Ijinkan saya sedikit melantur dulu. Saat tugas wawancara harus saya kerjakan, saya langsung berpikir siapa. Pertama nama yang muncul adalah Beni Setia. Beliau selain sebagai sastrawan senior yang karyanya masih bisa kita temui baik di koran maupun majalah juga terbilang dekat dengan teman-teman penulis Solo termasuk dengan saya. Bahkan saya merasa “berhutang budi” padanya karena telah menulis esai berjudul Realitas Magis terhadap novel saya Tembang Tolak Bala di Suara Karya dan epilog di kumpulan cerpen saya Ritual.
“Pengakuan dan prestasi” Beni Setia terwakili dalam kumpulan puisinya bertajuk Babakan yang masuk longlist KLA 2010 dan cerpen-cerpennya yang ada di dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas yakni Pelajaran Mengarang tahun 1993 dan Smokol tahun 2008.
Wawancara saya lakukan via email karena beliau ada di Caruban sedangkan saya di Solo, dan ini hasilnya. Silakan menikmati.
Sejak kapan Mas Beni menulis? Boleh ceritakan awal mulanya tertarik dengan dunia menulis.
Mungkin akhir dekade 1970-an. Saat lulus SMPA (Sekolah Pertanian Menengah Atas), dan kembali bergaul dengan banyak teman SMP yang sudah lulus dari aneka SLTA, dan menganggur. Kami berkumpul, banyak membual tentang apa saja sambil mendengarkan lagu, mendiskusikan film, dan terutama buku. Maksudnya, beberapa dari mereka sangat intens membaca, meski awalnya hanya membaca komik, buku silat cina, cowboy, cerita detektif—dalam basa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia. Karena kakak salah satu teman itu orang pers—basisnya musik sehingga banyak menulis tentang jazz—, akhirnya saya tersesat ke dalam khazanah karya-karya sastra yang aktual saat itu.
Saat sampai di titik ini saya jadi sendiri dan kadang tak bisa mengkomunikasikannya dengan teman dekat. Meski begitu karya-karya awal saya beredar dalam diskusi di antara mereka, dan sastra (akhirnya) jadi satu-satunya dunia untuk aktualisasi diri ketika teman-teman mulai kuliah dan bekerja. Saat itu merupakan periode panjang, yang melulu membaca dan hanya membaca, sebelum karya mulai merembes di media massa dengan setumpukan naskah gagal—yang terkadang dievaluasi dan dikoreksi sebelum ditawarkan lagi ke media massa. Saat itu tak ada alternatif penerbitan, selain koran dan majalah, sehingga seleksi manuskrip dari naskah yang ditawarkan dengan yang terpampang di media massa sangat ketat.
Dari semua karya yang dihasilkan, bagi Mas sendiri, yang mana yang paling bagus/puas? Boleh ceritakan karya-karya Mas sampai yang terkini.
Ketika saya mulai menulis, secara psikologis saya ada di antara teman yang sudah mapan karena punya pekerjaan dan bersiap menjadi mapan karena kuliah di PT. Itu melahirkan motif penulisan yang aneh: bukan sekedar mencari jeneng dengan karya yang fenomenal, tapi mencari jenang untuk menunjukkan bahwa menulis itu sebuah profesi dengan efek ekonomi finansial yang jelas. Setidaknya keluarga besar melihat menganggur sebagai periode jeda—saya berkali-kali ditawari kuliah—, tapi menjadi pengarang merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ada sidang keluarga untuk mempertanyakan pilihan hidup di satu sisi dan kesungguhan mengarang di sisi lain. Saya ngotot dan mereka menyerah dengan semacam grundelan—risiko ditanggung sendiri. Dan saya terus berjalan.
Di titik ini, di awal dekade 1980-an, saya bertemu banyak teman dan menemukan semacam kesungguhan berteman dengan pengarang-pengarang yang lebih memburu jenang bukan jeneng, yang berbicara tentang produktivitas dan produksi yang bisa dijual dan bukan masalah estetika dan ekspresi sastra. Yang terakhir itu bagian dari gugus kendali mutu, karena yang terutama itu produktivitas berkarya dan sekaligus agresivitas menawarkan karya. Semakin banyak yang dibuat, semakin banyak yang ditawarkan, akan semakin banyak kemungkinan akan terbit.
Bahkan saat itu saya meminjam konsepsi Sayogo, tentang kecukupan hidup minimal petani subsistensi, dengan menetapkan besaran penghasilan minimal dengan ukuran ketersediaan sekian kilogram beras per hari sebagai kriteria layak untuk kecukupan hidup sebulan. Sehingga harus punya persediaan beras (= biaya hidup) berapa agar tenang menulis, dan apa cukup untuk sebulan menulis atau kurang, dan bila kurang dari apa dan dari mana menutupnya. Target berkarya bukan jeneng tapi jenang, dan kepuasan produktivitas itu kuantitas karya terpublikasi. Obsesi estetika diabaikan, dan saya sering tidak puas dengan apa yang terpublikasi. Itu yang menyebabkan banyak tulisan tak memenuhi kelayakan tulis, dan tak pantas untuk diterbitkan sebagai buku tanpa dilakukan editing ulang. Sehingga puisi jadi pilihan, karena lebih pendek dan lebih mudah dievaluasi dan dikoreksi. Cerpen sulit ditulis ulang—saat itu kita belum dimudahkan oleh teknologi komputer yang sangat menggampangkan editing dan tulis ulang—, terlebih esei mengingat basis akademik saya yang lemah.
Penghargaan/kemenangan atas lomba apa yang membuat Mas merasa telah mencapai suatu tahapan/capaian menulis tertentu?
Selama ini saya hidup dalam semacam “jurang estetika”—saya tak ingat siapa yang memperkenalkan istilah ini—, antara yang ingin ditulis dan tidak mungkin ditulis, dengan yang harus ditulis dan layak terbit. Ada pencapaian kuantitas berdasarkan kriteria atau selera redaksi yang menggejala samar dan berhasil dipenuhi, hal yang menyebabkan saya menulis dengan perangkat di luar diri saya sendiri—meski gugus kendali mutu tetap di tangan. Lomba juga terkadang ada dalam kontestasi seperti itu, mencari yang terbaik di antara yang ada, dengan selera juri yang jamak dan tak tunggal seperti selera redaktur media massa cetak.
Akibatnya terjadi ironi, si cerpen yang gagal dalam lomba berhasil di media massa, si cerpen yang gagal dalam seleksi redaksi media massa sukses dalam lomba—meski ada proses gugus kendali mutu lanjutan. Hal itu mengingatkan saya pada dua hal: sebuah karya terkadang belum sempurna meski terlihat sempurna, dan tiap karya mempunyai rejekinya masing-masing. Dan hal rejeki itu Allah yang mengatur, karenanya kenapa kita merasa telah menulis karya yang baik dan hebat bila semua itu hanya anugerah yang dilimpahkan—sehingga siapa tahu bisa dilimpahkan-Nya lewat orang lain. Pada titik ini saya percaya, mengarang itu religiositas, tanpa sikap mistis seperti itu kita hanya akan tenggelam dalam egoistik antroposentris
Diantara genre yang Mas tulis: puisi, esai, cerpen, novel? yang mana yang Mas Beni anggap paling bisa/bagus? Kenapa...
Saya tak yakin, semuanya diusahakan sempurna meski—seperti yang saya bilang— setiap tulisan punya rejekinya sendiri-sendiri. Yang bisa dikatakan mungkin seperti ini, ada periode di mana saya produktif menulis puisi, ketika kepekaan dan bahasa puisi jadi melemah, saya memanjakan fantasi dan imajinasi dengan menulis cerpen, tapi ketika logika dirujukkan pada fakta dan realitas sehingga bahasa ungkap menjadi amat rasional dan intelektualistik maka itu masa produktivitas menulis esei, dan bila kekayaan dan wawasan rasional dan intelektual itu habis, saya hanya bisa mengolah bacaan dan menulis resensi. Itu episode terendah dari berkah kreativitas, alhasil harus berhenti menulis dan men-charge diri sebelum berangkat lagi dari puisi—sering tidak sampai ke phase puisi dan melulu berkutat di phase esei.
Dan saya harus berdamai dengan keadaan—misalnya tak menggarap, dan bahkan tak memikirkan novel, meski amat ingin menulis novel.
Ini pertanyaan yang mungkin klise namun selalu menarik buat saya: buat apa dan siapa Mas Beni menulis? Apa yang Mas Beni kejar dari kerja menulis itu?
He he he ... saya telah mengatakannya di atas: jenang!
Pernahkah Mas Beni merasa selalu kurang puas atas karya yang telah dihasilkan/terbit/tayang?
Saya selalu mencoba berdamai dengan ironi produktivitas, dengan menerima (fakta) terpublikasi sebagai tali untuk bergantung dalam jurang estetika—saya selalu teringat cerpen Kawabata (kalau tidak salah), yang bercerita tentang keikhlasan dalam tidak adanya egoisme sehingga selembar benang laba-laba merupakan cara terbaik untuk terbebas dari neraka (penghasilan).
Bagaimana tanggapan Mas atas penjurian KLA (Khatulistiwa Literary Award) selama ini? Model sampai termasuk pertanggungjawaban juri dan hasilnya.
Saya tak kompeten berkomentar, karena tak terlibat sebagai juri. Keterlibatan saya hanya sebagai yang karyanya dinilai dan lolos long list, setelah itu saya bertemu dengan kegagalan, dan (kemudian) penentuan juara yang sepertinya ditentukan oleh pemberian nilai tanpa menghadirkan juri-juri dalam rapat terakhir penjurian. Nilai dijumlahkan dan kecocokan serta ketakcocokan estetika tak diperdebatkan. Tapi itu katanya—terlalu riskan berpendapat secara sepihak.
Teks pertanggungjawaban juri itu cara untuk mempertanggungjawabankan penjurian, dan sangat wajar bila itu tidak memuaskan orang lain—terlebih si yang ikut dinilai. Semua itu wajar. Meski kewajaran itu menjadi ketakterdugaan yang amat tak terkira ketika komposisi juri KLA selalu berganti, sehingga pengarang tak bisa antisipasif menyiapkan karya yang diasumsikan akan memuaskan juri. Mungkin ketakterdugaan itu keunggulan KLA, meski juga semacam ketakterukuran (tidak akuntabiltas) saat bersipat eksklusif tak menerima pendaftaran karya secara terbuka seperti tahun 2012 kemarin. Di titik ini KLA jadi tidak membuka diri pada setiap pengarang dan segala penerbit, meski panitia bilang, itu kebijaksanaan juri.
Bagaimana tanggapan Mas atas penjurian lomba novel dan esai DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) selama ini? Model sampai termasuk pertanggungjawaban juri dan hasilnya.
Tak ada bedanya, nyaris sama dengan KLA, meski aspek pemilihan juri terkadang bermakna pemilihan selera estetika yang diandaikan akan memicu perdebatan juriah saat penentuan juara. Sayang semua itu kadang tidak terjadi karena kualitas naskah yang ada dan sempitnya waktu, sementara hadiah harus dicairkan karena tidak bisa dikembalikan ke pos anggaran dewan. Ada jurang estetika, meski terkadang itu akibat juri yang tak suka ngotot dan karena ada juri yang sangat suka ngotot, sehingga aspek deadlock selalu dihindarkan dengan kompromi berdasar pertimbangan waktu.
Bagaimana tanggapan Mas atas penjurian FSS (Festival Seni Surabaya) selama ini yang Mas terlibat di dalamnya? Model sampai termasuk pertanggungjawaban juri dan hasilnya.
Kita harus memilih di antara yang ada, setidaknya selama ada lebih dari tiga karya yang ikut dilomba, dan karenanya harus menentukan juara sebab uang hadiah yang telah dianggarkan harus dicairkan. Hal itu yang mungkin mendorong tenggang waktu penyetoran naskah dan keterlibatan dalam lomba diperpanjang. Di FSS 2011, peserta lomba esei hanya dua sehingga kita ada dalam dilema, dan dilema itu mengklimaks menjadi perbedaan pendapat yang amat tajam di antara para juri tentang kualitas dari karya. Disparitas yang tak terjembatani yang membuat diskusi jadi tajam, sekaligus sia-sia karena pasti ada juara tanpa alternatif lagi. Atau: tak perlu ada juara? Panitia OK, dan hasilnya tak ada juara lomba manuskrip esei. Saya pikir, perdebatan antara juri dan apa segera didapat atau tak didapat kesepakatan atau jalan tengah membuat hasil lomba tak bisa diprediksi. Ada sesuatu yang berbeda saat juri berdebat, yang membuat karya peserta lomba dijual atau tak terjual oleh juri yang menjagokannya. Karenanya kualitas dari beberapa karya yang tak menang lomba tak berarti lebih buruk dari yang memenangkan lomba, karena ada deadline dan kebutuhan untuk memecah deadlock.
Menurut Mas, bagaimana kondisi sastra sekarang? Apakah masih masuk logika pusat dan daerah? Apakah masih ada kutub-kutub sastrawan tertentu yang saling tarik dan bersitegang? Apakah masih ada patronisme terhadap sastrawan senior?
Semua yang dipertanyakan itu membayang di antara ada dan tidak ada, tidak terlihat telanjang tapi terasakan ekses praktek terselubungnya. Untuk mengatasi itu kita punya dua pilihan. Pertama, memilih salah satu, dan (kedua) tak memilih salah satu dengan melayani kemauan terselubung mereka. Kreativitas itu individualistik, khas seorang pengarang, karenanya kita tak boleh memiskinan diri sendiri dengan mentersuratkan diri. Kita melayani semua dan memuaskan setiap orang, bila mampu ya dengan karya yang diterima semua pihak, bila tidak ya membuat karya yang bisa memuaskan pihak ini meski tak boleh ditawarkan ke yang lain—berkesusastraan logika produktivitas dan hukum pemasaran terspesialissasi terfokus.
Jaringan diantara sastrawan melalui festival sastra atau temu sastrawan, bagi Mas bersifat terbuka atau masih dibaui aroma koncoisme? Apa saja yang Mas ketahui dari sisi bagian dalam.
Antara koncoisme dan tak koncoisme. Sangat dipengaruhi oleh jaringan dan backing nominasi yang diajukan seorang sastrawan senior pada panitia, meskipun konfirmasi akhirnya amat ditentukan oleh sejauh mana bukti pencapaian karya dan kurve positif (kualitas) kreativitas yang bersangkutan. Terkadang kita melupakan aspek terakhir itu dan membesar-besarkan aspek awal kurasi dengan penggarisbawahan yang kuat. Kita tak boleh melupakan fakta, tak bisa mengundang semua dan memberikan katebeletjes bagi setiap orang mengingat keterbatasan dana di satu sisi; dan mengingat aspek apa yang ingin dicapai dari acara itu di sisi lainnya, sehingga sejak awal panitia terpaksa mengabaikan orang yang akan memperkeruh suasana. Itu wajar. Meski orang datang ke festival sastra atau temu sastrawan untuk refreshing—semacam liburan sastrawan dengan biaya gratis, dan bahkan uang saku atau sekedar sertifikasi ikut festival sastra atau temu sastrawan tertentu.
Bagi Mas adakah politik sastra itu kalau asumsi itu bisa dipercaya? Seperti barangkali kekuatan cs yang mengorganisir dan memanfaatkan berbagai “sumber daya” untuk membesarkan karya/kalangan tertentu? Dan bagaimana tanggapannya.
Bagi saya politik sastra itu ada, tapi dengan mengakui politik sastra tak bermakna kita harus hidup dengan logika binner yang bermakna harus memihak kamu atau memihak mereka. Gugatan hanya melahirkan radikalisme, membutuhkan energi ekstra yang ada di luar aspek kreativitas, setidaknya ketika yang digugat itu menunjukan kemapanan, yang melahirkan kenyamanan bagi yang diakui sebagai sang pemihak. Saya mencoba lepas dari logika binner itu, dan percaya kalau corak dan kecondongan estetika sastra itu tidak tunggal, tidak dual face to face frontal, tapi sangat jamak serta bisa apa saja.
Saya lebih suka menerima fakta terakhir itu, dan menggerakan fenomena penulisan sastra produktif sesuai dengan kriteria yang ada—menjadikan kuantitas sebagai cara mempraktekkan kejamakan estetika—, serta coba bergerak untuk semakin unik dan menulis dengan ciri individualistik khas. Sayang sebagian dari kita itu terkadang tak hidup dengan acuan estetika murni, tapi dengan diskriminasi sosial—loe balane sapa!
Bagaimana tanggapan Mas tentang sistem perbukuan sastra sekarang?
Saya sedang menangisinya. Dulu buku itu pencapaian prestisius seorang pengarang, karena tak ada alternatif untuk menunjukkan prestasi dan kreativitas pengarang selain mempublikasikan karya di media massa, dan mengumpulkannya sebagai buku. Tapi itu melahirkan seleksi yang sangat ketat—minimal ada dua buah saringan, redaktur media massa dan redaktur penerbitan, dan diakhiri dengan kritik bebas. Mungkin itu menyebabkan lahir model alternatif penerbitan, buku yang masih manuskrip sengaja diperbanyak—secara stensil dan foto copy— dan diedarkan secara terbatas. Kini itu bisa diterobos dengan temuan teknologi informatika, karya bisa dilempar ke dunia dengan bantuan internet dan tercantol sebagai karya terpublikasi di milis, blog, atau jejaring sosial. Tapi—selain faktor admin yang bekerja suka rela dan kapasitasnya menentukan karya yang tampil—itu bermakna tidak lagi ada seleksi redaksional yang profesional. Kenyataan dalam beberapa percakapan dengan orang media massa membuat saya tercengang oleh fakta: betapa sukarnya media massa kini menemukan redaktur sastra berkompetensi dan profesional, dan fakta kerja rangkap dari redaktur yang tak memiliki basis sastra menyebabkan terjadi amatirisme pemilihan karya yang dipublikasikan—bahkan pengulangan pemuatan karya yang sama di media massa yang berbeda di kurun yang berbeda.
Puncak dari semua itu pertanyaan statistikalistik, sebenarnya berapa orang pembaca dan pembeli buku sastra itu? Dulu orang berasumsi 2000 orang, karenanya mencetak buku sebanyak itu. Sekarang lebih sedikit lagi sehingga tak aneh bila satu buku sastra dicetak 500 atau 200 buku. Tapi ternyata terbukti lebih sedikit lagi sehingga—dengan dukungan teknologi komunikasi—terpaksa harus dipastikan dahulu berapa orang yang akan membaca dan akan membeli, sehingga hanya mencetak sebanyak si pemesan itu. Sistim POD itu pengakuan terselubung kalau sastra di Indonesia itu nonsens, tak bisa menghasilkan keuntungan finansial, karenanya seumur hidup akan terkutuk sebagai si sastra di koran atau majalah. Padahal membaca dan membeli buku itu bukan sekedar mendapatkannya pada kesempatan pertama, tapi bagaimana bisa menemukan itu di waktu lain di tempat yang tak terduga—dan hal terakhir itu hanya mungkin bila setiap buku dicetak banyak, dan bukan sekedar sekian puluh eksemplar berdasar pesanan dalam model industri buku POD.
Negara—kementrian ekonomi kreatif dan pendidikan dan kebudayaan—seharusnya berpikir strategis dan menyadari itu hal yang salah di Indonesia saat ini. Masa rezim pemerintah Indonesia, yang terdiri dari orang Indonesia dan berwawasan Indonesia kalah oleh pemerintah kolonial Belanda, yang orang Belanda, dan memikirkan aspek kecerdasan dan keberbudayaan orang pribumi agar bisa jadi pamong praja itu, yang mempunyai penerbitan (Balai Pustaka) yang produktif, yang mencetak buku terpilih dengan kualitas kertas dan penjilidannya unggul dan di dalam berbagai bahasa daerah, dan menyebarkannya sebagai kekayaan khazanah perpustakaan di daerah dan sekolah di zaman pra-PD II. Apa kita memang sedang meniti era magribiah sebelum pol sirna secara budaya? Siapa yang bisa menawarkan degradasi itu?