Menjaring Mimpi di Tengah Laut, oleh Fathor Rasyid


Hari ini adalah hari kemarin. Hari esok, mungkin hari yang saat ini ia jalani. Tak ada senyum mengambang di bibirnya. Cita-cita, harapan, dan keinginan mungkin hanya sebatas mimpi yang entah di mana harus ia tambatkan.

Seperti hari-hari kemarin, mendung di wajah Samen masih belum memudar. Matanya yang letih jauh menatap ke depan, ke sebuah gubuk yang tak pernah menaburkan senyum. Ia biarkan angin pantai mengibas-ngibaskan baju rombengnya. Sementara terik matahari menjilati kulitnya yang gelap kecoklatan.
Dengan langkah gontai, Samen terus saja berjalan, menyusuri jalan pulang, menyisiri pasir di bibir pantai, melewati orang-orang yang sedang sibuk memperbaiki jaring, mengecat perahu, atau para nelayan yang baru pulang mengarungi lautan.
Samen meninggalkan ayahnya yang masih duduk sendiri, terkapar lesu di atas pasir. "Pulanglah nak. Katakan pada ibumu, hari ini nasib belum beruntung."
Setiap hari, sebelum matahari memanahi pagi, di bibir pantai, di atas pasir yang berdesir, Samen menunggu ayahnya pulang, menunggu harapan yang mungkin datang menjelang. Harapan tentang berkeranjang-keranjang ikan yang dibawa ayahnya pulang dari tengah lautan.
Tapi, akhir-akhir ini, saat cita-cita tentang sesuatu mulai tertanam di hati Samen, lautan sebagai sandaran seolah tak membentangkan senyum. Jika pun ada hasil tangkapan ikan yang dibawa ayahnya pulang, itu hanya cukup buat makan.
"Sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa sih nak? Es-em-pe kan sudah cukup. Lihat ayah, es-de saja nggak lulus." Ungkap ayah Samen suatu ketika, saat Samen mulai mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah. "Sekolah itu mahal nak. Tapi jika keinginanmu itu tak bisa kau bendung, doakan saja mudah-mudahan ayah dapat ikan yang banyak."
Bukannya Samen tidak rajin mendoakan ayahnya, atau barangkali doanya tidak khusuk. Seperti yang sering diperingatkan guru ngajinya, Samen selalu bangun tengah malam untuk mendoakan Sang Ayah agar mendapat ikan banyak. Bahkan di tengah doanya, air mata Samen selalu terjatuh di sajadah yang sudah lapuk.
Tapi, doa Samen tak jua terjawab. Hingga suatu ketika Samen menghadap guru ngajinya, mempertanyakan doa yang tak terkabulkan. Tapi jawaban yang diberikan guru ngajinya membuat Samen kecewa. "Kamu harus bersabar. Barangkali Tuhan mempunyai maksud lain, Samen."
Bagi Samen, sabar bukanlah jalan keluar yang tepat untuk saat ini. Ayahnya sangat membutuhkan uang untuk membiayai sekolahnya. Tinggal menghitung beberapa hari lagi, jika ayahnya tak segera mendapatkan uang, ia tak mungkin bisa melanjutkan sekolah.
"Barangkali ada doa yang manjur Pak Kyai?"
"Murid macam apa kamu, jika diberi cobaan segitu saja, kamu tak mau bersabar. Sudah kubilang, bersabarlah! Tuhan itu maha tahu apa yang diingankan hamba-Nya." Bentak guru ngajinya yang menganggap pertayaan Samen sebagai bentuk pembangkangan seorang murid terhadap guru. Sontak, Samen mundur seribu langkah, dan pamit undur diri.
Dan juga pernah suatu ketika hati Samen dibuat berbunga-bunga saat rumahnya dikunjungi kepala sekolah es-em-pe-nya. Samen mengira kunjungan Kepala Sekolah bermaksud membantu kelanjutan sekolahnya. Tapi, jawaban yang Samen dapatkan mengecewakan. Ketika orang tua Samen menanyakan bagaimana caranya supaya Samen bisa melanjut sekolah sementara uang belum ada. "Maaf Bu, saat ini saya juga harus mengeluarkan uang banyak untuk menguliahkan tiga anak saya. Coba cari ke orang lain saja."
Saat-saat keadaan mendesak, tak mungkin orang tua Samen berharap dari hasil tangkapan ikan yang serba tak jelas. Maka ia harus mencari kepercayaan orang lain untuk mendapatkan pinjaman. Di antaranya adalah Pak Haji Sugito, juragan yang memiliki banyak perahu, sekaligus seorang rentenir. Walau begitu, orang tua Samen bertekad meminjam uang padanya.
"Maaf Pak. Bukan saya tidak mau memberikan pinjaman. Tapi sampean tak punya jaminan apa-apa yang bisa meyakinkan saya untuk memberikan pinjaman. Sekali lagi saya minta maaf, Pak." Ungkap Pak Haji Sugito dengan nada yang seolah-olah ikut merasakan derita ayah Samin.
Tidak cuma Pak Haji Sugito, Pak Lurah pun didatangi orang tua Samen. Tapi jawabannya juga sama mengecawakan.
Dan lebih menjengkelkan lagi ketika kedua orang tua Samen mendatangi Pak Solihin, seorang anggota DPR, tak sepeser pun ia memberikan pinjaman, tetapi malah menceramahi kedua orang tua Samen. Padahal sebelum terpilih, ia berjanji akan menggratiskan rumah sakit dan sekolah bagi orang-orang yang tidak mampu.
Dengan tangan hampa, orang tua Samen pulang, menemui anaknya yang menunggu kabar terbaru, kabar yang mendebarkan jantung.
"Maafkan ayah, Nak. Ayah sudah pontang-panting cari utangan. Ayah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, nak. Jika kamu memang benar-benar tidak bisa melanjutkan sekolah, bapak mohon terimalah dengan lapang." Ungkap ayah Samen suatu ketika sebelum pergi melaut.
"Iya Nak. Usaha ayahmu sudah mentok. Kamu tahu sendirikan!? Kami sudah tidak bisa apa-apa lagi." Sambung ibu Samen membenarkan.
Samen tak berkomentar apa-apa. Wajahnya tertunduk, menyembunyikan air muka yang menggaritkan kecewa. Tapi kepada siapa kekecewaan itu ia lontarkan. Tak mungkin kepada orang tuanya, atau pula orang-orang yang tak memberinya uang pinjaman.
"Samen, dulu ayah tak pernah berpikir kalau kau punya keinginan untuk melanjutkan sekolah. Aku kira kau seperti ayahmu ini, yang tak pernah ada keinginan untuk sekolah. Belum tamat es-de ayah sudah melaut. Tapi, setelah mengetahui prestasimu dari es-de sampai es-em-pe, ayah mulai berpikir, kau memang pantas terus bersekolah. Apalagi tetangga, teman-temanmu, guru-gurumu, sampai kepala sekolahmu menyarankan. Rasanya semakin kuat keinginan ayah untuk menyekolahkanmu, nak. Tapi inilah kenyataan yang kita hadapi. Mereka hanya bisa menyuruh, memberi saran, tapi mereka tak mau tahu dan tak pernah mau memberikan jalan keluar atas masalah yang kita hadapi. Jadi jangan kau berpikir kalau ayah tak berkeinginan menyekolahkanmu." Sembari menghisap lintingan dan mereguk secangkir kopi bikinan istrinya yang mulai dingin, ia teruskan pembicaraannya. "Tetapi baiklah Samen, beberapa hari lagi penerimaan siswa baru akan ditutup. Sebab itu doakanlah ayah, barangkali keajaiban terjadi. Siapa tahu ayah memperoleh tangkapan ikan yang besar, sehingga kita bisa menjualnya dan kita mendapatkan cukup untuk uang untuk sekolahmu."
Sejak itu, setiap matahari memanahi pagi, saat debur ombak mulai surut, di pinggir pantai, mata Samen manatap penuh harap jauh ketengah laut, menunggu layar ayahnya mengambang.
Saat perahu yang ditumpangi ayahnya mulai merapat, sekitar lima puluh meter dari bibir pantai, seperti anak-anak lainnya, Samen pun lari lalu berenang menerobos gulungan ombak, menepis buih dan juga ikut mengerumuni perahu.
Tapi saat air muka ayahnya terlihat masam, Samen tak berusaha mendekat. Biasanya ia akan berlama-lama di pantai, membiarkan tubuhnya digulung ombak ke bibir pantai, hingga ayahnya memanggil dan menyuruhnya pulang. "Samen, cepatlah pulang. Bawalah ikan ini untuk lauk di rumah."
Tanpa bicara atau beradu-tatap, Samen segera bergegas pergi. Meninggalkan ayahnya yang beku dalam tanya. "Samen, apa kau marah padaku, nak?" Desis ayahnya saat Samen terlihat mengecil dalam pandangan.
Begitulah seterusnya, hingga saat ini, saat langkah kakinya mulai letih menyisiri pasir bibir pantai, menyusuri jalan pulang untuk menyampaikan pesan dari ayahnya bahwa nasib tak lagi mujur.
* * *
"Kamu harus bisa menerima kenyataan, nak." Begitulah himbau ayah Samen. Ia masih juga belum bisa mewujudkan mimipi-mimpinya. Mimpi tentang bangku sekolah, tentang teman yang nakal, guru yang galak, dan segala mimpi yang dapat membuat kenangan tersendiri bagi Samen.
Dan kini mimpi itu benar-benar lenyap dari kehidupan Samen. Kenyataan yang sangat memukul itu begitu sulit diterima. Hingga perubahan dalam diri Samen mulai tampak.
"Pergi saja kau. Di sini kau tak menguntungkan bagiku. Pergi jauh...! Hatimu telah disusupi iblis. Pergi! Aku tak butuh kamu." Serapah guru ngaji Samen saat sikapnya di mata sang guru mulai tak patuh.
Samen lebih suka menyendiri. Kadang ia berlama-lama di bibir pantai, duduk sendiri, matanya menatap jauh ke samudra yang biru.
Banyak orang mengira Samen mengalami gangguan jiwa. Dan sebagian mengatakan kesurupan. Lebih parah lagi, Samen mulai jarang di rumah, sehari pulang, sehari tidak.
Plaakk... Tamparan mendarat di pipi Samen. "Ke mana saja kau keluyuran?!" Bentak ayah hilang kendali. "Kau mau jadi apa, hah!?" Tambah ayahnya lebih keras lagi.
"Sudah Kang. Tak baik bersikap seperti itu terhadap anak sendiri. Ini tak akan menyelesaikan persoalan, malah akan menambah persoalan baru. Sudah kang, mari kita bicara baik-baik." Pinta ibu Samen.
"Sikap Samen ini sudah keterlaluan. Jika dibiarkan, ia akan semakin menjadi-jadi dan semakin menyiksa orang tua."
"Sudahlah Kang..." Ibu Samen menghiba, sembari memegang kedua tangan kekar suaminya. Kemudian bersimpuh di kaki suaminya, memohon ampun.
"Maafkan anak kita kang. Maafkanlah dia!" perempuan itu sesenggukan. "Ingat kang, ingat... Dia itu anak kita satu-satunya. Ia adalah harapan kita. Tak ada lain, tak ada, kecuali dia."
Seketika itu air muka ayah Samen yang sedari tadi seperti hangus terbakar, sedikit demi sedikit mereda. Ia rundukkan wajah dalam-dalam, merenung.
"Maafkan ayah, nak. Ayah hanya takut kau jadi anak durhaka. Ayah ingin kau jadi anak baik-baik."
Dengan meraih kedua pundak Samen, ia kembali berkata, "ayah tahu kau di hantui rasa sesal, karena nasibmu tak seperti mereka. Ayah tahu kau kecewa, karena kau punya orang tua yang tak mampu menyekolahkanmu. Seharusnya ayah memenuhi keinginanmu."
Mendengar kata maaf yang ganjil itu, tubuh Samen tiba-tiba menggigil. Kelopak matanya pun mulai basah. Tapi suara tangisnya tak terdengar.
Dari bibirnya yang bergetar, lirih ia berkata, "Maafkan aku ayah. Selama ini aku tak mau mengerti ayah. Ayah, mulai besok aku akan ikut ayah melaut. Ajari aku menjadi jurumudi. Barangkali di sanalah sebenarnya mimpiku berada"
"Jangan nak. Kau jangan seperti ayah. Jalanmu masih panjang. Raihlah cita-citamu melebihi tinggi bintang."
"Bagiku, menjadi seperti ayah atau tidak, sama saja. Dulu Pak Kyai pernah bilang, percuma jadi orang pintar jika tidak bermoral. Dan sekarang aku putuskan, aku akan menjadi seperti ayah, mengarungi luasnya lautan."


Parangtritis, Juli 2008 


Fathor Rasyid adalah Penyair, Essais.Lahir di Sumenep 22 November 1992.Bergiat pada sanggar Kutub Yogyakarta.Dan saat ini berdomisili di Jalan Minggiran MJ II/1477 Yogyakarta. Berbagai tulisannya telah di publikasikan diberbagai media, lokal dan nasional.Telp: 081904040582

Share:

1 komentar