Literasi di Kota Ketiga - Esai Ahmad Sugeng Riady
Geliat literasi menjadi problem yang hanya diperhatikan oleh segelintir kalangan, kelompok, orang. Bahkan pemerintah pun kadang alpa untuk melihat sudah sejauh mana literasi bergerak di daerah-daerah, apalagi yang jauh dari akses. Padahal jelas, literasi menjadi bagian dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Pembangunan taman baca, lingkaran diskusi, koleksi buku di perpustakaan, dan festival bazar buku menjadi serentetan aktivitas yang dijalankan dengan ngos-ngosan oleh segelintir kalangan, komunitas, orang.
Seperti
cerita yang datang dari salah satu teman saya di malam itu. Ia datang dari Kota
Reog, Ponorogo. Kota yang menyimpan salah satu warisan budaya yang dielu-elukan
di negeri ini. Meskipun tepuk tangan dan apresiasi dari pemerintah hanya
didapat dengan kadang-kadang.
Ia datang
malam itu dengan wajah yang segera ingin mendapatkan jawaban. Beberapa
persoalan disodorkan dan kami obrolkan. Ada banyak bahan, kami meloncat dari
satu topik ke topik yang lain. Tidak menentu. Namun saya terbatas untuk menggurat
semua obrolan pada malam itu. Saya hanya tertarik soal jerih payahnya nguri-nguri
literasi yang ada di daerahnya.
Ia mengawali
ceritanya dengan nada inferior. Ia mengatakan bahwa geliat literasi di
daerahnya tidak sesemarak seperti kota-kota besar di negeri ini. Sebut saja di
Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Solo, Malang, dan Surabaya. Kota-kota yang memang
menjadi tujuan banyak orang untuk beradu nasib, termasuk soal literasi.
Kota-kota yang dituduh sebagai gembong lahirnya penulis-penulis tersohor di
negeri ini.
Meski
begitu, ia masih punya senyum jika membandingkan literasi di daerahnya dengan
daerah sekitar. “Literasi di kota ketiga”, katanya menamai. Nama yang mungkin
dicomot dan diduplikat dengan sedikit edit dari dunia ketiga, mungkin begitu.
Ia
melanjutkan dengan menuturkan problem lumrah dalam dunia literasi. Kalau saya
tidak salah tangkap, ada dua hal yang ia garis bawahi. Pertama, soal daya beli
buku. Ia menyayangkan banyak orang yang meremehkan buku. Baginya buku bisa
menjadi semacam investasi di masa depan. Tidak hanya soal koleksi kertas
dijilid berjejer rapi, tapi soal ilmu pengetahuandengan ideal pemikiran di dalamnya.
Soal harga
buku yang dianggap oleh kebanyakan orang masih mahal, juga ia singgung. Ia
menggarisbawahi orang-orang yang tiap bulannya jika dikalkulasi bisa
mengeluarkan kisaran tiga ratus sampai lima ratus ribu, namun masih mengeluh
kemahalan untuk membeli buku seharga lima puluh ribu. Padahal, pengeluaran itu
hanya habis untuk ngopi, jajan, jalan-jalan, dan aktivitas yang menurutnya
sayang sekali jika harus mengeluarkan banyak uang. “Mending ditabung atau
dibelikan buku”, tandasnya.
Problem ini secara
tidak langsung menggiring orang untuk membeli buku bajakan. Buku bajakan yang
menjadi momok dan menghancurkan banyak penerbit. Karena menurunkan harga buku
tanpa ada rasa bersalah dan pertimbangan lain yang harus dipenuhi. Memang
tarifnya lebih murah, bisa hemat sampai 60% dari harga buku aslinya.
Menyebalkan bukan?
Ia bercerita
seperti itu sembari menggelengkan kepala. Mungkin itu tanda semacam tidak
percaya dengan apa yang sudah ditemuinya. Dan saya rasa itu wajar. Perasaan
yang muncul dari segelintir orang dengan kesadaran literasi, kemudian
terkungkung dengan lingkungan yang menunjukkan wajah sebaliknya. Ya, tentu saja
asa dengan gelimang khayal terciptanya masyarakat berbudaya literasi mengempis,
kalau tidak mau dikatakan musnah.
Soal kedua,
ia menggugat dengan tajam budaya fanatik. Budaya yang sampai hari ini banyak
dikritik dengan argumen kitab suci dan rasio manusia. Namun kadang kala, kitab
suci justru dijadikan legitimasi kemudian rasio mengamininya dengan argumen
kesalehan.
Ia gerah dan
gelisah dengan budaya semacam itu. Budaya yang menurutnya bisa mengkerdilkan
pemikiran manusia, lebih-lebih generasi yang datang belakangan. Budaya itu bisa
mengerikan jika diakumulasikan dengan kesadaran literasi yang tidak digalakkan.
Kita boleh menebak arahnya akan jatuh pada kemapanan. Menurutnya, mapan itu
belum tentu benar, dan saya mengiyakan tanpa ada sanggah. Budaya semacam ini
secara tidak langsung juga membatasi manusia dalam berliterasi. Manusia mau
membaca jika bukunya memuat pemikiran satu frekuensi, mau ikut diskusi jika
seafiliasi, dan mau menulis jika ada nada kritik untuk menjatuhkan kelompok
lain.
Ia
memberikan prototipe soal dunia pendidikan yang dialaminya. Mulai dari pondok
pesantren sampai ke universitas, ia dicekoki dengan buku yang wajib dibaca
khatam. Membaca selain itu dianggap pelanggaran. Ia mempertanyakan kenapa bisa
demikian? Bukankah dunia pendidikan ada untuk mencerdaskan? Padahal bisa jadi,
di luar buku-buku yang telah disediakan, si murid bisa menemukan jawaban yang
tidak tersedia di buku wajib. Jawaban yang diperoleh melalui dialektika panjang
membaca ragam buku. Pikirannya bisa terbuka, sikapnya bisa melunak, dan
menerima kebhinekaan.
Tiga poin
terakhir ini secara tidak langsung punya kontribusi besar terhadap nalar kritis
murid. Sudah barang tentu, murid kritis jika berada di tempat yang
mengkultuskan fanatik, akan dicap sebagai pemberontak. Murid nakal.
Kenapa bisa
begitu. Lebih jauh lagi, si murid akan disebut sebagai pembangkang yang
ngeyelan. Tidak mau mendengar dan menurut terhadap titah yang telah
disampaikan. Padahal dalam dunia pendidikan, kritis itu sah-sah saja. Bukankah
keberhasilan pendidikan itu ketika si murid bisa mengembangkan pemikiran
gurunya? Dan indikasi mudah untuk melihat itu adalah melalui nalar kritisnya.
Saya agak
kurang mufakat dengan konsep nalar kritis yang ia sampaikan. Bahwa nalar kritis
berangkat dari diksi meragukan, itu iya. Ragu untuk mendapat jawaban baru. Ia
berangkat dari pertanyaan, dan mempersangsikan setiap jawaban yang ada. Saya
kira baiknya tidak seperti itu. Mungkin dari sekian jawaban yang tersedia,
dipilih satu dua jawaban yang dirasa mendekati benar. Jawaban itu yang dipegang
dan ditahan sampai mendapat jawaban baru yang lebih relevan.
Begitu ia
ceritakan ihwal literasi di daerahnya sebagai kota ketiga: literasi yang
berjalan dengan kembang kempis; literasi yang mungkin juga tidak masuk dalam
serentetan penilaian statistik. Malah bisa jadi, angka-angka statistik yang
selama ini digemborkan bahwa Indonesia berada di peringkat bawah dari sekian
negara tidak menyentuh geliat literasi seperti ini. Begitu juga literasi di
kota-kota lainnya. Demikian. []
Ahmad Sugeng Riady. Seorang
bujangan yang merangkap menjadi marbot di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.
0 komentar