Kolom Akhir: Susah Mencintai yang Lain oleh Rizka Nur Laily Muallifa
Aku terus-menerus ingat kalimat yang disampaikan
salah seorang kakak tingkat di lembaga pers mahasiswa
beberapa waktu silam. Kira-kira begini bunyinya: Ifa iku urung
siap nek dikon nulis jurnalistik. Begitu dia mengulang hasil rasan-rasannya.
Saat itu aku dan keempat kawan pers mahasiswa (dua di antaranya merupakan kakak
tingkat) sedang mengikuti workshop perubahan iklim dan pembangunan
berkelanjutan bagi jurnalis yang diprakarsai sebuah komunitas peduli perubahan
iklim, Indonesia Youth Team for Climate Change (IYTCC). Workshop
itu berlangsung selama tiga hari di akhir pekan. Karena kesatuan kami di persma
kampus, selama workshop kami tak sadar bahwa lebih sering membentuk komuni
internal. Mulai dari duduk bersebelahan setiap kali kelas,
berjanjian keluar kamar untuk makan bersama, berada di satu meja saat coffe
break, hingga menjelajahi jalanan di seputaran hotel ketika malam sudah
cukup larut. Lalu, di salah satu kesempatan ketika coffe break aku tidak
tergabung di meja yang sama, mulailah acara rasan-rasan itu, yang salah
satunya terlontar kalimat seperti di bagian awal tulisan ini.
Sebelumnya aku sempat mempresentasikan hasil reportaseku di kelas
workshop. Aku menulis laporan tentang potret jalanan di sekitar hotel. Usai
membacakan tulisanku, aku tertuduh sebagai mahasiswa Sastra Indonesia oleh
pemateri. Sebab di sana-sini ditemui
corak bahasa yang lebih mirip sastra daripada laporan hasil reportase pada
umumnya. Begitu sang pemateri berujar. Di hari yang sama itu pula aku dinilai
belum cukup siap untuk menulis jurnalistik oleh teman-teman persma sesama
peserta workshop. Kupikir memang demikian. Tulisanku “Otobiografi Perubahan
Iklim” yang kukirim untuk proses penyeleksian lalu juga mirip cerita pendek
yang begitu personal. Ketika menulis, aku harus selalu berangkat dari diriku,
dari hal-hal terdekatku. Sedangkan, ihwal corak bahasa kupikir secara tak sadar
itu menjadi tendesiku. Sekalipun aku membaca tulisan-tulisan jurnalistik juga
karya-karya non fiksi lainnya, tapi toh itu semua tidak pernah sanggup mengungguli
kecintaanku ketika membaca sastra, meskipun masih
terlampu sedikit yang kubaca. Mungkin itu begitu berpengaruh pada model
tulisanku.
Tidak berhenti sampai di situ, aku merasa teror demi teror
menggerayangi hidupku, kurasa (entah ini hanya perasaanku yang kelewat sensitif
atau bagaimana) banyak pihak di sekitar yang seolah menyayangkan keputusanku
menulis yang ‘sok’ sastra itu. Celoteh-celoteh orang-orang di sekitar.
Tags:
Kolom Akhir
0 komentar