayan sulit, diksi berat. Yang dilakukan
oleh Bima adalah menyiasati dengan bertanya kepada Epi. “Saya rasa memang tuli
masih dalam perjalanan untuk menikmati karya sastra,”ungkap Bima seperti yang
diterjemahkan oleh Epi.
Sastra dan seni pertunjukan tidak bisa dipisahkan.Karena sastra bukan
prioritas bagi netra. Daripada membaca atau mencari buku-buku sastra, mereka
lebih mencari buku-buku pelajaran bagi teman-teman yang masih sekolah. Tetapi
kalau seni pertunjukan, mereka tertarik. Waktu Pekan Pengurangan Risiko Bencana
(PRB) Oktober 2015 komunitas netra pentas di Beteng Vastenburg. Kebetulan
naskah ditulis sendiri oleh Agatha. Naskah itu pernah dipentaskan oleh
teman-teman mahasiswa, dan bukan difabel. Kemudian naskah diadaptasi lagi dan disesuaikan agar bisa dibaca oleh netra, lalu
dicopy ke laptop mereka. “Kalau yang masih gaptek teknologi maka saya diktekan,
saya bantu mereka menghapal,”jelas Agatha.
Saat ini Bima dan kawan-kawan juga bergabung dengan Komunitas Bibit Puisi.
Kalau bersama kawan-kawan tuli, dirinya berlatih teater. “Mungkin teman-teman
tuli masih belum paham, kenapa sastra dan teater begitu menyenangkan, apa
pentingnya. Bima masih memberi pemahaman kepada teman-teman dan masih dalam
perjalanan. Sekarang saya gabung di
teater Tesa di kampus,”terang Bima.
Kesulitan yang dihadapi dalam bergabung dengan mereka adalah bila tidak ada
penerjemah, maka disiasati dengam memakai tulisan supaya mudah diterima.
Misalnya masih juga belum paham dan diterima maka Bima akan mengirim SMS kepada
penerjemah bahasanya. “Bima merasa enjoy di teater-teater, soalnya ganteng ya.
Ini bisa dibilang karena effort yang dilakukan akan lebih berat, entah
itu cari bahan, lalu bagaimana menginterpretasikannya,”gurau Noer Atmaja.
Menutup perbincangan, Noer Atmaja menanyakan harapan apa saja yang ingin
diungkapkan oleh Agatha dan Bima terkait akses mereka di dunia sastra dan pertunjukan.
Agatha menjawab bahwa harapannya adalah terpenuhinya kebutuhan netra bagaimana
buku itu dibaca dengan audio atau dengan braille. Intinya aksesibilitas.
Sedangkan Bima menekankan bahwa sebelum sampai materi bagaimana pemerintah bisa
mendukung teman tuli untuk menikmati sastra, pemerintah harus ‘melek’ kebutuhan
dasar tuli tentang penerjemah bisindo. “Itu dulu, misalnya untuk siaran berita.
Lalu untuk film, bagaimana dengan karya Indonesia sendiri yang mesti diberi
subtitle dan berbahasa Indonesia,”pungkas Bima. *)
foto Istiono dan Indah Darmastuti
0 komentar