Santapan Rohani, kolom akhir Bunga Hening Maulidina



Simbah saya hanya tinggal seorang. Simbah Kakung dari pihak Ibu. Simbah Kakung tinggal di desa sebelah. Entah berapa usianya. Ditaksir oleh Ibu, usainya sekitar 90 tahun. Belakangan saya main ke rumah Simbah, saya ditawari sebakul nasi. Bukan nasi sembarangan. Nasi itu namanya nasi loyang, sega loyang.
Simbah me-request khusus nasi itu dari Budhe. Nasi loyang adalah nasi yang diolah dari nasi sisa, nasi aking, sega aking. Simbah mengumpulkan nasi-nasi sisa setiap hari, lalu dijemur sampai kering menjadi nasi aking. Nasi aking yang masih bagus dan tidak berjamur, disimpan Simbah untuk kelak diolah. Ya, nasi aking itulah yang akhirnya dimasak oleh Budhe menjadi nasi loyang dan ditawarkan pada cucunya.
Saya mulanya ragu makan nasi itu. Lalu Ibu menyuruh saya makan nasi loyang, semata biar Simbah senang. Kemudian saya makan. Rasanya lumayan. Enak untuk cemilan. Namun, tentu saja saya tidak cukup tabah untuk makan lebih banyak. Ya sudah, saya menyerah. Melihat saya menyerah, rupanya Simbah maklum, dan mewejang supaya saya gemi, setiti, ngati-ati. Dan nasi loyang adalah ilustrasi realis yang diberikan Simbah atas wejangannya.
Kalau saya ingat-ingat lagi, kadang saya jadi terharu melihat Simbah. Dahulu sekali, entah kapan, saya pernah main ke rumah Simbah. Ketika itu, Simbah ternyata sedang membaca kitab. Kelihatan begitu hikmat. Simbah juga sering menulis. Tulisan tangannya rapi, meski usianya entah berapa. Tentu Simbah tidak menulis yang aneh-aneh. Kebanyakan adalah catatan doa-doa, kutipan ayat, atau juga nasehat untuk anak cucu. Betapa pun sederhananya, ketelatenan Simbah membuat saya malu pada diri sendiri. Betapa rajin Simbah dan tetap tumbuh sampai hari tua. Adapun saya malah sering malas belajar. Nyuwun pangapunten saestu, Mbah. []


Share:

0 komentar