Kerja Antropologi dalam Penulisan Sastra, esai Nanang Fahrudin
Adakah persamaan sastrawan dengan antropolog? Tentu ada. Keduanya
sama-sama mengamati kebudayaan masyarakat, menafsirkannya, memaknainya, lalu
menyajikannya dalam sebuah tulisan (laporan). Keduanya sama-sama berhadapan
dengan masyarakat. Tentu dengan caranya masing-masing.
Banyak karya seorang
antropolog yang ditulis dengan bahasa luwes, tidak kaku, layaknya membaca
sebuah kisah. Ketika kita membaca Abangan, Santri, Priyayi karya
Clifford Geertz kita seperti bukan sedang berhadapan dengan laporan ilmiah,
tetapi sedang menelusuri kisah tentang masyarakat Jawa. Banyak hasil wawancara
tokoh dihadirkan untuk memperkuat analisa.
Lalu ketika kita
membaca Isinga, sebuah roman berlatar kebudayaan masyarakat Papua,
banyak informasi yang bisa diperoleh dari karya yang ditulis oleh Dorothea Rosa
Herliany ini. Kita pun boleh berpikir bahwa apa yang disampaikan Dorothea
adalah hasil studi antropologi. Di roman itu, masyarakat Papua tergambar dengan
sangat detail melalui tokoh-tokohnya. Yakni tentang perempuan-perempuan Papua, perubahan
sosial akibat masuknya kebudayaan asing, serta konflik masyarakat lokal dan
pendatang.
Niels Murder, seorang
antropolog ternama, membuat catatan singkat tapi cukup mendasar tentang
hubungan antara seorang antropolog dan pengarang (sastrawan). Tulisan itu ada
di majalah Basis edisi Januari 1987. Menurut dia, antropolog dan
sastrawan punya hubungan saling melengkapi, karena apa yang dilakukan punya
kemiripan, yakni sama-sama menghadapi masyarakat. Antropolog kemudian bisa
menggunakan cerita-cerita yang dikarang oleh sastrawan terdahulu sebagai sumber
data. Meski hasil karya antara pengarang
dan antropolog bisa sangat berbeda. Hal itu mesti dimaklumi, karena
pengarang menggunakan perspektif “sang aku” dalam menafsirkan masyarakat,
sedang antropolog menggunakan perspektif komunitas sosial. (hal: 29).
Dan pada kenyataannya
saat ini, jamak ditemui, pengarang menggunakan hasil-hasil penelitian para
antropolog sebagai bahan untuk karangannya. Dalam proses kreatifnya, seorang
pengarang akan melakukan riset lapangan dan sekaligus riset pustaka untuk
memperkaya tulisan. Demikian juga sebaliknya, seorang antropolog banyak
menggunakan karya sastra sebagai sumber data untuk risetnya.
Sebagaimana pengalaman
membaca Isinga, sastra bisa membantu seseorang memahami masyarakat. Demikian
juga hasil penelitian Geertz yang mampu
mengantarkan pembaca untuk memahami lebih dalam masyarakat Jawa. Maka, bukan
suatu yang asing lagi ketika pengarang mengeksplorasi masyarakat tertentu sebagai
bahan penulisan karya.
Langkah melakukan
studi lapangan, begaul langsung dengan masyarakat, menghirup udaranya, hingga
melakukan pembacaan atas teks-teks itulah yang juga dilakukan sekelompok
pengarang belum lama ini. Sembilan pengarang datang ke sebuah daerah yang jauh
dari pusat kota besar, yakni Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba). Mereka
melakukan kerja sastra (begitu para pengarang itu menyebut apa yang
dilakukannya), bukan kerja antropologi. Meski kita tentu boleh juga mengatakan
apa yang mereka lakukan juga bisa disebut sebagai kerja antropologi.
Hasil kerja sastra itu
kemudian bisa dinikmati pembaca, yakni dalam sebuah buku berjudul Tubaba. Semua tulisan di dalamnya
(esai, cerpen, puisi, naskah drama) adalah tentang kabupaten Tubaba, sebuah
daerah di Provinsi Lampunghasil pemekaran wilayah. Tubaba sebagai sebuah
realitas daerah hadir dalam “produk” imajinasi berupa cerpen, puisi, dan drama.
Ada dua kaki berbeda
yang coba dijalankan beriringan lewat buku ini. Yakni promosi kabupaten di satu
sisi, dan menjaga kulitas nilai sastra pada sisi lain. Bagaimana promosi daerah
lewat sastra, dan bagaimana sastra mampu berperan mengangkat tema-tema lokal
sebuah daerah. Dan hasilnya? Anda perlu merasakannya sendiri.
Tapi jelas sekali,
kekuatan buku ini,pertama-pertama, adalah sosok para penulisnya. Jika saja
sembilan penulis bukan orang yang sudah akrab di dunia sastra, mungkin saja
nasib buku ini akan berbeda. Sebut saja nama Nukila Amal penulis Cala Ibi, AS Laksana penulis Si Janggut Mengencingi Harucakra,
Yusi Avianto Pareanom penulis Raden
Mandasia, Afrizal Malna yang sudah banyak melahirkan karya sastra, serta
penulis-penulis sastra lain seperti Dea Anugerah, Dewi Kharisma Michellia, Iswadi Pratama, dan
Langgeng Prima Anggradinata. Dalam konteks “kenalan pertama” pada sebuah karya,
term the death of author sepertinya tidak berlaku. Bagaimanapun penulis
menjadi penting.
Buku yang berisi tiga
esai, 11 cerpen, 15 puisi, dan 1 naskah teater ini adalah sebuah hasil kerja
sastra sembilan penulis tersebut. Dalam kerja sastra ini mereka tak lagi punya
“kebebasan”, melainkan diikat oleh tema dan lokalitas yang satu: Tubaba. Oleh
karena itu, kata Zen Hae sebagai penyunting, sembilan penulis ini “sebenarnya
sedang mempertaruhkan nama dan kemampuan mereka.” (hal: xii). Selama tiga hari,
mereka terjun ke Tubaba, berjalan ke pelosok-pelosok kampung dan berinteraksi
dengan masyarakat secara langsung. Mereka juga mengkaji sejarah, mitos, dan
segala hal yang berkaitan dengan Tubaba.
Kampung Pagar Dewa,
sungai Way Kanan, dan sungai Way Kiri banyak dieksplore oleh penulis.
Tempat-tempat ini menjadi ladang cerita yang memaksa orang untuk bertanya
“benarkah cerita itu?”. Pagar Dewa kini merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten
Tulang Bawang Barat. Kampung ini dipercaya sebagai kampung pertama cikal bakal
Kerajaan Tulangbawang yang merupakan kerajaan tertua masa Hindu sebelum Islam.
Di Pagardewa terdapat banyak makam-makam orang sakti seperti Tuan Rio
Mangkubumi (raja Tulangbawang) semasa Hindu.
Nah, di tangan para
sastrawan, Pagardewa melahirkan kisah-kisah yang menarik. Kisah yang dijahit
antara masa lalu dengan masa sekarang. Cerpen Karya Langgeng Prima Anggradinata
berjudul “Pergi” adalah contohnya. (hal: 109-117).Cerpen ini berkisah tentang
Ahmad (warga Pagar Dewa) terpaksa pergi meninggalkan kampung. Kebesaran Pagar
Dewahanya tertinggal pada kisah-kisah yang disampaikan oleh ibunya waktu Ahmad
kecil. Apalagi harga karet tak menjanjikan lagi.
Ahmad pergi ke Banten
untuk mengadu nasib. Ia bekerja sebagai buruh pabrik dan hidup seperti mesin.
Awalnya ia merasa menemukan dunia baru. Tapi lama kelamaan ia terlilit oleh
gaya hidup buruh yang silau mengejar penampilan. Membeli apa yang diinginkan,
bukan yang dibutuhkan. Dan saat ia sudah bergaya hidup kota, gelombang PHK di
pabriknya memaksanya pulang ke Tubaba. Itu terjadi setelah delapan tahun ia
hidup di Banten, sebuah kota yang dulu dikisahkan pernah menyerang tanah
kelahirannya sendiri.
Cerpen ini kaya akan
pergulatan hidup Ahmad. Dan ada pesan yang saya tangkap, bahwa cerpen ini seakan hendak bilang “sejauh
manapun kau merantau, kembalilah ke Tubaba. Tubaba akan selalu menyambut dengan
tangan terbuka.”
Adat Begawi Cakak Pepadun atau mengambil
gelar tertinggu adat yang menjadi ciri khas masyarakat Tubaba juga menjadi
kisah yang cukup menarik. Cerpen “Tiga Kematian dan Satu Penobatan” buah tangan
Yusi Avianto Pareanom (hal: 101-107) cukup berhasil menunjukkan bagaimana adat
yang berhubungan dengan status sosial itu dipegang erat. Harta besar yang
keluar tak bisa dibandingkan dengan capaian status sosial berupa gelar adat
yang diperoleh.
Amir yang berdarah
Lampung, lahir dan besar di Jakarta. Ia sarjana teknik elektro dan bekerja di
perusahaan listrik swasta. Pamannya hendak mengambil gelar suttan, dan Amir diminta bantuan dana. Singkat kisah, menjelang
penobatan sang paman meninggal dunia. Musibah itu membuat keluarga besar Amir
kalang kabut. Siapa yang akan menggantikannya? Tetua adat membuat pertemuan.
Hasilnya, Amirlah yang harus menggantikan pamannya. Amir lalu dinobatkan dengan
gelar Minak Penerang Buana, karena dia kerja di dunia listrik.
Kisah hampir sama bisa
ditemui dalam cerpen “Pangeran Layang Menanti”.
Pangeran Layang Menanti adalah gelar yang disematkan kepada Fakhrurozi.
Ia seorang guru SD di Jakarta yang menikahi gadis Tubaba. Sesuai adat, ia harus
punya gelar. Dan lantaran ia belum punya tujuan hidup jelas, maka ia pun
digelari demikian. Kisah hidup Fakhrurozi cukup memprihatinkan, karena ia
banting tulang menjadi guru SD dan jadi tukang ojek. Ia mencoba usaha sablon
dan mempercayakan uangnya pada Amran, temannya. Motor dijual dan tabungan
dikasihkan Amran untuk membeli peralatan sablon. Tapi nyatanya, Amran
menghilang bersama uang itu.
Selain tentang Pagar
Dewa dan gelar adat, masih banyak hal di Tubaba yang digarap. Semua hadir dalam
rupa perkawinan antara imajinasi-realitas. Seperti makhlus halus penunggu
sungai Way Kanan dan Way Kiri, buaya putih jelmaan kepala perompak, hingga
cerita penyerbuan 12.000 pasukan Banten. Ikon-ikon Tubaba juga hadir dalam
wajah sastra yang menawan, mewujud dalam puisi, cerpen dan naskah drama.
Untuk memudahkan
menikmati buku ini, Zen Hae sebagai penyunting memang telah memudahkan pembaca
untuk membaca Tubaba, yakni dimulai dari tiga esai yang serupa laporan
perjalanan sekaligus mengenalkan daerah bernama Tubaba. Lalu cerpen dan puisi
yang lebih banyak menggarap tema sejarah, mitos, dan segala adat istiadat di
Tubaba. Naskah teater yang berkisah tentang perjalanan hidup Sutan Bumi Tuha
dan adiknya Pangiran Terang Cahya, menjadi penutup buku. Khusus untuk cerpen,
saya lebih senang tidak mengikuti urutan yang dipilihkan penyunting. Saya lebih
suka membaca sesuai urutan penulis, sebagaimana yang dipakai untuk urutan
puisi.
Bagi saya, hadirnya
buku ini cukup memberi warna dunia sastra Indonesia. Sastra menemukan
lokalitasnya (Tubaba), namun tetap menggugah pembaca di luar daerah itu untuk
ikut menikmatinya. Sastra menjadikan Tubaba milik semua orang, dengan
pergulatan sejarahnya. Sedang di sisi lain, kerja sastra ini bisa menjadi inspirasi
daerah lain untuk mempromosikan daerah lewat sastra. Bukan dengan slogan-slogan
kaku ataupun papan reklame besar.
Memang akan selalu
muncul perdebatan tentang apakah sastra perlu berperan sejauh itu? Namun, di
halaman-halaman awal, penyunting telah mendahului “menjawab” pertanyaan itu
dengan menunjukkan fakta-fakta bahwa di dunia seni “pesanan” adalah lumrah.
Lukisan Michelangelo di langit-langit Kapel Sistine, Vatikan adalah pesanan
Paus Julius II. Kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh adalah pesanan Raja
Jayabhaya di Kadiri. Sayembara menulis, dengan caranya sendiri, adalah sebuah
proyek pemesanan karya. (hal: xii).
Dan tetap saja, pada
akhirnya pembacalah yang akan menilai semuanya, apakah memutuskan membacanya
atau tidak. Kalau saya sih: ya.
Selera Sastra
Seno Gumira Ajidarma
pernah berpidato tentang kesastrastraan pada 29
Januari 2015 (saya menonton di YouTube). Ia mendiskusikan tentang apa
sih sastra itu? “Apakah kalau disebut sastra berarti itu sastra?” begitu tanyanya.
Penulis produktif yang kini jadi Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu
lantas menjawab bahwa sastra itu sebetulnya tidak ada, tapi diadakan oleh
kelompok-kelompok tertentu. Sastra sangat dekat dengan politik identitas dan
tergantung pada sang pemberi nama. Ada kesusastraan priyayi, ada kesusastraan
batur, dan seterusnya. Tanpa penamaan sebagai sastra, ia adalah sebuah teks
biasa.
Apa yang diungkapkan
oleh Seno memang seperti hendak mendekonstruksi pemaknaan sastra oleh
masyarakat umum. Tak ada beda sastra tinggi, sastra rendah, sastra agung,
sastra populer, dan sebagainya. Sastra tergantung pada siapa yang memaknai dan
menggunakan istilah tersebut.
Tapi benarkah demikian
adanya? Saya tak bisa memberi jawab pasti, dan memang sepertinya tidak perlu.
Yang saya rasakan hanyalah, ketika seseorang menulis kisah dengan sangat bagus,
saya akan menyukainya. Tak peduli itu fiksi atau non fiksi. Hal ini berkaitan
dengan bentuk dan isi.
Buku berjudul Tempun
Petak Nana Sare karya Kartika Rini (Insist Press, 2005) adalah salah satu
contoh. Buku yang bercerita tentang masyarakat Dayak Kadori, peladang di
pinggiran rimba Kalimantan ini bukan kerja sastra, melainkan kajian antropologi
yang bagus. Isinya adalah potret masyarakat Dayak Kadori yang terpinggirkan
oleh industri hutan di wilayahnya. Sang penulis menyajikannya penuh emosi tanpa
menanggalkan kajian ilmiah. Karena antara kajian ilmiah dan penyajian
melibatkan perasaan tak harus selalu diberi garis pemisah. Kartika Rini menulis
seperti laporan seperti menulis novel. Tulisan mengalir dan penuh isi.
Sebuah reportase
jurnalistik juga bisa hadir menyerupai wajah sastra yang dewasa ini dikenal
dengan jurnalisme sastrawi. Sebuah buku berjudul Pembunuhan di Ladang Tebu
(Gading, 2016)karya Oryza A. Wirawan jurnalis beritajatim.com juga bisa disebut.
Oryza menelusuri kehidupan keluarga Sutrisno seorang petani tebu di Kabupaten
Jember. Keluarga ini selalu dibayangi kematian anggota keluarganya. Ayah
Sutrisno meninggal tak wajar, anak Sutrisno yang masih usia belasan meninggal
gantung diri, dan Sutrisno sendiri dibunuh oleh sekawanan perampok. Kehidupan
keluarga tersebut disajikan dalam bentuk reportase mendalam, bergaya sastra
yang terkadang menghadirkan suasana haru dan di bagian lain menghadirkan
suasana mencekam.
Nah, hal semacam ini
juga bisa kita temukan saat membaca karya-karya sastra. Sebut saja ketika
membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari atau Romo Mangunwijaya.
Karya-karya mereka tak sekadar berpatokan pada tokoh-tokohnya, melainkan juga
pada latar budaya masyarakat. Karya-karya mereka menjadi cerminan identitas
masyarakat pada masa kisah dibuat.
Trilogi karya Ahmad
Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk misalnya memberi gambaran kehidupan
masyarakat pedesaan di Jawa. Juga menghadirkan tradisi ronggeng yang
diidentikkan dengan masyarakat abangan. Dan pada masa tertentu, kelompok
kesenian itu dicap sebagai PKI yang mengakibatkan pamornya tenggelam meski
pernah menjadi kesenian yang paling disukai rakyat. Nah, bukankah
penulis-penulis sastra yang demikian itu juga melakukan kajian-kajian
antrologi?
Begitulah. Kerja
sastra adalah kerja “serabutan”. Artinya, banyak hal yang bisa dilakukan, tapi
juga banyak hal yang bisa ditinggal. Artinya tidak ada batasan tunggal yang
digunakan sebagai satu-satunya pegangan untuk menghasilkan sebuah karya sastra.
Ada yang menulis sastra dengan melakukan kajian-kajian hukum terlebih dulu,
kajian antropologi, kajian sosiologi, kajian agama, dan kajian lainnya. Bahkan
ada juga yang menulis tanpa melakukan kajian apapun. Ya asal menulis saja.
Dan semua kembali pada
selera. Selera penulis. Selera masyarakat. Selera yang tak bisa lepas dari
ruang dan waktu.
Salam kopi cangkir!
Nanang Fahrudin, pegiat komunitas literasi Atas
Angin Bojonegoro.
Tags:
esai
0 komentar