Tiga Kuping Hilang, cerpen Olen Saddha
Pernahkah kau merasa tidak sedang berada
dimana-mana? Padahal kau sedang menapaki bumi yang sudah sekian tahun kau
gagahi. Sebuah titik nol yang tidak mengantarmu kemana-mana. Rasanya waktu
mengkristal tanpa bisa dipecah oleh detak detik. Palu sekuat apapun tak memiliki
daya untuk sekadar mengumpulkan niatan untuk memecah sesuatu yang membekukanmu.
Tahukah kau sedang berada dimana
ketika otakmu berhenti berpikir, ketika jalan kakimu tak lagi maju. Sebuah
lorong yang gelap dan pengap tanpa pernah kau tahu ujungnya. Tanpa pernah kau
mengerti maksudnya. Sebuah langkah tanpa tujuan. Sebongkah pikiran tanpa logika
yang jelas.
Aku sedang merasakannya. Sebuah
pengap yang menjalari pembuluh darah. Kengerian hingga napas tercekat. Kakiku
terasa berat untuk dilangkahkan. Mataku buram. Penat. Barangkali beberapa saat
lagi otakku akan meledak oleh sesuatu yang aku sendiri tak tahu namanya.
Kini kristal itu tak hanya
menjalari substansi dalam otakku. Ia menggerogoti jantung dan paru-paru. Genap
sudah aku menjadi seonggok onak yang ketika menampakkan dirinya hanya akan
menusuk siapa saja yang tak memakai matanya dengan benar.
Aku masih mematung di depan layar
laptop. Kali ini tak ada tujuan apa-apa. Tak ada cerita yang ingin kususun
menjadi paragraf. Kali ini tak seperti biasanya. Napasku tercekat bukan karena
gebu atas keinginan untuk merampungkan naskah cerita. Mataku mengabur bukan
karena kelelahan akibat terlalu lama berada di depan layar. Punggungku pun
terasa remuk bukan disebabkan duduk mematung lama untuk menamatkan kisah tokoh
fiktif yang selalu kuciptakan. Kali ini tak seperti biasanya. Sama sekali bukan
sesuatu yang fiktif. Tapi aku masih berharap bahwa ini adalah rekaan seseorang
yang ingin menjadikanku sebagai tokoh utama dalam cerita yang ia susun.
Tatapanku kosong. Sama kosongnya
dengan layar putih di depanku. Aku semakin yakin bahwa seseorang di luar sana
sedang berada di depan komputernya untuk menuliskan kisah tentang kekristalan
ini dan menjadikan aku sebagai tokoh utamanya. Atau setidaknya aku mengharap seseorang
datang membawa apapun yang mampu menghancurkan sesuatu yang melilitku ini agar
aku mampu kembali normal.
Haus. Aku kelelahan karena berdiam
diri. Aku harus minum. Tapi jangankan berjalan mengambil minum, kakiku saja
sudah menolaki niatan untuk berdiri. Kini sesuatu itu melumer ke kakiku menjadi
cairan kental yang menjijikkan. Cairan itu menggeliat dan membuat tubuhku
berjalan dengan susah payah. Berat. Kalau bukan karena haus aku tak akan
bangkit dan membiarkan tubuhku mematung di kursi hingga sesuatu itu insaf dan
minggat dari tubuhku. Aku minum tiga gelas air seperti hewan ternak yang sudah
lama tak diberi minum oleh tuannya. Setelah itu aku kembali duduk di kursiku.
Ruang kecil ini berada di lantai dua, berhadapan dengan
kamarku. Ruang ini resmi menjadi ruang kerjaku sekaligus perpustakaan pribadi
sejak dua setengah tahun ini. Ada sebuah jendela yang rutin kubuka setiap pagi
demi mengisi paru dengan udara segar dan melebarkan mata untuk memandangi hijau
di seberang. Namun kali ini tak seperti biasanya. Sejak pagi aku tak membuka
jendela. Aku berharap sedikit saja udara yang masuk dalam ruang ini melalui
jendela itu. Semakin banyak aku menghirup udara di luar jendela, kristal di
dalam tubuhku semakin membabi buta. Dadaku sesak. Aku ingin kembali normal.
Banyak tumpukan cerita yang harus kuselesaikan. Tapi semakin aku menolak
kristal ini dadaku justru semakin sesak dan pandanganku semakin mengabur.
Perutku berdesir. Aku harus ke kamar mandi sebelum
mengompol. Dan dengan susah payah aku berjalan menuju kamar mandi. Seketika
mataku terbelalak dan syarafku menegang. Bukan air kencing yang kukeluarkan
melainkan segerombol huruf yang bercampur aduk. Mereka berwarna hitam, persis
seperti warna tinta yang digunakan setiap percetakan untuk menggandakan
tulisan-tulisanku. Aku masih tercengang. Kini gerombolan huruf itu tercecer di
lantai kamar mandi seperti baru saja dimuntahkan dari perut berupa mesin cetak
huruf. Di tengah kengerianku yang belum reda, huruf-huruf itu bergerak dan
membuatku terkejut bukan main. Mereka benar-benar bergerak seperti ulat yang
menggeliat. Aku langsung tersadar bahwa tujuan mereka adalah aku. Mereka
menganggap aku induk ulat yang siap menaungi bayi-bayinya yang menjijikkan ini.
Mereka bergerak semakin cepat. Aku kebingungan. Panik. Huruf-huruf itu mulai
menjalari celana panjang yang kupakai. Aku menjerit-jerit dan menghentakkan
kakiku. Nihil. Ternyata mereka mengeluarkan liur yang menempel di celanaku. Lengket.
Badanku bergetar dan keringat mengucur deras. Seketika aku melepas celanaku.
Namun mereka sudah menempel di bajuku. Cepat-cepat kulepas bajuku. Kulepas
semua yang menempel di tubuhku. Kaos kaki, celana dalam, dan kutang. Dengan
sigap aku membuka pintu untuk keluar. Segera kututup pintu kamar mandi agar
huruf menjijikkan itu tak mengikutiku.
Kini penampilanku pasti mirip pasien rumah sakit jiwa.
Rambut berantakan, telanjang, kusam, dan tentu saja linglung oleh keadaan yang
mengerikan. Inspirasiku lenyap tanpa bekas. Susunan teori di otakku ludes
akibat hal-hal aneh ini. Barangkali perkataannya memang benar. Sesuatu itu
telah menggerogotiku bukan karena tanpa sebab, melainkan aku sendiri yang
mengijinkannya masuk melalui pori-poriku bersamaan dengan masuknya
bermacam-macam pemikiran manusia yang kubaca melalui buku-buku.
“Buku-buku itu sudah merebut kupingmu,” sindirnya dari balik
selimut ketika aku masih sibuk dengan layar komputerku.
Aku tak lekas mengindahkan sindiran yang selalu ia lontarkan
saat aku tak berhasil dirayu oleh susunan kalimatnya yang sudah pasti tidak
seindah kalimat yang biasa kutuang dalam naskah-naskah cerita.
Aku
semakin pusing. Saat ini badanku seperti kehilangan tulang. Lemas. Kurebahkan
badan telanjangku di lantai. Siapa tahu dingin lantai akan memberi stimulus
pada tubuhku sehingga segar kembali. Aku masih gagal untuk sepenuhnya menyadari
bahwa ucapan terkutuk dari lelaki itu justru menjadi awal atas terbunuhnya
keinginanku untuk tetap menjadi manusia. Dan genaplah ia menjadi kekasih yang
sama sekali tidak berguna bagi kehidupanku. Aku lebih memilih sampah busuk─yang sering kutumpuk karena malas
menaruh di depan rumah agar dipungut oleh tukang sampah─ untuk menjadi temanku tidur daripada
lelaki idiot itu.
Mataku
mengerjap beberapa kali untuk mengusahakan kenormalan. Masih tidak menemukan
alasan mengapa kali ini tidak seperti biasanya. Kristal itu masih bernaung di
tubuhku, mereka telah menyebar di setiap sudut ruang jasmani dan rohani.
Kuedarkan
pandang menuju segala penjuru ruang. Mataku menatap nanar pada tumpukan
buku-buku teori yang selalu membuatku bergairah─melebihi
gairahku pada kekasih idiotku─setiap kali membacanya. Namun kali ini
tak seperti biasanya. Aku merasa muak saat melihat sampul buku-buku teori itu.
Teori-teori itu terkristal dan tertumpuk rapi dalam setiap halaman. Sama
sepertiku yang terkristal dalam halaman-halaman naif hingga kupingku menuli.
“Kehidupan
kita berdua tidak harus sesuai dengan teori-teori yang sering kau baca,” ucap
Mey, tetangga depan rumah yang kukenal dengan cukup baik. Rambutnya
bergelombangt, kulitnya putih bersih, dan ia tinggal di rumah besarnya itu
sendiri. Kami sering menghabiskan sore sambil menikmati teh di teras rumah.
Aku
tidak pernah menemukan alasan mengapa orang-orang berada di dekatku tidak
pernah berhenti mencibir kebiasaanku yang jarang keluar rumah karena
menyelesaikan agenda membaca dan menulis cerita. Aku menemukan dimensi dari
buku-buku yang telah kubaca. Bahwa huruf-huruf itu memupuk pemikiranku untuk
tetap berkembang tanpa harus susah-payah keluar rumah demi menemukan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan. Bahkan aku yakin akan keluar sebagai pemenang dalam
sebuah pertandingan debat mengenai apa saja. Selalu kutemukan jawaban dari
setiap pertanyaan hanya dengan diam dan menelusuri tumpukan hal yang tersusun
rapi dalam memori otakku. Hal-hal yang berhasil kudapatkan dari berbagai bacaan
dan kejadian.
Namun
kali ini tidak seperti biasanya. Barangkali kuping ini sudah mati sejak aku
membaca teori-teori dalam buku koleksi. Sehingga suara macam apapun tak akan
berhasil untuk menebasku. Buku-buku itu memang telah merebut kupingku sehingga
tak mendengar suara apapun. Tiga kuping sekaligus, dua yang berada di samping
kanan dan kiri wajahku, serta satu yang berada di dalam nuraniku. Aku telah
menulis banyak hal, dengan tujuan menjadikan tulisan sebagai produk atas
kemenanganku dalam mengkristalkan pemikiran. Maka malu sekali jika harus
mengakui, bahwa akulah penulis yang dikalahkan oleh tulisan singkat di layar
ponsel kekasihku.
From : Mey
Aku sudah di kamar biasanya. []
Olen
Saddha, mahasiswi ISI Surakarta, buku puisinya
yang baru terbit: Memandikan Harapan.
Tags:
Cerpen
0 komentar