Salam,
Saya ingin membikin laporan singkat soal nasib buletin Pawon sastra yang dikirim ke Yogya edisi Januari lalu. Karena belum ada kesepakatan apa pun sebelumnya dan saya merasa sayang juga kiriman Pawon sebanyak itu harus dibagikan dnegan gratis ke kawan-kawan, maka saya berkehendak mencoba membantu mendistribusikannya dulu sebelum dibagikan. Saya sempat meminta izin kawan Joxum sebelumnya dan memberitakan perihal itu. kawan Joxum emberi restu maka jadilah saya mencoba menawarkan pawon ke orang-orang.
Setiap eksemplar Pawon saya jual 2000 sesuai dengan harga di label. Sementara buku-buku Gerilya Peradaban saya jual seribuan (sesuai mottonya dan bentuk promosi – begitu pikirku). Selain itu bagi mereka yang membeli Pawon, saya memberi gratis juga satu-dua buku (juga pawon edisi lain) pada mereka. ini ajang coba-coba, pikir saya. Lagi pula kawan Joxum ingin memberi gratis dans aya sekarang hanya mencari biaya untuk ongkos kirim.
Bang Raudal orang pertama yang saya sodori Pawon. Satu edisi 2000, kata saya. Tak boleh membeli satu edisi saja. Lalu ia mencari beberapa edisi Pawon yang belum dimilikinya. Ia mengambil 3 edisi Pawon, lalu ia memilih seri buku seribuan. Ia mengambil empat. 10 ribu pas. “Wah, yang ini saya juga belum punya.” Katanya ketika melihat buku-buku tersebut. Lalu saya serahkan buku yang belum dimilikinya itu. “Bonus pertama untuk pelanggan pertama,” kataku.
Setelah itu saya datangi Muhidin M. Dahlan. Laki-laki itu terkantuk-kantuk di depan tivi kantornya di daerah Patehan. “Gus, beli buku saya, Gus. Murah. Cuma seribu dan dua ribu.” Kataku sambil mengeluarkan tas.
“Mana bukumu.” Katanya masihd engan kantuk. “Ada berapa biji?” sambungnya pula.
“Gus Muh punya uang berapa dulu.” Kataku. “Pembelian minimal 10 ribu, kalau tidak tak usah beli bukuku.” Kataku pula. Aku tahu bercanda jenis ini sudah biasa di sini.
Ia mengeluarkan uang dari kantong bajunya. Uang sepuluhan ribu dan lembar ribuan. “Adalah, kalau segitu. Tapi jangan buku-buku porno.” Katanya.
“Aku keluarkan Pawon. Untuk Buletin 2000, buku-buku puisi dan cerpen seribu.”
“Murah sekali. Kau tak rugi.” Katanya sambil memilah-milah buku itu.
“Alah, tak usah diacak. Ini, ini, ini, ini. nah hitungs ekarang.” Kataku. Dia menghitung. Empat edisi Pawon sastra. Lalu dua buku antologi. “Sudah sepuluh ribu ya?” tanyanya sedih.
“Yup. Tapi aku kasih gratis nih beberapa buku. Nambah koleksi.” Kataku sambil mengulurkan beberapa buku Gerilya Peradaban yang belum dimilikinya.
“Gak terlalu banyak untuk uang sepuluh ribu?” Tanyanya.
“Cerewet.” Kataku. Lalu An Ismanto lewat . “Hei, beli bukuku. 2000!” Panggilku. Gusmuh segera menarik Ismanto. “Jangan terayu,” katanya. “Ini aku sudah beli.”
Sialan.
Lalu berikutnya saya menjual buku pada seorang tamu yang datang ke Sewon suatu malam. Mereka datang dari Cilacap. Ia direkomendasikan Pak Tohari katanya untuk meminta buku penerbit Akar dan beberapa penerbit lain di Yogya untuk menitipkan buku di acara bazar buku. Sambil menunggu Bang Raudal kami bercakap-cakap. Aduh, aku lupa namanya.
Dia membolak-balik Pawon yang ada di meja. “Wah, saya pengen membeli buku ini. dijual di mana ya?” Katanya sambil menunjuk buku Samin terbutan Gerilya Peradaban. “Saya embacanya di Jurnal Boemi Poetra.” Katanya pula.
“Oh, ya.” Nah, aku tahu inilah saat yang tepat untuk membujuknya. “Jadi Pawon belum asukke Cilacap to? Bla.. la.. bla.. kawan-kawan boleh mengirim ke sini lo. Bla.. bla.. bla.. dan ini bisa menjadi pertemuan kreatif antar daerah.. bla..bla..bla.. saling membantulah. Masing-masing daerah bukan tidak mungkinlah akan menerbitkan media sejenis ini.. bla..bla.. bla.. nah, kalau berminat jadi distributor itu baik. Ngirim tulisan itu juga baik.. bla.. bla.. dua ribu saja. Bla.. bla.. wah, jangan beli satu. Sayang, tiga atau empatlah!”
Lalu, ia mengeluarkan receh ribuannya. Anak pondok nih, pikirku. Ia meminta kawannya untuk mengeluarkan uang dari kantong mereka. Delapan ribu, untuk isi kantong dua orang. Wah, kasihan.pikirku. Maka niat semula menjual buku ke mereka, dari delapan ribu aku memberikan dua edisi tambahan padanya dengan pertimbangan lain, kesiapannya membantu penjualan, kawan-kawan di sana bisa berpartisipasi mengirimkan karyanya juga ke Pawon dan bentuk promosi juga.
“Bisakah mereka menerbitkan buku?”
“Bisa saja. Perhitungannya tentu bisa hubungi redaksinya. Saya orang baru. yang pasti kami bisa mengirimkan buku-buku Pawon ke Cilacap, bukan?” Kataku pula.
“Tentu saja. Kami akan bantu distribusinya.” Dan edisi Februari ini saya baca ada tulisan dari Cilacap. Saya menduga mungkin ini dari salah seorang mereka (atau dia yang semalam merelakan delapan ribunya untuk saya?) yang mengirimkan naskah. Apakah dia menghubungi redaksi untuk distribusi? Saya tak mengerti.
Sasaran berikutnya dalah M. Arman AZ, cerpenis Lampung yang singgah di Yogya sepulang dari acara KSI. Kami sudah lama kenal nama. Kudatangi ia di penginapannya dan setelah bla.. bla.. bla.. ia mengeluarkan kocek 20.000 untuk beberapa buku Pawon.
“Kalau memang seperti katamu, kirimkan saja Pawon ke Lampung, saya siap membantu distribusinya. Cuma dua ribuankan? Bisa habislah sekitar sepuluh eksemplar. Tinggal dibagi-bagi ke Bang Is (Isbedy, maksudnya) Inggit, Lupita dan penulis-penulis lain. oke ya ditunggu kirimannya.”
Setelah itu aku malu juga. masa baru ketemu sudah jualan Pawon sastra? Tapi tak mengapa. Lalu kami datang pula ke penginapan kawan-kawan dari Kal-sel. Rame di sini, nih. Aku ditarik Abah Arsad Indradi, ngobroool… ada mas Agus Suseno juga. yang lain juga. lalu seorang kawan dari Jurnal WATAS bercerita soal distribusi mereka. Watas, katanya, saya harapkan menjadi sebuah media alternatif yang menampung karya-karya dari seluruh Indonesia.. bla..la..bla.. untuk penjualan masih payah.. jadi.. bla.. bla.. Oh, distribusi Pawon? Tentu saja. Kemarin saya borong Pawon di Kudus 15 Eksemplar. Sempat bicara dnegan Joko juga. bla.. bla.. bla.. Ya, gak apa-apa. kami siap menjualkan Pawon di sana. Kami punya toko buku kecil.. bla.. bla.. bla.. hahah.. tentu saja,. Benar juga. distribusi silang ya? bla..bla..” Katanya sepanjangh malam itu.
Wuih.. aku capek menuliskannya, saudara redaksi.
Dan begitulah nasib buku-buku kiriman Pawon tersebut. Hanya itu yang terjual, tapi edisi Januari yang dikirim sepuluh biji pertama itu habis sudah. Sebagian saya berikan juga ke kawan-kawan yang berniat beli tapi tak punya uang. Saya berikan juga ke beberapa kawan, termasuk Sunlie. Dalam beberapa acara di Yogya saya sempat juga membagikan ke beberapa kawan yang betul-betul belum kenal Pawon sastra.
Lalu Pawon yang saya ambil dari Solo nih yangs epuluh biji itu laku terjual empat biji pula. Di beli kawna-kawan Poetika. Saya membawa Pawon waktu rapat dan memaksa mereka membelinya. Uang penjualan itu kami habiskan pula untuk membayar kopi. Maka jadilah dari 56 ribu yang mestinya masuk ke rekening redaksi hanya dikirim 50 ribu saja.
Adanya beberapa kesempatan untuk membangun jaringan dan distribusi di beberapa daerah, seperti Lampung, Cilacap dan kalimantan Selatan tadi. Beberapa kota lain, bisa saya coba menghubungi kawan-kawan di sana pula. Seperti Padang dan Kendari misalnya. Semua itu tentu akan bisa terlaksana sesuai setelah ada keputusan redaksional. Untuk kontak mereka, saya bisa bantu atau Pawon sendiri yang akan berkomunikasi langsung dengan mereka. dnegan begitu mungkin edisi Pawon selanjutnya bisa mulai melear di beberapa daerah.
Sebenarnya ada banyak hal juga yangs aya ingin obrolkan dnegan kawan-kawan redaksi untuk Pawon. Semacam masukan atau apalah anamnya. Aku sok tahu betul nih. Saya Cuma ingin Pawon jangan mati dulu. Ia selalu hidup meskipun Tuan Kabut dan kawan Ridho sudah gak ada, misalnya. Amin!Haha… ah, raasnya saya mulai memiliki Pawon meski hanya sekedar omong-omong macam begini. Dan tentu siapa pun akan merasa memiliki pula, ketika media mapan sudah tak bisa diharapkan. Pawon akan dilirik, itu ingin saya. Menjadi sebuah media untuk kawan-kawan yang jenuh dengan koran. Jadi ia bukan hanya untuk pemula dan ‘tong sampah’ juga. maka saya minta redaksi menampilkan karya-karya para penulis yang mungkin namanya sudah dikenal. Bukan apa-apa. maksudnya bahwa Pawon adalah media buat semua, untuk jenis pengarang siapa saja. Dengan arti kata, Pawon milik semua bukan melulu ruang pemula. Atau apalah bahasanya.
Oh ya, untuk ke-40 eksemplar Pawon yang dikirim bulan Februari ini, saya berniat menitipkan di beberapa tempat ngopi. Ini baru rencana, sebab sampai surat ini saya saya tulis itu basih sebatas wacana saya. Saya merencanakan menitipkan lima eksemplar Pawon di (setidaknya) lima titik. Dengan demikian kawan-kawan redaksi dan saya sedang menguji angka penjualan di tiap titik setiap bulan. Agenda semacam ini tentu belum bisa dilihat hasilnya sekali jalan. Mungkin tiga atau empat bulan mendatang kita bisa melihat perkembangannya. Dan kita berharap di tiap titik jumlah peminatnya terus bertambah dan semakin banyak pula naskah yang masuk ke redaksi hendaknya.
Kemudian saya juga ingin masuk ke RRI Pro 2 Yogyakarta yang setiap Kamis malam punya acara Puisi Pro. Di acara ini para pendengar berpartisipasi membacakan puisi-puisi mereka. nah, rencananya aku ingin melobi radio ini untuk bekerja sama dnegan kita memilih dua puisi terbaik untuk kita beri hadiah lima buku. Masing-masing mendapat lima Pawon + Buku Terbitan Gerilya Peradaban. Dengan itu pula jika ada yang tertarik dengan Pawon Sastra mereka bisa memesannya langsung ke saya. Bentuk seperti ini saya pikir –setidaknya untuk sebuah awal – bisa membantu penjualan dan promosi Pawon di Yogyakarta. Tentu ini harus menunggu kesepakatan kawan-kawan redaksi terlebih dahulu. Apakah agendanya itu setiap minggu kita memberi hadiah, tentu dengan mengurangi jumlah hadiah (mungkin Pawon + beberap terbitan lain dari penerbit yangs ama) atau sebulan sekali setiap kali Pawon terbit.
Teknisnya begini, setiap minggu acara ini diikuti oleh para penulis muda di Yogya dan sekitarnya, juga Kulon Progo. Mereka juga punya Komunitas Pecinta Puisi Pro (KPP). Dengan ini, setidaknya sebulan sekali, kita bisa promosi Pawon dengan cara semacam ini. sekaligus saya mau menginformasikan agenda Kemah Sastra nanti itu. untuk sekolah rencananya minggu ini saya mau masuk ke sekolah Taman Siswa. Di sana, ada kawan yang sudah minta untuk membantu distribusi. Dia minta sebanyak 12 eksemplar. Aku menawarkan ini ke kawan-kawan, setidaknya untuk tiga bulan ke depan di Yogyakarta ada sosialisasi semacam ini. mungkin sebulan sekali.
In hanya tawaran saja. Jika kawan-kawan merasa keberatan tidak masalah. Aggap ini sebuah ambisi tak terkendali belaka. Tapi saya ingin Pawon juga bena-benar mulai masuk ke kantong-kantong sastra di daerah. Saya Cuma punya rencana dan membantud negan cara semacam ini. jika ini terlalu knyol maka maafkanlah. Dan untuk tawaranku distribusi ke daerah-daerah, mengirimkan beberapa eksemplar Pawon ke beberapa wilayah yang aku maksud di atas tadi barangkali bisa dipertimbangkan.
Benar saja. Saya menambahkan tulisan ini setelah saya pulang dari RRI. Rencana pemberian 5 eksemplar untuk dua pusi terbaik diperbaharui. Satu orang setiap minggu dan mendapat tiga buku pawon dan satu jurnal dari bali, Jurnal Sundih. Setidaknya saya ingin ini berjalan sampai sebulan ke depan. Dengan demikian kita masih bias berpromosi dengan cara membarter tiga Pawon tiap mingggu. Dan sisia Pawon kemarin rencananya akans aya gunakan dulu untuk itu. Dan untuk ini pula saya perlu memberitahukan kepada kawan-kawan redaksi gimana baiknya. Karena saya merasa amat sangat lancing dalam hal ini. Hal-hal lain akan saya sertakan. Seperti misalnya, saya sudah menitipkan 5 eksemplar di sebuah warung kopi dan besok rencananya akan saya titipkan pula pada acara pameran buku 5 edisi pula. Cuma sekali lagi, untuk ini kita mesti sabar melihat petkembangannya bukan? Alon-alon wae. Gitu.
Yang pasti saya akan coba dulu satu kali ini. melobi bagian penyiaran acara Puisi Pro tersebut, jika mereka sepakat. Hari ini, ketika surat ini saya bikin (mungkin akan ada tambahan dibawah surat saya, jika itu jadi dan diizinkan mereka) saya ingin mencoba edisi perdananya. Redaksi Pawon boleh marah pada sikap saya dengan membagikan gratis sepuluh biji buku-buku mereka. tapi saya rasa, sekali lagu untuk sosialisasi dan pengenalan, barangkali bisa kita coba.
Sebab saya mencintaimu Pawon setelah tak ada apa-apa lagi yang bisa saya cintai. Dan izinkan saya mencintaimu dengan cara saya. Dan maaf jika ada yang salah. Saya akan dengan sangat terbuka menerima kritikan kawan-kawan atas kelancangan ini. Matur nuwun.
Salam dari ruang tamu,
Februari 2008
Hal-hal mengenai perempuan memang tak kunjung surut untuk “dikupas.” Daya tarik perempuan banyak menghiasi ruang-ruang dalam kehidupan dunia ini, terutama dalam ruang seni dan budaya. Salah satunya adalah ruang kreatifitas perempuan dalam menulis karya sastra.
Sebelumnya, peran perempuan banyak diandalkan dalam urusan keluarga, tetapi kini peran mereka mulai bergeser kepada peran-peran baru di luar keluarga. Peran tradisional perempuan itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Peran perempuan telah banyak mengalami perubahan. Perempuan merasa bahwa mereka telah menyadari akan kewajiban untuk berbuat sesuatu sejauh yang memungkinkan untuk kesejahteraan, kemakmuran, serta kemajuan masyarakat. Dan, perempuan sebagaimana pria, kini juga mampu melaksanakan peranan intelektual.
Menurut Moeslim Abdurrahaman (2004), peran perempuan sebaiknya dipahami sebagai bagian dari aktor yang menjalankan proses untuk menciptakan sejarah. Karena, budaya adalah hasil reproduksi dan rekonstruksi. Dalam hal ini, pesona kreatif perempuan memiliki kekuatan transformatif dan transendensi yang mampu merubah kultur. Seperti yang diketahui, terdapat beberapa kelompok yang mampu mengubah masyarakat dan bangsa, yaitu pimpinan kharismatik, politisi dan tokoh intelektual. Namun demikian, terdapat sekelompok masyarakat dalam kehidupan rutin yang mampu membangun kehidupan mereka sebagaimana mereka menghidupi hidupnya sendiri. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan oleh kekuatan kreatif perempuan memiliki kemungkinan yang tinggi untuk diterima masyarakat luas, sehingga perubahan dapat terjadi pada seluruh segmen dalam masyarakat.
Tema Sastra Transformatif
Berkaitan dengan pesona kreatif perempuan untuk perubahan, dalam wilayah penulisan karya sastra kontomporer saat ini, peran pengarang perempuan telah mendapat “acungan jempol” dan respon yang mengagumkan dari berbagai kalangan. Sapardi Djoko Darmono dalam komentarnya tentang pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 lalu mengatakan bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan perempuan. Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 itu menghasilkan pemenang pertama hingga ketiganya adalah perempuan.
Selain itu, nama-nama pengarang perempuan seperti, Djenar Maesa Ayu, Pipiet Senja, Asma Nadia, Helvi Tyana Rosa, Ayu Utami, dan Linda Christianty, sudah tak asing lagi bagi penikmat sastra di negeri ini. Mereka adalah sebagian dari pengarang perempuan yang menjadi ikon baru bagi pengarang pemula perempuan. Bagi kalangan pembaca fiksi remaja, nama-nama seperti, Icha Rahmanti dengan novel Cintapuccino, Rachmania Arunita dengan Eifel...I’m ini love, Eliza V. Handayanai dengan Area X: Hymne Angkasa Raya, telah turut pula menjadi idola baru bagi perempuan penikmat sastra di Indonesia. Geliat perempuan menulis fiksi akhir-akhir ini tampaknya akan merangsang gairah penulis-penulis baru untuk kembali unjuk gigi.
Namun sayang, tema-tema yang diusung oleh generasi baru penulis fiksi perempuan itu mestinya mengusung tema-tema yang memiliki kekuatan transformatif yang mencerdaskan, mencerahkan serta menyentuh kemanusiaan. Bukan tema-tema yang elitis dan hedonis layaknya cerita dalam sinetron dan telenovela.
Dari situ, dalam konteks kekuatan kreatif perempuan menulis fiksi, perubahan pesona kreatif yang disebutkan Moeslim Abdurrahman itu, dalam segmen penulis perempuan kini memang telah terjadi, tetapi belum mampu merubah mind set tentang kesadaran penulis perempuan terhadap persoalan kemanusiaan, misalnya tentang kesetaraan. Pada tataran ide dan isi, karya fiksi perempuan yang banyak muncul saat ini belum melakukan transformasi terhadap karya mereka. Tema-tema novel yang terpampang di rak-rak toko buku masih berkutat pada wilayah-wilyah “anak gaul” disebabkan karena pengarang mendahulukan kepentingan pasar, belum mengarah kepada kepentingan untuk menyadarkan.
Walaupun revolusi kaum perempuan tidak sempurna, namun telah berjalan jauh membawa pemikiran-pemikiran pencerahan tentang kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Lewat mengarang buku-buku fiksi, perempuan sebenarnya mampu menjalankan fungsinya sebagai “manusia.” Melalui sentuhan-sentuhan langsung dengan realitas, perempuan diharapkan mampu mencegah perang-perang besar yang membinasakan umat manusia dengan adanya kediktatotan teroristis, mencegah bencanan masa depan, seperti kelaparan. Oleh karena itu, peran perempuan penulis fiksi hendaknya tidak hanya bermain dalam dunia mereka saja.
Dari kacamata psikologi, Erich Fromm mengungkapkan, meskipun dunia sudah terlanjur menjadi wajah maskulin, bukan berarti perempuan tidak mampu mengubah wajah dunia dengan kekuatan yang mereka miliki. Konsep dasar kekuatan perempuan adalah nilai kehidupan, kesatuan dan kedamaian. Perempuan memberikan seluruh anugerah dan imanjinasi yang dimilikinya untuk dapat melindungi dan menghias eksistensi manusia yang lain. Prinsipnya adalah universalitas, berlawanan dengan prinsip laki-laki, yaitu pembatasan-pembatasan.
Konsep persaudaraan laki-laki berakar pada konsep keibuan, tetapi menghilang seiring perkembangan masyarakat patriarkal. Berbeda dengan perempuan yang matriarkal, karena basis dari prinsip perempuan adalah kebebasan universal dan kesetaraan, damai, dan kemanusiaan yang lembut. Dan, perempuan juga merupakan basis kepedulian prinsipil terhadap kesejahteraan materi dan kebahagiaan.
***
Menulis karya sastra seperti novel, bukanlah kreatifitas yang sekali duduk langsung jadi, menulisnya penuh pergulatan yang intens terhadap rasa bahasa yang memperbincangkan realitas kehidupan dengan pengarang. Penulis fiksi itu harus mampu menafsirkan kehidupan secara jitu. Karya fiksi, bukanlah sekedar seni yang menjiplak kembali alam kehidupan.
Nadine Gordimer, penulis perempuan terkemuka peraih Hadiah Nobel Sastra 1991 mengungkapkan, jika dilihat dari karya yang ditulis, penulis fiksi itu sendiri sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang fiktif. Oleh mereka, kesusastraan menjadi penyamaran usang yang senantiasa ditelanjangi dengan senang hati; sebuah praktik kanibalisme intelektual yang dipertunjukkan. Imajinasi seorang penulis adalah barang jajahan yang diambil dari kehidupan orang lain.
Sejatinya, generasi baru yang perempuan dalam menulis karya fiksi di Indonesia, diharap akan menetaskan pengarang-pengarang yang menjadi dirinya sendiri bukan karena ikut-ikutan atas dasar komersialisasi, tapi atas dasar kreatifitas yang mumpuni. Karya fiksi mereka hendaknya dapat melakukan dekonstruksi citraan dan imaji melalui sikap keberpihakan kepada kemanusiaan dan mampu menjawab pertanyaan, bagaiamana karya fiksi mendapat tempat dalam perjuangan umat manusia?
Oleh karena itu, hari ini dan nanti, kita masih menunggu ciptaan-ciptaan kesusastraan yang lebih besar, yang memberikan kesadaran bahwa betapa penting arti sebuah karya sastra yang mencerahkan dan mencerdaskan bagi masyarakat bangsa kita yang mengalami keterbelakangan. Karenanya, kita perlu karya sastra yang transformatif dan menggugah kesadaran kolektif kita untuk berjuang melawan ketidakadilan.
David Krisna Alka
Ketua Al-Maun Poetry Society, dan bergiat di Akademi Kebudayaan Rakyat (AKAR) serta tercatat sebagai salah satu pendiri Koperasi Seniman Indonesia (KSI). Selain itu, pengasuh kolom budaya Jurnal Moderat. Menulis opini dan Esai sastra di Sinar Harapan, Republika, Media Indonesia,dll. Karya puisi di Kaki Langit Horison (1997), Antologi Bung Hatta dalam Puisi (2002), Buku Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural (2003) dan di media massa nasional.
Saya memang bukan perempuan, tapi saya juga tahu siapa itu perempuan. Perempuan menurut saya adalah jenis atau spesies manusia yang mempunyai payudara yang berukuran lebih besar daripada yang di miliki laki-laki pada umumnya (walaupun ada juga perempuan yang mempunyai sedikit problem dengan payudaranya), selain itu yang saya tahu perempuan adalah yang bisa mengandung dan melahirkan anak, perempuan adalah yang memiliki sisi sensitifitas diatas laki-laki dan selebihnya saya tidak banyak lagi tahu tentang perempuan selain sisi-sisi seksualitasnya tersebut. Semua hal yang saya kemukakan adalah murni hasil pantauan dan pengalaman saya, dimana ciri-ciri itu dengan jelas bisa saya dapatkan pada Ibu yang telah melahirkan saya kedunia ini.
Perempuan dalam kacamata Kebudayaan
Pertentangan terhadap perempuan melintasi semua perlawanan yang mengatur kebudayaan. Adalah pertentangan klasik; adalah dualis dan hierarkis. Laki-laki/perempuan dengan sendirinya berarti besar/kecil, superior/inferior…. Berarti tinggi atau rendah, Alam / sejarah, Transformasi / inersia. (Helena Cixous / Hidup Matinya Sang Pengarang/Yayasan Obor)
Kebudayaan adalah sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Kebudayaan itu sendiri menurut pengertian antropologi dan sosiologi adalah berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat, dan inilah yang saya maksud kebudayaan.
Apa yang di atur dalam kebudayaan? Sebuah norma, sebuah aturan sebuah batasan, sebuah kewajaran yang berarti sebuah hukum yang mengikat masyarakat didalamnya. Apa yang menjadi permasalahan? Orang sering lupa, bahwa kebudayaan itu sendiri adalah hanya sebuah sistem, hanya benda mati yang tidak akan bisa menuntut apapun, dan kebudayaan itu sendiri hanyalah sebuah hasil cipta dari manusia, namun yang terjadi manusianya sendiri sering terjebak oleh sistem yang dibuatnya sendiri. Kebudayaan menjadi Tuhan, kebudayaan menjadi tombak peringatan yang ditakuti untuk dilanggar, di upayakan untuk tidak dinodai, walaupun ketentuan yang ada didalamnya bertentangan dengan kesadaran manusia budayanya itu sendiri. Rasionalitas menjadi mati kerena aturan.
Kebudayaan yang kebanyakan ada ditengah lingkungan kita pada umumnya adalah hasil kreasi nenek moyang terdahulu kita dengan jaman dan lingkungannya tersendiri, dimana setiap permasalahan yang ada dirumuskan dan di sesuaikan dengan sisi–sisi nilai dan mampaat yang ada pada jamannya. Dan permasalahannya ketika kebudayaan hasil turunan itu tetap dipakai di jaman yang berbeda, dengan nuansa alam yang juga berubah, pertanyaannya adalah apakah kebudayaan itu masih cocok untuk diikuti? Apakah Masih pantas untuk di jalankan?
Norma sosial yang menghasilkan sanksi sosial adalah sebuah batasan ketika budaya itu dilanggar. Orang yang telah mengenal pengetahuan modern diluar kebudayaan tentunya akan berpikir ulang untuk tetap terlibat dalam kebudayaan asalnya, kalau pun ada hal yang di luar rasioanalitasnya, mungkin dia akan menganggap bahwa kebudayaan yang ada itu sudah tidak wajar lagi. Tapi apa yang terjadi ketika masyarakat dan katakanlah keluarganya masih terpaku dengan kebudayaan yang dimaksud, pastinya orang tersebut akan mendapatkan sanksi sosial di masyarakatnya. Sekali lagi sistemlah yang menang dalam hal ini.
Begitu pula halnya dengan perempuan, dimana perempuan itu sendiri lahir dari sebuah kebudayaan, siapa yang menyangka kalau ada perbedaan antara siapa itu perempuan dan siapa itu laki-laki, semuanya sudah diatur oleh pendahulu kita lewat sistem budaya dan peristilahan pada jamannya, dan kita mau tidak mau harus mengikuti aturan yang telah ada dan mengakar tersebut dijaman kita sendiri.
Perempuan sebagaimana produk kebudayaan yang lainnya adalah sebuah bentuk kaku yang terikat dengan norma. Dimana kita tahu banyak aturan yang mengungkung nilai-nilai kebebasan perempuan. Perempuan tidak boleh keluar malam, perempuan tidak mesti sekolah tinggi karena akhirnya harus mempersiapkan diri menjadi seorang isteri yang baik bagi suami dan anak-anaknya, perempuan harus pandai bersolek. Itu yang terjadi, dan itu masih terjadi walaupun dewasa ini kita tahu bahwa dari kaum perempuannya sendiri banyak yang mulai menancapkan taringnya, banyak perempuan yang belajar dan beranjak mandiri dengan semangat perjuangannya, dan bahkan banyak pula perempuan yang mulai menggantikan posisi dan peran laki-laki baik di jenjang kepemimpinan maupun di dalam soal rumah tangga, nilai feminisme menjadi platform yang semakin dikibarkan.
Dari semua perkembangan di dalam pola hidup dan keberanian mengambil sikap dari perempuan yang terjadi dewasa ini, pada dasar dan hakekatnya ternyata masih jauh dari taraf yang diatas minimum, karena satu perempuan tidak akan bisa untuk mewakili jutaan bahkan milyaran perempuan yang lainnya. Kita lihat memang bayak perempuan yang maju seperti yang dicontohkan diatas, tapi lihat dan amati juga berapa banyak perempuan yang masih terbelenggu dengan aturan adatnya, berapa banyak perempuan yang masih termakan oleh sistem budaya nenek moyangnya sendiri. Dan ironisnya untuk perempuan yang katakanlah maju pun masih banyak yang malah kembali layu, satu langkah kaki tidak akan cukup untuk menempuh ribuah kilomenter jaman.
Kapitalisme Terhadap Perempuan
Kasus yang menyatakan bahwa banyaknya kaum perempuan yang menjadi korban dari perubahan dan sistem masyarakat semakin marak, kasus- kasus pemerkosaan, kekerasan terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) perempuan (TKW), kemunculan skandal vcd porno yang menjadikan perempuan sebagai objek utamanya, penangkapan sejumlah WTS (wanita tuna susila) mengindikasikan bagaimana perempuan dewasa ini telah menjadi komoditi pasar yang memang sangat laris untuk di perdagangkan, bukan hanya dari sisi seksualitasnya namun kita lihat banyaknya pemampaatan tenaga kerja wanita yang berbondong-bondong menjadi buruh di luar negeri yang notabene telah menjadikan sebuah kantong devisa yang besar bagi Negara, perempuan dieksploitasi, diekspor dengan iming-iming peningkatan taraf hidup tanpa adanya perlindungan hukum yang layak dan bertanggung jawab dari pemerintahnya sendiri.
Selain itu kita lihat juga bagaimana kapitalisme media masa dan produk-produk perusahaan yang kebanyakan telah menjadikan perempuan sebagai sebuah magnet untuk menarik masa. Iklan-iklan berbagai produk, baik yang berhubungan dengan perempuannya itu sendiri seperti samphoo, sabun mandi, alat kecantikan dan iklan dari sebuah produk yang sebenarnya tidak ada hubungannya langsung dengan perempuan, tetap memakai tubuh dan jasa dari nilai seni perempuan sebagai nilai jual dari sang produk yang bersangkutan, seperti pada iklan rokok, kendaraan, dan juga kebanyakan barang-barang yang memang di jual hanya untuk lelaki. Contoh lain kita dapatkan dari pemampaatan perempuan lewat aksi dan gambar berbau pornografi di koran-koran kuning dan televisi yang memang memposisikan perempuan sepenuhnya sebagai objek dari kepuasan sekelompok komunitas, kaum lelaki dalam hal ini. Dari kesemua contoh itu, sekali lagi perempuan telah ditempatkan sebagai korban dari sebuah sistem yang kaku dimana sistem tersebut telah memposisikan kaum perempuan hanya disatu sisi bisnis semata (kapitalisme terhadap perempuan), tanpa memperhatikan hak dan perlindungan terhadap kaum perempuannya sendiri, dimana negera ini yang seharusnya mempunyai sikap terhadap semakin liarnya pemampaatan terhadap perempuan memang tidak memiliki aturan hukum yang tegas baik dari tatanan maupun tindakannya.
Peranan Sebuah Kontrol
Satu moment dimana perempuan menyadari letak dan posisinya, yang juga mempunyai hak penuh di dalam menentukan segara arah dan tindakannya dan berusaha untuk melepaskan diri dari semua sitem kaku yang selama ini telah membelenggunya, seperti adat dan budaya yang kebanyakan menempatkan perempuan pada sub tekecil di bawah sub-sub lainnya, serta juga melepaskan diri dari sistem yang berkembang diluar kebudayaannya sendiri yang dinilai tidak bisa menghargai eksistensi dari perempuan seperti kapitalisme dan globalisasi.
Maka lahirlah, perempuan-perempuan dewasa, dalam artian dewasa secara pemikiran dan tindakan. Banyak perempuan yang melakukan hal yang sebelumnya tabu untuk dilakukan, seperti sekolah sampai jenjang tinggi, berkarya dalam seni seperti musik, sastra, lukisan dan banyak lagi seperti di paparkan diawal tulisan ini. Yang pasti perempuan dengan semangat emansipasi dan feminismenya ingin menempatkan diri secara sejajar dengan kaum lelaki, tidak ada garis pembatas yang tegas antara feminisme dan maskulinitas.
Semua hal yang berkaitan dengan pola hidup dan kebebasan berkreasi secara penuh diberikan dari mulai lingkungan keluarga, tidak ada batasan seperti halnya hukum adat yang kaku. Orang tua yang sadar akan kemajuan itu menjadi guru pertama bagi peningkatan kualitas hidup anak perempuannya, dan disinilah muncul peran orang atau untuk memberikan ajarannya tentang kemandirian dan kebebasan terhadap anak perempuannya. Kebudayaan baru diciptakan oleh sang orang tua bersama anaknya dengan melandaskan pada niali-nilai terbaik, di sesuaikan pula pada kondisi ruang dan waktu dimana mereka berada.
Namun yang menjadi permasalahan adalah, ketika nilai-nilai kemandirian dan kebebasan seperti di kemukakan diatas lepas dari koridornya, yang pasti pada dasarnya tidak ada suatu hal apapun yang bisa bebas sepenuhnya dari yang namanya norma dan hukum adat kebudayaan asalnya. Kita sering mendapatkan orang tua yang melepaskan kontrol terhadap anak perempuannya yang relatif masih dibawah umur, katakanlah ABG. Orang tua membiarkan anak perempuannya pulang larut malam tanpa adanya rasa ingin tahu, banyak orang tua yang tidak peduli seminimal mungkin pun tentang pergaulan anak perempuannya itu diluar, pendidikannya, teman-teman pergaulannya. Kebebasan dan peran orang tua terkadang melupakan bahwa perempuan memiliki eksklusifitas yang perlu dijaga, yaitu kehormatan yang sebenarnya menjadi nilai lebih bagi perempuan di banding laki-laki.
Dampak dari lemahnya kontol orang tua dalam mengawasi gerak dan aktivitas anak perempuannya sangat berperan besar dalam menjerumuskan si perempuannya sendiri kedalam sisi dimana kembali harga perempuan hanya sebatas keperawanan. Pergaulan bebas dengan motif seks, narkotika dan dunia hiburan malam menjadi areal dan alat yang paling sensisif untuk disentuh perempuan yang notabene memiliki daya pertahanan yang relatif lebih rendah dari pada kaum laki-laki.
Tidak heran kalau banyak pakar menyatakan bahwa untuk kategori AIDS saja, paling banyak berasal dari kaum perempuan, terutama yang di akibatkan oleh seks bebas. Kenapa? Hal ini bisa di wajarkan, karena dalam kasus seks bebas kebanyakan, perlindungan seperti alat kontrasepsi pada umumnya di pakai dan memang diperuntukan untuk laki-laki. Sekali lagi budaya yang kaku mengalahkan perempauan dalam hal teknologi, dimana alat-alat kontrasepsi yang kebanyakan beredar di pasaran memang kebanyakan diperuntukan untuk laki-laki, walaupun memang dewasa ini telah dikembangkan alat-alat kontrasepsi untuk wanita, namun kerena pendidikan seks yang rendah dan kurangnya perhatian orang tua di dalam manjaga perkembangan anak perempuannya, menyebabkan perempuan identik dengan korban paling dirugikan dari perilaku seks bebas tanpa perlindungan.
Peran terbesar orang tua memang sangat dituntut dalam hal ini, khususnya untuk membentuk mentalitas dan kualitas dari perempuan per-generasinya. Keterbukaan akan informasi dan perkembangan jaman memang sangat dituntut untuk mengikuti setiap perubahan yang muncul, penyesuaian diri, dan orang tua sebagai guru pertama yang mengajari anaknya jauh sebelum guru di TK dan sekolah dasar, harus lebih menjaga perkembangan anaknya, khususnya anak perempuan yang seperti di kemukakan diatas memang sangat rawan dari serangan berbagai aspek. Pendidikan seks dengan batas yang wajar dan disesuaikan dengan kondisi serta umur si anak, sangat dibutukan untuk menjaga perkembangannya kelak, orang tua harus lebih cepat sebelum si anak belajar sendiri dari lingkungan luarnya.
Kontrol orang tua disini tidak hanya terpaku pada pendidikan semisal seks, narkoba dan sejenisnya. Pemahaman tentang kebudayaan dan implementasinya pun sangat diperlukan untuk membentuk karakter si anak (baca: anak perempuan) sehingga untuk kedepannya si anak mampu untuk memilih dan memilah mana yang terbaik bagi dirinya berdasarkan rasionalitasnya sendiri, tanpa dibatasi oleh aturan-aturan yang kaku dan ancaman sanksi sosial yang tidak jelas yang malah akan membatasi pengetahuan si anak perempuannya sendiri.
Dengan itu, diharapkan akan terciptanya perempuan-perempuan dimasa yang akan datang, dengan bukan hanya menggembar-gemborkan emansipasi dan hak wanita, akan tetapi yang lahir adalah perempuan yang tahu bagaimana dan dengan cara apa dia harus bergerak dan bertindak, serta perempuan-perempuan yang memiliki pola pikir yang jauh kedepan dengan senantiasa menjaga kebaikan dirinya dan juga lingkungan sekitarnya.
Lagu Musim
seperti lagu musimmusim tua, gerakmu adalah bau sunyi
yang tak habis kupahami. dengan menikam mata lenganku pasrah
memanjat bunyibunyi sangit kesakitan. betapa tubuhmu melabuh
dan dari pagar, kucakar semua ingatan dalam lehermu
aku seperti pemuda dengan kalungan darah, lukisan terjal
tentang igal hantu masa silam, membentuk gaunmu
terbelah di girang jauh. sungguh, aku rindukan jejakmu
alisalis bisu, di mana langit merah akan teraba dan kau
senantiasa menunggu, bayibayi terlahirkan serupa foto samun kenangan
2007
Setiap Malam Kurasakan Hujan
setiap malam kurasakan hujan
yang tumbuh di jemarimu
daundaun kurayu dan anakanak matahari
berkaki tanah terjura di kastil darah
sebagai bukti kukhianati laut
dan jejakku maut tumbuh di bulan
sesering kutumbuhkan mimpi daunmu
pada gereja bara
lalu lambang tanah gugur, serupa bayanganmu
terayun, mengingat ribuan terakota
yang mati dalam hembus hallintar
sepiku serupa pohon cahaya
aku tumbuh liar di pelupukmu
tahuntahun emas kebimbanganmuku
pada rumput
semerah pagi belati
2007
Kepompong Penyair
mataku yang picik menggali kubur semut
pisaupisau kenangan terbuka terbang
melecutkan malam amfibi. pada sebentuk lingga
betapa gairahmu menganga
alir rumput menyuarakan semu
di gerbang ingatanku, labalaba membangun
jantungnya. tapi mumi otakku seketika
murung. malaikatmalaikat masa lalu
bernyanyi menggemakan suar kelam kelabu
dengan kegaiban bibir pelacur
aku wujudkan guratgurat cemara berledakan
lidah bulan kaku menggenapkan waktu
bermuka patung. betapa sungai adalah kegilaan
seperti tari nabinabi yang mengutuk angin
arwahku hidup lebih sesat. pada kelas kenangan
betapa puisi jadi tak menyenangkan
fantasiku lancang mencela butiran salju
pemabuk dengan warna rabun melayang
menjadi berita cuaca yang gagal terbaca
segera segala kemustahilanku memberi nyawa
lubanglubang gerhana. perutmu yang mulus
menggugah tanganku untuk membunuh siput
sungguh, seratus tahun lebih kubentangkan
tubuhmu yang putih mengapung
tiangtiang jahat di selatan mengamuk
menculik terakanku yang lebih sumbang
dari aroma mobil terbakar
mengingatkanku pada kepompong penyair yang urung
memahat planet putih di pinggulmu
2007
Lalu Kukuburkan Seratus Planet di Dadamu
lalu kukuburkan seratus planet di dadamu
serupa kegembiraan burung terkurung pada
berabad pembunuhan
anakanakmu terlahir dan gerimis ombak kulukis
dari sebalik kubur yang terpajang
antara jendela dan tiang gantungan
2007
RAHASIA TANJUNG BATU
satu musim berlalu
pantun berganti lagu
lagu berganti batu
seperti phinisi tenggelam di tanjung batu
batu-batu berbanjar menyudut ke laut
ombak berlomba-lomba mencium pantai
berbagai warna muncul
dari pasir
laut
langit
menghiasi panorama senja
kusimpan kenangan di gelas arak kelapa
keringat-keringat bercucuran di atas pasir
anak-anak mendorong sampan ke sana ke mari
baginya kemenangan adalah bebas untuk bermain
angin menerbangkan pantun-pantun
waktu kembali bertabuh
aku berlari mengingat luka bakau di hutan sunyi
di atas pasir kalimat kutulis dengan jari ketam
mimpiku takkan tenggelam
gubuk-gubuk menyimpan sepi sendiri
burung-burung menyimpan kicau sendiri
di sini sepoi angin mengajariku bertahan diri
kesabaran laut
katabahan pulau
menepi dalam jiwa
bangkitlah rahasia tanjung
batu-batu bisu rindu padamu
lalu kutuliskan sajak cinta untukmu
secinta aku pada pulau ini
di tanjung sanjung lagu perahu
:tulus
seperti ketulusanku pada pulau ini
2007
SUBUH
doa mengurai dalam dzikir
tubuh tak sempat menyentuhmu
aku biarkan kaki berjalan
setelah sujud menghadapmu
fajar terbelah gunung
menyisakan kabut gerimis
pada tanah-tanahku
hening samar pada usia
saat kencana mengurai wangi melati
:kau terlahir
doa mengurai dalam dzikir
simbol-simbol kearifan
melekat di wajahmu
aku kembali tenteram
dan bersujud lagi
seperti layaknya subuh
bersujud kepadamu
2007
GUGUSAN SUNYI LILIN
lalu lilin menyala
tak ada mawar di vas bunga
semua kering
semua hening
seperti purnama kupandang
dari balik jendela
kembali aku menemukan waktu
syair doa mengalun dalam gugusan sunyi
debu kembali kedebu
jarak meningglkan jejak
aku datang tanpa sesaji
pulang tanpa kemenyan
tubuhku milik waktu
tubuhku milikmu
saat keranda tiba
lilin pun padam
2007
SETIABUDHI KETIKA ITU
teringat shiho sawai
di setiabudhi
malam menggila
kabut utara menuruni bukit
menggeraikan rambut
di setiabudhi
jam kita adalah kebebasan
seperti kau yang terbang
sepi luput dari keterasingan
pohon menggugurkan daun
saat bercerita taishogoto
di setiabudhi
segelas lemon tea
ikut dalam percakapan
aku mabuk benar
aku cemburu pada gelas
:mengecup bibirmu
di ujung malam
kusimpan aksara
saat perpisahan tiba
akan kutemukan makna
dari negeriku
wahai pengelana
di setiabudhi
telah kusimpan sebait haiku
bandung, 2007
KATA TELAH SELESAI
:tsb
9 oktober
pagi menyajikan kembang
catatan mengalir dari air mata
bendera kertas terikat keras pada pagar
lalu kota mengistirahkan jejak kelana
pada trotoar sebuah nama tercoret dari zamannya
almanak tergantung di dindng sisa belanda
tak henti-henti aku menghitung kemenanganmu
kota berhenti berpuisi
padahal luka dan darah telah reda
aku kehilangan satu bait dalam kehidupan
kata telah usai kau tuntaskan
DIILHAMI dari kisah nyata Chris Gardner seorang pialang saham sukses, film yang disutradarai Gabriel Muccino berhasil memotret realita kehidupan warga Amerika sebenarnya.
Pursuit of Happyness menceritakan sebuah pergumulan hidup seorang ayah muda dan anak lelakinya. Tak seperti film-film keluarga produksi Hollywood yang lain, film ini justru jauh dari nuansa keluarga yang ideal yang kondisinya mapan dan bahagia. Dalam film yang berdurasi 90 menit ini, anda akan diajak menyaksikan potret kehidupan sosial orang-orang jelata Amerika.
Adalah Chris Gardner (diperankan Will Smith), seorang salesman yang merasakan kerasnya kehidupan kota besar San Fransisco. Seorang ayah bagi anak lelaki kecil bernama Christoper (diperankan Jaden Christoper Syre Smith) yang berjuang demi buah hatinya melawan nasib yang membuat mereka terlunta di kerasnya rimba kota.
Chris Gardner, lelaki kulit hitam yang berpakaian perlente ini sepanjang hari menjinjing sebuah kotak produk yang harus dijualnya. Kotak yang harus dipangkunya dalam bus untuk ditawarkan ke perusahaan-perusahaan. Sebuah kotak mesin waktu. Oh, bukan. Itu adalah anggapan orang gila yang ditemuinya di halte bus kota. Kotak itu tentu bukan kotak mesin waktu, kotak tersebut tak lain adalah mesin pemindai kepadatan tulang atau disebut juga sebagai alat pendeteksi pengeroposan tulang.
Alat medis yang dijualnya untuk mencari nafkah tersebut cukup berat dan besar, dibawanya keliling ke sana ke mari. Betapa susahnya menjual sebuah peralatan yang mahal tersebut. Begitu susahnya menjadi seorang salesman yang hidupnya tergantung oleh seberapa banyak produk yang mampu dijualnya. Belum lagi cukup untuk menghidupi anak dan istrinya, Chris tak pelak didera tagihan pajak, dan keterlambatan bayar sewa rumah.
Kotak yang berharga bagi Chris tersebut membawanya terlibat dalam berbagai polemik kehidupan kota besar. Hingga suatu hari Chris melihat seorang pria turun dari sebuah mobil sport mewah. Chris yang notabene hidupnya susah, tergelitik untuk bertanya apa pekerjaan pria tersebut, dan apa yang dilakukannya hingga semakmur ini? lelaki itu menjawab bahwa dia adalah: seorang pialang saham.
Demi sebuah kehidupan mapan untuk keluarganya. Maka, pertemuan dengan pria tersebut membuat Chris terobsesi. Dia berusaha mendapatkan pekerjaan itu meski dia hanya tamatan SMA. Usaha melamar ke perusahaan itu pun diawali. Bahkan diawali dengan sebuah hal yang ia sebut: bersikap ceroboh. Ketika akan memasuki kantor pialang saham Dean Witter Reynold, ia menitipkan kotak berharganya pada seorang pengamen gipsy di pinggir jalan, untuk kemudian masuk ruangan kantor tersebut melamar pekerjaan. Saat dia tengah mengisi formulir pelamar, dari jendela kantor itu dilihatnya si perempuan pengamen tadi membawa lari kotak tersebut. Maka tak ayal Chris menghambur mengejar pencuri itu.
Seperti judul yang disandangnya, Pursuit of Happyness menggambarkan pengejaran simbolis seorang akan sebuah kebahagiaan. Begitu halnya dengan Chris yang beberapa kali sempat kehilangan kotak itu dibawa lari orang, dikejarnya hingga ia temukan lagi. Namun, kehidupan Chris masih belum juga berubah. Sampai suatu hari semakin bertambah parah karena Linda, istri Chris (diperankan....) seorang buruh pabrik tekstil akhirnya memutuskan untuk pergi akibat tak kuasa menahan himpitan ekonomi. Linda memutuskan pergi ketika Chris tengah menelponnya dari kotak telepon koin di pinggir jalan.
Saat itulah ia berpikir tentang kalimat Thomas Jefferson dan deklarasi kemerdekaan Amerika. Kalimat tentang hak atas kehidupan, kemerdekaan dan pengejaraan kebahagiaan. Ia berpikir bagaimana pembuat teks deklarasi kemerdekaan itu tahu, dan memasukkan bagian pengejaran kebahagiaan di dalamnya. Bahwa mungkin kebahagiaan adalah sesuatu yang hanya bisa kita kejar, namun mungkin kita tak pernah mendapatkannya walau bagaimanapun.
Pursuit of Happyness, sebuah drama cukup menyentuh diselingi dengan narasi tokoh utama yang membuat film ini dapat menghasilkan efek dramatik, sekalipun dengan tema yang sederhana. Film ini berhasil membuat sentuhan-sentuhan pada sisi kehidupan manusia yang nyaris tergilas peradaban kota besar. Potret sosial kehidupan kota besar di Amerika -dengan setting 1987- yang rupanya tak seindah dibayangkan. Justru film ini memotret orang-orang termarjinalkan oleh sebuah peradaban yang dibangun manusia sendiri. Sebuah hidup yang harus dijalani dengan tabah dan penuh kejutan yang mengharukan.
Ditengah pergulatannya melawan kerasnya hidup, Chris terusir dari rumah kontrakannya hingga harus hidup menggelandang bersama anak lelakinya yang masih kecil. Ya, inilah potret seorang lelaki dan bocah kecil yang menelusur labirin kehidupan tanpa kehadiran perempuan. Tidur di stasiun, WC umum, dan rumah penampungan yang penuh sesak. Liku kehidupan yang ia jalani dengan mandi keringat dan air mata. Demi sebuah bagian kisah hidup, bahkan hanya sebuah bagian kecil dari kehidupan manusia yang disebut: Kebahagiaan!
Wates, kota kecil nan sepi di wilayah Kabupaten Kulonprogo (sekitar 30 kilometer sebelah barat kota Yogyakarta) itu, mungkin tak membayangkan bakal didatangi sejumlah sastrawan kondang negeri ini. Namun, demikianlah yang terjadi pada Minggu, 13/01/08. Dua komunitas sastra di kabupaten tersebut, yakni Lumbung Aksara (LA) dan Sanggar Seni-Sastra Kulonprogo (Sangsisaku) menggelar helat: Temu Sastra Tiga Kota (Purworejo, Kulonprogo, Yogyakarta).
Even sastra sebesar itu memang baru pertama kali digelar di Wates –-sebuah wilayah yang (dalam peta sastra di tanah air) notabene jarang disinggung. Meski begitu, kemeriahan temu sastra yang berlangsung di wilayah pinggiran tersebut tak bisa dibendung. Sejumlah penulis (sastrawan) yang diundang dan dijadualkan tampil (baik untuk berdiskusi maupun membacakan karya) benar-benar memenuhi undangan panitia. Dari catatan buku tamu, sekitar 30 sastrawan/ penulis (tentu dari yang paling senior/kondang sampai yang baru berperan di tingkat lokal/yunior) dan 59 tamu undangan (meliputi pejabat, guru, wartawan serta penikmat dan peneliti sastra) memenuhi aula gedung PCNU Kulonprogo, tempat dilangsungkannya acara.
Dan acara itu memang berlangsung sejak pagi, ketika matahari belum begitu tinggi. Kira-kira baru jam tujuh lebih tigapuluh lima menit, saat Bambang Nur Singgih (sastrawan Yogya yang sering menulis geguritan) menyapa panitia. Ya, ia memang tercatat sebagai peserta dari luar Kulonprogo yang hadir perdana. Kemudian disusul rombongan dari Puworejo, yang datang dalam satu mobil. Mereka, mulai dari yang senior (se-angkatan Umbu Landu Paranggi) yakni Atas Danusubroto, Soekoso DM, Maskun Artha, sampai Supardi AR dan sejumlah penulis muda lainnya. Dan yang mengejutkan, sebelum para sastrawan dari Yogya berdatangan, hadir di kota kecil itu –-dengan ngojek sepeda motor–- seorang peneliti sastra dari Jepang, yakni Shiho Sawai.
Setelah itu, baru bermunculan sastrawan Yogya, berturut-turut: Evi Idawati, Iman Budhi Santosa, Aguk Irawan MN, Mahwi Air Tawar, St. Suryani, Lephen P, Indrian Koto, dan Mutia Sukma. Hadir pula Joko Sumantri (Pawon Solo), Latief Noor Rochman (Minggu Pagi Yogya) dan sejumlah wartawan. Sementara Koh Hwat, Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua datang setelah rehat siang. Dari pihak sohibul bait (tuan rumah), tampak: Ki Soegiyono MS, Papi Sadewa, Dhanu Priyo, A. Legiyo, Joko Budhiarto, Marwanto, Samsul Ma’arif, Nur Widodo, Didik Komaidi, Siti Masitoh, AriZur, Ndari, Zukhruf Latif, Fathin Chamama, Fajar R. Ayuningtyas, Wening Wahyuningsih, dll.
Genderang “perang” sastrawan dari tiga penjuru mulai ditabuh, sesaat setelah ketua panitia (Papi Sadewa) dan Kepala Dinas Kebudayaan & Pariwisata (Disbudpar) Kulonprogo Drs. Bambang Pidegso M.Si memberi sambutan. Diawali dengan musik pembuka, oleh grup Padhang mBulan (yang tampil dengan gabungan alat musik modern dan tradisional). Setelah itu satu persatu para sastrawan tampil membacakan karyanya.
Tentu tak semua sastrawan yang hadir memperoleh kesempatan tampil, oleh sebab terbatasnya waktu. Meski hanya sekitar 20 sastrawan yang “berlaga”, di panggung berukuran 3 x 3 meter itu bagaimanapun telah tersuguh baragam warna. Ada pembacaan puisi, geguritan, cerpen, dan diskusi (sharing).
Pada sesi diskusi, yang tampil adalah Shiho Sawai, Joko Sumantri, Iman Budhi Santosa, dan Soekoso DM dengan dipandu Samsul Ma’arif. Karena tak ada freme yang ketat dari panitia soal arah diskusi, maka tiap pembicara dipersilahkan mengemukakan pendapatnya secara bebas, tapi berkaitan dengan acara yang berlangsung pada hari itu.
Iman Budhi Santosa, penyair senior Yogyakarta mengemukakan: “Inilah untuk pertama kali saya saksikan sastra Jawa (geguitan) mampu bersanding dengan sastra Indonesia (puisi dan cerpen) dalam satu panggung secara apik”. Sedang Joko Sumantri menganggap positif acara temu sastra tiga kota.
Sementara bagi Shiho Sawai, yang menarik dari temu sastra ini adalah beragamnya peserta yang hadir. “Saya telah menghadiri berbagai acara sastra di Yogya dan kota lain di Jawa. Umumnya yang datang para mahasiswa (orang terpelajar). Namun pada acara kali ini, saya menyaksikan lain. Acara ini dihadiri banyak lapisan masyarakat. Acara sastra yang dihadiri orang-orang biasa (non-pelajar) seperti ini jarang saya temui di daerah lain”.
Shiho tak berlebihan. Perhelatan itu sendiri memang digagas atas dasar kerinduan untuk bertemu, lalu menikmati karya, kemudian saling belajar –bagi semua penulis di tiga kota antar generasi tanpa seleksi yang ketat. Dari sini mungkin acara tersebut mendapati titik lemahnya. Seorang penyair muda potensisal dari Yogya, Indrian Koto, seusai mengikuti acara langsung memberi catatan di blog pribadinya (kuli pelabuhan): “Kawan-kawan yang baru dalam tahap ‘belajar’ lebih menarik berada di posisi penikmat. Mereka bukan tak boleh tampil, tapi mesti ada penyeleksian agar terasa adanya semacam persaingan.”
Mungkin gagasan panitia beda dengan idealisme Indrian. Juga, kelemahan di mata Indrian, menjadi kelebihan dalam amatan Shiho. Alhasil, acara itu berlangsung penuh warna alias amat plural bin gado-gado. Kerendahatian para sastrawan yang, katakanlah, bertaraf nasional untuk enjoy duduk dan bincang bareng penulis “katrok” dan “lokal” patut diberi apresiasi. Kita tentu ingat cerita ini: dulu A.A. Navis tidak mau duduk sebangku dengan cerpenis Harris Effendi Thahhar, hanya karena karya Haris belum ada yang dimuat media nasional. Era seperti itu lambat laun mulai ditinggalkan.
Acara yang berlangsung hingga sore itu ditutup pembacaan puisi oleh Joni Ariadinata –-ia membacakan puisi karya Hasta Indriyana yang berhalangan hadir. Sebelum pulang, terlihat pancaran mata dari peserta seakan penuh harap kemeriahan acara ini akan terulang lagi. Tapi mungkin tepat apa yang dikatakan Soekoso DM pada sesi diskusi: “Karena sastrawan beserta komunitasnya bukanlah organisasi pemerintah atau parpol, biarlah acara seperti ini berlangsung alami. Jangan dijadwal atau diagendakan secara resmi !”.
Marwanto, koordinator Komunitas Lumbung Aksara (LA) Kulonprogo.