Siang itu, 10 Mei 2014, Pawon bersilahturahmi di kediaman penyair dari Solo, Hartojo Andangdjaja (HA) di Kampung Tegal Kembang, Pajang. Rumah itu sederhana, bersih dan banyak pepohonan di taman di halamannya.
Saat Pawon (Puitri, Ngadiyo dan Indah) mengetuk pintu, seorang ibu berkerudung membuka pintu dan menyambut kami. Beliau adalah Ibu Istida, istri almarhum HA (4 Juli 1930 – 30 Agustus 1990).
Kami berbincang santai sambil sesekali membuka-buka buku-buku yang ditulis dan diterjemahkan oleh HA.
Dalam perjalanan hidupnya, HA pernah menjadi guru di Sumatra, kemudian kembali ke Solo dan mengisi hidupnya dengan menulis. Hingga HA menikah dengan Istida di Sondakan hingga dikaruniai anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Namun sekarangm Ibu Istida hanya ditemani oleh Haris, anak laki-lakinya karena Fitri – si anak perempuan - sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Siang itu Ibu Istida menuturkan dengan terbata, bagaimana perjuangan HA menjadi seorang penyair. Awalnya HA menulis dengan mesin ketik pinjaman dari kawan yang tinggal di dekat Gedung Batari. Pergi ke sama dengan naik sepeda dengan kepala yang penuh huruf dan kata yang mendesak untuk segera dituangkan menjadi tulisan.
Hingga kerja keras itu membuahkan banyak tulisan sehingga dari royalti atau honor yang didapat akhirnya HA mampu membeli sebuah mesin ketik sehingga akhirnya ia bisa mengetik kapan pun ia inginkan. Kerap pada tengah malam, HA bangun lalu menulis di mesin ketiknya. Atau pada pagi buta, atau pun sore hari.
Sebagai penyair besar, yang karyanya masuk dalam pelajaran sekolah, atau puisinya kerap menjadi puisi wajib pada lomba baca puisi, HA dan keluarganya tetap menjalani kehidupan biasa-biasa saja. bahkan secara ekonomi, pernah merasakan amat kekurangan.
Kami mendengar dengan hening dan takzim bagaimana masa itu, Semua terasa menjadi sulit bagi keluarga HA yang sudah memiliki dua anak tetapi tidak memiliki penghasilan tetap. Hingga pada suatu hari Lebaran (tahunnya lupa) mereka tidak memiliki uang sama sekali. Padahal ada selembar wesel honor tulisan, tetapi tak bisa diapak-apakan karena kantor pos sudah tutup karena wesel tiba terlalu sore, beberapa jam sebelum takbir berkumandang. Ketika menuturkan itu, Ibu Istida beberapa kali menyusut air mata. uang dari mana untuk membayar becak yang akan mengantarnya sowan kepada orang tua untuk sungkem? Namun selalu saja, keajaiban terjadi pada situasi mendesak. Sekali lagi, Ibu Istida menyusut air mata.
“Saat saya berjalan di gang kecil, saya melihat ada uang tergeletak di jalan. Dua ribu rupiah. Saya ambil, lalu saya pakai untuk naik becak, sowan kepada orang tua.” tuturnya terbata.
Suka duka sudah dijalani dengan setia, sebagai istri penyair. Kini Ibu Istida masih menghidupi kenangan akan almarhum suaminya. Banyak tamu yang datang untuk bercakap dan mengadakan penelitian tentang HA.
Ada cerita mengharukan tentang ini. Suatu ketika, ada tetangga rumah bersama kawan wartawan dari Jogja, bermaksud menjiarahi makam ayahnya. Kemudian, si Wartawan barangkali iseng melihat-lihat dan membaca nama yang tertera di nisan-nisan kusam. Maka, terbacalah nama Hartojo Andangdjaja. Mas Wartawan bertanya kepada kawannya, “Siapa yang berbaring di dalam sana? Apakah Hartojo sang Penyair?”
“Iya, benar.”
“Astaga! Telah lama aku mencari dan mempelajari tentang dia. Sekarang aku bertemu dengan nisannya.”
Maka, tetangga tersebut mengajak Mas Wartawan mengunjungi Ibu Istida. Semesta selalu menjawab dengan caranya, pada setiap pertanyaan penting yang lahir dari kedalaman hati manusia.
Bincang-bincang tenang itu akhirnya menuju sebuah kesepakatan penting. Yang mana, seijin Ibu Istida, kami akan menyalin (mengetik) Puisi-puisi HA yang ditulis tangan pada 1953- 195-. Buku tipis, cokelat dengan tinta biru pudar itu kami bawa. Kami akan kembalikan lagi pada Ibu Istida setelah selesai kami salin. Tetapi tidak untuk manuskrip setebal 687 hal.
Manuskrip tersebut adalah terjemahan atas buku Raffles, Sejarah Jawa atau uraian tentang Pulau Jawa (jilid 1) manuskrip tersebut, oleh Ibu Istida dan anaknya, telah diserahkan kepada Pawon. Manuskrip tersebut adalah tembusan. Ketikan asli konon sudah dikirim kepada seorang tokoh sastra terkemuka melalui Bank Naskah.
Tentu saja, Pawon merasa mendapat kehormatan saat keluarga HA memercayakan manuskrip tersebut, meski kami belum tahu apakah kami akan mewujudkannya menjadi buku. Kami menerima dengan perasaan penuh. Sebab sejatinya kami bukan sedang menyelamatkan kertas usang itu, tetapi kami telah merunut jejak karya penyair besar. yang semoga spiritnya menular kepada kami untuk merawat literasi dan megasah intelektual.
Siang itu, kami telah menunaikan salah satu tugas Pawon yang memutuskan untuk merawat dan memberi penghormatan kepada penyair-penyair, penulis dan pemikir, khususnya yang pernah mengalami persinggungan dengan Solo. Sebuah langkah kecil, untuk merawat tradisi belajar dan mempelajari sisi kemanusiaan bijak dan bajik dari penulis dan pemikir besar. Salah satunya: Hartojo Andangdjaya. [ID]
Saat Pawon (Puitri, Ngadiyo dan Indah) mengetuk pintu, seorang ibu berkerudung membuka pintu dan menyambut kami. Beliau adalah Ibu Istida, istri almarhum HA (4 Juli 1930 – 30 Agustus 1990).
Kami berbincang santai sambil sesekali membuka-buka buku-buku yang ditulis dan diterjemahkan oleh HA.
Dalam perjalanan hidupnya, HA pernah menjadi guru di Sumatra, kemudian kembali ke Solo dan mengisi hidupnya dengan menulis. Hingga HA menikah dengan Istida di Sondakan hingga dikaruniai anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Namun sekarangm Ibu Istida hanya ditemani oleh Haris, anak laki-lakinya karena Fitri – si anak perempuan - sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Siang itu Ibu Istida menuturkan dengan terbata, bagaimana perjuangan HA menjadi seorang penyair. Awalnya HA menulis dengan mesin ketik pinjaman dari kawan yang tinggal di dekat Gedung Batari. Pergi ke sama dengan naik sepeda dengan kepala yang penuh huruf dan kata yang mendesak untuk segera dituangkan menjadi tulisan.
Hingga kerja keras itu membuahkan banyak tulisan sehingga dari royalti atau honor yang didapat akhirnya HA mampu membeli sebuah mesin ketik sehingga akhirnya ia bisa mengetik kapan pun ia inginkan. Kerap pada tengah malam, HA bangun lalu menulis di mesin ketiknya. Atau pada pagi buta, atau pun sore hari.
Sebagai penyair besar, yang karyanya masuk dalam pelajaran sekolah, atau puisinya kerap menjadi puisi wajib pada lomba baca puisi, HA dan keluarganya tetap menjalani kehidupan biasa-biasa saja. bahkan secara ekonomi, pernah merasakan amat kekurangan.
Kami mendengar dengan hening dan takzim bagaimana masa itu, Semua terasa menjadi sulit bagi keluarga HA yang sudah memiliki dua anak tetapi tidak memiliki penghasilan tetap. Hingga pada suatu hari Lebaran (tahunnya lupa) mereka tidak memiliki uang sama sekali. Padahal ada selembar wesel honor tulisan, tetapi tak bisa diapak-apakan karena kantor pos sudah tutup karena wesel tiba terlalu sore, beberapa jam sebelum takbir berkumandang. Ketika menuturkan itu, Ibu Istida beberapa kali menyusut air mata. uang dari mana untuk membayar becak yang akan mengantarnya sowan kepada orang tua untuk sungkem? Namun selalu saja, keajaiban terjadi pada situasi mendesak. Sekali lagi, Ibu Istida menyusut air mata.
“Saat saya berjalan di gang kecil, saya melihat ada uang tergeletak di jalan. Dua ribu rupiah. Saya ambil, lalu saya pakai untuk naik becak, sowan kepada orang tua.” tuturnya terbata.
Suka duka sudah dijalani dengan setia, sebagai istri penyair. Kini Ibu Istida masih menghidupi kenangan akan almarhum suaminya. Banyak tamu yang datang untuk bercakap dan mengadakan penelitian tentang HA.
Ada cerita mengharukan tentang ini. Suatu ketika, ada tetangga rumah bersama kawan wartawan dari Jogja, bermaksud menjiarahi makam ayahnya. Kemudian, si Wartawan barangkali iseng melihat-lihat dan membaca nama yang tertera di nisan-nisan kusam. Maka, terbacalah nama Hartojo Andangdjaja. Mas Wartawan bertanya kepada kawannya, “Siapa yang berbaring di dalam sana? Apakah Hartojo sang Penyair?”
“Iya, benar.”
“Astaga! Telah lama aku mencari dan mempelajari tentang dia. Sekarang aku bertemu dengan nisannya.”
Maka, tetangga tersebut mengajak Mas Wartawan mengunjungi Ibu Istida. Semesta selalu menjawab dengan caranya, pada setiap pertanyaan penting yang lahir dari kedalaman hati manusia.
Bincang-bincang tenang itu akhirnya menuju sebuah kesepakatan penting. Yang mana, seijin Ibu Istida, kami akan menyalin (mengetik) Puisi-puisi HA yang ditulis tangan pada 1953- 195-. Buku tipis, cokelat dengan tinta biru pudar itu kami bawa. Kami akan kembalikan lagi pada Ibu Istida setelah selesai kami salin. Tetapi tidak untuk manuskrip setebal 687 hal.
Manuskrip tersebut adalah terjemahan atas buku Raffles, Sejarah Jawa atau uraian tentang Pulau Jawa (jilid 1) manuskrip tersebut, oleh Ibu Istida dan anaknya, telah diserahkan kepada Pawon. Manuskrip tersebut adalah tembusan. Ketikan asli konon sudah dikirim kepada seorang tokoh sastra terkemuka melalui Bank Naskah.
Tentu saja, Pawon merasa mendapat kehormatan saat keluarga HA memercayakan manuskrip tersebut, meski kami belum tahu apakah kami akan mewujudkannya menjadi buku. Kami menerima dengan perasaan penuh. Sebab sejatinya kami bukan sedang menyelamatkan kertas usang itu, tetapi kami telah merunut jejak karya penyair besar. yang semoga spiritnya menular kepada kami untuk merawat literasi dan megasah intelektual.
Siang itu, kami telah menunaikan salah satu tugas Pawon yang memutuskan untuk merawat dan memberi penghormatan kepada penyair-penyair, penulis dan pemikir, khususnya yang pernah mengalami persinggungan dengan Solo. Sebuah langkah kecil, untuk merawat tradisi belajar dan mempelajari sisi kemanusiaan bijak dan bajik dari penulis dan pemikir besar. Salah satunya: Hartojo Andangdjaya. [ID]