Kolom Akhir: Narasi Januari oleh Seruni Unie



 Januari, selalu menjadi awal tahun yang menyimpan sejumlah resolusi. Bagi setiap orang. Entah lulus kuliah, menikah atau mencetak prestasi di bidang yang digeluti atau semacamnya. Setidaknya satu atau bahkan lebih obsesi tercapai. Itu yang diharapkan pastinya. Begitupun ibu. Mesti tak disampaikan, tapi saya paham. Sebentuk cita-cita sederhana ada di benaknya. Bahwa segera ingin punya menantu. Tentu saja adalah make a wish rutin, di setiap penambahan usianya yang bertepatan dengan satu Januari.
Mendadak jadi ingat ucapan dokter yang menangani ibu beberapa waktu lalu. “ Bahwa kondisi tubuh ibu normal, tak ada penyakit yang mengkhawatirkan. Ibu banyak pikiran dan hanya dirinya sendiri yang bisa mengobati.” Di sinilah saya merasa teramat bersalah. Kemungkinan besar, saya salah satu penyebabnya. Tapi saya percaya, kelak ada saatnya rusuk yang ada pada saya diambil pemiliknya. Bukan demi kesembuhan ibu semata namun juga penyempurna agama. 
Ini baru Januari, masih ada bulan-bulan lain yang mengapung. Bulan yang barangkali mengabulkan mimpi ibu. Menjawab kerisauannya. Menyaksikan anak wadon semata wayangnya melepaskan masa lajang.
Ini baru Januari. Rencana saya juga tertata hati-hati. Membenahi diri. Itu saja. Banyak langkah melenceng yang telanjur di tahun kemarin.
Yang menyebabkan doa belum terijabah. Saya sadar sepenuhnya. Berapa sering saya mengecewakan ibu dan orang lain. Membuat luka ...
Kalau kata Chairil Anwar: Hidup hanyalah menunda kekalahan. Maka tidak saja sekarang bahkan dari dulu saya sudah memulai.
Cuma bila takdir  boleh di-request, sungguh saya berminat menikmati Januari di tahun depan. Ditemani ibu dan orang-orang yang menyintai. Itu kemenangan saya tak terkata.
Ini baru Januari. Pun saya berusaha menyiapkan sederet perbaikan. Sekalipun baru sebatas wacana di dada. Tak mengapa ...

Share:

0 komentar