Siapa Pemenang Sayembara 10 Buku yang Seharusnya Berumur Panjang?
Biografi dan Bibliografi
Para
pencerita buku telah memberikan daftar 10 buku pantas berusia panjang, tak cuma
terbit lekas menghilang dan dilupakan. Jumlah 10 bukan bermaksud pembatasan
atas kepemilikan daftar pendek atau panjang. Biografi pembaca, biografi dengan
bibliografi tanpa kepastian berjumlah tetap dan baku. Pembaca berhak menambahi,
mengurangi, dan mengganti atas pilihan-pilihan buku saat menapaki hari-hari
sampai mata terpejam, berpamit dari dunia. Buku-buku membentuk dan bersama
diri, memberi pengaruh atas ide, imajinasi, kebahasaan, identitas, raga,
busana, makanan, pekerjaan, asmara, ritual, musik, dan ideologi.
Para
pencerita cenderung menaruh diri bersama buku. Ia terasa berada di dalam,
bergerak bersama huruf-huruf dan mengembara bersama halaman demi halaman. Buku
dan diri sulit bercerai. Buku tak lagi melulu bacaan tapi “biografi”, tersusun
dengan detik-detik dan kejadian-kejadian. Biografi itu bertempat dan
menghadirkan sekian tokoh. Buku pun merekah makna, melampaui urusan tugas
sekolah atau skripsi.
Tulisan
bersurat dari Abdul Azis Rasjid mengajak kita mengerti buku dalam lakon
keluarga. Nostalgia dan pengandaian hadir saling bergantian, bermaksud semakin
mengartikan buku. Pilihan surat terasa lembut dan melenakan. Pilihan 10 buku
membuktikan si penulis surat adalah pembaca tekun dan serius. Buku-buku pernah
dan “selalu” jadi bacaan. Pilihan itu berkemungkinan jadi suguhan atau warisan
bagi anak. Bibilografi tersedia sambil menanti biografi bergerak si anak. Buku
“terwariskan” tapi tak mencantumkan buku bercap anak. Si penulis surat mungkin
tak sempat mengingat masa lalu saat bocah menggandrungi buku atau kesengajaan
tak menaruh dalam daftar buku-buku serius.
Pilihan
buku melulu untuk anak malah disajikan oleh Setyaningsih. Tulisan mirip “studi”
atau riset tanpa diseminarkan. Setyaningsih memastikan 10 buku anak pantas
berumur panjang, tak menggubris kemonceran buku-buku sastra, sejarah, politik,
agama, antropologi, ekonomi, dan seni sebagai bacaan kaum dewasa. Usulan 10
buku anak bukti kengawuran tanpa tiga argumentasi bertaraf ilmiah dan menampik
pasar buku di Indonesia. Di Eropa dan Amerika, bacaan anak mustahil
disepelekan. Sekian buku malah “terpenting” dan membentuk kesejarahan peradaban
dan biografi jutaan orang. Di Indonesia, kita boleh mesem untuk mengurusi
bacaan anak. Orang-orang belum serius memuliakan bacaan anak meski negara
sempat menjadikan usaha kolosal bereferensi kekuasaan dan literasi. Bacaan anak
sempat muncul di daftar 10 buku berusia lama untuk para penulis berbeda, mulai
dari cerita detektif sampai manga.
Pilihan
“nekat” berlaku pada Udiarti. Daftar 10 buku berisi buku sastra “lama”, jarang
jadi ingatan bersama dan sepi dari perbincangan meski tak semua. Keberanian
hidup bersama buku-buku lama saat sastra di Indonesia berlari kencang.
Pengarang-pengarang baru bermunculan: tenar, mendapat penghargaan, dijuluki
penulis lairs, berlimpah pendapatan, dan mengartis. Setahun, penulis abad XXI
sanggup suguhkan 5 sampai 10 buku ke pembaca. Sastra telah berlimpahan. Udiarti
seperti berjalan di tepi, memilih menikmati sastra di kelampauan. Ia melawan
“mustahil” untuk pilihan buku meski mengetahui sekian buku tak pernah cetak
ulang. Ia “mewajibakan” buku bisa berusia panjang tanpa patokan cetak ulang,
laris, dan digemari jutaan orang.
Novel
sering jadi pilihan. Para penulis menaruh novel dalam daftar penting dengan
pelbagai dalih. Sekian novel tentu sudah terkenal dan sering cetak ulang.
Sekian novel mungkin dianggap langka. Novel tetap bacaan menggiurkan, selalu
saja terbit dan membujuk orang-orang menambahi koleksi di rak atau lemari.
Penerbitan buku sastra seperti menerbitkan nafsu tak usai bagi pembaca di
Indonesia. Ratusan sampai ribuan novel telah terbit. Pembaca pun terus
bertambah. Novel mahal tetap memiliki pembeli. Kejatuhan novel di obralan
semakin laris meski agak mengganggu pendefinisian pembeli-pembaca-pemilik.
Gandrung novel dilengkapi pilihan ke buku kumpulan puisi, cerita pendek, dan
esai.
Pilihan
buku-buku “aneh” juga dicantumkan para penulis, berjumlah sedikit. Kita sulit
mengandaikan dan memastikan buku-buku itu memiliki pembaca tulen atau fanatik.
Buku pernah terbit tapi berlalu tanpa pembuatan kenangan kolosal, melintasi
tahun demi tahun. Pembaca ada, terpencil tanpa tepuk tangan dan teriak
keramaian. Di tulisan-tulisan lain, buku-buku lawas pun bermunculan dengan
informasi penerbit dan tahun terbit. Sekian buku gagal cetak ulang, tak lagi
menghampiri pembaca pada masa berbeda. Buku mungkin tak meragu untuk “disantap”
tapi pembaca saja meragu akibat ketat selera dan argumentasi.
Tulisan-tulisan
telah disetorkan ke Pawon, penilaian “sembrono” sudah dikerjakan tanpa
ketentuan-ketentuan baku seperti penilaian Nobel Sastra, Dewan Kesenian
Jakarta, dan pelbagai institusi. Kemauan menulis 10 buku pantas berusia lama
itu membahagiakan dan dokumentatif. Ribuan buku berhak terkenang dan tercatat.
Para penulis sudah menunaikan misi membagi ingatan dan selera meski tak memicu
mufakat ribuan orang. Nah, usaha memberi penilaian dan memilih pemenang telah
berlangsung saat hari-hari berhujan. Penilai memilih tiga tulisan berhak
mendapat ganjaran terhormat dari Pawon: (1) Abdul Aziz Rasjid; (2) Setyaningsih; (3) Udiarti. Kita tak usah
memberi tepuk tangan dan bersegera mengucap selamat di media sosial. Urusan
kita adalah biografi dan bibliografi, bukan “ritual” tolol dan menjemukan
dengan mengalihkan biografi pembaca dan buku-buku ke hal-hal tak bermutu.
Redaksi
0 komentar