Puisi-puisi Mashuri
PELEYAN
: catatan berburu kenangan
Reruntuhmu menjulang di buku-buku
---seperti nasib
Majapahit yang kini gaib. Tapi
menapaki tilas di pematang,
di antara kebon tebu, pecahan
batu-batu, kisah-kisah hantu,
tak kutemu mercu itu. Mungkin kau
'lah hijrah ke alam entah
dan inderaku alpa mengikuti denah
yang terwarta
dalam tilas yang bernama sejarah
Kutha Beddah, ranahmu berdiwana,
kini tinggal ceritera
tamansari yang dihuni peri kejam
dan jelita; tugu Portugis,
benteng VOC, bong Cina, dan jejak
artefak yang
menyempurnakan wujudmu, tinggal
gerimis yang tak
menyuarakan irama
Lewat pintu mana, aku harus
mengetukmu, bila rumahmu
tinggal rangka. Lewat jalan mana,
aku menujumu, jika seluruh
lorong tertimbun batu-batu dan
tanah. Mungkin aku
mengenalmu tanpa pernah bertemu,
kerna kabar yang sampai
di dadaku, ‘lah membuat seluruhku
bergetar dalam hasrat
menggebu.
O melankoli. O sepi. O ceruk
liturgi
Kelak, dalam bahasa kanak, entah
lewat tembikar atau onak,
bakal kurakit kisah-kisah tanpa
rasa sakit. Kisah yang tertuang
dalam madah-madah baru, dengan
notasi bertumpu
reruntuhmu: kolam mungil, keruh,
dan harap-harap gemas
pada lekukmu. Nyanyian masa lalu
pun terdengar utuh,
mengendap di bukit-bukit ingatan,
menjadi senandung pujian
para nelayan, dan bakal digurat
di buku-buku yang berombak
di pantai pengetahuanmu yang kini
dicekik paceklik
berkepanjangan
Situbondo, 2017
PECARON
: cinta pertama sang laron
Rembulan tak lagi utuh, o
cintaku, seperti donat yang disayat
gigi susu anak- anak sewindu
--ceritera pun tak lagi
berkumpar pada taring Batara
Kala, o belahan hatiku, kerna
dalam ritus selingkuh dengan
jilmaan Uma palsu, gigi itu tak
setajam dulu.
Tak tahukah kau, di sini, anak
cucumu kerap bermain nujum
tanpa niat bernubuat dan
bersijabat dengan penguasa
keramat gelap. Kerna jarum jam
zaman lebih tajam dari
tebasan sejuta parang dan kalam
Kepadamu o, sang pengelana dunia,
kutitipkan
sisa bayang-bayang bumi di balik
kelir takdirmu; kulingkarkan
segenap korona, mengganti gelap
dengan harapan-harapan
tuk sempurna menapaktilasi
jejakmu.
Tapi entah kenapa kenangan masa
lalu selalu menyaru cinta
pertama. Ia menjadi hantu, sekaligus
penggoda yang begitu
perkasa membalik mata: galaksi
pun tak mengenal bumi
bundar, tapi tanah datar, seperti
lapangan tanpa bola. Karena
itulah, o pelukis darah di tubuhku,
kurelakan sayap-sayapku
luruh menuju cahaya, yang
berkumpar di damarmu.
Situbondo, 2017
BUKIT KENDIT
Namamu terukir di
bonggol jati, beratus windu,
saat almanak masih mati dan tak berlaku; kini
namamu masih berarus di ingatan kanak-kanak
meski penanda tanggal telah tanggal dari
pengaitnya. Sungguhkah kau hanya mampir
ke puncak
bukit kendit untuk menyampirkan lusuh
hati karena lelakimu terus mendaraskan bait-bait
panjang ihwal pengkhianatan yang tak terbukti.
Jika kelak, kubaca jejak kota tetangga dengan tajuk
banyuwangi, sungguhkah di sana, kau membunuh
diri. Tapi di bukit kendit tak kutemu tilasmu
kendat. Malah di kelopak jati dan beringin yang
menaungi tilasmu, membekas detak hati dan arus
angin. Seperti kereta yang mematri namamu, aku
melangkah dengan peta sederhana. Dan,
menemukanmu dalam syair-syair pujian yang
dilakukan lelaki dusun telah menyusun sosokmu
yang lain: Sungguhkah kau pancaran sita, meski
ramamu hanya sidopekso dan tak pernah
mengalahkan dasamuka dalam wujud hantu-hantu
hutan yang memanjang dari Hyang, sebab kota
kini yang disusun di bawahmu mengingatkanku
pada jembatan yang dibangun oleh pasukan kera
menuju alengka, situbanda... Ataukah kau hanya
perempuan dusun yang gandrung mengukir dan
menenun...
2017
ELEGI MUTANABBI
Kenapa kau disebut mutanabbi,
sungguhkah ketika kau
menulis puisi ---tumbuh intuisi,
serupa wahyu, yang menyaru
burung parkit yang merakit
suara-suara langit; ataukah
di tubuhmu mengalir darah nabi,
dan keharuman itu membuat
musuh-musuhmu melenguh seperti
banteng yang melihat
merah di sekujurmu, hingga kau dituduh
mungkar dan
pendusta.
Dengan kefakiran tafsirku, o
mutanabbi, kubaca
diwan-diwanmu dengan ringkih
imajinasi. Kuingin menangkap
burung-burung gelisahmu dan
menyangkarkannya di dadaku,
kuingin mencium darah wangimu
yang menguar dari sela-sela
kuku, tempat dulu dawat tinta
membasahi pena dan kalbu.
Kini di majelismu aku duduk dan
berharap masa lalu tidak lagi
berulang jalang, dengan tangis
tanpa air mata dan cacat netra
dalam memandang jalanmu. Sebab
burung bukan amsal
merdeka dan darah tak selalu melulu
luka. Mungkin
moyang kita sama dan kerinduan kita terbuhul dalam madah
yang kita sederhanakan dalam
kefasihan bahasa, meski
di belakang kita: berderet akal,
sejarah, dan hasrat mengenali
seluruh lubang dan luka.
2017
ILUSI HUJAN
Hujan datang dan pergi serupa
trayek bus kota. Saat gerimis
mulai ritmis, seorang ibu
mengenakan mantel koyak untuk
melindungi anak kecilnya. Entah
kenapa, kuingat sosok yang
beraut sembilu, berdarah, dan
papa. Dulu, sempat kulihat
di katedral tua, dengan duri
mawar abadi menghias kepala,
dengan telapak tangan berlubang
yang terus saja nganga,
dengan kaki bertilas pasak dan
merah. Ibu itu terus menyeret
kakinya di antara rintik air yang
semakin mengalir. Bibirku
berbisik: "maria,
maria!"
Malang, April 2017
Mashuri lahir di Lamongan, 27 April 1976.
Menekuni hal-ihwal
yang berbau tradisional dan
religiusitas. Buku puisinya yang akan tebit adalah
Dangdut Makrifat. Kini tinggal di Sidoarjo dan
menjadi pengkaji dan peneliti sastra di Balai
Bahasa Jawa Timur. Hubbu adalah prosanya yang
memenangkan juara 1 Sayembara
Penulisan Novel
DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)
2006.
Tags:
Puisi
0 komentar