Assalamu’alaikum wr. wb. Apabila kita mencari kekurangan mengenai pembelajaran sastra di sekolah, maka dapat ditemukan kekurangannya. Apabila kita tidak mempermasalahkan pelajaran sastra di sekolah, maka sebenarnya tidak ada masalah yang berhubungan dengan pelajaran sastra di sekolah. Namun, karena tema kali ini mengenai apa yang salah dengan pelajaran sastra di sekolah? Ya, arah pembicaraan di balik pertanyaan tersebut, tersembunyi maksud, ingin “mengungkap kesalahan yang ada”. Walaupun sebenarnya itu persoalan yang dicari-cari sebab pelajaran sastra di sekolah sudah dilaksanakan oleh pemerintah dengan penyusunan kurikulum di sekolah. Pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti dalam kurikulum 1964 sampai sekarang (KTSP dan Kurikulum 2013 yang dilakasanakan dengan berdampingan). Guru bahasa Indonesia menurut pengamatan saya taat melaksanakan kurikulum. Namun di balik ketaatan tersebut dituntut kreatif, guru hanya pelaksana tuntutan kurikulum. Orientasi guru pada UN dan NEM.peluang pengembangan tidak disentuh oleh guru. Apresiasi sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA maupun SMK) Pembelajaran berbasis kompetensi dan kontekstual dalam KBK dan KTSP mulai 2006. Guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan, standar isi dan standar kompetensi ditetapkan pemerintah. Secara historis kurikulum tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976. 1984 (SMA), 1987 (SMP). Pelajaan sastra menyatu atau terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia. Baru 1984 khusus SMA ada bahasa dan sastra Indonesia, khusus sastra Indonesia dalam bidang Pengetahuan Budaya atau kelas Bahasa. Sastra Indonesia dijatah alokasi waktu hanya 2-3 jam per minggu. Pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) merupakan pembelajaran yang sangat penting peranannya untuk membentuk daya nalar siswa dan mengenalkan sastra sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Indonesia kepada para siswa. Ada hal penting yang harus dikaji ulang mengingat sastra masuk ke dalam bagian bahasa dengan menggunakan acuan kurikulum 1984. Sampai pada kurikulum KTSP tahun 2006, pembelajaran sastra masih mendapatkan jam pelajaran yang memadai selain bahasa. Hal itu sejak diberlakukannya Kurikulum 2013, sastra mulai mendapatkan pengurangan porsi wajah sastra dalam Kurikulum 2013 tidak berbeda dengan Kurikulum KTSP 2006. Misalnya, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X SMA terdapat lima materi yang diajarkan berupa teks. Teks tersebut adalah teks laporan hasil observasi, teks eksposisi, teks prosedur kompleks, teks anekdot,, dan teks negosiasi. Selama satu tahun, siswa hanya mempelajari satu teks sastra, yaitu teks anekdot. Apabila dibandingkan dengan materi bahasa, maka sastra 1:4 dengan bahasa. Wajah sastra dalam Kurikulum 2013 yang semakin hilang sebab fungsi bahasa Indonesia sebagai penghela dan pembawa ilmu dalam mata pelajaran lain. Fungsi itu mau tidak mau menuntut bahasa Indonesia menyesuaikan diri terutama dalam aspek materi. Sastra Indonesia tidak bisa dipahami sebagai penampung materi pelajaran yang lain sehingga teks yang dipelajari karena berkait dengan fungsi bahasa. Perkenalan siswa SMP dan SMU dengan sastra menjadi terkendala. Bacaan sastra sangat minim di sekolah. Perpustakaan sekolah tidak dipersiapkan dengan baik. Hal ini berakibat minimnya daya abaca siswa terhadap karya sastra. Penyediaan bacaan sastra di sekolah menjadi persoalan yang sampai kini belum tercukupi. Langkanya buku sastra serius tadi untuk dijadikan bahan bacaan menyebabkan siswa enggan membaca. Bacaan yang terbit dan sampai pada kita tampaknya terlalu berat bagi siswa-siswi karena biasanya buku-buku itu berasal dari Balai Pustaka dan Gramedia. Ada siswa yang tertarik bidang bahasa dan sastra, namun jumlah sedikit. Sehingga beberapa sekolah tidak membuka jurusan ini. Pengajaran bahasa dan sastra di sekolah mengarah pada penunjang kemampuan siswa lolos dan lulus SPMB. Keluhan dan kritikan ini seringkali dibahas namun tidak berakhir secara memuaskan. Tentang kurangnya konten sastra dalam kurikulum begitu abadi. Kritikan tersebut selalu muncul dari kalangan sastrawan. Penyusunan kurikulum tidak melibatkan sastrawan. Upaya jelas, pembelajaran bahasa berbasis (karya) sastra. Artinya, sastra sebagai modal dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sastra secara khusus dipandang utama dalam pembelajaran. Keutamaan konten sastra dalam pembelajaran memiliki alasan tersendiri, terkait aspek karakter humanistis. Seorang sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab, pernah berpesan agar kita mengajarkan sastra kepada anak-anak? Menurutnya, sastra bisa menumbuhkan budi pekerti yang halus kepada anak-anak kita. Bahkan, sastra bisa membentuk keberanian (positif) pada diri generasi. Selain itu, sastra memiliki unsur ajar, sebagai pembentuk pribadi luhur. Akan salah besar, seandainya penguasa, pemimpin, dan penanggung jawab pendidikan sastra di sekolah menengah. Pembelajaran tanpa keseimbangan nilai seni bisa melahirkan generasi robot dan psikopat, generasi kaku dan tawar dengan aspek humanistis. "Pengajaran sastra dapat memberikan andil yang signifikan terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan, asalkan dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga," komentar Prof. Suwarsih Madya. Kehadiran kurikulum baru yang pro dan kontra ini ternyata memberikan peluang tersendiri bagi konten sastra. Artinya, setiap kompetensi dasarnya sangat memungkinkan diajarkan dengan sastra sebagai dasarnya. Materi pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kurikulum ini dapat kita pahami sebagai berikut. Materi kelas 7, yaitu teks hasil observasi; Materi kelas 8 teks cerita moral/fabel, cerita prosedur, biografi; kelas 9 teks eksemplum; kelas 10 teks anekdot, eksposisi, laporan hasil observasi, teks prosedur, teks negosiasi; kelas 11 teks cerpen, pantun, dan cerita ulang, film/drama; kelas12 teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, teks editorial/opini, dan teks novel. Sementara itu di kelas 1-6, siswa lebih difokuskan pada pembelajaran tematik. Yang perlu menjadi catatan di sini adalah tentang kemanfaatan materi cerita ulang di kelas 11. Akhirnya, guru perlu memiliki kepedulian terhadap sastra sehingga pengenalan dapat dilakukan dengan baik, walaupun melalui kegiatan yang berdimensi Wassalamu’alaikum wr. wb.
didirikan dan didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo, Jawa Tengah. Terbit pertama kali pada Januari 2007. Dalam perjalanan waktu, buletin PAWON meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan lain sebagainya.