Saya pertama kali mengenal nama Mardi Luhung -seingat saya- di lembar puisi di koran nasional. Seingat saya dua kali muncul. Nama itu lalu mengambang di kepala saya. Hingga suatu ketika saya menemukan nama itu lagi di lembar cerpen koran nasional yang lain. Karena cerpen adalah bidang penulisan yang saya geluti, saya membaca cerpennya itu, dan saya sedikit bengong akan imajinasinya yang ndladrah-ndladrah, mengalir dan mengocor terus. Saya mulai mengingat nama Mardi Luhung di benak saya.
Beberapa bulan lalu, saya mewawancarai Sosiawan Leak, yang dari mulutnya keluar nama Mardi Luhung, dan ingatan saya kembali keluar. Sesudahnya -beberapa minggu kemudian-, saya mengobrol dengan Sungging Raga dan dari mulutnya juga keluar nama Mardi Luhung, jadi dua orang yang saya kagumi itu memunculkan nama yang sama, kami ngerasani, ngegosip.
Suatu ketika karena keberuntungan cerpen saya dimuat Suara Merdeka, lalu saya tampilkan di FB, saya taut ke beberapa teman, dan salah satunya ke Simalakama Rindu, dan upps, dia –Simalakama Rindu adalah si Mardi Luhung, Mas Hendri sapaan intimnya- komentar banyak di FB saya, dan mulai saat itulah kami sering bertukar kabar, informasi, dan akhirnya saya ingin mewawancarai beliau. Saya meng’sms’ beberapa teman untuk meminta sumbangan pertanyaan, hal yang baru pertama kali saya lakukan karena selama ini saya selalu single fighter dalam menyusun pertanyaan.
Meminta sumbangan pertanyaan ini saya maksudkan agar lebih lengkap lanskap profilnya karena saya tahu dan menyadari keterbatasan saya dalam penulisan puisi yang selama ini lebih digeluti Mardi Luhung, juga saya ingin bentuk dan isi wawancara bisa berbeda dengan selama ini yang saya hasilkan. Sejumlah teman akhirnya menyumbang pertanyaan yaitu Bandung Mawardi, Sungging Raga, Gendut Pujiyanto, dan Sosiawan Leak. Melalui email, wawancara tertulis, akhirnya saya sampaikan:
REZIM, TRADISI SAMPAI PADA PUISI YANG TERBUKA
Soal rezim sastra di Indonesia. Keberadaannya? Efeknya, siapa-siapa saja di dalamnya? Dan Mas Mardi Luhung masuk rezim yang mana?
Ini adalah pertanyaan yang sulit saya jawab. Kenapa? Terus terang, selama ini, saya lebih banyak menulis dan berproses di kota saya yang bernama Gresik. Dan dari kota Gresik itu saya memublikasikan ke luar. Entah di koran, internet atau antologi-antologi. Dan rasanya, selama ini, saya hanya merasa, jika rezim sastra yang paling membuat saya gelagapan adalah diri saya sendiri. Yaitu ketika kemalasan menimpa dan ide menjadi kering. Sedangkan, di luar itu semua, apa pun namanya, barangkali hanya sebagai bahan bacaan saya. Bahan bacaan yang saya gunakan untuk menulis dan berproses.
Sebagian orang menyebut gabungan cerpen dan puisi cukup sebagai prosa liris, adakah kemungkinan lain yang bisa muncul dari sebuah cerpen yang digarap dengan kekuatan puisi?
Sejak semula, barangkali saya memang (sepertinya) bukan menulis puisi. Tapi menulis cerita. Dan di dalam cerita itu tentu ada tokoh, latar dan persoalan. Dan semua hal itu, jika saya panjangkan, sering disebut orang sebagai prosa liris. Tapi apakah benar itu prosa liris? Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, ketika bentuk puisi (yang cerita dan prosa liris itu) saya udar. Tidak saya ikat dalam bait per bait. Tapi paragrap per paragrap, saya menemukan sebuah kemungkinan yang beda. Kemungkinan tentang cerita yang bertumpuk-tumpuk. Seperti sebuah igau panjang. Yang kadang-kadang, saya sendiri sulit untuk merunutkan plotnya. Jadinya, sampai kini, setiap saya menulis prosa, selalu merasa bukan sebagai pencerita. Melainkan pengigau. Dan asyiknya, di dalam igauan itu, saya enak saja untuk menjadikan yang musykil menjadi tak musykil. Begitu seterusnya. Dan sebaliknya.
Kenapa dengan puisi? Proses, dan kenikmatannya?
Puisi? Tidak ada apa-apa. Cuma barangkali, karena saya seorang peranakan, yang sejak kecil, entah mengapa sulit untuk berhadapan dengan keluarga, baik dari garis ayah (yang Cina), atau ibu (yang Jawa), maka saya suka berbicara dan berimajinasi sendirian. Bahkan, karena kesukaan ini, saya pernah punya pengalaman menarik ketika di bangku SD. Jika tak salah, waktu itu sedang pelajaran berhitung. Dan saya berimajinasi. Rasanya, saya telah menjadi super hero yang pintar bermain sepak bola. Oleh si guru ketahuan. Dan saya pun harus berada di luar kelas. Tapi kok saya malah senang sekali. Dan sejak itu diam-diam (juga ditambah segebok komik yang dihadiahkan ayah), saya pun sering menjalin cerita di otak. Cerita tentang dunia antaberantah, pendekar, sampai super hero pun saya rangkai. Nah, itu terus berlanjut, sampai kemudian, ketika saya di SMP, saya mulai menulis puisi. Puisi apa saja. Dan ketika di SMA (tahun 1984), barulah satu-dua puisi saya dimuat di majalah remaja HAI (Jakarta). Waktu dimuat ini, saya senang sekali. Sebab, oleh guru bahasa Indonesia, puisi itu dibacakan di depan kelas. Dan yang paling nikmat, yang paling tidak bisa saya lupakan sampai kini, adalah ketika si guru itu berkata: “Mari kita bicarakan puisi ini. Mumpung di kelas kita ada penyairnya,” Penyair? Wik, terus terang saya bergetar. Sebab, baru hari itulah, kosa kata penyair bersentuhan dengan diri saya untuk pertama kali. Padahal, jika boleh jujur, ketika saya mengirimkan puisi itu ke majalah remaja HAI, cuma ingin pamer kepada seorang gadis sekelas yang saya taksir. Yang kini telah menjadi istri saya.
Tradisi sastra yang Mas Mardi Luhung warisi dari daerahnya? Ceritakan.
Saya, sepertinya, tak mempunyai warisan tradisi sastra dari daerah. Ya barangkali karena saya peranakan. Tapi, karena gadis yang saya taksir, yang kini telah menjadi istri saya, dan pernah saya pameri dengan satu-dua puisi di majalah remaja HAI itu, dari pesisir Lumpur Gresik, maka saya pun bersentuhan dengan sastra Wacan. Semacam tradisi sastra macapatan pesisiran khas Gresik. Di dalam tradisi ini, saya sering menikmatinya. Bahkan, dengan seorang teman (Made Wirya) dari komunitas De Nagari Gresik, saya telah membuat dokumentasinya. Oya, di tradisi sastra Wacan ini, saya seperti bersambung dengan dunia imajinasi saya. Bayangkan, ketika si pembaca Wacan (yang bernama Nur Hasyim, umur 80 tahunan dan tinggal satu-satunya) membacakan satu-dua bait macapatnya, maka para penikmatnya bisa langsung bertanya. Dan pertanyaannya itu pun bisa geladur atau melantur kemana-mana. Mulai dari suporter ngamuk, pendidikan yang mahal, sampai percintaan yang seru. Dan kegeladuran atau kengelanturan itulah yang begitu membuat saya terpesona. Karenanya, tak heran, jika saat saya menulis puisi atau prosa, selalu saja lanturan itu berzik-zakan. Hampir tak terkira.
Dari cerpen mas Mardi yang saya baca: Sore Ini Sepedaku Menabrak Dinding (Jawa Pos) dan Ikan yang Menyembul dari Mata (Koran Tempo) bernada “tak masuk akal” semacam absurdisme, atau surealisme, seperti masuk dalam dongeng, atau mitos. Pilihan, begitu saja mengalir, atau memang begitu yang paling dikuasai?
Entahlah. Yang jelas seperti yang saya katakan di atas, sejak kecil saya selalu berimajinasi secara sendirian. Dan ketika berimajinasi itu semua bisa masuk. Apakah itu pengelana, dewa yang membawa api, lumpur yang menyerbu kota (dalam Sore ini Sepedaku Menabrak Dinding). Atau, hikayat tentang hari berdarah, wanita yang bernasib sial, tawuran, sampai pada teror bom dan nyawa penasaran (dalam Ikan yang Menyembul dari Mata). Dan apakah hal ini disebut sebagi absurditas, surealisme, mitos atau kontra mitos, sekali lagi saya tak tahu. Saya cuma merasa, setiap cerita saya buka, saya seperti diserbu itu semua. Dan saya pun tidak bisa lain kecuali menyeleksi agar tak terlalu melantur atau geladur. Karena bagaimanapun sebagai si penulis, yang sekaligus pembaca pertama bagi karya sendiri, saya pun ingin mendapatkan arah cerita. Meski kadang-kadang arah itu pun juga sering tak masuk akal. Tapi, ya, itulah yang bisa saya lakukan. Lain itu, sebenarnya ketika menulis dua cerpen itu, saya cuma ketanggor pada adegan dalam film Harry Potter sekuel pertama. Yaitu ketika si Harry menerobos tembok stasiun untuk sampai pada peron yang menuju ke sekolahan sihir (Sore ini Sepedaku Menabrak Dinding). Sedangkan, untuk Ikan yang Menyembul dari Mata, saya terbayang pada seorang lelaki tua. Yang saya temui di sebuah warung kopi di Gresik. Yang bercerita: “Jika dirinya selalu terbayang pada peritiwa berdarah yang pernah terjadi di negeri kita sekitar tahun 1965-an,” Dan di tahun itulah saya lahir. Lahir di bulan Maret. Bulan yang berbintang ikan. Ya, sebuah proses yang barangkali sederhana. Dan mengalir begitu saja. Mengalir seperti cerita si pembaca Wacan ketika ditanya tentang isi dari macapat yang telah dibacanya.
Mas masuk dalam gerbong sastrawan Angkatan 2000 dalam buku Korie Layun Rampan, komentarnya Mas. Perlukah ada sastrawan angkatan seperti itu? Enak juga ya masuk sastrawan Angkatan 2000?
Saya pikir untuk angkatan sastra, itu antara perlu dan tidak. Perlu, mungkin itu bisa digunakan bagi pembelajaran di sekolah (meski bukan hal yang paling penting). Tidak perlu, karena kadang-kadang sebuah kreativitas seorang sastrawan, tidak bisa hanya dibakukan oleh sebuah pembabakan yang resmi (waktu/penanggalan/periode tertentu). Dalam arti, si sastrawan itu bisa bersinar di tahun ini, tapi mungkin tidak untuk di tahun mendatang. Tapi justru malah bersinar lagi di tahun-tahun yang lebih mendatang. Jadinya, ketika saya nyantol di sana, saya pikir sudahlah. Tokh, waktu saya masih ke depan. Masih banyak yang dapat saya kerjakan. Jadi lebih baik, terus memerhatikan. Terus berproses. Dan terus belajar pada yang baru datang (yang kadang-kadang lebih layak untuk masuk di angkatan tadi). Dan juga yang telah lewat (yang mungkin bisa memberikan tenaga lain yang tak pernah saya duga sebelumnya).
Bisa ceritakan buku-buku Mas? Terbelah Sudah Jantungku, Wanita yang Kencing di Semak, Ciuman Bibirku yang Kelabu, dan Buwun. Di antara buku-buku itu mana yang Mas paling sukai? Kenapa?
Yang paling saya sukai adalah Ciuman Bibirku yang Kelabu dan Buwun. Sebab, di Ciuman Bibirku yang Kelabu, adalah buku saya pertama yang mungkin agak lengkap (di periode itu). Sehingga, jika boleh saya katakan, mampu untuk membuka apa yang selama proses kepenulisan puisi saya terselimuti. Sedangkan, di Buwun, ini adalah buku saya tentang sebuah pulau yang merupakan wilayah dari kota saya Gresik. Dan di buku ini, (meski tipis) tapi rasanya saya benar-benar seperti seseorang pelancong yang bisa mendengarkan apa yang ingin disuarakan oleh tempat-tempat yang telah dilanconginya. Suara-suara lirih. Tapi kadang-kadang di saat-saat tertentu malah bisa seperti lenguh kapal besar yang akan menerobos hujan dan badai.
Boleh ceritakan tentang keikutsertaan Mas dalam mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), tempat, acara, dll? Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006, dipilih oleh juri/panitia atau bagaimana? Hal-hal yang menarik di dalamnya.
Untuk semua acara itu, sepertinya memang ada pilihan sebelumnya. Yang saya tahu, saya langsung mendapatkan undangan dari panitia untuk mengikuti acara-acara itu. Dan yang paling menarik, ternyata ketika bertemu dengan peserta lainnya, entah yang berasal dari Indonesia atau luar Indonesia, saya dapat belajar tentang sekian puisi yang beragam. Dengan gaya yang juga beragam. Dan keberagaman itulah yang menjadi pelatuk imajinasi yang segar bagi saya. Tapi terlepas dari semuanya, ketika sepulang dari acara-acara semacam itu, selalu ada kesadaran, bahwa sebenarnya apa yang saya lakukan belumlah apa-apa. Jadi harus kembali untuk berproses. Dan berproses. Sampai kapan? Barangkali sampai batas ketika saya memang benar-benar selesai.
Komentar Mas tentang kondisi sastra kita, dari puisi, cerpen, novel, esai? Yang muda yang menonjol, mungkin, atau yang lain.
Wah, dalam dunia sastra, saya cuma mengamati puisi. Baru belakangan saja (dua tahun ini), saya sedikit-sedikit mengamati cerpen. Dan bagi saya, meski tak lengkap, ada beberapa penyair berusia muda yang bagus. Yang setiap saya membaca karyanya, saya seperti mendapatkan tenaga imajinasi baru. Penyair-penyair itu, seperti: Toni Lesmana, Tawar (mungkin Mahwi Air Tawar ~red Han Gagas), Lelaki Rumput, Kekal Hamdani dan beberapa lainnya yang saya lupa namanya. Dan tentang kondisi puisi itu, saya pikir juga cukup membahagiakan. Sebab, ternyata, puisi-puisi mereka yang bagus itu, tidak hanya terpublikasikan di koran. Tetapi juga di terbitan-terbitan kecil dan internet (misalnya: FB): sebuah dunia puisi yang langsung bisa terapresiasi oleh penikmatnya secara terbuka. Itu saja.
Han Gagas, 12 Oktober 2010