Malam Tiga
Pendaran adalah salah satu ikhtiar Pawon Sastra untuk menghormati, merayakan
dan memberi penghargaan intelektual serta kreatifitas penulis-penulis Solo.
Pawon mewadahi, memfasilitasi mencoba memendarkan penulis-penulis Solo dan
sekitarnya dengan mengenalkan dan membincangkan bukunya.
Pawon Sastra
bekerjasama dengan Balai Soedjadmoko menghadirkan tiga pembicara untuk tiga
penyair. Malam Sekopi Sunyi, antologi
puisi tunggal Eko Abiyasa diulas panjang lebar oleh Arif Yudistira. Merapuh,
antologi puisi tunggal Nurni Chaniago dibahas lunas oleh Setyaningsih dan Bulan
Sabit Petang Hari, antologi Puisi Ngadiyo dibahas tuntas oleh Nimas Dara.
Lalulintas obrolan diampu Lasinta Arinendra dengan kata pembuka: “Bagaimana
pun, ini adalah hari yang penting.”
Dihadiri sekitar
40 orang. Diawali dengan “Puisi adalah ingatan peristiwa.” Kalimat pendek yang
disampaikan oleh Arif saat membahas Malam Sekopi Sunyi. “Bunyi bukan persoalan
keindahan, tetapi makna dan pesan lebih menjadikan kopi sebagai puisi.”
Bagi
Setyaningsih, ketika membahas antologi puisi Nurni Chaniago: “Merapuh adalah
proses panjang. Kata me-rapuh akan mengalami sebuah proses ampuhnya bertahan,
kala mengalami kondisi merindu, terluka, menunggu, mengenang atau berharap.
“Keseharian
adalah puisi. Puisi tercipta dari mata-mata jeli yang melihat keseharian.”
Apresiasi Nimas Dara terhadap kumpulan puisi Bulan Sabit Petang Hari. Sekalipun
bagi Nimas, Ngadiyo memiliki bakat bagus sebagai penyair, namun dalam antologi
itu, ia menganggap diksi dan bahasa yang digunakan Ngadiyo masih sangat biasa.
Malam
dihangatkan oleh pembacaan puisi oleh masing-masing penyair. Ngadiyo, yang
mengaku suka menuliskan puisi cinta dan mengangkat tema kehidupan pesantren dan
khusyuk-nya membaca Qur’an malam itu membacakan dengan kocak-segar puisinya
dengan judul: Kembali Kepada Al-Qur’an.
Saat membacakan
puisinya, ia beberapa kali berhenti untuk sejenak memberi penjelasan perihal
apa yang ia puisikan. Tak jauh beda dengan catatan kaki yang disertakan pada
sebuah teks. Cukup menghibur dan malam menjadi segar oleh tawa. Sempat
tertangkap: Astuti, Puitri Hatiningsih, Indah, Rio Johan dan Yudhi Herwibowo
tertawa begitu lepas di sela-sela ia memotret, mendokumentasikan acara dengan
kamera.
Eko Abiyasa
membaca dengan pelan dan sendu sebuah puisi: Mengenang Murtijono (Beliau adalah
kepala Taman Budaya Jawa-Tengah yang wafat pada 2012 lalu). Nurni Chaniago
membacakan dengan vocal mantab dua puisinya: Memasak Kenangan yang Terlupakan
dan Tikam Menikam Perang Keparat.
Penulis Novel:
Astuti Parengkuh, turut membacakan dan memilih puisi Nurni Chaniago yang
berjudul: Kuingin Rajah Puisi di Tubuhmu. Dan memilih puisi Ngadiyo berjudul:
Ingin Kukecup Cinta Bercahaya di Matamu. Sebuah puisi dengan ending
mengejutkan: “Solo, The Spirit of Java”
Dalam diskusi
itu, Indah Darmastuti bertanya: apakah motifasi para penyair saat menerbitkan
puisi-puisinya dalam satu buku? Sebagai dokumentasi atau adakah hal yang ingin
disampaikan secara khusus, atau sekadar menunjukkan eksistensi atau mengesahkan
diri sebagai penyair. Dari tiga penyair,
rata-rata memberi pengakuan bahwa buku itu sebagai bentuk dokumentasi, selain ingin
mencipta jejak dan menjaga ingatan, mengabadikan peristiwa. Selain pengakuan
Ngadiyo bahwa buku puisinya terbit salah satunya karena terinspirasi oleh
Lasinta.
Istiqaroh
menyampaikan sedikit catatan untuk para pengulas (khusunya untuk Nimas dan
Arif). Penyampaian yang tersendat, atau penyampaian yang kurang jelas. Baginya
penting seorang pengulas mempresentasikan dengan jelas dan matang meskipun
sudah ada makalah yang dicetak untuk dibaca.
Obrolan ditutup
oleh Bandung Mawardi, mengulas kecil tentang obrolan dan ajakan moderator
untuk: “Mari menulis puisi” yang langsung ia tolak karena ia lebih suka menulis
essai.
Lagu sendu dari
Toko Gramedia Slamet Riyadi penanda waktunya tutup telah terdengar. Peserta
diskusi sempat sejenak mendengarkan dan menikmati. Dan tepat saat itulah, acara
Malam Tiga Pendaran yang diadakan di Balai Soejadmoko pada Selasa 2 Juli 2013
pukul 21.30 ditutup. Semua beringsut,
ada beberapa yang meminta tandatangan pada para penyair, ada yang bergegas
pulang namun ada juga yang masih berbincang di gelaran tikar.
Satu hal yang
sangat dan selalu ingin kami sampaikan: terimakasih untuk Mas Sukidi yang
selalu pulang paling akhir dan membuat beres tempat kami berdiskusi. Terimakasih
untuk Balai Soejadmoko untuk tempat yang disediakan. Dan untuk para pengulas:
terimakasih ilmunya. [ ID ]
foto2 Yudhi Herwibowo
tentang sebuah novel pertama yang ditulis (lebih dari) 50 yahun lalu
bincang buku tak ada nasi lain - suparto brata
Balai Soedjatmoko, 17 juli 2013 pukul 19.00 wib
pembicara
suparto brata (penulis)
rm. danardjati (penulis geger pecinan)
Pitoyo Amrih (novelis solo)
moderator Yunanto Sutyastomo
bincang buku tak ada nasi lain - suparto brata
Balai Soedjatmoko, 17 juli 2013 pukul 19.00 wib
pembicara
suparto brata (penulis)
rm. danardjati (penulis geger pecinan)
Pitoyo Amrih (novelis solo)
moderator Yunanto Sutyastomo
acara gratis!
Tentang Kami
- Buletin Sastra PAWON
- didirikan dan didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo, Jawa Tengah. Terbit pertama kali pada Januari 2007. Dalam perjalanan waktu, buletin PAWON meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan lain sebagainya.