Puisi Nafi Abdillah
MALAM SEBUAH PERJAMUAN
Di
samping jendela sebuah restoran,
hujan
bekerja sebagai pembaca mata
orang
yang memimpikan kebakaran
di
hari Minggu. Hari Senin sebagai sebuah rencana
yang
berhasil.
Tubuhku
menempel di perjamuan makan.
Aku
memesan perasaan baik dan rasa bersalah.
Daftar
menu yang telah lapar, mengajakku
ke
sebuah toilet yang pesingnya mengerak,
membeku
di hidung pesekku.
Hidungku
tak cukup lebar
menumpahkan
bongkahan bening dan cair.
Setetes
demi setetes
maka
sebuah roti membekukan nama panjangnya
khas
restoran yang aku aduk sendiri.
(2015)
SEBAB DOA TIDAK PUNYA KAKI
Aku
menggendong doa
sebab
doa tidak bisa berjalan sendiri ke tempat bekerja.
Dari
pagi yang belum juga lahir
hingga
sore yang mulai keriput,
doa
bekerja keras membanting keringat
untuk
saudara yang menunggunya kembali.
Sebab
doa tidak bisa berjalan sendiri,
dan
jalan di kota sedang banjir,
maka
aku menjemput doa dan membuat jalan sendiri menuju rumahnya.
Tak
disangka, rumahnya ramai sedang ada hajatan.
“Untuk
merayakan apa, hingga kau mengundang Tuhan segala?”
“Gaji
pertamaku.” Kemudian aku dipersilakan makan.
(2015)
Nafi Abdillah lahir di
Kab. Karanganyar, Jawa Tengah, 2 Oktober 1993. Sedang menjalani studi di
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Aktif di Komunitas Sastra Senjanara dan Forum MSP.
Tags:
Puisi
0 komentar