Biografi, Keluarga, Puisi (Membaca dan Menulis Afrizal Malna) oleh Kabut





Saya orang ramai yang ditulis oleh peristiwa di situ,
telah jadi bahasa yang menafsirkan dirinya kembali,
ketika jalan raya menjemputnya pergi.

(Afrizal Malna, “Fotokopi Orang Ramai”)


Penyair Afrizal Malna memiliki kontroversi-kontroversi sendiri. Kontroversi itu ada karena konstruksi identittas dan perubahan konsep atau tafsir dalam ranah antropologi, sosiologi, atau bahkan ideologi. Penyair unik dengan tubuh kecil dan kepala polos. Bicara dengan suara yang lambat dan puitis. Penampilan diri yang menutup pandangan usia dan tubuh yang terus tua. Penyair Afrizal Malna yang dilahirkan di Jakarta pada 7 Juni 1957. Afrizal Malna lahir yang kelak menjadi “penyair resisten”.

Kelahiran penyair niscaya membawa biografi. Afrizal lahir dari biografi keluarga dan etnis yang lalu dipahami dan dimaknai dengan dekonstruksi keras dan mengejutkan. Afrizal terus mengonstruksi biografi yang belum selesai. Pengetahuan biografi etnis diakui Afrizal dengan tuturan yang ingin berada dalam pandangan yang beda: “Saya sendiri adalah fenomena unik, kalau boleh dibilang begitu, dari sebagian besar para perantau Minang paska Orde Lama: berdarah Minang, tapi tidak lahir di Ranah Minang.” Itu pengakuan yang mungkin bisa terbaca dengan pandangan antropologi-sosiologis tentang individu dengan klaim identitas kelompok etnis. Perbedaan apa yang bisa ditemukan dari pengakuan Afrizal dengan tesis perantau yang dituliskan Mochtar Nai’m?

Identitas Afrizal dikonstruksi dari kelompok etnis dan keluarga yang berada dalam tegangan dan kerapuhan. Afrizal tidak melakukan pengesahan diri yang membuat individu masuk dan tidak dikenali dalam identitas kolektif. Afrizal tumbuh dengan kesadaran biografi diri yang menjauh dari etnis dan keluarga. Afrizal melakukan resistensi berisiko. Afrizal lalu berhadapan dengan sekian pakem, sistem, dan risiko-risiko besar yang mungkin jadi suatu kisah yang hidup atau kisah yang mati.

Orang tua Afrizal adalah orang-orang Minang yang lahir di Bukit Tinggi (Sumatera Barat). Orang-orang itu lalu merantau ke Jakarta (Kramat Senen). Keluarga besar Afrizal yang berada di Jakarta hidup dengan nafkah yang diperoleh dari usaha sebuah restoran. Keberadaan restoran itu terpahamkan Afrizal sebagai konstruksi identitas: “Restoran itulah yang pertama kali memberi identitas yang kuat bahwa kami hidup sebagai keluarga Minang.” Kepemilikan identitas itu berubah karena politik Orde Baru dan sistem ekonomi kapitalis-industrial yang tumbuh di Jakarta. Restoran keluarga itu bubar dengan pelbagai alasan dan pembesaran sistem ekonomi (bisnis) baru. Afrizal kehilangan identitas dan pengetahuan tentang etnis dan keluarga dalam kesibukan hidup yang keras dan membunuh. Politik dan ekonomi menjadi penyebab besar perubahan biografi yang mungkin dijalankan dengan represi dan intervensi. Afrizal pun sadar: “Setelah restoran itu hilang, personifikasi saya sebagai orang Minang kian kehilangan dasarnya.” Afrizal berlaku sebagai individu yang bermain dengan pertentangan keras: ada – tidak ada, hadir – tidak hadir, menemu – hilang.

Perubahan identitas etnis itu akhirnya merembet pada keluarga Afrizal. Rapuhnya klaim identitas etnis ditunjukkan ayah dan ibu Afrizal dalam hal pemakaian bahasa. Ayah dan ibu Afrizal tak pernah memakai bahasa Minang dalam komunikasi dengan anak-anaknya. Persoalan bahasa itu kelak terus dipikirkan dan dibicarakan Afrizal dalam tulisan-tulisan dan diskusi. Perubahan besar yang mengonstruksi biografi Afrizal menjadi individu beda (alien man) adalah dekontruksi keluarga. Biografi keluarga Afrizal masuk pada konteks yang rentan pada kehancuran, temporalitas, skeptisisme, pesimisme, dan kepercayaan-kepercayaan labil. Afrizal pun memutuskan menikah (membentuk keluarga baru). Keluarga itu tidak bertahan lama dan hancur. Afrizal mengakui: “Saya mulai takut dengan semua hal yang berbau rumah, termasuk terhadap ibu, ayah dan saudara-saudara saya. Saya kehilangan dunia pulang. Hidup saya seperti kepergian yang terus-menerus, berjalan dari kota ke kota. Saya mulai menjauh dari kehidupan keluarga dengan cara anarkhis.” Peristiwa-peristiwa keluarga yang dibuat dan dialami Afrizal melahirkan perubahan konsep keluarga dan biografi diri. Inikah fakta estetis-tragis biografi diri yang yakin dengan resistensi atas keluarga?

Konstruksi menjadi penyair tidak ditentukan dari dominasi identitas etnis dan keluarga. Kelahiran penyair tidak mesti memiliki latar belakang keluarga yang relevan dengan kerja kesusastraan (teks sastra). Afrizal lahir dari sebuah keluarga yang tidak mengenal kesusastraan. Afrizal lahir dari keluarga pedagang dan lingkungan sosial yang keras di Jakarta. Afrizal lahir dan berada dalam ruang yang urban, plural, dan keras. Hal-hal itu sekadar pengesahan kecil terhadap keputusan Afrizal sebagai penyair dan manusia resisten.

Ruang kota dan kompleksitas persoalan yang dihadapi orang-orang kota adalah imperatif (tanda peringatan dan perintah) pada Afrizal untuk memiliki kepercayaan dan kesangsian.
Afrizal mengatakan: “Perubahan kota yang berkembang dengan pesat, membuat saya seperti kian disadarkan bahwa setiap orang yang tinggal di Jakarta, akan hidup sebagai yatim-piatu dari kotanya sendiri. Ia tidak bisa membangun semacam hubungan kultural dengan kota tempatnya tinggal. Ia tidak bisa berharap bahwa kota akan memberi makna pada hidupnya. Usai persahabatan dan persaudaraan tidak bisa lama di kota ini. Sahabat dekat setiap saat bisa berubah menjadi orang yang seperti tidak kita kenal sebelumnya.”

Pengakuan Afrizal itu hendak membuktikan bahwa kehadiran individu dalam suatu ruang kota adalah taruhan besar untuk ingin menjadi siapa dan memainkan peran apa. Pengakuan itu bisa dijelaskan dengan merujuk pada wacana modernitas yang membuat kota berubah drastis. Georg Simmel meyakini bahwa kota adalah pusat modernitas dan uang adalah penggerak yang ampuh. Kota pun identik dengan industri dan permainan lakon-lakon kapitalisme. Individu membuat identitas dalam situasi dan dominasi modernitas-kapitalisme. Afrizal berada dalam kondisi yang terbentuk dengan sistem dan nilai yang kerap bertentangan dengan biografi etnis dan keluarga. Afrizal lalu masuk dalam modernitas yang mustahil disingkiri. Afrizal melakukan operasi biografi dengan tafsiran dan praktik semiotika yang bebas dan arbitrer.

Penjelasan mutakhir tentang keluarga dalam konteks modernitas dan kapitalisme dibeberkan oleh Francis Fukuyama dalam buku The Great Disruption: Human Nature and the Reconstution of Social Order (1999) yang diterjemahkan Masri Maris dalam edisi Indonesia sebagai Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru (Gramedia, 2005). Fukuyama mengutip pandangan klasik tentang relasi keluarga dan mdernitas: “Sebagian besar teori sosial klasik dari awal abad ke-19 bertolak dari asumsi bahwa ketika masyarakat menjadi modern, peranan keluarga akan semakin tidak penting dan digantikan oleh ikatan-ikatan sosial yang semakin bersifat pribadi.” Hal itu mungkin berlaku di Eropa yang mengalami pelbagai revolusi politik dan ekonomi. Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Mungkin dan itu terjadi dalam jarak waktu yang terlambat jauh dan perbedaan kultur. Konsep keluarga Indonesia mengalami perubahan-perubahan besar sebagai risiko modernitas yang bergerak cepat sejak awal abad ke-20. Keberadaan industri, lembaga pendidikan, pergerakan politik, nasionalisme, penerapan sistem ekonomi Barat, transportasi, dan perubahan teknologi komunikasi memberi pengaruh besar untuk perubahan konsep keluarga dan pembentukan identitas. Keluarga dalam pandangan Fukuyama adalah kolektivitas yang melepaskan diri dari sejarah dan pengetahuan tradisional beralih pada pakem-pakem modernitas yang memakai argumen ekonomi-politik.

Biografi keluarga yang diceritakan Afrizal tentang keluarga besar dan kerja pedagang Minang atau restoran memiliki relasionalitas dengan deskripsi dan penjelasan Fukuyama. Perbandingan itu mungkin berbeda telak dalam persoalan ruang karena Fukuyama meneliti persoalan keluarga di Amerika Serikat. Persamaan yang kentara adalah substansi dari penyebab perubahan konsep keluarga. Fukuyama menjelaskan bahwa keluarga-keluarga Amerika pada zaman kolonial bekerja di ladang-ladang pertanian. Keluarga dipandang sebagai unit dasar produksi yang menghasilkan makanan dan peralatan rumah tangga. Keluarga menjadi sumber hiburan karena keterbatasan alat transportasi. Fungsi-fungsi keluarga itu lalu lenyap. Perubahan terjadi karena industrialisasi. Kaum laki-laki yang lalu disusul kaum perempuan mulai mencari kerja di luar rumah. Orang-orang Amerika mulai bekerja di pabrik dan kantor. Anak-anak mulai sekolah. Orang tua yang kurang dan tidak produktif mulai dikirimkan ke panti jompo. Hiburan mulai disediakan oleh Walt Disney dan MGM. Pada pertengahan abad ke -20 keluarga menjadi susut dalam pengertian funsional. Keluarga sekadar dikenal sebagai fungsi reproduksi. Hal itu pun berlaku di luar Amerika. Indonesia mengalami itu. Modernitas menjadi alasan yang sah dari perubahan-perubahan besar yang terjadi di ruang-ruang kultural yang berbeda. Cerita Afrizal dan deskripsi Fukuyama bertemu karena wacana dan praktik modernitas.

Pengakuan Afrizal dalam buku Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia (2003) menjadi deskripsi penting tentang kisah keluarga dan kota Jakarta. Afrizal mengisahkan tentang kematian pamannya yang semula adalah pedagang dan mati karena sakit akibat pembangunan kota dan kecelakaan yang membuat pikirannya terganggu sampai kematian. Afrizal ikut mengurusi jenazah pamannya. Afrizal merasakan dan menukan narasi kematian: “Di balik mayat itu tersimpan cerita tidak hanya mengenai diri dan keluarganya, tetapi juga mengenai pembangunan Jakarta, dan penanganan pemerintahan kota yang tidak manusiawi terhadap rakyat yang hidup di sektor informal.” Narasi kematian Afrizal masih membawa nostalgia individu dan keluarga yang mengaku kalah terhadap kuasa kota dan modernitas.
Kesusatraan Indonesia memiliki catatan melimpah tentang wacana keluarga dan kondisi modernitas pada abad ke-20. Bacalah kembali teks-teks sastra Balai Pustaka! Deskripsi keluarga kerap diceritakan dalam hubungan pertentangan tradisi dan modernitas. Keluarga perlahan dipahami sebagai persoalan besar yang menyibukkan pengarang. Hal-hal yang terkait dengan wacana keluarga itu bisa dibaca dalam buku Faruk Novel-Novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (2002). Faruk tidak menjadikan keluarga sebagai pertanyaan besar tapi analisis Faruk kerap berurusan dengan wacana keluarga. Hal menarik dan homogen adalah wacana keluarga yang hadir dalam teks-teks sastra Balai Pustaka dominan dengan latar belakang kultural Sumatra (Minang) dan rantau di Jawa. Tentu wacana Balai Pustaka itu berbeda dengan wacana keluarga yang dibicarakan Afrizal Malna.

Perbandingan bisa dilakukan tanpa harus ditentukan oleh klaim kebenaran. Teks-teks sastra Balai Pustaka kerap bicara persoalan keluarga, rantau, kisah cinta, pertentangan tradisi dan modern dalam konteks peristiwa dan ruang yang mayoritas terjadi dalam ruang Sumatra dan Jakarta. Afrizal yang lahir dari keluarga Minang tidak lagi mempersoalkan itu. Afrizal lahir di Jakarta dan menjauh atau kehilangan identitas etnis dan keluarga di Jakarta. Mungkinkah bisa ditemukan secuil relevansi sejarah biografi etnis dan keluarga Afrizal dalam novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, atau Layar Terkembang? Susah.

Afrizal yang mulai mempublikasikan puisi-puisi pada tahun 1980-an mulai menunjukkan kontroversi-kontroversi yang susah terpahamkan dalam kesusastraan Indonesia modern. Biografi Afrizal bisa terbaca dari puisi-puisi dan esai-esai yang kerap memakai diksi-diksi dan metafor keluarga. Afrizal adalah penyair menjauh (resisten) dari keluarga dan intim dengan wacana “keluarga”. Biografi Afrizal menyebutkan bahwa ada kepercayaan dan tindakan yang menyebabkan dirinya menjauh dari keluarga dan mengalami ketakutan. Keputusan dan tindakan Afrizal mungkin anarkhis terkait dengan keluarga. Siapa berani menjadi Afrizal dalam kisah kematian? Ibunya meninggal. Sebulan kemudian ayahnya meninggal. Kisah kematian ibu dan ayah itu tidak membuat Afrizal ingin melihat jenazah mereka. Afrizal pun tidak pernah tahu kuburan ibu dan ayah. Kisah kematian itu membuat Afrizal justru mendapatkan kembali personifikasi sebagai “orang Minang” yang negatif. Babak ini menjadi kontruksi yang mengatasi pertentangan penemuan dan kehilangan identitas dalam konteks restoran (keluarga) dan realitas modernitas.

Biografi keluarga Afrizal mungkin mengalami perubahan-perubahan besar dan anarkhis. Puisi-puisi Afrizal pun banyak yang berurusan dengan “keluarga”. Ada pertanyaan-pertanyaan yang susah terjawab ketika membaca puisi-puisi Afrizal dalam wacana keluarga. Sekian puisi Afrizal kerap memakai judul dan diksi-diksi (metafora) keluarga. Puisi-puisi Afrizal yang berbau keluarga bisa terbaca dalam buku Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikropon (1990), Aristektur Hujan (1995), Kalung dari Teman (1998), dan Dalam Rahimku Ibuku Tak Ada Anjing (2002). Sebuah prosa yang menarik dituliskan Afrizal dengan judul “Ayah Telah Berwarna Hijau”. Afrizal tak lupa untuk mencatat atau mengingat keluarga dalam halaman persembahan buku-bukunya. Afrizal dalam buku Arsitektur Hujan (1995) menulis dalam halaman persembahan: buah hati … Siti dan Jilan. Buku Kalung dari Teman (1999) mencantumkan: Saya persembahkan untuk Siti dan Jilan.

Membaca puisi-puisi Afrizal mengesankan pandangan-pandangan yang riil tentang keluarga. Pandangan itu terasa metaforik dan kompleks. Pembaca butuh pengetahuan yang mengacu pada pelbagai referensi dan biografi. Puisi-puisi Afrizal pun bisa dibaca dengan mencari hubungan-hubungan dengan biografi. Pembacaan ini pernah dilakukan oleh Linus Suryadi AG dalam suatu diskusi yang menghubungkan puisi “Panorama Kematian Ayah” dengan kematian ayah Afrizal. Linus merasa bisa merasakan kepedihan yang mendalam ditinggal ayah melalui puisi Afrizal. Penilain itu dijawab dengan mengejutkan oleh Afrizal bahwa ayahnya masih hidup. Afrizal lalu meyakinkan pembaca: puisi lebih merupakan sebuah biografi teks. Bisakah usulan Afrizal itu dipercayai dan dipertahankan? Siapa tidak tergoda untuk membuat tafsir puisi biografi ketika menemukan kata ibu dan ayah atau kisah keluarga dalam puisi-puisi Afrizal?

Afrizal dalam puisi “Keributan dalam Pohon Pisang” menulis kalimat pembuka: (Nama anakku, Jilan, burung yang berkicau). Bisakah konstruksi identitas Afrizal dikaitkan dengan puisi “Masyarakat Rossa”? Bacalah: Ayahku bernama Rossa pula, ibuku bernama Rossa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rossa. Mereka memanggilku pula sebagai Rossa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka. Dan aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru. Bagaimana pembaca mau menghubungkan sejarah biografi etnis dan keluarga Afrizal ketika membaca puisi “Makan Malam Bersama Ama dan Ami? Bacalah: Waktu itu saya berusia 5 tahun, Ama dan Ami sedang minum susu dui pasar Bukit Tinggi, mengumpulkan bangkai-bangkai rumah dari Kota Gadang: “Para perantau itu,” kata ibuku, “seperti rumah-rumah Minang yang menusuk telapak kakimu.” Lalu seekor anjing berlari dari ujung jalan, seperti negeri berada dalam bahaya perang PRRI. Tahu, politik tidak ikut campur mengatur kamar mandi saya. Membaca dan menafsirkan puisi secara biografis itu mungkin meski susah untuk menjadi benar atau dibenarkan. Afrizal meyakinkan pembaca: tradisi keluarga adalah halte kecil dalam kisah hidup Afrizal Malna.

Wellek dan Warren dalam Theory of Literature menyatakan bahwa pendekatan biografis merupakan teori tertua dalam kajian sastra. Pendekatan ini terkait dengan latar belakang pengarang dan proses kreatif. Pendekatan biografi diarahkan sebagai representasi atau membaca teks sastra sebagai teks hidup pengarang. Pendekatan biografis ramai di Barat dalam pembicaraan sastra pada abad ke-19. Pendekatan ini lalu dianggap rentan dengan kelemahan dan kesalahan. Pada awal abad ke-20 teori ini jarang dipakai dala pembacaan dan penilaian teks sastra. Pelupaan atau penyingkiran ini justru memberi kemungkinan kejutan ketika ada yang mau memakai kembali dengan ramuan-ramuan tambahan atau pencanggihan tertentu. Kebutuhan terhadap keterangan utuh atau totalitas teks sastra dan pengarang bisa ditemukan dengan penedekatan biografi.

Pengetahuan biografi terhadap pengarang-pengarang Indonesia dalam bentuk pendek bisa ditemukan dalam halaman biografi atau leksikon. Pengetahuan itu terbatas pada hal-hal yang dianggap umum: tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, hasil terbitan, penghargaan, lembaga, acara penting, dan lain-lain. Pengetahuan lain yang berurusan dengan biografi sehari-hari, peristiwa, atau sejarah proses kreatif dikabarkan dengan terbatas. Pengetahuan itu bisa menemukan relevansi dalam pembacaan teks ketika ada sistem yang mungkin bertemu atau lebur. Sekian teks kajian sastra Indonesia mulai memberi keterangan-keterangan biografis panjang dalam buku suntingan Pamusuk Eneste Proses Kreatif (2 jilid) dan buku-buku seri terbitan “Karya dan Dunia” (Grasindo): Sapardi Djoko Damono, A.A. Navis, Umar Kayam, Budi Darma, Ahmad Tohari, NH Dini, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, Rendra, dan lain-lain.

Perihal biografi Afrizal Malna dalam tulisan ini mengacu pada sekian esai, puisi, dan ingatan obrolan. Kehadiran biografi panjang dalam membicarakan teks sastra dan pengarang melahirkan kemungkinan terjadinya pemitosan atau justru meragukan kompetensi (proses kreatif) pengarang. Afrizal jarang mengabarkan biografi tapi puisi-puisi yang dipublikasikan menyimpan biografi-biografi pendek dalam tegangan fiksi dan fakta. Sekian esai yang memberi kabar: “Proses Kreatif: Rasionalisasi atas Pengalaman Kreatif” (1999), “Konstruksi Negatif yang Terus Dijalankan Orang-orang Minang dalam Sastra Indonesia” (2005), dan esai yang lain.

Pandangan dan penilaian kritis atas pendekatan biografi terus disuarakan sekian pemerhati sastra. Abrams dalam teori baku menyebut ada pendekatan ekspresif yang mirip dengan pendekatan biografi. Pendekatan ekspresif memiliki sistem yang lebih kompleks dibandingkan pendekatan biografi. Konvensi yang terkandung dalam pendekatan ekspresif adalah pengetahuan tentang diri pengarang, pikiran, perasaan, dan hasil ciptaan (teks). Konvensi itu lalu mulai ditinggalkan dengan kelahiran sistem-sistem pengetahuan mutakhir dari strukturalisme sampai posstrukturalisme. Foucault sebagai juru bicara posstrukturalisme (posmodernisme) memberi suatu pemahaman kritis atas keberadaan pengarang dan teks sastra. Foucault menyebut ada dua persoalan substansial ketika membicarakan relasi pengarang dan teks sastra: (1) karangan (teks sastra) bergerak dengan kekuatan wacana yang bisa melewati aturan lalu meninggalkan aturan konvensional yang ditentukan dan (2) hubungan pengarang dengan tek sastra adalah hubungan kelahiran dan kematian. Pandangan Foucault itu bisa dihadapkan dengan anjuran Barthes yang ungkapan kontroversialnya kerap menjadi wacana dilematis dalam kritik sastra: pengarang sudah mati. Ungkapan itu terpahamkan oleh sekian orang dengan pemahaman yang bias, ambigu, dan mungkin kontradiktif karena kurang argumentasi. Barthes dalam anjuran yang menggoda mengatakan bahwa teks sastra itu berhasil ada dan hidup ketika pembaca membuat pembayangan pengarang tidak hadir. Pembacaan yang berhasil adalah ketika pembaca memposisikan teks sastra sebagai pusat perhatian.
Membaca dan menulis Afrizal Malna menjadi perkara yang tidak sepele. Begitu.


Kabut, peneliti sastra. Hasil penelitian sastra yang dihasilkan “Kritik Modernitas: Pembacaan Semiotika Puisi-puisi Afrizal Malna” (2006) dan “Tragedi Manusia: Pembacaan Semiotika Puisi-puisi Joko Pinurbo” (2007). Penelitian yang lekas ingin diselesaikan adalah “Rumah, Keluarga, Ibu: Membaca dan Menafsirkan Teks-teks Sastra Indonesia Modern”.

Tags:

Share:

0 komentar