Why should the aged eagle stretch its wings?
(T S. Elliot)
Sahabat, pernahkah engkau memperhatikan bunga teratai merah yang telah tumbuh dibawah air dan tiba-tiba mencuat kepermukaan kolam? Begitulah sebuah fragmen kepribadianmu tampil mengukuhkan presensinya diantara fragmen-fragmen lain, seperti sepotong langit yang melukis kebiruannya sendiri. Kebiruan yang dilukis itu adalah Wajah Sang Lain yang menyingkap sekaligus melenyap. Menyingkap karena wajah itu ternyata mourpheus, dengan morfologi tubuhnya yang simetris dan lengkap, dengan nama yang dapat kau panggil, dengan bagian-bagian indra yang masing-masing bisa dikenali dan dibedakan. Melenyap karena sungguhpun wajah itu berbentuk, engkau tak akan pernah tahu seutuhnya tentang kedukaannya, kebahagiaanya, nasibnya. Bisakah kau terjemahkan pandang matanya tatkala ia menerawang ke arah akanan? Atau pada satu titik dimana matanya bertemu matamu?. Adakah ia berbahagia ketika sesituasi denganmu?. Engkau hanya dapat menduga-duga.
Di sini, aku terkenang kata-kata Emanuel levinas tentang Wajah, dalam suatu wawancara singkat dengan Phlippe Nemo. “Wajah, kata Levinas, adalah makna pada dirinya sendiri. Engkau adalah engkau. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa Wajah itu tidak “dilihat”. Wajah tidak bisa menjadi isi yang engkau tangkap dengan pemikiran, wajah tidak bisa dirangkum, ia menghantar engkau ke sebrang”. Lantas, kita pun bertanya-tanya apa gerangan yang ada disebrang Wajah? Namun, bagaimana kita tahu apa yang di sebrang Wajah, kalau bahkan makna Wajah itu sendiri mrucut. Betapa susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh, kata Chairil Anwar dalam spenggal puisinya. Barangkali, “Kau” yang diseru oleh Chairil adalah Ia yang di sebrang Wajah itu. Maka, bila demikian halnya, setiap Wajah selalu mengandung tilas dari Sang Maha Lain. Ia nampak pada kita, seraya sembunyi. Kehadirannya mustahil direngkuh, sebab setiap Wajah membawa serta kesunyiannya sendiri-sendiri.
Namun kenapa gerangan cuma Wajah itu yang tersingkap atau membukakan diri padamu? bukan yang lainnya? kenapa elang mesti merentangkan sayap-sayapnya?, seperti sekeping pertanyaan TS.Elliot dalam sajak yang kunukil dimuka surat ini. Di sinilah letak misteri itu. Dan sebagaimana setiap misteri, ia menyangkal analisa nalar. Mendadak saja pelbagai kategorisasi tentang yang jelek dan yang jelita, yang anggun dan yang cacat, raib. Epifani Wajah itu oleh sang waktu mengetengahkan atmosfer sakral kedalam setiap rendezous. Ia menggaungkan jejak sayup-sayup dari Yang Suci. Ia menghindar dari segala penilaian. Penyair Coleridge menyatakan prosesi ini dengan frase yang indah, bahwa ia, Wajah itu, “falls sudden from heaven like a weeping cloud”.
Pada momen ketika weeping cloud itu menggelincir ke kanvas sanubari, seketika menyembul visiun-visiun baru, sebentang terra incognita, yang memberi efek ketentraman sekaligus kesakitan. Ini mirip momen puitik dan bahkan profetik. Akan tetapi, bagaimana mesti menerjemahkan visi yang menyerupai melodi? Bagaimana kata-kata mesti menanggungkan percikan imaji? Lihatlah, sahabat, kini engkau terkatung-katung diantara melodi dan visi, imaji dan kata-kata, ketentraman dan kesakitan. Dan tak mungkin bisa lari, sebab Wajah itu sudah memasuk-rasuki segalanya (Everything became a You and nothing was an It, bisik Auden). Bagai getar yang berkelebat dari atas, dari bawah, dari pinggir, dari selatan, dari utara, dari mana-mana, terus-menerus, berpendaran, ad infinitum. Mungkin momen inilah yang disebut mysterium terrible et fascinans (misteri yang menakutkan sekaligus memikat): Sebuah misteri “pewahyuan” dalam ektase waktu.
Nah, sahabat, demikianlah sekadarnya pemaknaan dariku, tentang fragmen perasaanmu pada si gadis jepang itu. Lima atau sepuluh tahun yang akan datang mungkin engkau akan sudah bersatu dengannya, mungkin tidak. Tapi bagaimana pun surat pendek ini telah bersaksi tentang engkau dan dia. Sekali-kali, di lain waktu, mungkin engkau tertarik membacanya kembali. Kini, sebelum undur dari surat ini, baiklah kunukil untukmu satu puisi Tagore yang subtil, yang boleh jadi suatu saat kau bacakan padanya:
Tangan berlekapan dengan tangan dan mata berlena
pandang dengan mata;demikian bermula rekaman kisah
hati kita
Malam purnama di bulan maret ; bau henna yang
harum diudara ; sulingku terkapar lena ditanah dan
karangan bungamu terbengkalai tidak selesai.
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai
sebuah nyanyi.
Kulitmu yang berwarna kuning muda memabukan
mataku
Karangan melati yang kaurangkai bagiku mengge
tarkan hati laksana puji.
Suatu permainan beri dan tahan, buka dan katup
kembali; beberapa senyum dan sipuan lembut serta re
rebutan manis tanpa guna
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai se
buah nyanyi.
Tak ada rahasia diluar kini; tak ada tuntutan untuk
yang langka; tak ada bayang dibalik pesona, tak ada
raba dipusat kelam
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai
sebuah nyanyi.
Kita tidak menyasar lari dari serba kata ke dalam
diam selalu;kita tidak mengangkat tangan bersumpah
janji untuk sesuatu diluar harapan.
Cukuplah apa yang bisa kita berikan dan kita dapat
Kita tidak merusak kegirangan hingga jadi berlebih
an untuk memerah anggur kepedihan dari dalamnya.
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana, bagai
sebuah nyanyi.
( Rabindranath Tagore, Tukang Kebun, kidung bagian ke-16 )
Dengan nukilan dari puisi Tagore tersebut, aku harap, aku telah memungkas surat ini sebagus-bagusnya. Sekian dulu, jangan lupa urus jenggotmu dan sebaiknya potong sedikit rambut ikalmu. Jangan lupa pula, sampaikan salamku pada setiap gadis yang mulutnya bagai wadah mutiara dan giginya seperti barisan biji-biji mentimun. Sampaikan juga salamku buat Agus Sinta, Faisal si cowok distro, dan Sedapati yang senyumnya seksi.
dari sahabat yang menyayangimu:
Tia Setiadi