Taufik Ismail dan Program Gerakan Sastra, oleh Abdul Aziz Rasjid
Oleh: Abdul Aziz Rasjid
Tulisan ini ingin menyoroti salah satu sastrawan sekaligus penyair yang tiada henti, berusaha memberikan kontribusi bagi pembangunan kebudayaan Indonesia. Taufik Ismail (Lahir 25 Juni 1935) salah satu sastrawan yang memiliki keinginan besar untuk memajukan budaya bangsanya, utamanya pembangunan budaya membaca dan menulis bagi putra putri Indonesia. Dengan adanya keinginan ini ia telah memberikan gagasan pemikiran, kepeloporan, dan kepedulian untuk kemajuan budaya bangsa, yang diwujudkan dalam gerakan sastra bagi generasi bangsa di sekolah-sekolah menengah dan universitas
Latar Belakang Gerakan Sastra
Gerakan sastra yang digagas Taufik Ismail, ada bukan tanpa sebab, didasari keresahan yang mulai terpatri pada tahun 1953-1956 Taufik merasa bahwa dirinya bersama puluhan ribu anak SMA lain seangkatannya di seluruh tanah air telah menjadi generasi nol buku, yang rabun membaca dan pincang mengarang. Nol Buku disebut karena pada kala itu, mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga generasi yang ada “rabun membaca”. Sedangkan istilah “pincang mengarang” adalah karena tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah. Keadaan generasi yang pincang mengarang dan rabun membaca inilah yang juga diindikasikan Taufik menjadi sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini, karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Negara di seluruh strata, baik di pemerintahan atau swasta.
Untuk membuktikan keresahannya ini kemudian taufik melakukan perbandingan pelajaran membaca dan mengarang antara siswa Indonesia dan siswa dari beberapa negara lain, dalam sebuah survei sederhana ia mendapat perbandingan yang mencengangkan. Di saat pelajar Indonesia tidak mendapatkan tugas membaca dan mengarang, pelajar SMA di Amerika Serikat sudah diharuskan membaca 32 buku, bahkan negara berkembang Thailand sudah diharuskan membaca lima buku.
Didorong keresahan yang semakin menguat lahirlah keinginan yang kuat pada diri Taufik Ismail untuk mewujudkan kebudayaan membaca dan menulis pada generasi bangsa agar lebih baik. Ia bersama Horison (Majalah sastra dimana Taufik Ismail menjadi Redaktur Senior dan salah satu Dewan Redaksi) menyusun enam butir kegiatan gerakan sastra bagi Pendidikan Sastra di Indonesia, dimana sasarannya adalah siswa SMU hingga Mahasiswa. Bentuk-bentuk kegiatan sastra berupa Sisipan Kaki Langit (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) dalam Majalah Horison, Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk Guru Bahasa dan Sastra di seluruh propinsi (Februari-Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM).
Kenapa harus sastra?
Taufik Ismail menjawab, membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing.
Gerakan Sastra Sebuah Program Nasional
Gerakan sastra yang digagas Taufik Ismail bagi Pendidikan Sastra di Indonesia dapat dikatakan sebuah program nasional. Disebut program karena gerakan sastra Taufik memiliki kejelasan tujuan, metode, sasaran, target, parameter, waktu, dan eksekutor. Disebut nasional karena wilayah yang dibidik bersifat menyeluruh (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK, dan mahasiswa setanah air)
Tujuan: gerakan sastra ini melihat latar belakang gagasannya memiliki kejelasan tujuan yaitu menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar Sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa.
Metode: Menurut hemat penulis enam butir kegiatan sastra yang berupa Sisipan Kaki Langit (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) dalam Majalah Horison, Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk Guru Bahasa dan Sastra di seluruh propinsi (Februari-Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) merupakan metode.
Dimana metode ini saling terkait dan memperkuat varian-varian yang dapat menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar-pelajar di sekolah menengah, santri pesantren , maupun mahasiswa.
• Sisipan Kaki Langit (SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) secara tidak langsung membuktikan bentuk kepeloporan Taufik dan keseriusannya dalam mewujudkan keinginannya dalam pembentukan budaya membaca dan menulis untuk pelajar SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK. Buktinya Taufik sebagai Redaktur Senior dan salah satu Dewan Redaksi mampu menjadikan Horison sebagi alat untuk mencapai tujuannya, karena dilihat dari isinya Kaki Langit menurut hemat penulis memiliki hubungan dengan tujuan Taufik, yaitu: Pertama, Sosok dan karya di kaki langit yang mengenalkan pada siswa tentang beberapa sosok sastrawan Indonesia, karyanya, ulasan karya dan proses kreatifnya dapat dijadikan influence bagi siswa untuk menulis, mengambil referensi, sebagi pemacu semangat dalam proses kreatif penulisan siswa. Kedua, kaki langit menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya, bagi siwa di sisipan kaki langit ini mereka dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai dimana karya siswa ini lalu diulas oleh Horison, ulasan ini dapat dikatakan sebagai edukasi dan evaluasi dari pengembangan tekhnik menulis bagi proses kreatif siswa, sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia dapat berbagi pengalaman dalam metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Untuk mempermudah akses pengkomsumsian pada siswa, Sisipan Kaki Langit Horison dibagikan ke SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK secara gratis, disini dapat dikatakan bahwa Sisipan Kaki Langit Horison sebagai media gerakan sastra taufik bertekad untuk menjumpai mereka secara langsung di tempat mereka mengenal karya sastra.
• Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk Guru Bahasa dan Sastra di seluruh propinsi (Februari-Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) sebagai ajang promosi gagasan pemikiran Taufik untuk membudayakan membaca dan menulis, dan juga perjumpaan secara langsung Taufik dan sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.
Sasaran: Dalam perkembangan gerakan sastra yang bertujuan menggairahkan budaya membaca dan menulis, ternyata tidak hanya mahasiswa dan pelajar yang dijadikan sasaran gerakan sastra Taufik tetapi juga Guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal ini penting karena Guru Bahasa dan Sastra adalah eksekutor terpenting dalam lingkup terkecil (Sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis.
Target: tentu saja dilihat dari tujuan gerakan sastra taufik maka target yang diharapkan adalah terciptanya budaya menulis dan membaca di pelajar dan mahasiswa maupun guru.
Parameter: Adanya kebudayaan membaca dan menulis bagi siswa SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK dan Mahasiswa. Melihat parameter yang diharapkan, maka secara ringkas hasil idealnya adalah adanya karya yang dihasilkan oleh siswa SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK dan Mahasiswa. Persoalan selanjutnya bagaimana karya mereka (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat terkonsumsi oleh masyarakat?
Untuk mengkaji hal ini tentu kita harus mengkaji lebih dalam tentang banyak hal, tetapi dalam penulisan ini penulis mengkonsentrasikan diri untuk membahas sebuah soal, yaitu Sistem Industri budaya (lebih khusus akan berbicara masalah penerbitan karya). Kekhususan terhadap pembahasan diatas bukan berarti menafikkan faktor lain tetapi untuk tetap segaris dengan tujuan penulisan.
Sistem Industri Budaya
Secara umum keadaan Sistem Industri Budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri yang market oriented dimana secara jelas mengejar pengembangan modal dan kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.
Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Singkatnya idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar oleh penulis harus dipinggirkan dan tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Efek yang terjadi penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan karya hanya untuk popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.
Sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal, dalam bidang sastra seperti Horison, Komunitas Sastra Indonesia, forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu. Konsekuensi logis bagi penulis, karyanya agar dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standard yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini memberi kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya tetapi memang harus sesuai standard yang dipatok, maksudnya jika yang dihasilkan karya sastra maka karya memiliki standar estetik yang dipatok komunitas itu, hasil yang didapatkan jika penulis tetap bertahan pada idealisasinya maka akan lahir tenaga ahli produktif dimana karya bersifat murni pemikiran yang dieksperimenkan dalam proses kreatif.
Di sinilah menurut penulis letak pekerjaan rumah terpenting gerakan sastra Taufik, yaitu generasi hari ini harus dapat membuat karya yang memiliki standar yang baik di bidang penulisan apapun, agar penulis menjadi tenaga ahli dalam bidangnya bukan hanya tenaga kerja.
Pertanyaannya, bagaimana menciptakan penulis-penulis dengan karya yang mempunyai standar baik.
Independensi Akal Pikiran dan Keberanian Berpikir
Taufik Ismail dalam hemat saya adalah model bagi independensi akal pikran sekaligus model keberanian berpikir. Mengapa saya mengatakan demikian, karena dalam program gerakan sastra yang dipelopori Taufik, potensi berpikir dia dalam menganalisis kehidupan jamannya dan otoritas yang ia miliki, tidak lantas menjadikan dia sebagai agen pelestari dari otoritas pemikiran mapan.
Ia dengan kesadarannya mengetahui bahwa generasi yang ada adalah generasi nol buku dan pincang mengarang tetapi ia tak kunjung diam, tetapi mengelola keresahannya dalam sebuah gerakan untuk mengubah hal itu. Semacam melakukan pencerahan.
Tetapi, gerakan yang ia lakukan saya kira masih bersifat elitis yaitu terpusat dimana gerakan ini eksis bertumpu pada keeksisan Horison saja. Padahal tidak selamanya Horison itu ada, dan dapat menampung semua gagasan-gagasan pemikiran yang dituliskan dalam bentuk karya sastra, apalagi jika karya tersebut tidak sesuai standard yang dipatok Horison.
Lalu saya kira, untuk menularkan independensi akal pikiran dan keberanian berpikir yang dimiliki Taufik, sudah seharusnya ia mengubah diri dari gerakan elitis menjadi gerakan populis. Dimana gerakan ini bertumpu pada basis-basis terendah (daerah), dengan menggunakan kepopulisan, kepeloporan Taufik di antara para sastrawan yang tersebar di daerah untuk dirangkul bersama, menggelorakan independensi akal pikiran dan keberanian berpikir untuk mensuarakan kebutuhan-kebutuhan daerah, memprasastikan permasalahan daerah, lewat karya sastra.
Berarti di sini akan lahir banyak komunitas sastra, entah di kampus bagi mahasiswa, di pesantren bagi para santri, atau bersama dengan pelajar, pecinta sastra ditempat-tempat tertentu yang disepakati. Sastrawan yang sudah punya nama di daerah menjadi penggagas daya berpikir, mengedukasi, dan juga sekaligus eksekutor gerakan sastra Taufik, kelebihannya sastrawan mengeksekusi langsung, pengalamannya dapat dijadikan rujukan karena disini sastrawan benar-benar mengetahui medan, sehingga tidak gagap dalam membaca tanda-tanda. Lewat komunitas ini karya sastra dapat diperkenalkan, dimana buku sastra digunakan untuk mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum, dan juga dapat dianalisa dan dipelajari lebih dalam. Di lain sisi komunitas ini juga akan sebagai ajang latihan menulis, saling mengevaluasi, untuk mempersiapkan individu di dalamnya mampu menulis di bidangnya masing-masing dengan secara matang. Dan lebih penting menyatukan independensi pemikiran dan keberanian berpikir secara bersama.
Sekaligus hal ini juga dapat mengikis kapitalisasi produk sastra karena jika diibaratkan tanah maka sabuk hijau atau hutan sudah diberdayakan. Hal ini penting, karena penulis muda tidak akan berorientasi financial reward tetapi lebih berorientasi mensuarakan keadaan jaman. Dan karya sastra tidak terjebak lagi pada inovasi bentuk tetapi dengan sendirinya akan memasuki pada inovasi isi.
Jika kemudian hal ini dipersoalkan dengan masalah pensosialan karya, saya kira masih terdapat banyak ruang alternatif yang bisa digarap agar masyarakat membaca karya, persoalannya tinggal bagaimana penulis-penulis memaksimalkan diri dalam berkarya, sambil bersama komunitas yang ada menyiasati peluang-peluang pemasaran dan mengenalkan karya pada masyarakat.
Karya sastra akan benar-benar mensuarakan, memberi pencerahan pada pembacanya, menyadarkan akan keadaan zamannya. Dan bukankah karya yang ditulis dan dibaca untuk generasi pasca gerakan sastra Taufik nantinya tidak hanya didasarkan melahirkan generasi yang eksis untuk terus menulis dan membaca, tetapi generasi dimana karya yang dilahirkan adalah karya berkualitas dan dapat berbicara tentang tanah airnya pada dunia.
Jika kemudian persoalannya adalah karya sastra masih ada yang tak mendapat ruang, itu bukan berarti karya tersebut dikatakan gagal, sepaham dengan pemiran Ahmadun Yosi Herfanda, saya menyetujui bahwa pada akhirnya: Karyalah yang akan bicara kepada dunia bagaimana sesungguhnya kualitas kesastrawanan seseorang dan dimana ia harus ditempatkan dalam sejarah sastra suatu bangsa.
Purwoketo, Mei 2008
Abdul Aziz, lahir di Malang 4 Maret 1985. Esainya termuat dalam buku antologi The Spirit Of Love (LPM Obsesi STAIN Purwokerto-Bukulaela). Mahasiswa Fak Psikologi UMP, bergiat di Teater Wungu Psikologi dan Komunitas Sastra Bunga Pustaka. Juga menulis cerpen dan puisi tetapi belum terpublikasi. Alamat Jln. Kenanga 2 M3 No 1 Rt 09 Rw 10 Desa Ledug, Kec. Kembaran, Kab. Banyumas,. Purwokerto, Jawa Tengah, 53182.
1 komentar