Kemaluan dalam Sastra, esai Eko Setyawan
Perspektif sastra barangkali agak nyeleweng dari perspektif yang
diyakini dan diamini masyarakat kita. Membicarakan dan/ lebih jauh lagi
memain-mainkan kemaluan misalnya, telah lama dianggap biasa saja dalam sastra.
Namun, hingga kini masyarakat kita barangkali masih memegah teguh pemahaman
bahwa mengulik masalah perut ke bawah ialah hal yang tak lumrah. Saru.
Beberapa penulis Indonesia seperti Djenar Maesa Ayu dan
Eka Kurniawan boleh dikatakan tak pernah absen mengulik kelamin dalam
karya-karyanya. Djenar Maesa Ayu dengan cerpen juga novelnya terang-terangan
menuliskan bagaimana kemaluan manusia dijadikan bahan mainan oleh tokoh maupun
orang-orang disekitar tokoh. Cerita pendek dalam buku “Mereka Bilang, Saya Monyet!” (2002) dan “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” (2004) serta novel “Nayla” (2005) menunjukkan keberanian Djenar dalam mengangkat
tema-tema yang dianggap tabu oleh konsensus masyarakat. Kendati tabu, dua buku
Djenar di atas toh berhasil masuk
dalam sepuluh dan lima besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003 dan
2004.
Membaca halaman pertama “Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas” pembaca sudah disuguhi dengan kalimat cabul. Kemaluan yang tidak mau ngaceng,
burung yang tidak mau berdiri. Ada
beberapa hal yang patut direnungkan dalam malam-malam sepi bagi para
pembaca.Betapa tersiksanya tokoh Ajo Kawir ketika burungnya tidak mau bangun
misalnya. Permulaan cerita sederhana saja, ketika Ajo Kawir berumur belasan
tahun ia mengintip dua orang polisi yang sedang memerkosa perempuan gila bernama
Rona Merah. Tokoh dalam cerita melakukan perjalanan yang begitu jauh untuk
memperjuangkan supaya burungnya bisa “berdiri” kembali. Perjalanan itu menyemai
pelajaran berharga bagi kehidupan Ajo Kawir berikutnya.
Pelajaran Hidup
Disadari olehnya atau tidak, Eka cukup cerdas membawa
perbandingan makna yang disampaikan kepada para
pembacanya. Seperti kutipan berikut; “Syarat pernikahan hanya ada lima.
Paling tidak itu yang kuingat pernah kudengar dari corong di masjid. Satu, ada
kedua mempelai. Dua, ada wali perempuan. Tiga, ada penghulu. Empat, ada ijab
kabul. Lima, ada saksi. Tak pernah kudengar pernikahan mensyaratkan burung yang
berdiri”.
Pada halaman lain, Eka menuliskan burung yang tak mau
bangun dengan sebuah perumpamaan. “Ia menempuh jalan para pencari ketenangan.
Para sufi, para mahaguru. Si Burung menempuh jalan sunyi. Tidur lelap dalam
damai, dan aku belajar darinya”. Dalam dunia sastra, kemaluan atau alat vital
sah-sah saja dihadirkan dalam cerita rekaan yang dikarang oleh penulisnya. Akan
tetapi, bukan berarti dipakainya hal-hal tabu ini membuat karya sastra menjadi
karyamesum. Alat kelamin yang hadir dalam karya-karya Djenar juga Eka misalnya
cukup merepresentasikan pelajaran-pelajaran kehidupan seperti penerimaan,
kekalahan, kebijaksanaan, dan hal-hal manusiawi lainnya.
Dengan demikian, sastra telah menjadi tempat mempelajari
kehidupan dengan taraf yang mendekati kebenaran. Bahwa kemaluan bisa dijadikan
pustaka kehidupan. Sementara hati dan perspektif masing-masing pembaca tetap
bebas menentukan apa yang hendak mereka baca.
Eko Setyawan, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNS. Cerpennya yang
berjudul “Sintren” masuk dalam nominasi 20 penyaji terbaik lomba yang
diselenggarakan oleh Gramuda Sabudarta Indonesia.
Tags:
esai
0 komentar