Puisi-puisi Agus Manaji

GELAP MALAM MENGENALI KITA
- Nurul Aini Sinta Dewi...

Reremah sisa cahaya membentur dinding-dinding rumah kusam.
Mendung merundung, mengaji kesedihan. Gelap malam luruh
di kejauhan. Pertemuan demi pertemuan kita hanya mengupas kabut rindu
di mata, selebihnya luka kembali kambuh, bagai perih daging tumbuh. Mataku
terlampau rapuh untuk nyala merah kerudungmu. Tapi jalan-jalan resah kota,
juga kelam mendung di matamu itu, begitu nyata mengusik
ufuk-ufuk sepiku. Apakah kita hanya bayang-bayang dari warna-warni cinta?
Kau tak mengerti. Aku tak mengerti. Tak seorangpun, Sayangku,
menyapa kita di sini. (Mungkin karena kita pun tak mengenal luka
mereka.) Meski, gelap malam mengenali kita, akhirnya; kenyataan membakar
namamu dan namaku. Desir sesal, memagutku ragu. Helai-helai rambut halus
yang menyembul dari tepian kerudungmu mengarsir murung wajahmu,
memancung linglung nafasku. Berdosakah kita yang mendamba
sebentuk keluarga, menghamba demi kesetiaan sederhana?
Reremah sisa cahaya pada dinding-dinding rumah kusam
karam. Mendung merundung, mengaji kesedihan. Gelap malam
telah tiba di simpang jalan. Aku mesti mengantarmu pulang. Sungguh,
bukankah takkan sepilu ini bayang-bayang, Sayangku?

Desember 2007.


SEPERTI MALAM-MALAM FEBRUARI
- Nurul Aini Sinta Dewi

Kuulungkan beberapa patah kata ke tambir
sepi. Lalu, kaupun tuturkan kisah getir
yang bertahan menyimpan cahaya lirih
sepanjang musim di jalan-jalan kotamu.
Seperti malam-malam Februari
yang memerdekakan awan-awan hitam kumulonimbus,
bersila aku dalam remang, mengaji riwayatmu yang timbul hapus
disapu gelombang amarah para penghuni gua dendam
mengaji juga isyarat
sejak lambai gaun hijaumu
hingga wajahmu teduh yang sungguh
tak lagi berjarak dari kelahiran
dan kematianku.
Dan ketika tiba-tiba kau terbatuk
aku terlempar pada hening Mustofa
saat khusyuk menyimak nasihat Musa
sepulang dari sidratul muntaha.
Telanjang kita untuk linang airmata.
Kau labuh hati agar fasih
menyanyikan puisi cinta-puisi luka.
Pada nukilan kisahmu
gelisahku membara rindu.

Yogyakarta-Gamplong, 2007.


KUCURI TEMPIAS CAHAYA MATAHARI SENJA DARI MATAMU
Nurul Aini Sinta Dewi

Selalu kusinggahi wajahmu, bersekutu dengan angin nakal
mengembarai sabana pipimu; jejak-jejak kesedihan
menanam kenyataan di situ, dan garis-garis wajah bersilangan
dinyalakan sapuan tipis pupur merah jambu. Sungguh,
kerap kucuri tempias cahaya matahari senja dari matamu.
Kumakmumi nafasmu, sembari menawafkan airmata
sepanjang lengkung orbit rindu, memiuh warna pelangi keinginan
dengan serakan debu jalanan. Sebab tak selamanya kita
bisa berontak. Tak semua mimpi pula percik menitik.
Dan karena langit begitu jauh dan angkuh, kasihlah geliat debu
dan rumputan, kasihlah mataair keajaiban, aku pun mencintaimu.

2007.


RABU HENING DI BIBIRMU

Rabu bening di matamu
tak lain retina yang telaga
membasuh kenangan luka
harapan dan senyum kota.
Rabu hening di bibirmu
tak bukan lidah yang yoga
atas timbunan angka dan kata
luruh, menjelma ruh eksitasi
yang purnama.
Membaca Rabu di mata di bibirmu
terbentang berjuta tahun cahaya
menempuhmu.

2007


DEBUR MARET TERULUR

Debur Maret terulur, menjangkau samudera bagi kenangan
tak terkubur. Hilal menunjam punggung awan; sepetik fragmen
cinta yang lirih dan pedih, sebab orang-orang hanya lalu
dan enggan merintih. Tak ada keajaiban lagi, kini,
kecuali legit senyummu. Di bening matamu, Sayangku,
yang setemaram mata ibuku, kulihat satu tanggal mengombak
dan karam pada ufuk tak terukur. Debur Maret telah terulur,
membasahi lagi ingatan pilu tentangmu. Biarlah kusunyikan namamu
dalam rimbun sajak, sembari menyimak teriak gagak. Dan seperti nelayan
membaca rasi-rasi bintang, kusadap cahaya purba yang menghuni
lembah. Sembari menghempas tubuh ke tubir waktu. Menyurung ruh
sepenuh rindu. Menjelma angin mengibar kerudungmu,
agar tersenyum rahasia itu.

2007

Tags:

Share:

0 komentar