Puisi Halim Bahriz
IMPEN SEBLANG
sitoresmi
meminang sebayang pose wajah. lelaki yang ramah, seumpama purnama yang baru
tampak di ambang kaki langit malam hari. sepejam matanya merahasiakan denyut
laut blambangan.
seuluran aroma setanggi yang
mulai menjalar ke dalam kamar, tidak membuat matanya lekas terbuka. sosok
perempuan tua lalu datang mengetuknya, sebuah
bisikan, napas seliang lubang. “rara,” bujuknya, “buyutmu sudah hampir
tiba.” rara sitoresmi mengerti: dialah tubuh yang harus menjemput. perempuan
yang telah mati berabad-abad itu, akan datang kepada orang-orang di kampungnya.
tapi ia masih membayangkan
senyuman lelaki yang kepadanya terus membagi isyarat membingungkan.
dengan gemetar, gadis seranum
timun sawah itu memapah diri menuju pintu. ketika ia dengar kucuran kopi yang
dituang para tetua desa—disaksikannya:
orang-orang seperti kerumuman
penunggu, seakan terbujur jasad yang sedang dimandikan. tengkuknya segera
bergidik, saat segar ruap tanah yang dalam dugaannya menguap dari seliang
kuburan, merebahi lantai paru-paru.
tapi kemudian tatapan sitoresmi
rekah bak kamboja. sang lelaki, yang semalam seolah menyusup ke dalam mimpinya,
tampak bertengger di atas gelondongan kayu, di bawah rumbai janur yang berayun-ayun
dan segepok bunga yang dianyam nyaris omprog.
tangan lelaki itu menggenggam sebuah kamera.
blap,
seketika tungku dupa jatuh di kaki sang saman—lalu semua menghilang, berganti
putih subuh dan belukar. sitoresmi menyaksikan dirinya menunggang punggung
seorang lelaki yang berlari. derap berpuluh nyala obor membuntur,
terdengar seperti kawanan babi
hutan yang bingung. blap, hari pun
kembali. tapi lelehan kemenyan yang berkepulan, telah berubah menebar bau
serbuk mesiu dan sosok lelaki itu: menjelma sang saman yang berpejam, seraya
merapal larik mantera-mantera tua di hadapan calon seblang yang mulai merasuki
sebuah ambang.
sitoresmi menyaksikan
komat-kamit itu mirip jarum pada segantung benang yang sedang bergoyang-goyang.
seolah sebuah peristiwa baru saja hilang dari selembar pakaian robek yang
tertinggal di atas dipan. ia seakan-akan dipaksa memulasi diri sendiri untuk
mengulang igauan sejerat lidah yang terendam di dasar selubang sumur yang,
dalam bayangannya, adalah mata seorang laut.
ketika angin mulai membimbing
tulang jemarinya, menyusun gemulai; belai telapaknya seumpama layar sebuah
kapal yang mengambang di teluk yang jauh dan terlantar. ia merasakan denyut
laut merasuki tubuhnya. ia rasakan sebuah pohon mulai tumbuh di dalam lambungnya. dari puting
payudaranya mengucur
santan kental dari parutan
daging kelapa yang diperas oleh sesosok perempuan renta di masa silam yang tak
pernah dikenalnya.
blap,
hanya sebuah biru dan sebuah cemas yang tertahan. sang lelaki berdiri di atas
perahu, beku meratapi laut, seperti memelototi selajur jalan buntu. “ulu
pampang,” lirihnya. “telah lama menerimamu, pula blambangan, yang sejak
berabad-abad lalu, dilumuti julur-julur api.”
sitoresmi melihat wajahnya
telah meminang tua; keriput dan uban dikerumuni bunga-bunga, biji gabah,
setandan palawija. tapi wajah itu cumalah sepenggal kepala yang
terombang-ambing menuju lengang
tenggelam. ia saksikan pula: tubuh pribumi bercampur kompeni, berjajar
rapi di bibir pantai. sitoresmi juga menyaksikan dirinya yang masih belia
memakai gaun noni-noni turut menatap larung dari sana. rautnya sepolos pagi,
sedalam sumur di sebuah kampung mati yang kemarau.
blap,
asin ombak memanjat: rambutnya terbilas, penampah yang memanggul potongan
kepalanya terasa memulai angslup perlahan. lantas datang bayang seliang lubang,
muntahan meriam, ledakan cahaya; kilau tipis sumur-sumur tua seakan-akan
memandangi pucat rembulan; matahari, bangkai pembajak di atas ladang retak,
sepasang kerbau yang membatu; kepingan tungku kemenyan sang saman, juga telapak
kaki gosong yang digelantungkan di cabang-cabang dahan dan tiang-tiang antena.
ketika matanya terlipat dalam
gulungan gelombang, sitoresmi mendengar lelaki itu menceburkan tubuh dari atas
perahu. ketika matanya kembali terbuka, cuma ia saksikan sehamparan ladang padi
yang amat luas di dasar laut.
blap,
hari pun kembali: kamar putih, tabung infus, bau obat, dan sosok lelaki yang
sedang memeriksa sebuah kamera. klik,
tampaklah wajahnya sediri yang
sedang tersenyum. klik, tampaklah sehampar sawah menguning
dan rajutan jerami bertudung omprog
dipacak tepat di tengah-tengahnya. klik,
para lelaki
riang memainkan angklung
paglak. seperti belulang dan bambu yang sedang memperdengarkan ricik
percakapan. klik, no preview available. klik, no preview available.
tiba-tiba kamera itu mati,
tepat saat terdengar canda bocah berlarian di koridor dan denging ambulan yang
menjalar melalui ventilasi jendela. lelaki itu lantas kembali terngiang, seraya mengulang-ulang
sebuah gumam, “aku pingsan atau kesurupan?”
pada layar ponselnya, dalam
sekotak google seacrh, ia mengetik
serangkaian keyword:
mimpi-penari-sitoresmi. klik, impen seblang. kemudian ia baca satu
kalimat yang menggumpal, pungkasan sejudul puisi bercatatan kaki yang tidak
sepenuhnya dimengerti oleh penulisnya
sendiri:
“tubuh ketiga adalah tubuh yang menyimpan pesakitan dengan penyembuh
yang sudah tak memiliki sebuah pintu untuk berpulang.”
2017
Halim
Bahriz, Perantau
Virtual, tinggal
di Lumajang-Jawa Timur. Dapat dijenguk
di @silakedua atau www.awalpekan.blogspot.com.
Tags:
Puisi
0 komentar