sayembara menulis puisi tingkat umum
tema : indonesia hari lalu, hari ini, hari esok
hadiah total ratusan ribu rupiah dan puisi-puisi terpilih akan dibukukan
pada pawon edisi khusus puisi yang akan diacarakan di GreenHouse akhir agustus
• naskah puisi diprint dan dicopy dalam bentuk cd.
• naskah dilampiri formulir pendaftaran (yang ada di Pawon ed. Agustus), dan dikirim ke :
secara langsung : charabook, Jl. Ir. Sutami 25 (perempatan sekarpace)
secara pos : eLtorros, vila bukit cemara no. 1 mojosongo solo
• naskah paling lambat diterima tanggal 30 Agustus 2008 (cap pos)
• pemenang akan diumumkan di pawonsastra.blogspot.com tanggal 6 septemper 08
• acara launching akan diacarakan tanggal 8 September 2008 di GreenHouse,Sriwedari
didukung
Pawon GreenHouse CharaBook
contact person :
yunanto 085293326766
yudhi 0271.7016320
Oleh: Abdul Aziz Rasjid
Tulisan ini ingin menyoroti salah satu sastrawan sekaligus penyair yang tiada henti, berusaha memberikan kontribusi bagi pembangunan kebudayaan Indonesia. Taufik Ismail (Lahir 25 Juni 1935) salah satu sastrawan yang memiliki keinginan besar untuk memajukan budaya bangsanya, utamanya pembangunan budaya membaca dan menulis bagi putra putri Indonesia. Dengan adanya keinginan ini ia telah memberikan gagasan pemikiran, kepeloporan, dan kepedulian untuk kemajuan budaya bangsa, yang diwujudkan dalam gerakan sastra bagi generasi bangsa di sekolah-sekolah menengah dan universitas
Latar Belakang Gerakan Sastra
Gerakan sastra yang digagas Taufik Ismail, ada bukan tanpa sebab, didasari keresahan yang mulai terpatri pada tahun 1953-1956 Taufik merasa bahwa dirinya bersama puluhan ribu anak SMA lain seangkatannya di seluruh tanah air telah menjadi generasi nol buku, yang rabun membaca dan pincang mengarang. Nol Buku disebut karena pada kala itu, mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga generasi yang ada “rabun membaca”. Sedangkan istilah “pincang mengarang” adalah karena tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah. Keadaan generasi yang pincang mengarang dan rabun membaca inilah yang juga diindikasikan Taufik menjadi sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini, karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Negara di seluruh strata, baik di pemerintahan atau swasta.
Untuk membuktikan keresahannya ini kemudian taufik melakukan perbandingan pelajaran membaca dan mengarang antara siswa Indonesia dan siswa dari beberapa negara lain, dalam sebuah survei sederhana ia mendapat perbandingan yang mencengangkan. Di saat pelajar Indonesia tidak mendapatkan tugas membaca dan mengarang, pelajar SMA di Amerika Serikat sudah diharuskan membaca 32 buku, bahkan negara berkembang Thailand sudah diharuskan membaca lima buku.
Didorong keresahan yang semakin menguat lahirlah keinginan yang kuat pada diri Taufik Ismail untuk mewujudkan kebudayaan membaca dan menulis pada generasi bangsa agar lebih baik. Ia bersama Horison (Majalah sastra dimana Taufik Ismail menjadi Redaktur Senior dan salah satu Dewan Redaksi) menyusun enam butir kegiatan gerakan sastra bagi Pendidikan Sastra di Indonesia, dimana sasarannya adalah siswa SMU hingga Mahasiswa. Bentuk-bentuk kegiatan sastra berupa Sisipan Kaki Langit (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) dalam Majalah Horison, Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk Guru Bahasa dan Sastra di seluruh propinsi (Februari-Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM).
Kenapa harus sastra?
Taufik Ismail menjawab, membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing.
Gerakan Sastra Sebuah Program Nasional
Gerakan sastra yang digagas Taufik Ismail bagi Pendidikan Sastra di Indonesia dapat dikatakan sebuah program nasional. Disebut program karena gerakan sastra Taufik memiliki kejelasan tujuan, metode, sasaran, target, parameter, waktu, dan eksekutor. Disebut nasional karena wilayah yang dibidik bersifat menyeluruh (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK, dan mahasiswa setanah air)
Tujuan: gerakan sastra ini melihat latar belakang gagasannya memiliki kejelasan tujuan yaitu menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar Sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa.
Metode: Menurut hemat penulis enam butir kegiatan sastra yang berupa Sisipan Kaki Langit (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) dalam Majalah Horison, Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk Guru Bahasa dan Sastra di seluruh propinsi (Februari-Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) merupakan metode.
Dimana metode ini saling terkait dan memperkuat varian-varian yang dapat menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar-pelajar di sekolah menengah, santri pesantren , maupun mahasiswa.
• Sisipan Kaki Langit (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) secara tidak langsung membuktikan bentuk kepeloporan Taufik dan keseriusannya dalam mewujudkan keinginannya dalam pembentukan budaya membaca dan menulis untuk pelajar SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK. Buktinya Taufik sebagai Redaktur Senior dan salah satu Dewan Redaksi mampu menjadikan Horison sebagi alat untuk mencapai tujuannya, karena dilihat dari isinya Kaki Langit menurut hemat penulis memiliki hubungan dengan tujuan Taufik, yaitu: Pertama, Sosok dan karya di kaki langit yang mengenalkan pada siswa tentang beberapa sosok sastrawan Indonesia, karyanya, ulasan karya dan proses kreatifnya dapat dijadikan influence bagi siswa untuk menulis, mengambil referensi, sebagi pemacu semangat dalam proses kreatif penulisan siswa. Kedua, kaki langit menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya, bagi siwa di sisipan kaki langit ini mereka dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai dimana karya siswa ini lalu diulas oleh Horison, ulasan ini dapat dikatakan sebagai edukasi dan evaluasi dari pengembangan tekhnik menulis bagi proses kreatif siswa, sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia dapat berbagi pengalaman dalam metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Untuk mempermudah akses pengkomsumsian pada siswa, Sisipan Kaki Langit Horison dibagikan ke SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK secara gratis, disini dapat dikatakan bahwa Sisipan Kaki Langit Horison sebagai media gerakan sastra taufik bertekad untuk menjumpai mereka secara langsung di tempat mereka mengenal karya sastra.
• Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk Guru Bahasa dan Sastra di seluruh propinsi (Februari-Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) sebagai ajang promosi gagasan pemikiran Taufik untuk membudayakan membaca dan menulis, dan juga perjumpaan secara langsung Taufik dan sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.
Sasaran: Dalam perkembangan gerakan sastra yang bertujuan menggairahkan budaya membaca dan menulis, ternyata tidak hanya mahasiswa dan pelajar yang dijadikan sasaran gerakan sastra Taufik tetapi juga Guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal ini penting karena Guru Bahasa dan Sastra adalah eksekutor terpenting dalam lingkup terkecil (Sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis.
Target: tentu saja dilihat dari tujuan gerakan sastra taufik maka target yang diharapkan adalah terciptanya budaya menulis dan membaca di pelajar dan mahasiswa maupun guru.
Parameter: Adanya kebudayaan membaca dan menulis bagi siswa SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK dan Mahasiswa. Melihat parameter yang diharapkan, maka secara ringkas hasil idealnya adalah adanya karya yang dihasilkan oleh siswa SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK dan Mahasiswa. Persoalan selanjutnya bagaimana karya mereka (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat terkonsumsi oleh masyarakat?
Untuk mengkaji hal ini tentu kita harus mengkaji lebih dalam tentang banyak hal, tetapi dalam penulisan ini penulis mengkonsentrasikan diri untuk membahas sebuah soal, yaitu Sistem Industri budaya (lebih khusus akan berbicara masalah penerbitan karya). Kekhususan terhadap pembahasan diatas bukan berarti menafikkan faktor lain tetapi untuk tetap segaris dengan tujuan penulisan.
Sistem Industri Budaya
Secara umum keadaan Sistem Industri Budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri yang market oriented dimana secara jelas mengejar pengembangan modal dan kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.
Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Singkatnya idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar oleh penulis harus dipinggirkan dan tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Efek yang terjadi penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan karya hanya untuk popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.
Sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal, dalam bidang sastra seperti Horison, Komunitas Sastra Indonesia, forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu. Konsekuensi logis bagi penulis, karyanya agar dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standard yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini memberi kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya tetapi memang harus sesuai standard yang dipatok, maksudnya jika yang dihasilkan karya sastra maka karya memiliki standar estetik yang dipatok komunitas itu, hasil yang didapatkan jika penulis tetap bertahan pada idealisasinya maka akan lahir tenaga ahli produktif dimana karya bersifat murni pemikiran yang dieksperimenkan dalam proses kreatif.
Di sinilah menurut penulis letak pekerjaan rumah terpenting gerakan sastra Taufik, yaitu generasi hari ini harus dapat membuat karya yang memiliki standar yang baik di bidang penulisan apapun, agar penulis menjadi tenaga ahli dalam bidangnya bukan hanya tenaga kerja.
Pertanyaannya, bagaimana menciptakan penulis-penulis dengan karya yang mempunyai standar baik.
Independensi Akal Pikiran dan Keberanian Berpikir
Taufik Ismail dalam hemat saya adalah model bagi independensi akal pikran sekaligus model keberanian berpikir. Mengapa saya mengatakan demikian, karena dalam program gerakan sastra yang dipelopori Taufik, potensi berpikir dia dalam menganalisis kehidupan jamannya dan otoritas yang ia miliki, tidak lantas menjadikan dia sebagai agen pelestari dari otoritas pemikiran mapan.
Ia dengan kesadarannya mengetahui bahwa generasi yang ada adalah generasi nol buku dan pincang mengarang tetapi ia tak kunjung diam, tetapi mengelola keresahannya dalam sebuah gerakan untuk mengubah hal itu. Semacam melakukan pencerahan.
Tetapi, gerakan yang ia lakukan saya kira masih bersifat elitis yaitu terpusat dimana gerakan ini eksis bertumpu pada keeksisan Horison saja. Padahal tidak selamanya Horison itu ada, dan dapat menampung semua gagasan-gagasan pemikiran yang dituliskan dalam bentuk karya sastra, apalagi jika karya tersebut tidak sesuai standard yang dipatok Horison.
Lalu saya kira, untuk menularkan independensi akal pikiran dan keberanian berpikir yang dimiliki Taufik, sudah seharusnya ia mengubah diri dari gerakan elitis menjadi gerakan populis. Dimana gerakan ini bertumpu pada basis-basis terendah (daerah), dengan menggunakan kepopulisan, kepeloporan Taufik di antara para sastrawan yang tersebar di daerah untuk dirangkul bersama, menggelorakan independensi akal pikiran dan keberanian berpikir untuk mensuarakan kebutuhan-kebutuhan daerah, memprasastikan permasalahan daerah, lewat karya sastra.
Berarti di sini akan lahir banyak komunitas sastra, entah di kampus bagi mahasiswa, di pesantren bagi para santri, atau bersama dengan pelajar, pecinta sastra ditempat-tempat tertentu yang disepakati. Sastrawan yang sudah punya nama di daerah menjadi penggagas daya berpikir, mengedukasi, dan juga sekaligus eksekutor gerakan sastra Taufik, kelebihannya sastrawan mengeksekusi langsung, pengalamannya dapat dijadikan rujukan karena disini sastrawan benar-benar mengetahui medan, sehingga tidak gagap dalam membaca tanda-tanda. Lewat komunitas ini karya sastra dapat diperkenalkan, dimana buku sastra digunakan untuk mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum, dan juga dapat dianalisa dan dipelajari lebih dalam. Di lain sisi komunitas ini juga akan sebagai ajang latihan menulis, saling mengevaluasi, untuk mempersiapkan individu di dalamnya mampu menulis di bidangnya masing-masing dengan secara matang. Dan lebih penting menyatukan independensi pemikiran dan keberanian berpikir secara bersama.
Sekaligus hal ini juga dapat mengikis kapitalisasi produk sastra karena jika diibaratkan tanah maka sabuk hijau atau hutan sudah diberdayakan. Hal ini penting, karena penulis muda tidak akan berorientasi financial reward tetapi lebih berorientasi mensuarakan keadaan jaman. Dan karya sastra tidak terjebak lagi pada inovasi bentuk tetapi dengan sendirinya akan memasuki pada inovasi isi.
Jika kemudian hal ini dipersoalkan dengan masalah pensosialan karya, saya kira masih terdapat banyak ruang alternatif yang bisa digarap agar masyarakat membaca karya, persoalannya tinggal bagaimana penulis-penulis memaksimalkan diri dalam berkarya, sambil bersama komunitas yang ada menyiasati peluang-peluang pemasaran dan mengenalkan karya pada masyarakat.
Karya sastra akan benar-benar mensuarakan, memberi pencerahan pada pembacanya, menyadarkan akan keadaan zamannya. Dan bukankah karya yang ditulis dan dibaca untuk generasi pasca gerakan sastra Taufik nantinya tidak hanya didasarkan melahirkan generasi yang eksis untuk terus menulis dan membaca, tetapi generasi dimana karya yang dilahirkan adalah karya berkualitas dan dapat berbicara tentang tanah airnya pada dunia.
Jika kemudian persoalannya adalah karya sastra masih ada yang tak mendapat ruang, itu bukan berarti karya tersebut dikatakan gagal, sepaham dengan pemiran Ahmadun Yosi Herfanda, saya menyetujui bahwa pada akhirnya: Karyalah yang akan bicara kepada dunia bagaimana sesungguhnya kualitas kesastrawanan seseorang dan dimana ia harus ditempatkan dalam sejarah sastra suatu bangsa.
Purwoketo, Mei 2008
Abdul Aziz, lahir di Malang 4 Maret 1985. Esainya termuat dalam buku antologi The Spirit Of Love (LPM Obsesi STAIN Purwokerto-Bukulaela). Mahasiswa Fak Psikologi UMP, bergiat di Teater Wungu Psikologi dan Komunitas Sastra Bunga Pustaka. Juga menulis cerpen dan puisi tetapi belum terpublikasi. Alamat Jln. Kenanga 2 M3 No 1 Rt 09 Rw 10 Desa Ledug, Kec. Kembaran, Kab. Banyumas,. Purwokerto, Jawa Tengah, 53182.
Oleh: Mohamad Fauzi
/1/
Hal yang paling susah untuk aku tulis selama ini: Aku, Fauzi. Namun aku harus memberanikan diri untuk menggerakan syaraf-syaraf jari yang sudah seakan lumpuh untuk bergerak. Teman aku pernah bilang bahwa aku itu hampir punya pendapat untuk segala hal, kecuali satu: Fauzi, aku sendiri. Tentu, teman aku itu terlalu membesar-besarkan.
Aku yang sekarang memang bukan aku yang dulu. Aku sudah bermetamorfosis menjadi “dia” yang jauh nan asing. Dia, karena aku harus juga mencarinya untuk memahaminya. Dan untuk itu aku harus bertanya. Apakah dia berada di antara sel-sel otaknya, dalam arti dia sudah menjadi manusia rasionalis? Dia sekarang agak lebih suka berpikir hampir hal-hal yang menurut orang filosofis-ontologis. Dia, sudah mulai menjelajah yang hal-hal di luar dunianya yang dulu yang sederhana dan mudah. “Mencoba untuk peka terhadap keadaan yang terjadi pada orang-orang di sekelilingnya, masyarakatnya, negaranya, dunianya,” katanya.
Apakah dia berada di sel-sel hatinya yang mulai membeku, menjadi manusia perasa namun tidak bisa merasakan akan dirinya sendiri? Dia, dalam perjalannan yang sedang singgah di halte kehidupan kampus ini, sedang mencoba membangun Dunia Es yang sunyi dan dingin. Dia sudah mulai membeku sejak entah kapan. Tapi aku tidak tahu kapan musim kemarau ataupun musim semi akan menghampiri dia. Aku asing akan dia dan dunianya.
Dia, Fauzi, memang bukan Chairil yang lantang mendeklarasikan dirinya:
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Aku memang tidak serta merta menjadi “aku” yang “sudah sampai waktuku”. Aku masih tersesat di antara menit-menit, dan detik-detik kehidupan yang sesaat ini. Aku sering kali bingung terhadap diri ini yang men-dia, yang lain lagi bukan aku. Aku sering berpikir aku sudah menjadi “binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya”. Betapa tidak, untuk menyapa teman-temanya saja dia begitu merasa asing terhadap mereka.tentu bukan karena teman-temannya yang berrubah tapi Karen aku telah menjadi seorang “dia” yang jauh dan asing. Dia pernah menceritakannya masalah ini pada beberapa teman, dan sayangnya hanya pada satu orang teman saja dari satu kelas kuliahnya.
Tapi sering kali, dan berkali-kali, dia begitu merindukan canda tawa teman-temannya. Dia merasa betapa susah hidup tanpa teman-temanya. Dunia memang terkadang terasa begitu luas, saat-saat dia berada di pingggir halaman-halaman buku. Dia seorang bibliofilisme—paling tidak itulah obesesinya, yang jika dosennya mengajarkan hal-hal yang menurut dia sebenarnya mudah saja dibaca di halaman-halaman buku dan tentu saja lebih lengkap, maka dia sering kali memboloskan diri untuk mencari yang “lain”. Tapi dia ingin sekali menjadi mahasiswa yang benar, sekali lagi dengan kata “maha”, dan benar-benar mahasiswa.
Tapi, pernah suatu ketika dia terjebak di perpustakaan. Saat itu hujan deras dan dia sudah begitu lama memelototi halaman-halaman buku, dia ternyata merindukan teman juga. Padahal menurut sebuah petuah yang terdapat dalam sebuah buku dikatakan bahwa teman terbaik adalah buku. Karena jika seorang berteman dengan yang lainnya maka bisa jadi temannya itu lebih bodoh dari dia dan itu berbahaya; atau bisa jadi temannya itu lebih pintar tapi hal ini akan menghalanginya untuk lebih baik dan pintar karena orang itu akan terus berada di bawah baying-bayang pemikiran temannya itu, kalau dia tidak bisa memamnfaatkan temannya itu; dan bisa juga dia berteman namun si teman itu Cuma akan menjerumuskannya terhadap situasi yang tidak kondusif (maaf aku lupa kata-katanya yang tepat, seingat aku buku itu berjudul Humor, Petuah, Sufi).
Dan sayangnya dia menghendaki seorang teman yang bisa membuat tertawa, menangis, resah, gelisah, gundah, tidak menentu, akan tafsiran-tafsiran dan pemikiran-pemikiran tentang makna, arti, perjuangan kehidupan bahkan hal-hal yang tidak masuk akal dan tidak mungkin dirasa. Dia menyebutnya sebagai seorang “Teman Sepembelajaran”. Dan dia tidak peduli apalah temannya seorang pengangguran, pengemis, si gila, hedonis…Anehnya belum ada orang yang mau memperkenalkan dirinya sebagai seorang teman sepembelajaran! Tidak juga dosen-doesnnya (dia pernah menulis tentang masalah ini).
Ah, barang kali ini cara lain untuk memahami dan mengerti tentang apa itu teman, sahabat, kawan dan entah apa lagi bahasanya. Tapi sering dia merasa harus menjadi “peng-abadi” dari ekspresi persahabatan, terutama saat dia membawa kamera. Sering dia ditegur sama orang, “Kok fotonya teman-teman kamu semua! Mana fotomu?” Dia cuma bergumam bahwa suatu saat dia mungkin berkesempatan untuk menuliskan kenapa harus seperti itu (dan dia sudah menuliskannya dengan judul “Potret-potret Imajiner”. Agak jelek sih tulisannya. Maklum baru belajar menulis).
/2/
Dia tidak sampai begitu tega untuk tidak menerima “rayuan” yang menghinggapi setiap sel otaknya, seperti yang dialamai oleh Chairil. Dan ini sering kali memosisikannya pada hal-hal yang paradoks: menerima rayuan dan menghujat rayuan kuliah. Inilah salah satu penyebab kenapa dia sering kali tidak masuk kuliah walau setiap hari ke kampus, dan sering terjerat di perpus, kakus, dan akhinya pupus di ujung penyesalan.
Dalam persepsi dia, orang tidak akan pernah menjadi “pintar” (kalau harus memakain kata ini. Aku lebih suka kalau pintar diartikan sebagai pembelajar) kalau terlalu banyak kuliah dengan system yang diterapkan pada dia, sekali lagi system yang diterapkan pada dia. Dalam sejarah belajar dia, adalah suatu yang ironis sekali bahwa dia tidak bisa membaca sampai hendak menginjak kelas enam SD, untuk ikut ujian akhir nasionl.
Kejadian ini memberi warna trauma pada dia dan memberikan stimulasi untuk terus berpikir, ada apa dengan dirinya sampai sebegitu bodohnya. Pada akhirnya dia membuat suatu kesimpulan yang lumayan aneh untuk anak yang lulus SD: “Jangan pernah mengandalkan gurumu; sekali-kali jangan mengandalkan gurumu; cukup dihormati saja. Tidak pernah ada seorang penemu teori, penemu(an) ilmiah, yang disebabakan oleh pelajaran gurunya. Einstein menemukan teori E=MC2 tidak karena belajar pada seorang guru, atau diajari seorang guru. Tidak dia belajar sendiri. Inilah yang terjadi pada semua ilmuan di dunia ini.”
Kesimpulan ini sempat membawanya menjadi orang yang sedikit lebih “pintar” dari beberapa orang temannya saat dia menginjak bangku SMP dan mondok di pesantren (pernah juga dia menjadi ‘santri teladan” gara-gara kegilaan belajar sampai lupa untuk tidur. Dia tidur Cuma tiga jam dan selebihnya kebanyakan untuk membaca dan berdiskusi). Lebih baik dari pada dirinya yang menjadi orang paling bodoh di antara teman-temannya waktu SD.
Saat berada di pondok, dia seakan menemukan tempat yang enak untuk menjadi orang “aneh”: orang memegang kunci perpustakaan, orang yang awal dalam memulai berdiskusi, orang yang paling awal menghafal rumus-rumus yang tertera dalam ratusan lembar halaman buku, orang yang terdepan dalam mencuri Koran dan buku-buku, entah punya siapa, untuk dibaca dan dikembalikan lagi, tanpa sepengetahuan pemiliknya…Dia menemukan tempat yang pas untuk mempraktikkan “kesimpulan-kesimpulan”-nya waktu SD.
Pada posisi ini, dia sudah tidak peduli lagi akan sebuah nilai angka-angka. Yang dia butuhkan adalah secuil ilmu yang matang dalam proses penalarannya sendiri. Jadi dia tidak begitu senang saat dinobatkan sebagai santri teladan, bahkan dia merasa tercemooh.
Pada waktu itu ada sesuatu yang membuat dia merasa sungguh “Fauzi” (artinya, “beruntung; kemenangan”, dari bahasa Arab). Dia bisa menghitung seberapa bodoh dan seberapa pintar dirinya dibandingkan dengan dirinya yang lalu dan dibandingkan dengan teman-temannya. Dia bahkan, kalau pulang ke Madura, merasa punya sesuatu untuk dilaporkan pada almarhum ayahnya saat berziarah dan berdoa. Dia sering menangis lega dan bangga bahwa dia sudah mengerjakan perintah ayahnya yang tidak sempat dia ingat seperti apa rupanya. Ayahnya meninggal sebelum dia masuk Taman Kanak-kanak (TK).
Dia akan bercerita pada roh ayahnya bahwa dia sudah menghafal buku A, dia sudah menyelesaikan kitab B, dia sudah memahami masalah C…Dia senang karena sudah menjalankan perintah ayahnya yang dia ingat sampai sekarang, walau tidak dikatakan padanya secara langsung: “Semua anakku harus pernah mondok; yang penting kamu belajar, mengaji, dan ibadah.”
Namun dia “dipaksa” keluar dari pondok setelah sekitar empat tahun. Kondisi pondok saat itu akan membuat dia tidak akan kondusif lagi. Cuma akan membuatnya membangkang pada situasi dan kondisi pondok dan pengampunya. Dia tidak begitu memahaminya dan entah kenapa dia juga mengikutinya. Setelah itu, pergi ke Solo. Di sini dia diberi dua pilihan: mondok lagi di Sarang Jawa Tengah, atau kuliah. Dia memutuskan untuk mencoba hal yang baru, kuliah.
/3/
Kondisi di atas sedikit berbeda dengan yang dia hadapi di kampus. Pada awalanya dia mengira bahwa kondisi akademis kampus dan mahasiswa pastilah sesuatu yang sangat menarik seperti yang dia baca dalam beberapa literature, terutama karena kampus mengikuti system pendidikan sekuler Barat. Dalam tradisi pendidikan sekuler Barat, orang diajarkan untuk berperilaku skeptis, dinamis, yang penuh dengan kuriusitas akan ilmu pengetahuan. Dia ingat Rene Descartes, John Locke, Derrida...Sebenarnya hal ini sama dengan tradisi ilmiah Islam pada masa Harun Ar-Rosyid.
Maka, dengan landasan tradisi Barat itu, adalah sebuah kewajaran bahkan keharusan untuk menciptakan sebuah forum-forum terbuka untuk saling bertukar pikiran bahkan saling mempertentangkan pikiran, ide-ide, yang dikemas dalam diskusi umum, polemics, protes pemikiran dan sebagainya. Mahasiswa dan dosen sama dalam mengajukan, mengiyakan, mendukung, menolak, memprotes sebuah pemikiran atau ide. Dan yang terjadi dalam kelas kuliah adalah sebuah pertukaran ide-ide, pemikiran, konsep-konsep, bahkan teori-teori.
Kenapa harus perdebatan, pertentangan, diskusi, protes dalam forum-forum terbuka? Jawabannya sederhana: tidak ada ilmu yang pasti, absolute benar seratus persen, bahkan matematika da fisika. Kita mungkin masih ingat film Beautiful Mind yang menceritakan seorang matematikawan, John Forbes Nash (diperankan oleh Russell Crowe). Yang menarik baginya adalah sebuah lingkungan akademis yang begitu sempurna untuk mengembangkan basis pemikiran dan mencari, meneliti, bahkan, ini yang penting, menolak pemikiran yang sudah berumur 150 tahun dan dianggap benar oleh hampir seluruh pemikir yang ada kala itu.
Kita mungkin juga masih ingat peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus. Dialah orang Banglades pertama dan di dunia yang meraih hadiah noble perdamaian yang bukan dari sebuah konflik fisik, namun sebuah konflik batin-akademis atas rakyat Bangladesh yang miskin. Gumam dan protesnya: “pasti ada yang salah dengan apa saya pelajari dari buku-buku tentang teori-teori ekonomi....Aku harus belajar lagi pada para pengemis jalanan...” Inilah protes, bukan sekadar otokritik, yang dilakukan oleh seorang professor ekonomi lulusan Amerika. Dia tidak percaya dan protes atas dirinya dan memang dia berhasil belajar dari para kaum miskin perempuan Bangladesh dengan Bank Kaum Miskinnya (Grameen Bank). Gumammnya dalam buku yang mencerikana keberhasilan dan jerihpayah belajarnya, “Ilmu tentang Grameen Bank tidak pernah ada dalam buku-buku.”
Dalam kondisi akademis seperti itu, dosen bukan seorang penceramah-penghotbah yang setiap ucapannya pasti benar. Pada perkembangannya dia mulai melakukan hal-hal yang lain di luar kuliah reguler. Dia, yang pada awalnya merasa bosan dan ingin tertantang, akhirnya terjebak juga tagihan.
Candu memang selalu enak dan manis pada awalnya. Namun, jika itu tidak dilakukan dengan baik, maka sebuah kecelakaan akan menimpa. Memang dia sadar akan resiko yang akan menderanya. Setiap pulang dari kampus (untuk tidak mengatakan kuliah) dia selalu ditagih oleh nurani otaknya, “ Apa yang telah kau dapatkan hari ini? Ilmu apa yang kau pelajari sepanjang waktu hari ini?” Ditanya dan ditanyakan, setiap hari. Jawaban memang tidak selalu ada. Namun yang paling menyedihkan dan menyiksanya adalah saat dia masuk kuliah namun tidak mendapatkan apa-apa.
Terkadang dia kembali pada kesimpulan-kesimpulan waktu dia masih SD dulu. Dan pada akhirnya dia akan lebih senang kalau Cuma ke kampus dan ikut seminar, pergi ke perpsus…Ada penawar dari dera pertanyaan itu, terkadang. Namun, adakalanya dua-duanya memberikan angka nol.
Pada ke sempatan lain, nurani batinnya sering kali menagih dan menginterogasinya, “Apa yang telah kaulakukan? Apakah kau mau menjadi makhluk yang tidak bertanggung jawab, terutama terhadap orang tuamu, orang yang membiayaimu—daftar disini bisa diperpanjang? Untuk pertanyaan yang menyangkut moral ini, dia selalu kalah dan tidak mempunyai jawaban yang tegas. Dia merasa kecil dan hina. Tidak ada apa-apanya.
Interogasi ini akan mencapai puncaknya saat dia pulang ke Madura. Di depan sebuah batu nisan yang tanpa nama, tapi dia tahu itu adalah ayahnya yang penuh kasih, dia tidak bersuara. Tanpa punya argumen untuk membantah, mengiyakan, menyanggah dan entah apalagi, sebagaimana biasa dia lakukan terhadap pemikir dan terhadap pendapatnya sendiri. Dia seakan kelu, bahkan tak berlidah. Diam. Hatinya bercucuran...Padahal, kau tahu, tidak ada seorang bersuarapun di sana. Sepi sunyi. Hanya sesekali beberapa angin bertiup menerpa beberapa dahan pohon dan kicauan burung-burung sedang bermain dan mencari makan.
Beberapa waktu yang lalu (bulan Maret lalu), saat dia berada di atas batu nisan itu, dia cuma sesenggukan sendiri. Menangis lirih. Pedih. Hujan yang mengguyur dirinya seperti tidak pernah menyentuh kulitnya. Tidak terasa ada deras titik-titik putih menghujam sekujur tubuhnya. Dia kalah.
Tapi, untuk beberapa waktu dia masih tetap dengan pilihannya itu. Dia sering merasakan pedih perih, namun tidak bisa dihilangkan dengan cukup berlari dan berlari dan berlari dan berlari…
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dia, secara fisik lebih jelek dan secara intelektual jauh lebih buruk lagi, jika dibandingkan dengan Chairil. Tapi dia hanya binatang jalang yang membuangkan dirinya entah ke mana. Dia mulai jauh dari teman-temannya sejak beberapa semester yang lalu. Aku tidak bisa mengikuti langkah kakinya. Aku sebenarnya sudah bosan dengan polahtingkahnya yang terlalu keakuan, egoistis-indivdualistis. Apakah telah sukses dengan gemilang pelajaran Barat tentang individualisme—bukan egoisme? Kalau aku sedikit menyimak perilakunya, sepertinya aku harus menjawab, “Iya.” Sudah ada beberapa kawannya yang mengatakan hal itu.
Bahkan ada kabar atau lebih tepatnya pertanyaan: Apakah dia itu sudah berlainan keyakinan? Ini dari salah satu temannya yang sudah pernah membaca salah satu tulisannya tentang pluraritas, “Scripta Manent: Dari Catatan Ke Gerakan, Pembelajaran, Sampai Pencerahan”. Tapi sebenarnya tulisan itu, menurut aku, tentang arti penting membaca dan menulis sebagai bagian dari ibadah tertua dan paling utama. Mungkin temannya itu terlalu fokus pada kutipan lead yang mengambil perkataan filosof Prancis, Jean Paul Sartre: “Telah ‘ku temukan agamaku; tidak ada yang lebih penting dari pada buku; aku menganggap perpustakaan sebagai tempat ibadahku.”
/4/
Terakhir, aku ingin menjadi aku, bukan dia. Aku ingin lebih perduli pada dunia, negara, guru-guruku (dosen), keluarga, teman-teman, paling tidak pada diri ini. Aku memang belum sependapat dengan Chairil:
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Aku tidak mau hidup seribu tahun lagi. Aku hendak menjadi arti. Aku masih sering bermimpi, dan masih punya satu mimpi. Tidak terlalu besar untuk sebuah mimpi. Namun sebentuk getaran yang terus menderasi kehausan jiwa ini. Ia membuat bulu kudukku bendiri. Aku merinding entah kenapa. Aku merinding setiap melihat anak kecil menangis, aku merinding setiap kali seorang ilmuan disebut, aku merindng setiap kali melihat orang yang penuh dengan semangat…
Aku masih yakin, yakin tentang mimpi itu…Walau diri ini…ahh, mari berdoa.
Surakarta, 12 April 2008
Mohamad Fauzi, Lahir 5 Mei 1984 (Ijazah) atau 18 April 1984 (KK). Kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Alamat Pucang Sawit RT 003 RW 014, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57125. E-mail: fauzi_sukri@yahoo.co.id.
Beberapa tahun belakangan, eksistensi website atau situs sastra—sebagai media sosialisasi sastra—bisa dikatakan benar-benar redup. Selepas debat soal “sastra cyber” lewat, pelan-pelan eksistensi website sastra yang menampung dan menerima kiriman karya sastra makin tertelan hiruk pikuk sastra di lembaran-lembaran koran. Akhirnya kita harus mengakui: koran tetap menjadi “pilihan utama” mempublikasikan karya sastra. Sadar atau tidak, koran bahkan menjadi “patokan pertama” dalam menilai perkembangan sastra Indonesia hari ini.
Selain koran, milis juga menjadi tempat berlangsungnya hilir mudik karya sastra. Meski fungsi milis tentu saja jauh berbeda dengan koran, tapi mereka yang berminat ikut milis makin hari makin tambah. Jumlah karya yang dikirim ke sebuah milis sastra yang terkenal—seperti Klub Sastra Bentang atau Apresiasi Sastra, misalnya—bisa mencapai puluhan tiap harinya. “Media baru” semacam weblog juga makin diminati sebagai sarana meng-online-kan sastra. Sejumlah penulis ternama yang biasanya hanya mempublikasikan tulisan di dunia offline, belakangan ramai-ramai membuat blog pribadi.
Website sastra, sebaliknya, seolah makin tenggelam, meski eksistensi media itu tak sepenuhnya sirna. Ketika berselancar di dunia maya, kita masih tetap akan menemukan sejumlah website yang berisi sekaligus menerima kiriman karya sastra. Beberapa di antaranya kelihatan tertatih-tatih, tapi sebagian lainnya tampak prima.
Situs Titikoma.Com (http://titikoma.com), misalnya, adalah situs sastra yang kelihatan cukup prima dan “sehat bugar”. Dikelola oleh Yayasan Tanda Baca, situs ini sangat mungkin merupakan metamorfosis Situs Tandabaca.Com (saat saya mencoba membuka Situs Tandabaca.Com, ternyata situs itu sedang tidak aktif).
Dalam informasi yang tercantum di dalam situs tersebut, disebutkan bahwa: “Titikoma.Com adalah salah satu media Yayasan Tandabaca dalam bentuk majalah maya yang secara khusus hanya dapat diakses melalui internet, didekasikan untuk mewadahi aspirasi para penulis, terutama karya sastra, atau siapa pun yang ingin memublikasikan karya-karyanya.”
Titikoma.Com merupakan majalah maya yang bisa dianggap cukup lengkap. Meski hanya dikelola oleh tiga orang—Dwi Any Marsiyanti sebagai penyelaras kerja, Hasta Indrayana sebagai tukang terima naskah, dan Purwoko Hendro Winarno sebagai tukang poles web—Titikoma.Com memiliki sepuluh rubrik yang mencerminkan keragaman tipe karya yang dimuat di situs itu: dari mulai puisi, cerpen, esai, cerita bersambung, kisah pribadi, wawancara, resensi, dan tips kreatif.
Situs ini juga memiliki rubrik bernama “Keranjang Bebas” yang digunakan sebagai wadah tulisan yang tak masuk ke dalam sembilan rubrik lain, semacam novelet atau naskah drama. Selain naskah kiriman, ada dua rubrik yang digawangi dua penulis tetap, yakni “Pojok Mindring” oleh Hasta Indrayana dan “Bola Liar” oleh Puthut EA. Yang menarik—sekaligus menandakan situs ini cukup maju—Titikoma.Com ternyata menerima iklan atau promosi produk dan jasa. Dengan tarif yang tak terlampau mahal, mereka yang tertarik bisa mempromosikan usaha mereka di situs tersebut.
Situs Sastra lain yang cukup menarik adalah Puitika.Net (http://puitika.net). Seperti yang tertera pada namanya, situs ini memfokuskan diri pada puisi. Dari informasi yang saya dapat, situs tersebut merupakan media resmi dari sebuah komunitas bernama Masyarakat Puisi. Informasi di Puitika.Net menyebut Masyarakat Puisi merupakan komunitas yang didirikan oleh sejumlah anak muda yang percaya bahwa teks-teks puisi adalah sumber pengetahuan yang berharga. Masyarakat Puisi bekerja dalam bidang penelitian, dokumentasi, pengembangan jaringan, penerbitan, dan publikasi kebudayaan.
Pendirian situs Puitika.Net memiliki tujuan yang cukup puitis: “semata-mata untuk memberikan ruang yang luas bagi semua orang yang percaya bahwa puisi merupakan kekuatan yang nyata, lebih dari hanya sekedar kata-kata.” Memiliki masrkas di Malang, Situs Puitika.Net dikelola oleh sejumlah orang seperti Oktarano Sazona dan Heru Kuncahyono sebagai Editor Kepala dan Syahrirul Habib sebagai Editor Magang.
Meski hanya berfokus pada puisi, Puitika.Net juga memiliki rubrik lain yang mendukung dan berhubungan dengan puisi, seperti esai, jejak penyair, biografi, liputan, dan katalog. Beberapa rubrik dalam situs ini cukup menarik, misalnya “Biografi Penyair” yang merupakan rekam jajak para penyair Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dibagi berdasarkan periodisasi angkatan. (Bersambung).
Hari ini adalah hari kemarin. Hari esok, mungkin hari yang saat ini ia jalani. Tak ada senyum mengambang di bibirnya. Cita-cita, harapan, dan keinginan mungkin hanya sebatas mimpi yang entah di mana harus ia tambatkan.
Seperti hari-hari kemarin, mendung di wajah Samen masih belum memudar. Matanya yang letih jauh menatap ke depan, ke sebuah gubuk yang tak pernah menaburkan senyum. Ia biarkan angin pantai mengibas-ngibaskan baju rombengnya. Sementara terik matahari menjilati kulitnya yang gelap kecoklatan.
Dengan langkah gontai, Samen terus saja berjalan, menyusuri jalan pulang, menyisiri pasir di bibir pantai, melewati orang-orang yang sedang sibuk memperbaiki jaring, mengecat perahu, atau para nelayan yang baru pulang mengarungi lautan.
Samen meninggalkan ayahnya yang masih duduk sendiri, terkapar lesu di atas pasir. "Pulanglah nak. Katakan pada ibumu, hari ini nasib belum beruntung."
Setiap hari, sebelum matahari memanahi pagi, di bibir pantai, di atas pasir yang berdesir, Samen menunggu ayahnya pulang, menunggu harapan yang mungkin datang menjelang. Harapan tentang berkeranjang-keranjang ikan yang dibawa ayahnya pulang dari tengah lautan.
Tapi, akhir-akhir ini, saat cita-cita tentang sesuatu mulai tertanam di hati Samen, lautan sebagai sandaran seolah tak membentangkan senyum. Jika pun ada hasil tangkapan ikan yang dibawa ayahnya pulang, itu hanya cukup buat makan.
"Sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa sih nak? Es-em-pe kan sudah cukup. Lihat ayah, es-de saja nggak lulus." Ungkap ayah Samen suatu ketika, saat Samen mulai mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah. "Sekolah itu mahal nak. Tapi jika keinginanmu itu tak bisa kau bendung, doakan saja mudah-mudahan ayah dapat ikan yang banyak."
Bukannya Samen tidak rajin mendoakan ayahnya, atau barangkali doanya tidak khusuk. Seperti yang sering diperingatkan guru ngajinya, Samen selalu bangun tengah malam untuk mendoakan Sang Ayah agar mendapat ikan banyak. Bahkan di tengah doanya, air mata Samen selalu terjatuh di sajadah yang sudah lapuk.
Tapi, doa Samen tak jua terjawab. Hingga suatu ketika Samen menghadap guru ngajinya, mempertanyakan doa yang tak terkabulkan. Tapi jawaban yang diberikan guru ngajinya membuat Samen kecewa. "Kamu harus bersabar. Barangkali Tuhan mempunyai maksud lain, Samen."
Bagi Samen, sabar bukanlah jalan keluar yang tepat untuk saat ini. Ayahnya sangat membutuhkan uang untuk membiayai sekolahnya. Tinggal menghitung beberapa hari lagi, jika ayahnya tak segera mendapatkan uang, ia tak mungkin bisa melanjutkan sekolah.
"Barangkali ada doa yang manjur Pak Kyai?"
"Murid macam apa kamu, jika diberi cobaan segitu saja, kamu tak mau bersabar. Sudah kubilang, bersabarlah! Tuhan itu maha tahu apa yang diingankan hamba-Nya." Bentak guru ngajinya yang menganggap pertayaan Samen sebagai bentuk pembangkangan seorang murid terhadap guru. Sontak, Samen mundur seribu langkah, dan pamit undur diri.
Dan juga pernah suatu ketika hati Samen dibuat berbunga-bunga saat rumahnya dikunjungi kepala sekolah es-em-pe-nya. Samen mengira kunjungan Kepala Sekolah bermaksud membantu kelanjutan sekolahnya. Tapi, jawaban yang Samen dapatkan mengecewakan. Ketika orang tua Samen menanyakan bagaimana caranya supaya Samen bisa melanjut sekolah sementara uang belum ada. "Maaf Bu, saat ini saya juga harus mengeluarkan uang banyak untuk menguliahkan tiga anak saya. Coba cari ke orang lain saja."
Saat-saat keadaan mendesak, tak mungkin orang tua Samen berharap dari hasil tangkapan ikan yang serba tak jelas. Maka ia harus mencari kepercayaan orang lain untuk mendapatkan pinjaman. Di antaranya adalah Pak Haji Sugito, juragan yang memiliki banyak perahu, sekaligus seorang rentenir. Walau begitu, orang tua Samen bertekad meminjam uang padanya.
"Maaf Pak. Bukan saya tidak mau memberikan pinjaman. Tapi sampean tak punya jaminan apa-apa yang bisa meyakinkan saya untuk memberikan pinjaman. Sekali lagi saya minta maaf, Pak." Ungkap Pak Haji Sugito dengan nada yang seolah-olah ikut merasakan derita ayah Samin.
Tidak cuma Pak Haji Sugito, Pak Lurah pun didatangi orang tua Samen. Tapi jawabannya juga sama mengecawakan.
Dan lebih menjengkelkan lagi ketika kedua orang tua Samen mendatangi Pak Solihin, seorang anggota DPR, tak sepeser pun ia memberikan pinjaman, tetapi malah menceramahi kedua orang tua Samen. Padahal sebelum terpilih, ia berjanji akan menggratiskan rumah sakit dan sekolah bagi orang-orang yang tidak mampu.
Dengan tangan hampa, orang tua Samen pulang, menemui anaknya yang menunggu kabar terbaru, kabar yang mendebarkan jantung.
"Maafkan ayah, Nak. Ayah sudah pontang-panting cari utangan. Ayah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, nak. Jika kamu memang benar-benar tidak bisa melanjutkan sekolah, bapak mohon terimalah dengan lapang." Ungkap ayah Samen suatu ketika sebelum pergi melaut.
"Iya Nak. Usaha ayahmu sudah mentok. Kamu tahu sendirikan!? Kami sudah tidak bisa apa-apa lagi." Sambung ibu Samen membenarkan.
Samen tak berkomentar apa-apa. Wajahnya tertunduk, menyembunyikan air muka yang menggaritkan kecewa. Tapi kepada siapa kekecewaan itu ia lontarkan. Tak mungkin kepada orang tuanya, atau pula orang-orang yang tak memberinya uang pinjaman.
"Samen, dulu ayah tak pernah berpikir kalau kau punya keinginan untuk melanjutkan sekolah. Aku kira kau seperti ayahmu ini, yang tak pernah ada keinginan untuk sekolah. Belum tamat es-de ayah sudah melaut. Tapi, setelah mengetahui prestasimu dari es-de sampai es-em-pe, ayah mulai berpikir, kau memang pantas terus bersekolah. Apalagi tetangga, teman-temanmu, guru-gurumu, sampai kepala sekolahmu menyarankan. Rasanya semakin kuat keinginan ayah untuk menyekolahkanmu, nak. Tapi inilah kenyataan yang kita hadapi. Mereka hanya bisa menyuruh, memberi saran, tapi mereka tak mau tahu dan tak pernah mau memberikan jalan keluar atas masalah yang kita hadapi. Jadi jangan kau berpikir kalau ayah tak berkeinginan menyekolahkanmu." Sembari menghisap lintingan dan mereguk secangkir kopi bikinan istrinya yang mulai dingin, ia teruskan pembicaraannya. "Tetapi baiklah Samen, beberapa hari lagi penerimaan siswa baru akan ditutup. Sebab itu doakanlah ayah, barangkali keajaiban terjadi. Siapa tahu ayah memperoleh tangkapan ikan yang besar, sehingga kita bisa menjualnya dan kita mendapatkan cukup untuk uang untuk sekolahmu."
Sejak itu, setiap matahari memanahi pagi, saat debur ombak mulai surut, di pinggir pantai, mata Samen manatap penuh harap jauh ketengah laut, menunggu layar ayahnya mengambang.
Saat perahu yang ditumpangi ayahnya mulai merapat, sekitar lima puluh meter dari bibir pantai, seperti anak-anak lainnya, Samen pun lari lalu berenang menerobos gulungan ombak, menepis buih dan juga ikut mengerumuni perahu.
Tapi saat air muka ayahnya terlihat masam, Samen tak berusaha mendekat. Biasanya ia akan berlama-lama di pantai, membiarkan tubuhnya digulung ombak ke bibir pantai, hingga ayahnya memanggil dan menyuruhnya pulang. "Samen, cepatlah pulang. Bawalah ikan ini untuk lauk di rumah."
Tanpa bicara atau beradu-tatap, Samen segera bergegas pergi. Meninggalkan ayahnya yang beku dalam tanya. "Samen, apa kau marah padaku, nak?" Desis ayahnya saat Samen terlihat mengecil dalam pandangan.
Begitulah seterusnya, hingga saat ini, saat langkah kakinya mulai letih menyisiri pasir bibir pantai, menyusuri jalan pulang untuk menyampaikan pesan dari ayahnya bahwa nasib tak lagi mujur.
* * *
"Kamu harus bisa menerima kenyataan, nak." Begitulah himbau ayah Samen. Ia masih juga belum bisa mewujudkan mimipi-mimpinya. Mimpi tentang bangku sekolah, tentang teman yang nakal, guru yang galak, dan segala mimpi yang dapat membuat kenangan tersendiri bagi Samen.
Dan kini mimpi itu benar-benar lenyap dari kehidupan Samen. Kenyataan yang sangat memukul itu begitu sulit diterima. Hingga perubahan dalam diri Samen mulai tampak.
"Pergi saja kau. Di sini kau tak menguntungkan bagiku. Pergi jauh...! Hatimu telah disusupi iblis. Pergi! Aku tak butuh kamu." Serapah guru ngaji Samen saat sikapnya di mata sang guru mulai tak patuh.
Samen lebih suka menyendiri. Kadang ia berlama-lama di bibir pantai, duduk sendiri, matanya menatap jauh ke samudra yang biru.
Banyak orang mengira Samen mengalami gangguan jiwa. Dan sebagian mengatakan kesurupan. Lebih parah lagi, Samen mulai jarang di rumah, sehari pulang, sehari tidak.
Plaakk... Tamparan mendarat di pipi Samen. "Ke mana saja kau keluyuran?!" Bentak ayah hilang kendali. "Kau mau jadi apa, hah!?" Tambah ayahnya lebih keras lagi.
"Sudah Kang. Tak baik bersikap seperti itu terhadap anak sendiri. Ini tak akan menyelesaikan persoalan, malah akan menambah persoalan baru. Sudah kang, mari kita bicara baik-baik." Pinta ibu Samen.
"Sikap Samen ini sudah keterlaluan. Jika dibiarkan, ia akan semakin menjadi-jadi dan semakin menyiksa orang tua."
"Sudahlah Kang..." Ibu Samen menghiba, sembari memegang kedua tangan kekar suaminya. Kemudian bersimpuh di kaki suaminya, memohon ampun.
"Maafkan anak kita kang. Maafkanlah dia!" perempuan itu sesenggukan. "Ingat kang, ingat... Dia itu anak kita satu-satunya. Ia adalah harapan kita. Tak ada lain, tak ada, kecuali dia."
Seketika itu air muka ayah Samen yang sedari tadi seperti hangus terbakar, sedikit demi sedikit mereda. Ia rundukkan wajah dalam-dalam, merenung.
"Maafkan ayah, nak. Ayah hanya takut kau jadi anak durhaka. Ayah ingin kau jadi anak baik-baik."
Dengan meraih kedua pundak Samen, ia kembali berkata, "ayah tahu kau di hantui rasa sesal, karena nasibmu tak seperti mereka. Ayah tahu kau kecewa, karena kau punya orang tua yang tak mampu menyekolahkanmu. Seharusnya ayah memenuhi keinginanmu."
Mendengar kata maaf yang ganjil itu, tubuh Samen tiba-tiba menggigil. Kelopak matanya pun mulai basah. Tapi suara tangisnya tak terdengar.
Dari bibirnya yang bergetar, lirih ia berkata, "Maafkan aku ayah. Selama ini aku tak mau mengerti ayah. Ayah, mulai besok aku akan ikut ayah melaut. Ajari aku menjadi jurumudi. Barangkali di sanalah sebenarnya mimpiku berada"
"Jangan nak. Kau jangan seperti ayah. Jalanmu masih panjang. Raihlah cita-citamu melebihi tinggi bintang."
"Bagiku, menjadi seperti ayah atau tidak, sama saja. Dulu Pak Kyai pernah bilang, percuma jadi orang pintar jika tidak bermoral. Dan sekarang aku putuskan, aku akan menjadi seperti ayah, mengarungi luasnya lautan."
Parangtritis, Juli 2008
Fathor Rasyid adalah Penyair, Essais.Lahir di Sumenep 22 November 1992.Bergiat pada sanggar Kutub Yogyakarta.Dan saat ini berdomisili di Jalan Minggiran MJ II/1477 Yogyakarta. Berbagai tulisannya telah di publikasikan diberbagai media, lokal dan nasional.Telp: 081904040582
Malang sekali nasib Rahayu. Ia merasa suaminya tidak cinta lagi padanya. Seperti kisah perkawinan temannya yang lain, suaminya sekarang menyukai rumput tetangga mereka yang lebih hijau dan lebih menarik.
Tentu saja Rahayu tak tinggal diam. Ia masih mencintai suaminya dan ia pun mencoba berbagai resep agar suaminya kembali mencintainya. Ia merelakan waktunya untuk mandi lulur dan sering minum jamu sari rapet. Ketika melihat iklan di televisi, bagaimana tips-tips setiap hari untuk memikat pasangan kita, Rahayu pun tak ingin ketinggalan. Singkat kata, ia melakukan apa saja dengan harapan suaminya itu kembali mesra padanya.
Suatu malam Rahayu mendekati suaminya yang telah menghadap dinding di ranjang. Rahayu meletakkan tangannya di bahu suaminya sambil merangkulnya.
“Mas...” desah Rahayu, mencoba menggelitik kuduk suaminya dengan napasnya.
“Aku sedang capek,” jawab suaminya. “Aku mau tidur!”
Rahayu menghela napas. Hasratnya seketika punah untuk mencoba lagi. Dipandangnya langit-langit kamar, tempat dua cicak saling berkejaran. Ia berpikir alangkah hidup begitu sederhana jika ia menjadi sepasang cicak saja.
Rahayu berusaha memejamkan mata. Tapi tetap saja sulit. Benaknya berputar kencang. Ia memutuskan malam itu tak ingin memejamkan mata sebelum ia mendapat cara agar suaminya bisa kembali mesra padanya.
*
Pagi itu ia meladeni keperluan suaminya dengan biasa. Suaminya juga masih berlaku dingin sama seperti sebelumnya. Ia tak keberatan sama sekali tentang hal itu, karena ia masih belum melakukan apa-apa. Tapi saat suaminya akan berangkat ke kantor, dikatakan kepada suaminya kalau ia akan pulang ke rumah ibunya di desa barang beberapa hari. Maksud hati Rahayu, ia akan mengunjungi ibunya di desa dan bertanya pada ibunya, yang barangkali mempunyai resep agar suaminya bisa kembali lengket seperti prangko.
Hari itu Rahayu berangkat ke Solo ke rumah ibunya di desa yang masih terletak di lereng gunung Lawu.
*
“Memang ada caranya anakku untuk membuat suami lengket padamu seperti prangko,” kata ibunya. “Melihat keadaanmu seperti ini, hanya ada satu cara. Tapi apakah kau sanggup melakukannya, itu yang masih menjadi pertanyaan.”
“Tentu, akan kulakukan apa saja. Aku bersedia menerima syarat seberat apa pun, Bu,” jawab Rahayu berusaha meyakinkan ibunya kalau ia benar-benar sudah membulatkan tekad.
Ibunya percaya kepada Rahayu. Tapi bagai tersengat listrik saat Rahayu mendengarnya. Resep rahasia itu ternyata sungguh mahal tebusannya. Nyawanya sendiri yang ternyata menjadi taruhannya. Rahasia itu adalah dengan mencabut tiga helai kumis harimau dan harimau itu haruslah yang liar di hutan.
“Setelah itu yang perlu kaulakukan adalah menaruh setiap helai kumis harimau itu untuk minuman suamimu selama tiga hari. Dijamin setelah tiga hari meminumnya, suamimu akan sangat mencintaimu.”
Rahayu telah memutuskan, segila apapun resiko itu, ia akan melakukannya. Maka pada hari itu juga, diberkahi restu ibunya, Rahayu berangkat ke puncak gunung Lawu. Dengan dibantu oleh seorang penjaga hutan yang berpihak padanya, Rahayu mendapat petunjuk dimana ia bisa menemukan harimau liar itu.
“Sebenarnya harimau liar itu tak seberapa ganas seperti orang yang bayangkan. Jikalau kita tak menyerangnya, mereka juga tak akan ganas pada kita. Tapi berhati-hatilah, belum genap setahun harimau itu pernah menghabisi nyawa dua pemburu yang mau menguliti lorengnya,” jelas si penjaga hutan.
Rahayu bisa memperkirakan sosok harimau yang ditemuinya nanti. Hewan buas adalah hewan buas. Ia tak boleh lengah. Jika gagal, ia pun akan bernasib lebih malang. Barangkali suaminya juga akan merelakan dirinya dimakan oleh harimau itu, pikirnya.
Rahayu harus berjalan kaki ketika menembus hutan yang masih lebat. Di tengah perjalanan, karena begitu lelahnya, Rahayu singgah di sebuah gubug kecil yang kebetulan ada didiami seorang kakek pertapa.
Ternyata Rahayu menemukan seorang pertapa yang baik. Rahayu disuruhnya masuk ke dalam gubug untuk istirahat, bahkan Rahayu sempat ditawari makan sebagai pengusir lapar. Kebaikan kakek pertapa itu sangat membahagiakan Rahayu di tengah kesendirian perjuangannya.
Akan tetapi Rahayu terpaksa menolak semua kebaikan kakek itu dengan baik. Dikatakannya maksudnya kepada sang pertapa kalau dirinya ingin segera menemukan harimau itu agar bisa segera melunaskan maksudnya.
“Aku hanya punya tiga buah tiga kelinci di rumah untuk persediaanku makan selama sebulan ini. Tapi melihat tekad dan keberanianmu cah ayu, kiranya aku tak akan segan memberikan tiga ekor kelinci itu untukmu. Aku pikir, mungkin kau bisa membujuk harimau itu dengan daging kelinci agar ia memberikan tiga helai kumisnya.”
Perkataan kakek pertapa itu hampir terdengar seperti lelucon bagi Rahayu, karena apakah betul semudah itu mencabut bulu kumis harimau liar di hutan, apalagi dengan caranya barter daging kelinci dengan si harimau. Tapi, Rahayu cukup merasa senang ada yang mau memberi bantuan padanya.
“Tapi dimana saya bisa menemukan harimau itu kakek?” tanya Rahayu.
“Di dekat gubug ini ada sebuah gua, di situlah harimau itu tidur. Kau bisa memberikan kelinci ini ketika subuh, ketika hewan itu masih lapar. Lakukan seperti yang kusarankan karena hanya cara itu sebenarnya yang paling mudah.”
Rahayu menyimak segala nasehat kakek pertapa yang baik itu. Didengarnya dan tak dibiarkannya ada yang luput dari perhatiannya.
Subuh telah datang dengan cepat. Rahayu tahu dirinya harus segera bergegas sampai di pintu gua dan memberikan kelinci itu sebelum fajar merekah dan kalau dirinya mau harimau itu tak menjadikannya sebagai mangsa sarapan pagi.
Ketika sampai di depan pintu gua dan dengan berlindung kepada kegelapan, sesuai petunjuk sang kakek pertapa, Rahayu mulai melepaskan kelinci yang telah ditali kakinya agar tidak lari itu.
Harimau buas itu telah melihat mangsanya. Tinggi harimau itu sebesar anak sapi dengan mulut yang lebar menganga, meneteskan air liur yang mengerikan dari gigi taringnya yang sebesar jempol kaki manusia. Setelah sebelumnya mengaum yang suaranya mampu menggetarkan seluruh rimba, perlahan harimau itu dengan gigi taringnya mulai menyobek-nyobek kelinci yang sudah tak berkutik itu.
Rahayu dengan gemetar menunggu. Saat kesempatannya datang, ketika si harimau sedang sibuk dengan pekerjaannya dan bertabir kegelapan yang menguntungkannya, sambil menahan napas ia mencabut sebuah kumis harimau yang kaku itu. Jantung Rahayu sudah tidak berdegup sekian detik yang lalu, tapi sejenak ia mengamati benda yang ada di tangannya, sebuah bulu kumis si harimau yang telah berhasil ia dapatkan.
Segera sesudah mendapatkannya Rahayu berjingkat pelan pergi dari tempat itu.
Pengalaman pertama yang mendebarkan dan sukses itu membuat Rahayu bertambah optimis. Pertapa yang baik itu ternyata mengatakan hal yang benar. Esoknya, didorong keberhasilannya yang pertama, Rahayu kembali melakukan hal yang sama. Seperti juga sebelumnya, dewi fortuna itu masih setia kepadanya; helai kedua kumis si raja rimba itu berhasil Rahayu dapatkan dengan mudah tanpa banyak kesulitan.
Hari ketiga telah datang, hari terakhir dimana Rahayu berhadapan dengan si harimau. Ia berangkat dengan bersemangat. Rencananya, setelah berhasil melakukannya ia akan segera pulang untuk segera menjemput impiannya.
Rahayu kembali ke mulut gua untuk mengulang peruntungannya. Tapi apa yang terjadi adalah sedikitpun tak pernah dibayangkan oleh Rahayu. Harimau itu tiba-tiba mengaum tepat di belakang Rahayu.
Rahayu terperanjat dan sekonyong-konyong membalikkan tubuhnya. Tapi pikirannya sudah tak berkuasa lagi akan tubuhnya. Ia gemetar untuk pertama kalinya melihat harimau yang sebesar anak sapi itu telah berdiri menatapnya, siap menerkam dirinya dengan mudah. Napasnya tersengal satu-satu karena ketakutan. Tetapi tanpa sadar, secara spontan Rahayu menjulurkan kelinci itu berharap sang raja hutan itu tak memakan dirinya.
Sungguh ajaib, sang harimau yang terbiasa mengenali daging kelinci itu langsung memakan kelinci yang diberikan dari tangan Rahayu.
Rahayu sejenak terpukau dengan kejadian di depannya. Ia tak menyangka harimau itu berubah begitu jinak olehnya. Rahayu mengatur napasnya. Dan dengan masih gemetaran, ia memaksa mengulurkan tangannya mencoba menyentuh moncong harimau yang belepotan darah sedang mengunyah daging kelinci.
Rahayu berhasil melakukannya. Si harimau sendiri tampaknya juga tak berkeberatan sama sekali saat Rahayu mencabut salah satu kumisnya. Saat itulah segera Rahayu berjingkat mundur dari hadapan harimau yang sedang sibuk itu.
Dalam perjalanan pulang sampai ke gubug, jantung Rahayu terus berdegup kencang. Walaupun telah berhasil, ia bahkan tak berani menengok ke belakang, tak berani membayangkan kalau harimau itu masih membuntutinya.
Rahayu sampai menangis ketika ia berhasil mencapai gubug, dan melihat ia berhasil mendapatkan tiga helai kumis harimau itu.
Maka pada hari itu Rahayu turun gunung setelah berpamitan pada pertapa yang baik itu. Pada pertapa itu Rahayu meninggalkan sebuah kalungnya sebagai tanda terima kasih. Tanpa bantuan dan saran pertapa itu, ia tak mungkin bisa mendapatkan tiga helai kumis harimau itu.
Di tengah perjalanan turun gunung, Rahayu bertemu dengan si penjaga hutan. Si penjaga hutan itu terkejut tak mengira Rahayu benar-benar berhasil mendapatkan tiga helai kumis harimau.
Rahayu mengatakan pada si penjaga hutan kalau semua itu karena ia dibantu oleh seorang pertapa. Tapi, malah si penjaga hutan ngotot membantah kalau tak pernah ia melihat ada seorang pertapa di hutan.
“Tidak mungkin ada pertapa di hutan. Kalaulah benar ada, pertapa itu yang pertama akan dimakan oleh si harimau itu kalau hewan buas itu kelaparan.”
Tapi Rahayu sedang tak ingin berdebat dengan si penjaga hutan itu. Ia pun berlalu dari si penjaga hutan itu karena ingin segera pulang.
Sesampainya di rumah, Rahayu disambut ibunya dengan pelukan kegembiraan dan rasa syukur karena anaknya telah pulang membawa keberhasilan.
“Lalu apa lagi yang harus kulakukan setelah ini bu?” tanya Rahayu tak sabar.
Ibunya tersenyum pada anaknya itu. “Simpanlah tiga helai kumis harimau itu untukmu sebagai kenang-kenangan. Kau tak akan memerlukannya lagi.”
Jawaban ibunya jelas tak dimengerti oleh Rahayu. Ia tak paham mengapa semua kumis harimau itu tak berarti sama sekali, padahal ia telah bertaruh nyawa untuk mendapatkannya. Rahayu menjadi terdiam lebih karena menahan marah.
“Aku mengerti apa yang kau rasakan. Sekarang kuberitahu padamu suatu rahasia. Kau pasti akan berhasil membuat suamimu kembali mesra kepadamu karena kau telah memenuhi semua syarat untuk melakukannya, yaitu agar suamimu itu kembali mesra padamu. Syarat pertama adalah tekad dan semangat dengan kau berani pergi ke hutan. Syarat kedua adalah keberanianmu menghadapi harimau yang merupakan seekor binatang buas. Dan syarat terakhir adalah kau berhasil menaklukkan harimau itu, yang merupakan semua perwujudan dari perjuanganmu. “Kau telah lulus dari semua ujianmu Rahayu. Kau pantas mendapatkan apa yang kau inginkan. Sekarang pulanglah dan temui suamimu. Untuk menghadapi binatang buas sekalipun kau berani melakukannya, apalagi hanya suamimu sendiri yang sangat engkau cintai.”
Rahayu akhirnya mengerti apa yang dimaksudkan oleh ibunya. Sejenak ia mengenang seluruh nasibnya di belakang. Ia tahu tanpa pergorbanan dan perjuangan ia tak akan pernah mendapatkan keinginannya. Sebuah nasehat sederhana yang kadang ia lupa.
Sejak saat itu Rahayu dikenal sebagai seorang istri yang beruntung karena sangat disayangi oleh suaminya. Setiap kali para temannya bertanya, bagaimana resep menaklukkan suami, jawab Rahayu adalah dengan menyeduhkan minuman yang telah diberi tiga kumis harimau yang harus dicabut sendiri dari harimau yang liar di hutan. Tetapi ketika mendengar syarat tersebut, semua temannya pilih mengundurkan diri, mereka ngeri jika lebih dulu harus berhadapan dengan seekor harimau yang buas.
Cerpenis tinggal di Karanganyar. Karyanya dimuat di media lokal maupun nasional. Solo Pos, Gong, Kumcer Cinta pertama, Penikmat Kata, Pawon, Rumput.
Karya Paulo Coelho
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, November 2005
Pernahkah anda bermimpi berpetualang ke Mesir melihat piramida lalu menemukan harta karun kepingan-kepingan emas? Saya sendiri belum pernah bermimpi seperti halnya mimpi Santiago seorang anak gembala dari Spanyol yang betul-betul mewujudkan impiannya.
Pertemuan Santiago dengan Raja Salem mengubah hidupnya. Sang raja memberinya inspirasi dan jalan untuk mewujudkan impiannya. Sang raja membekalin Santiago dengan sepasang batu yang disebut Urim dan Tumim yang akan membantunya membaca pertanda-pertanda.Saat dalam rombongan karavan dalam perjalanan menuju Al-Fayoum di Mesir, Santiago bertemu dengan seorang Inggris yang mencari Sang Alkemis seseorang yang mengerti bahasa dunia dan bisa mengubah tembaga menjadi emas. Sang Alkemis lah yang menuntun Santiago mengarungi gurun pasir dan mewujudkan impiannya.
Buku ini sudah pasti sangat populer sepopuler sang pengarangnya Paulo Coelho seorang pengarang BestSeller dari Brazil yang saat ini menjadi salah satu duta perdamaian PBB untuk bidang spiritualitas dan keberagaman. Novel Sang Alkemis ini pertama kali terbit tahun 1987 dan menjadi novelnya yang paling berhasil Saya yakin juga sudah banyak yang membaca termasuk anda mungkin. Bahkan dikalangan teman-teman saya banyak yang terinspirasi dan percaya kalimat magis yang diucapkan sang alkemis “Jika kamu menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu membantumu mendapatkannya”. Kalimat yang sangat kuat bukan? dan saya percaya karena hal itu pernah saya alami.
Saya ingin berbagi pengalaman saya, beberapa waktu yang lalu saya dan suami sempat adu argumentasi memang hal yang biasa dalam suatu hubungan. Sayang sekali kami mengakhirinya dengan tidak baik yang bersalah tidak meminta maaf dan percakapan terbunuh sebelum persoalannya selesai. Saat itu saya berada di Jogja esok harinya akan pergi ke suatu daerah dekat Kebumen menghadiri pesta perkawinan teman dekat. Suami saya berada di Solo dan esok harinya akan ke Purwokerto menghadiri sebuah undangan workshop bersama teman-temannya. Saat di terminal Giwangan saya merindukan suami saya tapi terlalu gengsi untuk memulai kontak seperti mengetik sebuah sms misalnya atau menekan tombol nomor ponselnya untuk sebuah miss call. Sosoknya hadir dalam benak mengenakan kemeja merah kotak-kotak.
Perjalanan dimulai saya menggunakan Bus karena alamat tempat pesta perkawinan teman saya bukan persis di kota Kebumen, saya harus turun di daerah yang bernama Rowokele lalu menghubungi sang pengantin untuk meminta ada yang menjemput (petunjuk ini sesuai perintah teman saya sendiri). Saya turun persis di depan kantor polisi menurut saya tempat yang aman jika teman saya berhalangan saya bisa minta antar pihak berwajib menjalankan tugasnya untuk melayani masyarakat. Diluar dugaan saya, polisi-polisi itu ramah sekali malah menawarkan kesediaan mengantar sebelum saya meminta. Tapi saya menunggu kabar dari teman saya dulu, hingga teman saya menelepon dan mengabari dia akan mengirimkan tukang ojeg dengan motornya untuk mengantar saya.
Si tukang ojeg datang dan naiklah saya menikmati hamparan sawah dan jalanan asing di tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, sebuah desa bernama Rowokele. Tiba-tiba perhatian saya terpecah saya dikagetkan dengan melihat sosok yang saya kenal, suami saya melambaikan tangannya dibalik jendela mobil menyalip ojeg yang saya tumpangi. Saya sempat tidak percaya melihat penampakannya, saya suruh tukang ojeg menyalip mobilnya. Kami pun menepi lalu bertemu. Spontan saja kami tertawa sungguh luar biasa dipertemukan secara kebetulan yang bukan sebuah kebetulan juga rasanya energi kosmis jagat raya mempertemukan kami, dan hal yang membuat ku semakin tak percaya suamiku memakai kemeja merah bata kotak-kotak seperti yang muncul dalam benak ku sebelumnya saat di terminal Giwangan Jogja.
Bagiku kejadian itu merupakan salah satu dari skenario jagat raya untuk ku. Karena jika saya pikir-pikir peluang untuk bertemu secara kebetulan sangatlah sedikit perbandingannya bahkan hampir tak mungkin. Kami tidak saling mengirim kabar untuk janji bertemu belum lagi ada beberapa hal yang berjalan diluar rencana saya. Seperti waktu keberangkatan sempat tertunda beberapa jam karena bangun terlambat. Saat sampai terminal Bus baru saja berangkat sehingga harus menunggu satu setengah jam. Belum lagi menunggu datangnya tukang ojeg. Sungguh ajaib! mungkin seperti itulah pertemuan Hawa dan Adam di bukit Jabal Rohmah. Saya percaya takdir tidak mutlak dan lebih dari segalanya saya percaya akan kekuatan cinta. Mengutip kalimat Santiago si anak gembala dalam novel Sang Alkemis, “Cinta adalah daya yang mengubah dan memperbaiki jiwa dunia”. Bagaimana dengan anda? Apakah impian anda? Anda percaya jagat raya akan bersatu padu untuk mewujudkan keinginan anda?
Pablo Neruda
AKU MENGINGATMU SEPERTI DULU
Aku mengingatmu seperti dulu di musim gugur terakhir.
Kau adalah baret abu-abu dan keheningan hati.
Di dalam matamu nyala senja bertahan.
Dan daun-daun jatuh di air jiwamu.
Rangkulan lenganku seperti rambatan tumbuhan
daun-daun menyimpan suaramu, yang lamban dan dalam damai.
Api unggun rasa kagum di mana dahagaku membakar.
Bunga bakung biru manis membelit di atas jiwaku.
Aku merasa matamu melintas, dan musim gugus jauh sekali:
baret abu-abu, suara seekor burung, hati seperti sebuah rumah
menjelang di mana keinginanku yang dalam berpindah tempat
dan ciumanku rubuh, bahagia seperti bara api.
Langit dari sebuah kapal. Bidang dari bukit:
Ingatanmu terbuat dari cahaya, dari asap, dari kolam keheningan!
Di balik matamu, lebih jauh terpasang, malam yang berkobar.
Daun-daun kering musim gugur berpusar dalam jiwamu.
Diterjemahkan oleh Ridha al Qadri dari I Remember You as You Were dalam Pablo Neruda: Twenty Love Poems and a Song of Despair, translated from Spanish by W. S. Mervin, Penguin Books, 1993.
Robert Frost
SEBUAH DOA DI MUSIM SEMI
Oh, beri kami kesenangan dalam kembang hari ini;
dan beri kami tidak untuk berpikir sejauh ini
seperti panenan yang tak pasti; pelihara kami di sini
semua sederhana di tahun bersemi.
Oh, beri kami kesenangan dalam putih kebun,
seperti tiada yang lain per hari, seperti hantu di waktu malam;
dan buat kami bahagia dalam lebah yang bahagia,
berkerumun meluas mengitari pohon yang sempurna.
Dan buat kami bahagia dalam loncatan burung
yang tiba-tiba terdengar di atas lebah,
bintang berekor yang menusuk dengan paruh,
dan lagi bunga-bunga di tengah udara berdiri diam.
Karena ini cinta dan tiada selain cinta,
yang disediakan agar Tuhan di atas sana
menyucikan akhir terjauh yang Dia kehendaki,
tetapi yang cuma butuh bahwa kita memenuhi.
Diterjemahkan oleh Ridha al Qadri dari A Prayer in Spring dalam The Bocket Book of Robert Frost’s Poems, Henry Holt and Company, Inc., 1946.
Rantauan Hindra Jaya
MUNAJAH
Di keheningan
kumerebah beralas sajadah
Mataku mengkristal keluh
Hatiku lirih berbisik:
“Tuhan, tukarlah linangan ini
dengan secercah harapan”.
Juli 2008
Rantauan Hindra Jaya, tinggal di Jl. Rengas Raya 188 Banyumanik Semarang 50267. Lulusan Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo. Contact Person: 081575159919.
Noval Darmawan
HINA
Bukankah senja milik
bagi mereka yang merenung
seperti kebijakkan yang diinjak;
tidak pernah hina
dan dihinakan.
Noval Darmawan, ahli gaib, pijat, dan terapi. Tinggal di sekitar Pabelan Solo.
Andi D Handoko
PROLOG KEMATIAN
Sepi sendiri menangis
Menitik sungai pangkuan rahim derita
Paham dirinya tempiaskan udara pekat
Pohon-pohon kaku bicara tentang kematian
Melihat seonggok tubuh rapuh
Di kolong tempat tidur
; mengeja doa berselimut kafan putih.
Andi Dwi Handoko, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia FKIP UNS Solo.
Ketika bulan-bulan ramai pernikahan atau peringatan kemerdekaan Keroncong Pak Sar tidak berhenti naik panggung. Di beberapa desa sekitar Blimbing memang tidak banyak kelompok keroncong, karena memang tidak banyak orang yang bisa main dan suka. Saat ini keroncong masih dibawah campur sari atau dangdut soal intesitas kegiatan. Hanya orang tua saja yang suka, kadang pejabat local yang sok alim nanggap kalau punya acara.
Sudah hampir sepuluh tahun Keroncong Pak Sar berdiri. Seiring dengan pensiunnya Pak Sar sebagai guru matematika, untuk mengisi waktu luang maka didirikan kelompok keroncong. Pak Sar sendiri sebenarnya tidak benar-benar punya waktu luang. Selain punya kelompok keroncong, juga memelihara ayam kampung dan membuka toko kelontong di samping rumahnya. Dulunya Pak Sar mengajar matematika di ST (Sekolah Teknik) yaitu sebuah sekolah kejuruan teknik setingkat SMP. Ketika ST berganti nama menjadi SMP Pak Sar tetap mengajar di sana. Ketika ayah masih sekolah dulu, ayah belajar matematika kepada Pak Sar.
Pernah suatu hari Pak Sar datang ke rumah kami. Dengan sepeda angin sore-sore Pak Sar menuju rumah kami, jarak yang ditempuh sekitar 12 kilometer. Kalau sudah ngobrol dengan ayah bisa berlangsung berjam-jam. Sore itu Pak Sar berbicara tentang adik-adiknya yang sudah sarjana, dan itu semua berkat biaya dari dia. Selama menjadi guru Pak Sar tidak hanya mendidik muridnya, tetapi juga membiaya pendidikan adik-adiknya. Gaji guru yang diterima sering kali tidak cukup untuk membiaya sekolah adik-adiknya.
Mungkin saja tidak ada yang istimewa kalau kita mendengar seseorang membantu saudaranya. Yang istimewa dari bantuan Pak Sar bukan terletak dari bantuan itu, tetapi dari pilihan untuk membantu. Dari saudara-saudaranya Pak Sar bukanlah orang paling mampu secara ekonomi. Tapi Pak Sar memilih untuk menggambil tanggung jawab membiayai sekolah adik-adiknya. Pak Sar menunjukkan tanggung jawab tidak semata-mata diletakkan pada kemampuan financial seseorang, walaupun tanggung jawab itu menyertakan uang sebagai bagian terpenting. Di ruang tamunya kini terpampang sederet foto adik-adiknya yang diwisuda. Dibawah foto berderet pula puluhan botol bir yang menjadi kesukaannya, dan hanya diminum setiap malam minggu saat latihan keroncong.
Dalam dunia kesusastraan Indonesia, agaknya tidak sedikit novel-novel yang bercerita mengenai sejarah. Wajar memang, sebab selain memiliki keleluasaan, genre sastra inilah yang memungkinkan untuk ditulis dengan menggunakan repertoar (repertoire) peristiwa historis. Di samping itu, novel juga ditunjang oleh kemampuannya untuk mengekspresikan secara rinci dan gamblang semua unsur sastra yang mencakup tema, fakta, dan sarana. Secara sederhana, bisa kita pahami bahwa genre sastra yang satu ini berkisah tantang cerita lampau. Hal yang tidak berbeda degan ilmu sejarah. Meski terkesan kaku karena terbalut kaidah metodologis, pada dasarnya ilmu sejarah adalah cerita.
“Serupa tapi tak sama”, demikianlah kiranya kata yang tepat untuk kedua kategori tersebut. Bila keduanya bersanding, maka akan ada banyak kemungkinan. Di samping keduanya bisa bersanding secara mesra dan saling melengkapi, namun tak menutup kemungkinan antara keduanya malah saling bertolak belakang. Hal itu tentu berkat beragam faktor yang membentuk entitas itu sendiri. Di satu sisi novel bisa bebas mengutak-atik cerita tentang lampau. Sebaliknya, ilmu sejarah hanya diperkenankan untuk menguak cerita sebenarnya dengan kebenaran yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Konsekuensinya, cerita yang diangkat oleh sastra—dalam hal ini adalah novel sejarah—bisa benar-benar terjadi, sedikit melenceng, bisa pula berbeda sama sekali. Sedangkan sejarah, memiliki kaidah keilmuan dan metodologi yang harus dipatuhi.
Tak bisa dielak, karena memiliki medan yang sama, persinggungan antara sejarah dengan sastra menjadi sebuah keniscayaan. Dalam fenomena konkret, tak jarang keduanya harus terlibat tarik ulur kebenaran dalam konteks cerita yang mereka usung. Sebab, tak hanya cerita produk sejarah, produk sejarah cerita yang diungkap oleh sastra juga terkadang diakui kebenarannya. Meski memang meninggalkan banyak kesan tanya. Sebab, pada dasarnya kita kadang kesulitan membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Namun, pada dekade-dekade terakhir, agaknya hubungan antara sastra dengan sejarah banyak menjadi hubungan pertentangan.
Beberapa kasus mengenai fenomena tersebut banyak terjadi. Saat munculnya novel Rahasia Meede karya ES Ito misalnya. Novel yang berkisah tentang rahasia harta karun VOC ini merekonstruksi banyak hal, mulai dari rahasia kebangkrutan VOC, sampai adanya hutang negara saat merdeka. Tak ayal, novel ini menjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi ilmu sejarah. Contoh lain misalnya novel Da Vinci Code karya Dan Brown. Meski sebetulnya bukan karya novelis Indonesia, namun novel ini sempat mewarnai dinamika sastra Indonesia. Dalam konteks tumpang tindih kebenaran sejarah, novel ini sempat membuat kalangan gereja kebakaran jenggot. Ia mampu menggurat kebenaran cerita yang berbeda dari yang selama ini diamini oleh kalangan gereja. Novel ini menggoyangkan iman jemaat kristiani dengan mengungkap cerita penyembunyian beberapa kanon kitab suci oleh gereja. Pada titik ini, seakan terjadi pertentangan yang membawa kemenangan sastra dan sementara ilmu sejarah kian dipertanyakan. Benarkah demikian?
Laiknya media penyampai pesan yang lain, pada dasarnya sastra pun memiliki kekuatan daya gebrak yang luar biasa. Sebagaimana contoh di atas, saking kuatnya kekuatan sastra, kemapanan sejarah, bahkan dunia keilmuan, mampu kalap dibuatnya. Hal serupa juga dikatakan Hari Leo, “Sastra memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi masyarakat secara luas”. Padahal sebetulnya—kalau boleh dibilang—sastra merupakan sesuatu yang remeh-temeh. Sastra hanyalah ide dan seluruh pemikirannya penulis dapat dituangkan dalam buah cerita. Namun, muatan ide, mulai sederhana hingga luar biasa, inilah yang kemudian sangat menakutkan. Terutama apabila hal itu menyangkut sesuatu yang sensitif yang sudah tertanam mapan, misalnya agama. Belum lagi apabila sastra tersebut lebih bisa meyakinkan pembaca dengan pola penceritaan yang dipenuhi dengan logika dan data. Tentunya hal tersebut akan bisa memberikan akibat yang tidak sedikit.
Pada kasus-kasus pertentangan antara sastra dan sejarah, tampaknya bisa dikatakan, seakan-akan para novelis sejarah hendak mengajak kita untuk mengukur-ukur sejarah. Rasa-rasanya semacam terbuka persaingan antara keduanya untuk menguak fakta sejarah di sana-sini. Pada satu sisi, sejarah mengorganisasi data-data yang ketat sebagai senjata pengungkap. Sedangkan pada pihak lain, sastra mengatasinya logika ceritanya dengan imajinasi yang memadu. Bisa dibilang, —meminjam istilah Doni Gahral Adian— ini adalah persandingan antara epistemologi dengan estetika.
Kalau kita tilik lebih lanjut, sebetulnya pergulatan sastra dan sejarah bukanlah hal yang baru dalam dunia kesusastraan kita. Beberapa novel tantang sejarah telah banyak beredar, misalnya trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri karya Mangunwijaya, novel-novel karya Pandir Kelana dan Trilogi Gadis Tangsi Suparto Brata. Namun fenomena menarik seputar tumpang tindih, tarik menarik, atau arogansi kebenaran, baru muncul pada dekade-dekade terakhir.
Meski demikian, bukan berarti sastra atau novel-novel sejarah terdahulu tidak menyisakan kesan zaman. Mereka juga menoreh goresannya masing-masing, tetapi tidak berada dalam koridor yang saya maksudkan. Novel-novel tersebut pada umumnya berjalan dengan membawa semangat zamannya masing-masing. Ia menjadi solusi atas keadaan sosial dan tidak banyak menyisakan kontradiksi. Misalnya, cerpen karya Ki Panji Kusmin “Langit Makin Mendung” yang pernah menghebohkan sastra Indonesia pada periode 60-an. Karya Senja di Jakarta milik Mokhtar Lubis yang dinilai mengkritik Soekarno. Novel lain misalnya Para Priyayi dan Jalan Menikung, serta Sri Sumarah karya Umar Kayam. Bahkan novel yang terakhir, digunakan sebagai jalur singkat untuk orang (asing) yang ingin mengetahui seluk beluk orang dan budaya Jawa. Dalam konteks ini, fenomena sastra terdahulu malah mencerminkan adanya korelasi positif antara sastra dan sejarah.
Kalau melihat sastra sejarah yang kini banyak beredar, seakan semacam ada perubahan kesan antara yang dulu dengan sekarang. Namun agar lebih bisa membedakan, mari kita bergumul terlebih dahulu beberapa novel berikut. Dalam ramuan fiktif Genduk Duku Karya Mangunwijaya, diungkap tahun-tahun terakhir pemerintahan Sultan Agung. Untuk novel tersebut, meskipun guratan fakta dan data historisnya diakui, namun kebenarannya tidak dipertentangkan dengan kebenaran produk sejarah. Bahkan tak jarang novel tersebut digunakan untuk sumber-sumber historis. Pola yang sama juga terjadi pada novel-novel lain. Misalnya novel Lusi Lindri yang memantau suasana dalam fakta historis raja kejam Kerajaan Mataram, Sultan Mangkurat I (abad 17). Dramatisasi Nuansa zaman yang diciptakan pun diakui dan tidak ditentangkan dengan data-data studi sejarah.
Mencermati kisah-kisah di atas, sebetulnya ada kemungkinan bagi keduanya untuk tidak saling mengagahi. Keduanya bisa berjalin kelindan secara serasi dan bersama-sama berjalan membawa cerita-cerita lampau. Dalam hal ini, ramuan fiktif dan data-data kaku sejarah bisa bersanding dan saling melengkapi. Meskipun demikian, tampaknya tetap ada persoalan yang membuatnya berjarak. Beberapa hal yang sekiranya bisa menjadi persoalan misalnya pertanyaan apakah “sejarah” dalam sastra dapat menjadi sumber sejarah atau apakah gengsi ilmiah mau mempertimbangkan dan memperhitungkannya? Beberapa persoalan sejenis tetap akan muncul. Namun demikian, yang sebetulnya penting, antara keduanya tetap terjadi integrasi dan tidak membawa akibat kebingungan sosial akibat saling menggagahi.
Sayangnya, kini di tengah munculnya novel-novel sejarah, perbedaan nuansa antara sejarah dengan sastra bisa memantik persoalan. Sastra-sastra sejarah sekarang muncul, sering menimbulkan akibat kontradiktif dengan pemahaman kebenaran sejarah yang sebelumnya tertata dalam masyarakat. Tak ayal, keberadaan kebenaran sastra banyak dibincangkan dan dipertanyakan. Minimal, pertanyaan batasan antara rekayasa imajinatif dengan data nyata selalu di kulik-kulik. Akibatnya kita menjadi sulit memposisikan bagaimana realita fiksional dalam fakta sejarah. Beberapa hal tersebutlah yang semakin membentangkan sejarah dan sastra.
Meskipun ada beberapa kalangan yang bersepakat mendamaikan keduanya. Namun hal itu tetap membawa kesan distingsi. Sastra hanya didudukkan sebagai fakta mental. Ia bisa dipertimbangkan bila mampu melewati berbagai filter, baik itu proses komparasi, evaluasi, dan lain-lain. Setelah lolos barulah ada kemungkinan bagi sastra untuk digunakan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hal ini, seakan sastra didudukan pada level rendah.
Padahal, pengarang sastra adalah “koki” fiksi. Di tangannya, fakta(data mentah) diolah agar siap saji. Dengan rumus tertentu, koki itulah yang kemudian membubuhi data dengan aroma-aroma dan performa memesona. Alhasil, makin tinggi imajinasi koki fiksi, tinggi pula kelezatan, banyak pula orang-orang dibuatnya terlena. Praktis, makin mengundang selera [baca]. Padahal, kalau kadar bumbu terlalu banyak, semakin besar pulalah jarak terbentang kemungkinan kebenaran karya sastra tersebut diakui sebagai sesuatu yang “menyejarah”.
Entahlah, apakah dalam dunia sastra hal tersebut layak menjadi perdebatan yang penting atau bukan. Meskipun tampaknya memang tak mengurangi kadar kemungkinan menyejarahnya karya tersebut namun sebetulnya pengakuan terhadap cerita sejarahnyalah yang terkurangi.
Rifqi Muhammad, lahir di Pekalongan, 4 April 1987. Alamat Jl Kembang Merak No B-21, Bulaksumur, Yogyakarta. Aktivitas di BPPM Balairung UGM dan Komunitas Kembang Merak. Email rifqimail@gmail.com.
Hampir bisa dipastikan bahwa bentuk puisi yang pertama kali digubah oleh semua penyair di awal karier kepenulisan mereka adalah puisi lirik. Puisi sebagai penampung segala luapan perasaan si penyair yang ditulis dengan bahasa yang lugas, yang menceritakan peristiwa-peristiwa kecil dan intim yang dialaminya serta, banyak mempergunakan gambaran-gambaran alam sebagai simbolisasi makna dalam tulisan; secara sederhana, begitulah ciri dari puisi lirik. Tema dalam puisi lirik dipenuhi oleh hal-hal universal seperti cinta, keriduan, perpisahan, kesendirian, kesunyian dan keterasingan.
Dari kesuntukan dalam mengakrabi puisi lirik atau biasa disebut sajak-sajak konvensional seperti itu. barulah kemudian mereka berangkat lebih jauh dan lebih dalam lagi mengeksplorasi bentuk kebahasaan dan kata-kata yang mereka pakai sebagai medium ekspresi mereka. Sampai akhirnya menemukan visi kepenyairan dan ciri khas bahasa-ungkapnya masing-masing.
Seperti Afrisal Malna yang mampu menghidupkan benda-benda mati dan remeh-temeh di lingkungan keseharian sebagai metafor puitiknya. Ada Rendra, dengan Puisi Pamfletnya, yang sampai pada visi mempergunakan puisi sebagai alat protes dan korektif terhadap ketimpangan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Juga, yang akhir-akhir ini kembali hangat dibicarakan karya-karyanya yaitu, Sutardji Calzoum Bachri (SCB), yang terkenal dengan kredo puisinya “membebaskan kata dari beban makna”, sehingga seringkali pencapaian bentuk karya puisinya dinamakan puisi mantra.
Namun, setiap tanjakan pasti memiliki turunannya. Di balik puncak gunung yang gersang dan beku pasti ada ngarai dan lembah yang hijau. Begitu pula, di tiap puncak (klimaks) kreatifitas seseorang pasti ada anti-klimaksnya. SCB yang mendapati puncak dari eksplorasi puitik lewat puisi-puisi mantranya, sebagaimana yang terangkum dalam buku antologi puisinya yang berjudul O Amuk Kapak (1981), akhirnya kembali menulis sajak-sajak konvensional yang lebih komunikatif, yang terasa lebih mudah terpahami maknanya oleh para pembaca awam, pada waktu belakangan (baca puisi SCB yang berjudul Idul Fitri di http/geocities/tamansastra/).
Begitu juga dengan Acep Zamzam Noer yang telah puluhan tahun ngebut mendaki puncak kepenyairannya dengan puisi-puisi yang beraroma spiritual dan religius yang kental, pada akhirnya pun kembali menulis sajak-sajak cinta yang profan dan sekuler (picisan?). Seperti sajak-sajaknya yang terhampar dalam buku antologi puisinya yang terbaru Menjadi Penyair Lagi (2007).
Sehingga kalau kita jeli melihat, puisi lirik pada akhirnya menjadi semacam sangkanparan-nya para penyair. sebuah bentuk penulisan yang menandai awal dan akhir dari putaran roda (cokromanggilingan) atau siklus proses kreatif dalam dunia kepenyairan mereka.
Kelahiran Kembali
Bagi Acep, dengan kembalinya ia mengakrabi puisi lirik, tidaklah kemudian menjadi semacam kematian dari perjalanan kepenyairannya. Namun, ia malah merasa seperti dilahirkan kembali menjadi seorang penyair. Seperti yang diungkap dalam petikan puisinya berikut ini: Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa/ Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan/ kuletakan dengan hati-hati di atas meja/…lalu kutulis puisi/ ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan dimulutku/ ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku/ kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu/… serta ikat pinggangmu/ yang dulu kau tinggalkan di bawah ranjang/ sebagai ucapan selamat tinggal. (“Menjadi Penyair Lagi”, hal. 66)
Penyair, seperti juga orang lain pada umumnya, tentu akan merasa sakit pula kalau dikhianati dan dipecundangi. Tetapi bukan lantaran ini ia kemudian harus frustasi dan menarik diri dari kehidupan. Bagaimana pun sakitnya hidup ini tentu harus terus dihadapi dan dijalani. Karena setiap peristiwa yang dialami pasti menyimpan makna yang bila diresapi dengan baik akan jadi hikmah dan pelajaran untuk kehidupan mendatang.
Peristiwa yang dialami oleh aku-lirik pada puisi di atas, dalam telaah sastra, dimaksudkan si penyair sebagai suatu personifikasi atas pola hubungan manusia yang lebih kompleks. Semisal, antara rakyat dan wakil rakyat atau para pemimpinnya; dalam pembacaan secara keseluruhan isi puisi tersebut akan kita dapati pernyataan tersirat si penyair yang ingin mengatakan, lewat perumpamaan, bahwa: orang yang paling dekat, intim, serta merasa paling kita kenal pun ternyata mampu mengkhianati dan meninggalkan kita, apalagi, mereka yang hanya kita kenal lewat kampanye-kampanye politik di stadion, koran-koran dan televisi, atau malah yang baru kita tahu wajahnya di lembar coblosan. Mereka ini, ketika telah terpilih, bukan saja hanya bisa mangkir dari janji-janji muluknya diajang kampanye akan tetapi juga bisa lebih jauh lagi dengan berbalik menindas rakyatnya (sekaligus massa pemilihnya sendiri) dengan kebijakan-kebijakan yang menyimpang jauh dari kebutuhan riil masyarakatnya.
Karena itu, lanjut Acep, penyair tidak akan menangis karena dikhianati juga tidak pingsan bila mulutnya dibungkam. Tetapi ia hanya akan mati bila kehilangan tenaga kata-kata atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa.
Lewat pengakraban dan pemaknaan kembali peristiwa-peristiwa kecil yang dialami lalu disampaikan dengan gaya bertutur yang lugas seperti itu, Acep akhirya seperti mendapati kembali nyala api kepenyairannya yang mungkin, setelah tiga puluhan tahun lewat, sempat meredup.
Leburnya yang Profan dan Transenden
Saini KM pernah mengatakan, berpuisi bagi Acep adalah upaya yang bersungguh-sungguh di dalam melakukan pengembaraan dan petualangan rohani. Ia sekaligus memasuki dua dunia yaitu, dirinya sendiri dan lingkungannya, baik itu lingkungan manusia, lingkungan alam dan lingkungan spiritualnya (Jalan Menuju Rumahmu, 2004). Apa yang kemudian dapat dicerap dari interaksi dua dunia itulah yang merupakan makna dari pengalaman puitik Acep.
Jejak-jejak pengembaraan spiritual inilah yang memang menjadi kekuatan dari sebagian besar puisi Acep selama ini. Lewat kepiawaiannya dalam mengelola energi kreatif ini membuat ia kemudian mampu melebur hal-hal bersifat duniawi menjadi suatu aktifitas spiritual atau sebentuk pemujaan terhadap sang Khalik.
Kecenderungan ini tetap terbaca pada puisi-puisi yang ada dalam buku ini. Salah satunya berjudul “Sajak Nakal”.
Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
(……………..)
Aktifitas dan luapan gairah pada lawan jenis dipakai sebagai simbol (metafor) dari angan dan perasaan si penyair yang menggebu-gebu, yang menggapai-gapai Tuhannya.
Dari sini juga bisa kita dapati semacam penjungkirbalikan dari adat-kebiasaan religius yang terlanjur mapan, yang ingin dikritisi, atau ditambah-maknai lagi oleh Acep. Doa sebagai media bagi komunikasi manusia dengan Tuhannya tidak hanya harus dilakukan dengan nyepi sendiri, telapak tangan menengadah, kepala tertunduk lesu sambil berceracau memohon-mohon. Namun, gairah percintaan dua insan manusia yang apabila dilakukan dengan dasar cinta tulus, suci dan rasa keikhlasan untuk memberi dan menerima tanpa unsur pemaksaan maupun penindasan, demi menuju puncak kenikmatan bersama; maka ini juga adalah doa: sebagai implementasi rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh sang Maha Pengasih dan Penyayang, dari umatnya yang bersekutu dalam cinta. Berdoa memohon kebaikan dan kemurahanNya tak akan jadi apa-apa bila kita sendiri tak mampu berbuat baik dan murah hati terhadap sesama ciptaanNya.
Ada pesan cinta yang menggaung panjang dalam setiap puisi Acep. Ia ingin mengingatkan pada kita bahwa segala ketimpangan dan kekisruhan sosial, pertumbahan darah dan kerusakan lingkungan yang semakin parah dan semacamnya yang masih terus terjadi ini merupakan akibat dari mulai hilangnya rasa cinta-mencintai antar manusia dan lingkungannya; yang berarti juga mulai pudarnya kecintaan kita kepada sang Pencipta.
Karena itu, lewat puisi-puisi cinta ini, harusnya bukan hanya Acep seorang yang mendapati sebentuk kelahiran kembali tetapi kita (para pembaca) juga mesti mendapatinya. Terlebih bagi yang sedang menikmati ramadhan yang penuh hikmah ini, kita berhak menjadi pemenang dan kembali fitri bila mampu memaknai lebih dalam arti cinta dalam kehidupan ini. Hingga terlahir kembali menjadi seorang pencinta sejati: yakni orang yang mampu memancarkan laku dan rasa cinta-kasih dalam lingkungan keseharian. Sebagai bukti bahwa kita adalah makhluk ciptaan Sang Ar’rahman-Ar’rahim. Semoga!
Ragil Supriyatno Samid, lahir di Kupang, 25 Januari 1979. Alamat Jl. Diponegoro 3 Malang, Jawa Timur 65111. Bergiat di Mozaik Community. Email ragils_id@yahoo.com.
Aku jengkel dengan ayah. Ayah jahat. Ayah tak mau mengantar aku ke danau Banyu Bening. Padahal kan, aku pingin sekali ke sana. Apalagi kemarin Minggu, Reyna, Dita, dan Reno teman-temanku TK habis ke sana. Cuma aku yang belum pernah ke sana. Aku kan malu. Uh, waktu kami main bareng saat istirahat sekolah, aku hanya bisa melongo mendengar cerita mereka tentang air yang bening, perahu-perahu yang mengambang, gunung-gunung di kejauhan, burung-burung yang terbang merendah, juga rumah-rumah ikan yang ada di tengah. Ah, ayah tega sekali!
Memang, kemarin sepulang kerja ayah membawakanku sekeping VCD tentang danau, entah danau mana. Tapi kan beda menonton di televisi dengan menonton langsung dengan mata sendiri. Di VCD, aku kan tetap tak bisa merasakan embusan angin danau yang kata Reno sejuk sekali. Apalagi waktu naik perahu motor, uh enaknya, rambut kita seperti pecah, begitu Reyna menambah. Iya, betul, seperti di film Titanic, sahut Dita kemudian.
Selain meminta kepada ayah, aku juga sudah mengutarakan keinginanku kepada bunda. Tetapi, sembari membungkusi kue lapis yang akan dititipkan ke toko Babah Cong, bunda hanya berjanji, ”Nanti ya, Sayang, kalau ayah sudah gajian, kita pasti kesana. Sabar ya.”
Aku jadi malas bermain saat istirahat sekolah. Soalnya, tiap kali main bareng, teman-teman selalu kompak bercerita tentang danau. Seolah-olah, mereka memang sengaja mengejek aku. Ingin sekali aku menangis sekeras-kerasnya. Tapi kan malu, masak anak yang sudah sekolah masih menangis.
***
Aku tahu sesungguhnya ayah dan bunda sayang betul kepadaku. Sering kulihat wajah mereka bersedih tiap kali aku mengatakan keinginanku itu. Ah, barangkali mereka memang sedang tidak mempunyai uang. Soalnya kata bunda, danau Banyu Bening itu jauh sekali dari rumahku. Untuk sampai di sana kami harus berganti bus sebanyak empat kali. Dan itu artinya butuh uang yang banyak. Sementara tabungan ayah belumlah cukup.
Satu, dua, tiga, emm... aku lupa sudah berapa bulan kami bertiga, aku, ayah, dan bunda, tinggal di rumah baru kami ini. Yang jelas, beberapa hari setelah orang tuaku berbincang serius sekali dengan nenek, kami pindah ke kota ini. Sedih juga aku waktu itu. Soalnya, aku mesti berpisah dengan nenek juga sahabat-sahabatku: Dini, Fitri, Riski, Ridwan, dan Wahyu. Tapi kata ayah, ia harus bekerja di kota ini dan ia tak mau berpisah dengan aku dan bunda.
Di kota baruku ini, kami tinggal di rumah yang sempit. Lain dengan rumah nenek yang berhalaman luas dan banyak pohonnya. Di rumahku ini hanya ada dua ruang: satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Sementara dapurnya ada di luar, di beranda. Selain sempit, rumahku juga berdempetan dengan tiga rumah lain yang besarnya sama persis. Sementara di bawah ada empat rumah yang sama. Jadi bisa dibilang, rumah kami adalah bagian dari rumah besar yang dibagi jadi delapan, empat di bawah, empat lagi di atas.
Tapi kupikir aku masih beruntung tinggal di rumah yang berada di lantai dua. Aku bisa melihat bulan dan bintang-bintang dengan jelas. Sering sebelum tidur, ditemani ayah atau bunda aku melihat angkasa dari beranda. Bagus sekali. Tapi belakangan ini bulan bintang itu jarang tampak. Yang ada hanya langit hitam menakutkan. Dari beranda pula, aku bisa melihat pemandangan di jalan kecil tapi panjang yang melintang di bawah rumahku. Kalau siang jalan kecil yang diapit rumah-rumah itu jadi tempat bermain kakak-kakak tetanggaku yang sudah SD. Dari beranda juga, sering aku melihat Kak Nano menangis waktu dimandikan ibunya di sumur umum. Padahal dia anak yang nakal. Pernah dia membawa lari boneka peri kesayanganku. Untung saja ayah tahu dan memintanya kembali. Ah, aku kian yakin bahwa sesungguhnya ayah sayang betul kepadaku. Aku jadi malu kemarin-kemarin marah pada ayah. Tapi kan, aku benar-benar pingin jalan-jalan ke danau. Malah, aku pingin tinggal di rumah yang ada di tengah danau. Sepertinya enak...
Kadang-kadang aku jengkel juga dengan diriku sendiri. Sering sekali aku pingin sesuatu dan belum terpenuhi, aku sudah pingin yang lain. Misalnya suatu saat aku pingin permen cokelat, lalu ketika menonton iklan es krim di televisi, aku juga jadi pingin es krim. Keinginanku pun jadi dua: permen cokelat dan es krim. Begitu juga sesudah menonton VCD yang dibawakan ayah. Belum sempat sekadar jalan-jalan ke danau, aku sudah pingin tinggal di rumah yang ada di tengah danau seperti yang tampak dalam film itu. Sepertinya enak, membayangkan tiap pagi memberi makan ikan-ikan gendut yang kalau menganga mulutnya lucu sekali. Dan yang pasti aku jadi punya cerita ketika istirahat sekolah.
Ah, enaknya punya kawan peri. Peri yang baik hati, yang bisa mengabulkan apa saja yang kupinta. Waktu aku pingin terbang, ia ayunkan tongkat bintangnya. Dan, ”Cling!” terpasanglah sepasang sayap putih dan lembut di punggungku. Aku tinggal mengepak sesukaku: mengunjungi nenek atau pergi ke sekolah tanpa terjebak becek. Dan yang pasti aku akan pergi ke danau sekadar terbang mengitar sambil menyebar butiran-butiran pakan ikan, atau bahkan mengunjungi rumah-rumah danau satu persatu. Uh, senangnya bila bisa begitu....
Aku memang punya kawan peri. Dan ia juga memiliki sepasang sayap dan sebilah tongkat berujung bintang. Tetapi periku yang ini cuma boneka. Dia tak bisa memberiku apa-apa. Tetapi aku tetap sayang padanya. Dia kawan setia. Kami bersama-sama sejak masih tinggal di rumah nenek.
***
Bulu yang sangat halus seperti bulu si Cempluk, kucing Kak Nia. Terasa membelai-belai pipiku.
”Ih, geli! Siapa yang iseng?Aku kan ngantuk. Ini ayah, ya?”
”Bukan, Mela, ini bukan ayah, ini peri,” terdengar olehku suara wanita yang begitu lembut.
”Peri? Ah, tak mungkin. Kata ayah, itu kan hanya dalam dongeng.”
”Tidak, Sayang, aku bukan dongeng,” suara wanita itu terdengar lagi. Aku pun mengucek-ucek mataku. Astaga! Betulkah yang ada di depanku?
Wanita mungil, sebesar guling bayi, yang persis sekali dengan boneka periku itu tersenyum. Ia melayang. Sepasang sayapnya yang tampak lembut mengepak pelan. Bintang di ujung tongkatnya memancarkan cahaya tipis. Melihatnya, aku jadi bingung, sungguh bingung. Aku pun menengok ke sekeliling. Di sebelah kananku, ayah sedang mendekur keras sekali. Di sebelah kiriku, bunda tidur pulas. Dan boneka periku juga masih tergeletak diam di dekat kaki ayah.
”Lantas, kamu siapa?” tanyaku dengan suara pelan, takut membangunkan ayah dan bunda.
”Aku peri, Mela.”
”Itu, periku masih ada,” kataku.
”Aku peri yang kehilangan hutan, kehilangan rumah. Orang-orang jahat telah merusaknya, Mel. Mereka menganggap hutanku sebagai sekadar tumpukan kayu. Mereka hancurkan rumahku dengan gergaji bergigi tajam setajam taring raksasa. Mereka runtuhkan kampungku begitu saja.”
Uh, jahat sekali orang-orang itu. Pasti mereka belum pernah dimarahi Ibu Kepala Sekolah. Coba kalau pernah, pasti mereka tak akan berani. Si Rio, hanya karena memetik sehelai daun saja di taman sekolah, dimarahi sampai menangis, apalagi bila sampai merusak hutan.
“Lalu, Kakak Peri mau tinggal di mana?” tanyaku setelah menemukan panggilan yang menurutku tepat, “Kakak Peri”. Kupanggil ia “Kakak Peri” sebab setelah kuperhatikan, wajahnya masih semuda Kak Nia.
“Entahlah, Mel,” ujarnya dengan nada sedih. “Kalau boleh, aku ingin tinggal bersamamu, di rumahmu ini.”
Kasihan juga Kakak Peri. Ingin sekali aku menolongnya.
“Tapi, kau lihat sendiri, Kakak Peri, rumahku begini kecil. Dan belum tentu ayah dan bundaku setuju.”
“Aku bisa tinggal di balik plafon. Kau bisa memanggilku jika ingin bertemu.”
“Emm... tapi aku takut...”
“Tenang saja, kau bisa memanggilku dengan lagu, agar ayah dan bundamu tidak curiga.” Lalu peri itu bernyanyi.
Peri, Peri
kepakkan sayap, datanglah kemari
Peri, Peri
goyangkan tongkat, bebaskan mimpi
Aku senang mendengarnya. Suaranya merdu dan lagunya gampang kuingat.
“Bagaimana, setuju?” tanya Kakak Peri.
Aku mengangguk.
“Oh ya, kau pingin tinggal di rumah yang ada di tengah danau, bukan?”
Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
Setelah memejamkan mata sejenak, peri itu memutar-mutar tongkatnya dengan gerakan yang anggun. Lalu dengan agak menyentak, ia arahkan bintang di tongkatnya kepadaku. Seketika itu hanya cahaya putih-menyilaukan yang kulihat.
***
Tak tahu aku apa yang selanjutnya terjadi. Aku hanya terbangun oleh suara ayah dan bunda yang berbincang serius sekali, tampaknya dari arah beranda sekaligus dapur rumahku. Kudengar pula teriakan orang-orang dari luar rumah. Kenapa, ya? Jangan-jangan, orang-orang menangkap Kakak Peri lalu memasukkannya ke dalam kerangkeng seperti anak-anak kera di kebun binatang. Atau jangan-jangan.... Ah, lebih baik kulihat sendiri!
”Ada apa, Ayah?” tanyaku dengan agak deg-degan, ketika mencapai pintu.
Ayah merengkuh tubuhku, lalu menggendongku. Aku lega, tak kulihat pemandangan yang kutakutkan tadi. Malah, pemandangan di bawah sana membuatku girang sekali. Jalan kecil yang melintang di bawah rumahku penuh oleh air. Ah, ini pasti karena tongkat Kakak Peri. Tetapi, kenapa tak hanya rumahku saja yang ada di tengah danau? Kenapa rumah-rumah yang lain juga sama? Ah, barangkali saja yang pingin tinggal di tengah danau tak hanya aku. Lihat, kakak-kakak tetanggaku melonjak-lonjak senang sekali. Mereka berteriak-teriak, berenang, bermain air kian kemari. Mungkin, mereka juga habis bertemu dengan Kakak Peri. Tetapi, kenapa airnya berwarna cokelat, tak bening seperti kata kawan-kawanku tempo hari? Dan di mana ikan-ikannya? Ah, mungkin, karena masih muda, Kakak Peri belum begitu pintar.
”Ayah, aku juga pingin bermain di danau bawah sana,” kataku merajuk di dalam gendongan ayah.
”Danau?” tanya ayah heran lalu tersenyum.
”Jangan, Sayang, nanti kamu sakit. Kita menontonnya dari sini saja, ya?”
”Tapi, Yah, air di bawah sana kan juga untukku, bukan hanya untuk kakak-kakak itu. Semalam aku juga bertemu dengan Kak....” Ups, hampir saja aku kelepasan.
”Apa, Sayang?” tanya bunda, dengan suara lembut seperti biasanya. Sementara ayah kembali tersenyum.
”Ah, tidak. Tidak apa-apa, Bunda.”
Tapi aku juga merasa kasihan melihat Bik Sum, Mbak Rita, Tante Rini, Kek Man, Oom Philip, Mbah Di, sibuk menata barang-barang mereka di bawah sana. Pasti mereka takut barang-barang mereka jadi basah. Nek Marni, yang sudah lama sakit itu, juga kasihan. Ia menumpang di atas gerobak yang ditarik Pak Jo dan didorong Kak Ipan, entah hendak pergi ke mana. Oom Rudi juga terdengar mengeluh, sambil mengorek-ngorek sampah demi mencari boneka beruang milik si Rega, anaknya. Kulihat juga Doni, yang tinggal tepat di depan rumahku itu, menangis meraung-raung. Si Jalu, ayam kesayangannya, mati tenggelam di dalam kandangnya. Yang paling menakutkan adalah ketika terdengar kabar bahwa Kak Shinta terseret arus selokan. Karena yang terakhir, ayah segera turun, turut berlari bersama kakak-kakak pemuda ke arah selatan, setelah memindahkan diriku ke gendongan bunda.
Dalam gendongan bunda, aku tak tahu harus sedih atau gembira....
***
Seperti biasanya, bunda mendongeng untuk mengantar tidurku. Tetapi entah kenapa malam ini aku tidak mengantuk. Karena kasihan dengan bunda yang tampak capek sekali setelah sesore tadi begitu sibuk membantu para tetangga mengangkut dan menata barang-barang mereka di rumahku ini, aku pura-pura tertidur. Sebetulnya aku masih penasaran dengan akhir dari dongeng Si Kancil dan Putri Duyung. Tetapi tak apa, besok kan masih bisa. Biar bunda tidur saja. Sementara itu ayah tak tampak di rumah. Kata bunda ia sedang berjaga-jaga bersama kakak-kakak pemuda di luar sana.
Setelah kupikir-pikir, ternyata tinggal di tengah danau banyak tidak enaknya. Apalagi malam hari begini. Tetap dingin sekali meski aku sudah berselimut dan memeluk boneka periku. Lampu juga mati. Gelap. Yang ada hanya cahaya lilin yang bergoyang-goyang. Mau nonton film kartun tidak bisa. Mau berkaraoke lagu Cicak Temannya Katak juga tidak bisa. Yang menyanyi malah para nyamuk. Ih, suaranya juga berisik sekali, ngang-nging-ngang-nging saja!
Untung ini hari Minggu. Coba kalau Senin, Rabu, atau Kamis, pasti orang-orang yang mau pergi ke sekolah atau ke tempat kerja jadi susah sekali. Mereka harus menggulung celana atau rok dan menjinjing sepatu. Dan bunda pasti ikut susah waktu mengantar kue lapis ke toko Babah Cong dan mengantarku ke sekolah. Ayah juga jadi repot waktu berangkat kerja. Aku jadi kepikiran, bagaimana jika besok pagi keadaan tetap begini? Bagaimana pula jika air makin banyak, makin tinggi? Apakah barang yang rusak dan hilang makin banyak? Sekarang saja, rumahku sudah penuh dengan televisi, radio, kardus-kardus yang isinya entah apa, titipan para tetangga. Apakah nyamuk juga bertambah banyak? kata Bu Yayuk guruku TK, Nyamuk kan bisa mendatangkan penyakit. Wah, bisa-bisa banyak orang yang sakit seperti Nek Marni. Lantas bagaimana dengan anak-anak kecil? Jangan-jangan kian banyak yang terbawa arus seperti yang dialami Kak Shinta pagi tadi. Untung saja ia selamat. Kata ayah ia cuma lecet-lecet. Tapi bagaimana coba kalau banyak anak kecil yang terseret arus dan tak bisa kembali? Ah, pasti ayah dan bunda mereka jadi sangat sedih.
Membayangkan itu semua aku jadi takut sekali. Ternyata ulahku dan Kakak Peri bisa membuat orang-orang jadi susah. Aku ingat, Bu Yayuk pernah berkata bahwa orang yang suka menyusahkan adalah anak nakal, dan anak nakal tidak disukai Tuhan. Ah, aku tak mau jadi anak yang seperti itu.
Satu-satunya jalan untuk mengembalikan kampungku seperti semula adalah dengan memanggil Kakak Peri dengan lagu yang diajarkannya. Mula-mula suara kubuat pelan sekali, takut membangunkan bunda. Tetapi Kakak Peri tidak muncul. Suara kubuat agak keras, Kakak Peri tidak juga datang. Kutambah keras lagi, tetap tak ada jawaban. Aku tak tahu harus bagaimana lagi selain menangis.
Tak tahu pula kenapa tiba-tiba saja tanganku menggoyang-goyangkan lengan bunda, sementara mulutku memanggil-manggilnya,
”Bunda, Bunda.” Sambil mengedip-ngedipkan matanya, barangkali karena masih mengantuk, bunda bertanya kepadaku,
”Lhoh, Sayang, kenapa menangis?” Aku hanya menggeleng.
Bunda lalu bangkit dari tidurnya, duduk di kasur dan mengelus kepalaku.
”Kenapa, Sayang?” tanya bunda lagi.
Setelah beberapa saat hanya diam dan sesenggukan, akhirnya aku berkata juga, ”Bunda, Bunda jangan marah, ya?”
”Tidak, Sayang. Kenapa?”
”Bunda, air di bawah sana itu karena ulahku dan Kakak Peri. Dia kubiarkan mengayunkan tongkatnya hingga kampung kita pindah ke tengah danau.”
Bunda malah tersenyum. Aku jadi bingung.
”Sayang, Kakak Peri itu tak ada. Ia hanya ada dalam dongeng. Barangkali kau hanya bermimpi. Dan ini bukan salahmu. Ini namanya banjir. Banjir itu gara-gara pohon-pohon ditebang dan sampah yang dibuang sembarangan. Nah, kamu harus berjanji tidak akan membuang sampah sembarangan. Bagaimana, janji?”
Aku mengangguk, meski tidak tahu benar hubungan sampah, pohon, dan banjir. Sementara itu, sayup-sayup, dari balik plafon aku mendengar nyanyian.
Anak baik, untukmu aku datang
Untukmu pula kubiarkan mimpi jadi kenyataan
Penulis:
Nama: Widhi Hayu Setiarso.
Alamat: Jl. Karangrejo No. 35, Salatiga 50743, Jawa Tengah
Email: widhi_setiahayu@yahoo.co.id