Membaca
sastra serta bernostalgia melalui teks. Begitu yang terasa ketika Pawon Sastra
bekerjasama dengan Balai Soejadmoko pada 17 Juli 2013 menggelar obrolan buku
Tak Ada Nasi Lain karya Suparto Brata -diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Novel
yang telah ditulis lebih dari 50 tahun lalu, yang sebelumnya pernah dimuat
sebagai cerita bersambung di Harian Kompas pada malam itu cukup menyedot banyak
pengunjung segala umur. Selain anak-anak muda pegiat literasi, hadir pula
sejarawan Solo, dosen dan saksi sejarah di mana novel itu mengambil setting
lokasi dan waktu: Solo, pada masa awal pendudukan Jepang hingga
pertempuran-pertempuran pascakemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Diapresiasi
oleh Rm. Daradjadi dan Pitoyo Amrih. Yang dirasakan Pitoyo Amrih saat membaca
novel Tak Ada Nasi Lain, ia serasa membaca tulisan Umar Kayam. Ia menganggap
kehadiran novel yang cara penulisannya akrab dengan masa kini tersebut membawanya
untuk merawat rasa sejarah. Menurutnya, cerita dalam buku tersebut menjadi sesuatu
yang langka.
Sementara
Rm. Daradjadi lebih menitik-beratkan bahwa dalam sejarah perjuangan Bangsa
Indonesia, Solo adalah kota penting. Tak ada kejadian penting yang tidak
melibatkan Solo. Solo yang kerap kita
dapati sebagai istana-sentris, tergambar jelas di novel itu. Kenyataannya keluarga
bangsawan harus rela tercerabut dari kebangsawanannya setelah masa revolusi.
Novel
Tak Ada Nasi Lain kaya akan simbol. Pada masa pendudukan Belanda atau masa PB X jumeneng
di Keraton Surakarta adalah suatu keharusan memberi sembah serta laku dodok di
hadapan raja dan keluarganya. Tetapi pada pendudukan Jepang, hal itu adalah
bentuk perbudakan. Kain lurik menjadi simbol kemiskinan, sementara cokelat
pemberian Jepang menjadi sangat sensitive dan mencurigakan.
Yang
menjadi tematik besar dalam buku tersebut adalah: dinamika keluarga bangsawan
Wirosaroyo yang bertahan di masa perpolitikan Indonesia sedang membara.
Mengapresiasi jaman bagaimana memertahankan kemerdekaan, dan upaya menjadi
bangsa yang bermartabat di mata dunia. Mengisahkan pergolakan dan dunia
permenungan tokoh utama: Saptono lelaki kecil perenung dan pemikir di masa
pertumbuhan sebagai remaja, yang kemudian menguasai siasat penyerangan terhadap
musuh.
Perkembangan
psikologi tokoh-tokohnya mekar sealur dengan cerita. Ada beberapa bagian yang
terasa mengejutkan, ada beberapa bagian dibiarkan menjadi teka-teki.
Detil-detil tindakan dan pemikiran tiap tokoh sangat mengambil porsi pada
halaman-halaman novel ini. Termasuk bagaimana rasa sekolah di masa pendudukan
Belanda dan di masa pendudukan Jepang. Tatacara makan dan interaksi dalam
keluarga diceritakan dengan sangat natural. Sehingga pembaca mendapat gambaran
situasi domestik yang dipengaruhi publik. Novel tersebut tetap dibumbui
romatisme dan percintaan a la Solo masa lalu. Urusan asmara juga menjadi
penanda jaman.
Novel Tak Ada Nasi Lain sangat disarankan
untuk dibaca khususnya bagi mereka yang mempelajari Solo dengan segala
entitasnya. Novel pertama Suparto Brata, namun baru terbit tahun ini membawa
kaum sepuh yang hadir di situ untuk mengingat kembali, bernostalgia dengan
bacaan-bacaan semasa sekolah yang kaya akan pendidikan dan disiplin membaca.
Pada gilirannya membawa kita untuk
melihat dan membandingkannya dengan masa kini, bagaimana sistem pendidikan
diterapkan pada generasi yang rasanya mulai terindikasi kurang menyintai budaya
baca dan tulis. Tak lupa penulis senior yang berusia 81 tahun dan sudah menerbitkan
160 cerita itu tetap memberi pesan kepada generasinya: jangan tinggalkan
tradisi membaca dan menulis. Seperti itu. []