Aku dan Angka 18:18, cerpen Saiful Bahri

Tak banyak yang tahu, begitupun diriku mengapa angka 18:18 selalu terlihat saat aku melihat jam di ponsel warna hitam punyaku. Awalnya aku menganggap itu hanya kebetulan belaka. Namun semua itu berubah saat aku sadar ternyata angka 18:18 punya arti yang cukup besar dalam hidup yang kujalani. Ia, angka itu benar-benar membuatku termenung penasaran. Hampir saja aku menganggap bahwa angka itu angka keberuntungan, atau paling tidak dibalik angka itu pasti ada sesuatu yang harus kucari maksudnya.

Mas, besok acaranya dimulai jam 18:18.” Mengapa harus 18:18? Apakah tak ada jam selain angka itu. Bukankah biasanya acara sering dimulai jam 19:00, atau paling lambat jam 20:00? Aku tak habis pikir, entah mengapa dua hari terakhir ini aku sering bersinggungan dengan angka itu. Belum habis rasa penasaranku, aku dikejutkan oleh suara gaduh dari luar kosku. Ternyata di sana ada motor kecelakaan. Kulihat ternyata yang kecelakaan adalah seorang perempuan setengah baya kira-kira seumuran kakakku. Namun bukan itu yang aku kejutkan, percaya atau tidak, ternyata plat nomor motornya AB 1818 MU. Semakin lengkaplah penderitaanku memikirkan angka itu. Ya Tuhan mengapa angka ini selalu menghantuiku. Sudah dua peristiwa hari ini yang semuanya bersinggungan dengan angka 18:18. Aku yakin dibalik itu pasti ada rahasia. Rahasia yang hanya bisa tersingkap bila aku memikirkan dan mencari tau apa maksudnya.
Setelah kegaduhan usai, aku kembali masuk kamar. Aku bertekad untuk segera menggarap skripsiku biar cepat selesai, karena dua minggu lagi akan diseminarkan di depan penguji. Dan sekarang skripsiku tinggal bab terakhir saja. Aku harus segera seminar, karena aku sudah tidak tahan mendengar “ocehan” orang tuaku yang sudah tidak sabar melihatku menjadi sarjana. Tiap kali ibuku telpon, pasti yang ditanyakan pertama kali kapan aku lulus. Selalu itu yang ia tanyakan. Akupun terbebani dengan pertanyaan itu. Karena aku sadari, tinggal aku saja seangkatan yang sampai sekarang masih setia ke kampus. Padahal teman angkatanku yang lain, sudah menjadi sarjana semua. Bahkan ada diantara mereka yang duduk di kuris DPR.
Kurebahkan tubuhku dikasur tipis yang selama ini selalu setia menemani tidurku di kos sederhana ini. Kubaca buku karangan Hans George Gadamer yang memang menjadi refrensi utama skripsiku. Belum dua lembar kubaca buku, ponselku berdering. Ternyata dosen pembimbing skripsiku nelpon. “Rid, skripsimu yang halaman 18 direvisi, isinya tidak cocok dengan judul” ucapnya singkat. Aku tercengang sebentar. Ah…! Mengapa harus ada angka 18 nya. Gara-gara itu, aku pun berhenti membaca buku. Kuambil sebatang rokok yang mulai tadi terkapar di meja dekat komputer. Kusulut rokokku, kuhembuskan asapnya kelangit-langit kamar, kulepaskan penat sesaat akibat angka aneh yang beberapa hari ini selalu hadir.
***
Siang ini aku berencana bertemu dosen pembimbing di kampus. Biasa, anak semester tua sepertiku ke kampus biasanya cuma mau ketemu dosen, atau paling tidak nongkrong di kantin kampus. Biasanya aku memilih nongkrong di pojok kantin, karena di sanalah biasanya aku mendapat inspirasi. Ia, inspirasi apapun selalu kucari di sana. Kemarin, saat aku pusing mencari judul skripsi, akhirnya judul itu kutemukan di pojok kantin biasa aku nongkrong. Disana pula, dulu saat teman-teman angkatanku masih belum lulus, dijadikan markas setelah mendengar kuliah dari dosen. Sungguh..! pojok kantin kampus memang benar-benar tempat istimewa. Di tempat itu pula aku menemukan seseorang yang kucinta dan sampai sekarang masih menjalin hubungan. Di pojok kantin itu pula aku pertama kali menginjakkan kakiku di kampus. Karena memang saat pertama kali aku kuliah, aku tidak langsung masuk. Namun aku ke kantin dulu. Dan kebetulan saat itu hanya tempat duduk yang di pojok yang kosong. Hingga akhirnya tempat itu benar-benar menjadi tempat istimewa hingga kini atau bahkan mungkin selamanya.
Namun hari ini sengaja aku tidak mampir ke tempat sakral itu. Aku harus segera bertemu dosen pembimbing, kuingin menanyakan halaman 18 yang harus direvisi. Kulangkahkan kakiku menuju lantai tiga Fakultas Filsafat. Di ruang pojok sebelah kiri itulah ruang kerja dosen pembimbingku. Perlahan aku masuk.
“Siang, pak.”
“Kamu, Rid, duduklah!”
“Kenapa halaman 18 eror begini? Kamu nggak serius mengerjakannya?”
“Eror bagaimana, Pak? Saya serius kok mengerjakannya.”
“Coba diteliti lagi, sekalian direvisi isinya.”
Aku meninggalkan ruang kerja Pak Mansur sambil membawa copy skripsi yang harus kurevisi. Kepalaku pusing sekali. Padahal dua minggu lagi skripsiku harus selesai dan diseminarkan. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung bergegas ke kantin kampus. Seperti biasa aku duduk di pojok. Kupandangi para mahasiswa di sekelilingku, siapa tahu ada di antara mereka yang aku kenal. Namun tak ada satupun di antara mereka semua yang aku kenal. Terpaksa aku duduk sendiri. Setelah pesanan secangkir kopi sudah berada di depan mata, aku membuka halaman 18 yang harus kurevisi. Setelah kubaca dan teliti, menurutku tak ada yang salah dengan isinya. Namun setelah aku teliti dengan cermat, ternyata penulisan halamannya salah. Disamping kiri dan kanan aku tulisi halaman 18 semua. Jika dua angka itu dikumpulkan, maka akan jadi 1818. Ah…! Peristiwa apa lagi ini, mengapa angka 1818 selalu menjadi masalah.
Aku pun menutup skripsiku, kuhabiskan secangkir kopi yang tadi kupesan. Setelah itu, tanpa pikir panjang lagi aku pun pulang ke kos. Aku harus mempersiapkan diri untuk acara nanti malam. Pas jam 18:18 aku harus menghadiri acara pelatihan, dan aku ditunjuk sebagai trainer dalam acara itu.
***
Setengah jam kemudian aku sampai di kos. Kurebahkan tubuhku, aku ingin melepas lelah dan mengeringkan keringat yang membasahi tubuh dan bajuku. Kubuka bajuku, karena memang cuaca siang ini panas sekali. Saat kupandangi langit-langit atap kos, aku teringat pada semua peristiwa yang semenjak beberapa hari ini membuatku pusing. Dari kebiasaanku yang selalu kebetulan melihat jam di ponsel selalu menunjukkan angka 18:18, hingga undangan pelatihan yang juga jam 18:18, tak luput pula kecelakaan kemaren serta skripsiku yang semuanya berhubungan dengan angka itu.
Fantasiku melayang entah kemana. Aku terus mencari maksud dibalik itu semua. Namun sampai aku memejamkan mata, jawaban itu belum juga datang. Aku hampir putus asa dalam lamunan, ingin rasanya kuberteriak kencang. Namun aku sadar ini bukan hutan, melainkan kos yang di sekelilingnya banyak orang tinggal. Aku hanya bisa berteriak dalam hati, mempertanyakan dan meluapkan kegelisahan dalam hati. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tak puas dengan itu, aku pun bangun dari rebahku. Kuambil spidol. Kemudian kutulis di papan: 1818, Apa Maksudmu Menghantuiku?
Semoga saja aku tidak jadi pobhia dengan angka itu. Sungguh angka itu saat ini memang mempengaruhi suasana psikologisku, aku tidak bisa konsentrasi pada skripsi, mempersiapkan untuk acara nanti malam pun aku tidak semangat. Oh Tuhan, mengapa aku harus dipusingkan oleh angka-angka. Bagiku memikirkan filsafat lebih mudah daripada memikirkan angka-angka ini. Masak waktuku harus dihabiskan untuk hal tak penting ini. Bukankah masih banyak hal penting yang bisa aku lakukan. Bodohnya aku. Sudahlah, biar angka-angka itu aku buang dari fikiranku. Aku harus sadar, bahwa angka-angka itu hanya kebetulan dan tak punya maksud apa-apa.
***
Malam yang sangat melelahkan. Aku harus men-training 18 peserta dalam acara pelatihan yang baru saja selesai. Saat kulihat jam di ponselku, ternyata sudah menunjukkan angka 00.00. Ah…! Ternyata hampir setengah malam aku menghabiskan waktuku di acara pelatihan. Tapi bagiku itu bukan masalah, karena disana aku membagi pengetahuan dengan peserta yang lain. Daripada aku habiskan waktuku untuk memikirkan angka-angka tak berguna.
Setelah pamit pada pantia, aku pulang. Sesampainya di kos, aku segera membereskan revisi skripsiku, sekalian menyelesaikan bab terakhir. Jika besok Pak Mansur menyetujui semuanya, sekalian aku akan mengurus surat seminar biar cepat lulus.
Kunyalakan komputerku. Aku buka halaman 18 yang harus kurevisi. Kuhapus angka 18 di samping kiri, kemudian aku edit tulisan paragraf yang menurut Pak Mansur bermasalah. Percaya atau tidak, untuk membereskan halaman 18 harus memakan waktu 18 menit. Tekadku untuk membuang angka-angka itu dari benakku memudar. Dari jumlah peserta pelatihan yang 18 orang, hingga 18 menit untuk merevisi skripsi halaman 18, itu sudah cukup menghancurkan tekad yang baru tadi siang aku bangun.
Namun malam ini aku sudah bertekad menyelesaikan bagian bab terakhir. Aku tak banyak ambil pusing dengan dua peristiwa yang baru saja aku alami. Biarkan itu berlalu. Karena malam ini aku sudah bertekad untuk menghabiskan waktuku untuk skripsi. Tak ada waktu untuk memikirkan angka-angka itu. Aku berusaha untuk konsentrasi penuh, agar kesimpulan skripsiku benar-benar merepresentasikan semua isi yang aku tulis.
Akhirnya satu jam berlalu, skripsiku selesai. Besok tinggal diserahkan pada Pak Mansur, jika direkomendasi, dua minggu lagi akan seminar. Dan pertengahan semester ini aku akan di wisuda. Rasa puas sekarang benar-benar menyelimutiku. Aku sedikit bisa menghapus memoriku dari peristiwa-peristiwa yang terjadi mulai kemaren. Kumatikan komputer. Kurebahkan tubuhku, lalu kupejamkan mata yang sejak tadi mengajakku melayang ke dunia mimpi.
***
Mungkin karena kelelahan, aku pun bangun jam 09:15. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung mandi. Aku harus segera ke kampus menyerahkan skripsiku pada Pak Mansur. Seperti biasa, cuaca masih panas. Namun itu tidak menyurutkan tekadku ke kampus. Aku harus segera mendapatkan rekomendasi agar skripsiku bisa segera di seminarkan.
“Bagus, skripsi kamu bisa segera di seminarkan,” ucap Pak Mansur setelah membaca bab terakhir dan halaman 18 yang kurevisi.
“Pak, sekarang saya punya masalah.”
“Masalah apa?”
“Akhir-akhir ini saya selalu dipusingkan dengan angka 1818.”
“Maksudnya?
“Sudah dua hari, beberapa peristiwa yang saya alami selalu berhubungan dengan angka itu”
“Terus?”
“Ya…apakah itu ada maksudya, pak?”
“Rid, angka-angka itu simbol, dan di balik simbol pasti ada pesan”
“Tapi saya bingung pak mencari pesan dibalik simbol itu”
“Gunakanlah hermeneutika Gadamer, skripsimu kan membahas itu”.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Kemudian aku bergegas ke ruang tata usaha untuk mengurus rekomendasi seminar skripsiku. Ternyata angka itu benar-benar simbol untukku. Mengapa tidak, ternyata skripsiku di rekomendasikan untuk di seminarkan pada tanggal 18 Januari. Ah…! Aku semakin tak habis pikir, mengapa semuanya harus dihubungkan dengan angka itu. Jika tidak 18:18, pasti 1818 atau paling tidak, hanya 18. Bahkan mungkin Gadamer pun tidak bisa mencari pesan di balik angka itu.[]

Saiful Bahri, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, aktif di Komunitas Sastra Maoes Boemi Paguyuban Alumni Nurul Jadid Yogyakarta (PANJY). Alamat: Komplek polri gowok c.5 146 Sleman Jogjakarta. Telpon: 085228735644

Share:

6 komentar