10 Februari 1999 Mohamad Sobary tidak
menyangka waktu itu akan ada seseorang yang meninggal dunia di pangkuannya.
Seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk rakyat kecil. Siang itu YB
Mangunwijaya terkulai lemas dalam pangkuan Sobary, sahabat karibnya dalam
sebuah seminar yang diadakan oleh Yayasan Obor Indonesia. Hari itu banyak orang
kehilangan YB Mangunwijaya yang biasa dipanggil Romo Mangun. Seorang
rohaniawan, sastrawan, pemerhati sosial, dan seorang arsitek yang peduli pada
lingkungan.
Romo Mangunwijaya memang dikenal dengan
berbagai hal yang berhubungan dengan kebudayaan, dan kemanusiaan. Romo
Mangunwijaya sebenarnya bercita-cita sebagai pastor biasa, dirinya menjadi
pastur setelah terlibat dalam perang kemerdekaan. Romo Mangun di tahun – tahun
pasca kemerdekaan ikut menjadi bagian dari gerilyawan di Yogya, dirinya bahkan
pernah jadi sopirnya Letkol Soeharto (kelak jadi Presiden Indonesia). Perang
kemerdekaan kemudian menjadi salah satu inspirasinya dalam novel Burung –
Burung Manyar, di novel itu dalam sudut pandang yang berbeda mencoba melihat
sisi perang kemerdekaan, terutama di awal novel. Burung-Burung Manyar sebuah
novel yang berkisah kisah cinta dua manusia (Teto, dan Laras) dengan dua pilihan
politik yang berbeda pula.
Kisah Burung – Burung Manyar walau pun
bercerita pada kisah cinta dua insan, tapi tidak bisa dipungkiri novel ini
menunjukkan kekaguman Romo Mangunwijaya pada seorang bapak bangsa kita. Pada
novel Burung – Burung Manyar kita akan mengetahui kekaguman Romo Mangun pada St
Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Kisah St Sjahrir yang datang ke
markas Belanda, yang pada saat bersamaan Teto sebagai prajurit sangat tidak
suka dengan Sjahrir karena dianggap berbahaya, sementara para atasannya serta
politisi Belanda umumnya sangat hormat pada Sjahrir, karena Sjahrir tidak
pernah bekerjasama dengan penjajah. Kisah ini menjadi pelengkap dari tulisan
Romo Mangun di Majalah Prisma pada tahun 1977. Di Majalah Prisma Romo Mangun
menuliskan dengan lengkap, dan ada sedikit rasa kagum serta menyanjung Sjahrir
sebagai tokoh bangsa.
Romo Mangun memang tidak pernah bertemu
dengan St Sjahrir secara langsung, ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri, Romo
Mangun sedang bergerilya di Yogya. Perang kemerdekaan menjadikan sekolah Romo
Mangunwijaya agak terbengkalai, setelah perang selesai Romo Mangun melanjutkan
sekolah di SMA St Albertus Malang. Setelah dari Malang Romo Mangun belajar di
Seminari Yogya, kemudian berlanjut di ITB, dan sekolah arsitek di Aachen,
Jerman. Praktis hidup Romo Mangun antara periode 1950-an dan 1960-an dihabiskan
untuk sekolah, sementara dalam periode tersebut St Sjahrir mengalami masa surut
dalam karier perpolitikan. Ketika Romo Mangunwijaya pulang dari Jerman tahun
1966 St Sjahrir meninggal dunia.
Saat Romo Mangun pulang dari Jerman
terjadi perubahan politik di Indonesia, mantan komandanya dulu di Yogya menjadi
penguasa baru di negeri ini. Mulailah Indonesia memasuki era Orde Baru,
penguasa baru, dan para pejabat yang mengisi kedudukan penting sebagian besar
mengenal Romo Mangun. Tapi Romo Mangun justru menjadi orang kritis terhadap
kekuasaan yang ada, dirinya mencoba untuk melihat secara jernih kekuasaan yang
berjalan. Sikap kritis Romo Mangun ditunjukkan pula dengan sikap nyata berupa
terlibat langsung dengan masyarakat kecil seperti tinggal di pinggiran Kali
Code, dan masyarakat yang terkena genangan air Waduk Kedungombo.
Periode Orde Baru memang terjadi represi
yang kuat terhadap sikap kritis masyarakat, kekuasan memusat, dan segala hal
yang berbeda dari penguasa dirasakan sebagai bahaya nasional. Selama Orde Baru
tidak sedikit orang yang mencoba kritis terhadap penguasa disingkirkan, hanya
beberapa orang yang tidak mengalami hal ini. Romo Mangun , dan beberapa orang dari
Petisi 50 tidak mengalaminya, bisa jadi karena penguasa masih segan terhadap
mereka.
Pada periode ini pula Romo Mangun
mencoba menulis karya sastra, novel pertama Romo Mangun yang terbit tahun 1979
berjudul Romo Rahadi, kisah tentang seorang pastur yang bimbang di Papua.
Sungguh sebuah kerja keras buat seseorang yang berusia lima puluh tahun menulis
sebuah karya sastra. Karya sastra berikutnya yang terbit novel Burung – Burung
Manyar yang mendapat penghargaan SEA Award tahun 1983. Selain itu Romo Mangun menulis
cerita bersambung yang berjudul Roro Mendut yang kemudian dibuat jadi sebuah
novel. Novel lain yang juga menarik perhatian masyarakat adalah Ikan – ikan
Hiu, Ido, Homa yang terbit tahun 1983, novel ini memiliki latar kehidupan di
daerah Maluku.
Novel-novel Romo Mangunwijaya memiliki
ciri tersendiri, selain cerita-ceritanya selalu terkait dengan mitos atau
sejarah, bahasa yang digunakan agak berbeda dengan para penulis lain. Bahasa
Romo Mangun bagi sebagian orang agak susah dipahami, ada yang mengkritik Romo
Mangun kurang taktis dalam bercerita, tapi hal itu tidak mengurangi kebesaran
karya tersebut. Sampai sekarang gaya bertutur Romo Mangun yang berbelit,
terkadang sangat hiperbola juga belum ada yang meneliti lebih rinci.
Ketika awal menulis karya sastra seolah
Romo Mangun ingin berjarak dengan kegiatan dirinya yang lain, termasuk kegiatan
yang bersifat politis. Mungkin Romo Mangun ingin menjaga pilihan-pilihan
hidupnya. Namun di akhir pemerintahan Orde Baru Romo Mangun mulai memasukkan
sisi politis dalam karyanya, termasuk sebuah cerpen yang dimuat Kompas pada
tahun 1998 yang berjudul Saran “Groot Major” Prakoso. Cerpen ini berkisah tentang demontrasi yang
menentang pemerintah Soeharto. Keberanian Romo Mangun bisa jadi dirinya sudah
sangat jengkel dengan kekuasaan Orde Baru, kejengkelan serupa terjadi pula pada
masyarakat Indonesia.
Setelah Reformasi tahun 1998
Romo Mangun lebih terlibat dalam berbagai kegiatan yang memiliki nuansa politik
kuat. Tidak hanya itu Romo Mangun bahkan secara terbuka mengemukakan
pendapatnya tentang situasi di Indonesia serta sikap yang harus diambil
pemerintah pasca Soeharto. Surat terbuka Romo Mangun pada Presiden Habibie di
tahun 1999 menunjukkan sikap tersebut, Romo Mangun tidak segan mengkritik
Habibie, salah satu sahabatnya, yang ketika Romo Mangun wafat Habibie datang
melayat di Katedral Jakarta. Di tahun 1999 diterbitkan satu novel terakhir Romo
Mangun yang berjudul Pohon-Pohon Sesawi, sebuah kisah kehidupan seorang calon
pastur (frater). Sebuah novel yang tidak jauh berbeda latarnya dengan novel
pertama.