#BincangSastra Solopos FM 21 Februari 2016: Sosok Romo Mangun oleh Yunanto Sutyastomo



10 Februari 1999 Mohamad Sobary tidak menyangka waktu itu akan ada seseorang yang meninggal dunia di pangkuannya. Seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk rakyat kecil. Siang itu YB Mangunwijaya terkulai lemas dalam pangkuan Sobary, sahabat karibnya dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Yayasan Obor Indonesia. Hari itu banyak orang kehilangan YB Mangunwijaya yang biasa dipanggil Romo Mangun. Seorang rohaniawan, sastrawan, pemerhati sosial, dan seorang arsitek yang peduli pada lingkungan.
Romo Mangunwijaya memang dikenal dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kebudayaan, dan kemanusiaan. Romo Mangunwijaya sebenarnya bercita-cita sebagai pastor biasa, dirinya menjadi pastur setelah terlibat dalam perang kemerdekaan. Romo Mangun di tahun – tahun pasca kemerdekaan ikut menjadi bagian dari gerilyawan di Yogya, dirinya bahkan pernah jadi sopirnya Letkol Soeharto (kelak jadi Presiden Indonesia). Perang kemerdekaan kemudian menjadi salah satu inspirasinya dalam novel Burung – Burung Manyar, di novel itu dalam sudut pandang yang berbeda mencoba melihat sisi perang kemerdekaan, terutama di awal novel. Burung-Burung Manyar sebuah novel yang berkisah kisah cinta dua manusia (Teto, dan Laras) dengan dua pilihan politik yang berbeda pula.
Kisah Burung – Burung Manyar walau pun bercerita pada kisah cinta dua insan, tapi tidak bisa dipungkiri novel ini menunjukkan kekaguman Romo Mangunwijaya pada seorang bapak bangsa kita. Pada novel Burung – Burung Manyar kita akan mengetahui kekaguman Romo Mangun pada St Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Kisah St Sjahrir yang datang ke markas Belanda, yang pada saat bersamaan Teto sebagai prajurit sangat tidak suka dengan Sjahrir karena dianggap berbahaya, sementara para atasannya serta politisi Belanda umumnya sangat hormat pada Sjahrir, karena Sjahrir tidak pernah bekerjasama dengan penjajah. Kisah ini menjadi pelengkap dari tulisan Romo Mangun di Majalah Prisma pada tahun 1977. Di Majalah Prisma Romo Mangun menuliskan dengan lengkap, dan ada sedikit rasa kagum serta menyanjung Sjahrir sebagai tokoh bangsa.
Romo Mangun memang tidak pernah bertemu dengan St Sjahrir secara langsung, ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri, Romo Mangun sedang bergerilya di Yogya. Perang kemerdekaan menjadikan sekolah Romo Mangunwijaya agak terbengkalai, setelah perang selesai Romo Mangun melanjutkan sekolah di SMA St Albertus Malang. Setelah dari Malang Romo Mangun belajar di Seminari Yogya, kemudian berlanjut di ITB, dan sekolah arsitek di Aachen, Jerman. Praktis hidup Romo Mangun antara periode 1950-an dan 1960-an dihabiskan untuk sekolah, sementara dalam periode tersebut St Sjahrir mengalami masa surut dalam karier perpolitikan. Ketika Romo Mangunwijaya pulang dari Jerman tahun 1966 St Sjahrir meninggal dunia.
Saat Romo Mangun pulang dari Jerman terjadi perubahan politik di Indonesia, mantan komandanya dulu di Yogya menjadi penguasa baru di negeri ini. Mulailah Indonesia memasuki era Orde Baru, penguasa baru, dan para pejabat yang mengisi kedudukan penting sebagian besar mengenal Romo Mangun. Tapi Romo Mangun justru menjadi orang kritis terhadap kekuasaan yang ada, dirinya mencoba untuk melihat secara jernih kekuasaan yang berjalan. Sikap kritis Romo Mangun ditunjukkan pula dengan sikap nyata berupa terlibat langsung dengan masyarakat kecil seperti tinggal di pinggiran Kali Code, dan masyarakat yang terkena genangan air Waduk Kedungombo.
Periode Orde Baru memang terjadi represi yang kuat terhadap sikap kritis masyarakat, kekuasan memusat, dan segala hal yang berbeda dari penguasa dirasakan sebagai bahaya nasional. Selama Orde Baru tidak sedikit orang yang mencoba kritis terhadap penguasa disingkirkan, hanya beberapa orang yang tidak mengalami hal ini. Romo Mangun , dan beberapa orang dari Petisi 50 tidak mengalaminya, bisa jadi karena penguasa masih segan terhadap mereka.
Pada periode ini pula Romo Mangun mencoba menulis karya sastra, novel pertama Romo Mangun yang terbit tahun 1979 berjudul Romo Rahadi, kisah tentang seorang pastur yang bimbang di Papua. Sungguh sebuah kerja keras buat seseorang yang berusia lima puluh tahun menulis sebuah karya sastra. Karya sastra berikutnya yang terbit novel Burung – Burung Manyar yang mendapat penghargaan SEA Award tahun 1983. Selain itu Romo Mangun menulis cerita bersambung yang berjudul Roro Mendut yang kemudian dibuat jadi sebuah novel. Novel lain yang juga menarik perhatian masyarakat adalah Ikan – ikan Hiu, Ido, Homa yang terbit tahun 1983, novel ini memiliki latar kehidupan di daerah Maluku.
Novel-novel Romo Mangunwijaya memiliki ciri tersendiri, selain cerita-ceritanya selalu terkait dengan mitos atau sejarah, bahasa yang digunakan agak berbeda dengan para penulis lain. Bahasa Romo Mangun bagi sebagian orang agak susah dipahami, ada yang mengkritik Romo Mangun kurang taktis dalam bercerita, tapi hal itu tidak mengurangi kebesaran karya tersebut. Sampai sekarang gaya bertutur Romo Mangun yang berbelit, terkadang sangat hiperbola juga belum ada yang meneliti lebih rinci.
Ketika awal menulis karya sastra seolah Romo Mangun ingin berjarak dengan kegiatan dirinya yang lain, termasuk kegiatan yang bersifat politis. Mungkin Romo Mangun ingin menjaga pilihan-pilihan hidupnya. Namun di akhir pemerintahan Orde Baru Romo Mangun mulai memasukkan sisi politis dalam karyanya, termasuk sebuah cerpen yang dimuat Kompas pada tahun 1998 yang berjudul Saran “Groot Major” Prakoso. Cerpen ini berkisah tentang demontrasi yang menentang pemerintah Soeharto. Keberanian Romo Mangun bisa jadi dirinya sudah sangat jengkel dengan kekuasaan Orde Baru, kejengkelan serupa terjadi pula pada masyarakat Indonesia.
Setelah Reformasi tahun 1998 Romo Mangun lebih terlibat dalam berbagai kegiatan yang memiliki nuansa politik kuat. Tidak hanya itu Romo Mangun bahkan secara terbuka mengemukakan pendapatnya tentang situasi di Indonesia serta sikap yang harus diambil pemerintah pasca Soeharto. Surat terbuka Romo Mangun pada Presiden Habibie di tahun 1999 menunjukkan sikap tersebut, Romo Mangun tidak segan mengkritik Habibie, salah satu sahabatnya, yang ketika Romo Mangun wafat Habibie datang melayat di Katedral Jakarta. Di tahun 1999 diterbitkan satu novel terakhir Romo Mangun yang berjudul Pohon-Pohon Sesawi, sebuah kisah kehidupan seorang calon pastur (frater). Sebuah novel yang tidak jauh berbeda latarnya dengan novel pertama.

Tags:

Share:

0 komentar