Tentang Kamu dan Lawatan PAWON Sastra, oleh Astuti Parengkuh
Ini kisah tentang kamu : Perempuan kepala keluarga, ibu tiga orang anak.
Berawal
dari rasa yang kamu pendam semenjak dua tahun lalu, ingin pergi
berkereta ekonomi dengan jurusan Banyuwangi yang berjarak tempuh 12 jam.
Mulanya saat anakmu berpamitan hendak bertualang ke Kawah Ijen. Tak
hanya itu beberapa waktu kemudian dia juga berkereta ke Surabaya dalam
acara kepenulisan. Tak mempan dengan bujuk rayumu yang ingin mengikuti
dia dan kawan-kawan kuliahnya, kamu pun cukup tepekur,"Awas kalau aku
ada kesempatan! Pasti aku bisa berkereta Sri Tanjung,"batinmu.
Suatu
saat kamu membaca sebuah postingan teman dari komunitas sastra yang
cukup termasyur di kotamu, Pawon Sastra, mengabarkan bahwa urusan tiket
kereta api dalam acara lawatan sastra ke Banyuwangi telah siap. Kamu
lantas bertanya kepada temanmu tersebut, apa saja syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk bisa ikut rombongan. Setelahnya pembicaraan
berlanjut lewat SMS di ponsel. "Syaratnya ya beli tiket", begitu
jawabnya. Lalu di siang itu, kamu lantas mencari info tiket kereta ke
swalayan dekat rumah. Namun mesin operator mati. Kamu pun mengayuh
sepeda, mendatangi swalayan yang lain. Mesin juga tak bisa dioperasikan.
Terpaksa kamu membeli tiket dengan mengantre dua jam di stasiun di hari
berikutnya, dan kamu mendapatkan tiga tiket untuk keberangkatan di hari
yang sama dengan rombongan lain, dan tiga tiket pulang di hari yang
beda. Tak apa-apa, batinmu. Lantas kamu berkirim pesan kepada pengasuh
Pawon, Yudhi Herwibowo dan Mbak Sanie serta Mbak Indah bahwa kamu
bertiga ingin ikut rombongan ke Banyuwangi dan telah mengantongi tiket
kereta.
Sabtu pukul 8.45 hari ke-24 tahun
2014,Stasiun Jebres Solo, Wulang anak bungsumu serta Ayu R. Hidayah,
mahasiswi akademi fisioterapi, penulis cerita remaja yang cerpennya
menembus media nasional, dan beberapa kali dimuat majalah Gadis menjadi
teman perjalananmu yang mengasyikkan: Wulang yang cerewet, usil serta
Ayu yang pendiam. Dua kali kamu bergabung ngobrol nyamperin kawan-kawan
rombongan di gerbong yang lain : Mbak Sanie, Mbak Indah, Mbak Puitri,
Bandung Mawardi, Yudhi, Rio, Seruni, Linggar , Ngadiyo, dan Fauzi
(Impian dan Vita ikut kereta keesokan harinya, karena sangat tidak mudah
untuk membolos kuliah bagi mahasiswa S2 yang mengaku sangat rempong
dengan urusan tugas-tugas).
Eh, lupa nyebutin
Lukas Jono. Berkali-kali di even kepenulisan dan jika Pawon Sastra punya
gawe kawan dengan tinggi badan jangkung serta berkaca mata tebal,
berkulit hitam dan bersenyum manis ini selalu datang. Lukas Jono adalah
salah satu kawan yang unik di rombongan kamu. Dia berbeda, sungguh
berbeda untuk mengatakan, bahwa hanya segelintir teman saja yang
bersedia berkomunikasi secara intensif dengan kawan istimewa ini.
Tetapi...kamu yang kepo berat telah berhasil mencuri perhatiannya, dan
mengorek sedikit tentang dirinya bahwa dia si Lukas Jono adalah kawan
yang lulus pendidikan kejar paket C (setelah sempat sekolah Tata Boga
selama setahun di sebuah SMK di Salatiga). Dan oleh psikolog yang
ditemunya, dia dianjurkan untuk terapi menulis. Dan benar, dengan
keponya kamu bertanya berapa karya yang sudah ditulisnya, dia menjawab
ada 600 puisi. Tetapi meski belum ada yang dimuat, dengan bangga si
Lukas berkata bahwa karya pantunnya termuat di salah satu antologi yang
bergengsi. Dahsyat!
Saat kereta melewati stasiun
Jember, dengan lucunya tanpa ekspresi anakmu menyebutnya "Jember"
(dengan huruf e dibaca seperti dalam kata 'ember'). Kamu menertawai
kekhilafannya. Oh ya, ketika kereta berada di pemberhentian stasiun
Wonokromo, naiklah serombongan keluarga yang terdiri atas ayah, ibu,
anak-anak dan menantu serta para cucu. Mereka ada yang duduk di depanmu.
Lagi-lagi dengan keponya dirimu merasa sok kenal sok dekat (SKSD)
menanyai tiga perempuan muda, "Kalian tiga bersaudara?" tanyamu. Lalu
dijawab oleh salah satu dari mereka,"Iya. Dan ada lagi kakak kami duduk
di belakang bersama suami-suami dan anak-anak mereka,"jawabnya.
Tiga
perempuan muda yang duduk di depanmu menawari beberapa makanan yang
mereka bawa. Tetiba, sebuah pemandangan di luar kereta menyita
perhatianmu, deretan tanggul tinggi dan mengular. Kamu bertanya kepada
salah seorang yang ada di depanmu, apakah itu lalu dijawab bahwa kereta
kalian tengah melewati Porong dan pemandangan yang ada di hadapanmu
adalah tanggul untuk menampung lumpur Lapindo! Kamu lantas berdiri
hendak melihat seberapa jauh arah matamu mencapai apa yang ada ada di
seberang. "Tanggulnya sangat tinggi, tentu tak bisa terlihat apa yang
ada di dalam sana"tambahnya.
Lewat SMS, Mbak Indah
Darmastuti, kawanmu yang menjadi organizer acara menghubungi jika
rombongan akan turun di stasiun Kalistail, bukan Banyuwangi Baru seperti
tertera di tiket. Itu artinya, jadwal pemberhentian juga berbeda, yakni
pukul 19.45 dan bukan pukul 20.30. Tepat pukul 19.45 kereta berhenti di
stasiun Kalistail. Sepuluh menit menjelang kereta menepi, ada tiga SMS
masuk, semua dengan bahasa yang sama, Mbak Sanie : "Ayo gabung skrg sj"
lalu Fauzy : "....Kita sudah melewati stasiun Glenmor, artinya tinggal
melewati Sumberwadung. Sebelum kita melewati stasiun Kalistail. Siap!"
Ngadiyo : "Wil. Banyuwangi stasiun dimulai :
Sta.Kalibaru-Glenmor-Sumberwadung-Kalistail (13 0rang turun di sini)"
Benar,
kereta berhenti di stasiun Kalistail, Genteng. Jika bisa dibagi dua,
wilayah Banyuwangi bagian selatan dan utara pembatasnya adalah Genteng.
Jadi Genteng ke selatan adalah banyuwangi selatan.Tak tahu apa pun,
siapa nanti yang dituju (karena nggak segerbong jadi nggak update) ,
kamu dan kedua kawan segerbongmu (Wulang dan Ayu) mengikuti saja
rombongan lain. Baru di situ kamu paham, jika acara lawatan sastra
tersebut akan dituanrumahi oleh seorang dosen dari perguruan tinggi yang
berada di pondok pesantren Darussalam, Sekolah Tinggi Agama Islam
Darussalam (STAIDA). Dosen Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia
tersebut, namanya Pak Nur Saewan adalah karib Bandung Mawardi, esais
tersohor. Setelah dua mobil penjemput siap, maka semakin jelas pula
acara lawatan sastra karena dengan sangat gamblang Pak Nur bercerita di
sepanjang perjalanan menuju rumahnya.
"Besok itu
Mas Bandung mengajar bapak dan ibu dosen serta mahasiswa di pondok,
sedang kawan-kawan yang lain sharing kepenulisannya di rumah saya. Para
mahasiswa yang aktif di kepenulisan, serta dari komunitas sastra saya
undang ke rumah. Kita bisa berdiskusi dengan santai, boleh sampai larut
malam,"celoteh Pak Nur sambil menyetir."Inggih, siap Pak Kyai,"jawab
kamu yang duduk di sampingnya. "Jangan panggil saya Kyai," jawab Pak Nur
sambil melepas pecinya. Lantas kamu dan kawan-kawan lain ditanya oleh
Pak Nur, berasal dari daerah mana saja. Kamu, yang terkadang suka kepo,
dan ceriwis (bingit) tanpa ditanya langsung bicara,"Rumah saya selisih
satu gang dengan Habib Syech, ulama tersohor itu, di kampung Semanggi,
Pasar Kliwon," lalu Pak Nur pun menjawab, "Oh ya ya, saya pernah
mendengar namanya. Yang hari ini di koran diberitakan mendukung Mahfud
MD kan?" lalu kamu pun menjawab,"Waduh, saya hari ini tidak membaca
koran, Kyai!" lalu pembicaraan berlanjut dengan hal lain-lain, soal
kepenulisan.
Setelah perjalanan satu jam menembus
pekatnya malam. Untuk ketiga kalinya kamu membaui udara Banyuwangi
(Kedua perjalanan sebelumnya adalah saat kamu dan keluarga menempuh
perjalanan ke Bali). Di sepanjang jalan, cerita Pak Nur tentang bupati
Banyuwangi yang saat ini tengah menjabat adalah bupati yang berasal dari
kampung dekat rumahnya. Kamu yang kepo, langsung berselancar di
internet mencari tahu tentang bupati Banyuwangi (yang ada beberapa media
mengatakannya sebagai bupati reformis). Kamu langsung teringat dengan
mantan wali kotamu yang aduhai prestasi kerjanya. Sayangnya, kamu tidak
bisa mengorek prestasi bupati Banyuwangi yang saat ini sedang menjabat.
Pembicaraan seperti melompat-lompat antara rencana-rencana yang tengah
disusun untuk dua hari ke depan, Minggu dan Senin. "Senin kita jadwalkan
acara pelatihan di pantai Pulau Merah," dalam hati kamu berteriak,
"Cihuy!" :)
Sekira pukul 20.30 sampailah rombongan dua
mobil ke rumah Pak Nur. Sebuah rumah cukup besar berlantai dua dan
berhalaman luas. "Kalian para perempuan menempati lantai atas dan para
laki-laki bertempat di satu kamar besar di lantai bawah,"ujar Pak Nur.
"Di depan rumah ada sekolah TK dan PAUD yang kami dirikan sejak tahun
2007,"tutur Pak Nur di sela-sela perbincangan pada saat kalian makan
malam bersama. Kepala sekolah dijabat oleh istri Pak Nur, Bu Binti.
Sekolah TK dan PAUD Tunas Bangsa menerima murid dengan segala keadaan
dan agama. Tak hanya bagi yang beragama islam saja, namun juga kristen,
katolik dan Hindu. Sekolah yang berjarak beberapa langkah saja dari
pintu samping rumah kentara terlihat dengan lukisan-lukisan bercorak
kanak-kanak yang menempel di dindingnya. Sedangkan jarak rumah Pak Nur
dengan pondok pesantren Darussalam sekira 2 km.
Malam
itu hidangan yang disuguhkan sungguh menggugah selera, sayur pecel,
lodeh, tahu dan tempe dan tak lupa kerupuk. Sayur disajikan dengan rasa
pedas pas di lidah. Pengalaman pertama makan malam yang mengasyikkan.
Tamu yang berjumlah 13 orang di hari pertama diberi keleluasaan tak
ubahnya seperti rumah sendiri. "Hari Minggu besok silakan kalian
beristirahat hingga pukul 12 siang dan setelahnya baru acara sharing
kepenulisan dimulai" kata Pak Nur. Saat itu langsung tebersit di
kepalamu sebuat tempat eksotik dan selalu ingin kamu kunjungi di setiap
menempuh perjalanan : Pasar!
Pagi Pertama di Bumi Blambangan
Beberapa larik puisi terlahir pada kedalaman rasa. Kamu mengetikkannya pada alat teknologi yang selalu kamu bawa ke mana saja.
dear, catatanku
ingin kuceritakan tentang sebuah tempat
di mana kami disambut hangat dengan segenap semangat
dan di sini, matahari yang kita lihat masih sama
juga kerlip bintang semalam
ini tentang suara merdu perkutut di belakang rumah pak haji
dan ayam-ayam yang berlarian mencari makan
bukan kesepian yang mencekam
tentang pagi pertama di bumi blambangan
banyuwangi, 25/5/2014
Sebelum
azan subuh berkumandang kamu telah bangun. Bukan sebab apa tapi kamu
mesti mengantre kamar mandi. Pikirmu tak ada masalah dengan air dan kamu
mandi sepuasmu, gebyar-gebyur seperti saat di rumah, padahal
ternyata air dijatah! "Kamu sedang mandi rasanya terdengar seperti
sedang berperang, hehe..."canda kawanmu. Dan lihatlah betapa malu air
mukamu saat mendengar sendiri dari tuan dan nyonya rumah jika air lagi
sepai (sepi) alias sumur resapan sedang kering kerontang. Kamu yang di
hari pertama menghabiskan air dan membiarkan kawan perempuan untuk mandi
di kamar mandi bawah dan kamar mandi sekolah TK baru sadar.
"Besok-besok lagi kalau urusan mandi aku paling akhir saja ya, sebagai
penebusan dosa, wkwk!"begitu katamu kepada kawan-kawanmu.
Sarapan
pagi pertama menunya nasi pecel, lodeh, bakwan jagung dan ikan pindang
goreng. Hhmmm...nyam-nyam. Seusai sarapan maka kamu sepakat bersama
beberapa kawan perempuan untuk mengikut Ibu (istri Pak Nur) ke pasar.
"Jalan kaki saja, dekat kok,"ujar Ibu. Sampailah di pasar yang berjarak
kurang dari 500 meter. Beberapa orang pedangang kamu amati dengan
seksama : rata-rata berjenis kelamin laki-laki. Namun tidak untuk ibu
penjual tembakau yang berjualan di pinggir jalan, di luar area pasar.
"Di sini ada cenil juga ya, cenil adalah makanan yang dibuat dari tepung pati kanji (singkong). Saya beli dua ribu, Bu,"Katamu kepada pedagang penganan lenjongan (campuran ; cenil, singkong, ketan, jadah).
"Wow,
di dalam pasar sini juga ada kios toko emasnya dan rame! Ini bisa
sebagai pertanda bahwa perekonomian penduduk desa ini sedang
bagus,"katamu 'ngasal' berteori kepada salah seorang kawanmu. "Di luar
pasar juga ada lho toko emasnya. Malah lebih gede,"jawab kawanmu. Sesaat
kemudian tibalah kamu di warung penjual jamu. "Apa itu,Pak?
Kopikah?"tanyamu kepada pedagang tua yang sangat telaten menjelaskan apa
itu kopi yang hendak kamu beli."Ini namanya kopi buriyah, asli kopi
dari Banyuwangi sini,"kata si bapak tua. "Wow! Boleh saya beli 1 ons
saja?"tanyamu. "Boleh saja, silakan. Nanti kalau perlu diselep, ada kok
selepan di sebelah sana,"kata pak tua sambil menunjuk suatu tempat.
Setelah
kantong plastik kecilmu penuh dengan belanjaan, tak lupa kamu membeli
asbak aluminium (entah untuk siapa, tak ada perokok lagi tinggal di
rumahmu) maka kamu bergegas gabung dengan kawan lain, kembali ke rumah
Ibu. Saat berjalan Ibu memilih jalan pintas melewati kebun milik seorang
tetangga. "Numpang lewat ya, Pak,"seru Ibu. "Iya Bu...lhoh temannya
banyak ya?" jawab ramah seorang bapak tua, dia seorang difabel netra.
Dengan yakin si bapak mengetahui jika Ibu bersama kawan yang tak
sedikit. Mungkin disimpulkannya dari suara langkah kalian. Tentu bagi
difabel netra, indera pendengarannya lebih sensitif. Lewat Ibu pula,
kamu yang kepo mengetahui jika si bapak difabel netra tersebut tinggal
bersama saudaranya. "Dia mahir lho membuat layang-layang dan menerima
pesanan. Jika sedang musim bisa membuat yang sangat besar, dan
layang-layang itu disertai bebunyian. Nanti si bapak sendiri yang
memainkannya di tanah lapang."
Setelah dari pasar kamu
dan beberapa kawan tertarik untuk pergi ke hutan jati milik Perhutani
yang berada 200 meter dari rumah Pak Nur. Setelah ikut sesi
jeprat-jepret oleh fotografer Yudhi Herwibowo, maka kamu dan Mbak Sanie
memutuskan untuk balik ke rumah. "Beneran kalian berdua hanya sampai di
sini? Nggak nyesel? Di depan ada danau yang sangat indah lho,"bujukan
Yudhi tak mempan di telingamu. "Kayaknya dari kemarin aku nggak pernah
sekalipun mendengar kata 'danau' deh,"kamu beralasan. "Ya udah kalau
begitu. Tapi beneran nggak nyesel?"goda Yudhi. Kalian berdua lebiih
memilih balik ke rumah sambil melihat-lihat pepohonan jati yang
menjulang tinngi dan kopi yang sebagian buahnya telah memerah. "Ada
banyak buku dan novel yang mengambil kopi sebagai tema besarnya,"kata
Mbak Sanie.
Cerita masih panjang, namun kamu capek meneruskan....sambung nanti. :)
0 komentar