Riwayat Singkat Kiai Angsee* - Cerpen Ahsanul Mahdzi

 


Asal-Usul Kematian

Dua sejarawan memiliki sikap yang berbeda perihal akhir cerita ini. Menurut Liem Thian Joe, tokoh kita—Kwee An Say—ditangkap Compagnie bersama sebagian warga yang masih hidup sebelum akhirnya dieksekusi dan kita tak pernah tahu apakah ia mati dihadapan regu tembak atau di bawah tiang gantungan.

Sedangkan kesimpulan Daradjadi menyatakan, tak berlaku bagi Kwee An Say buat tunduk begitu saja di hadapan lutut Compagnie, ia melawan demi memulihkan martabat rasnya, saudara-saudaranya, dari kebengisan Compagnie yang menghabisi da nmelucuti kepribadian mereka dengan memenggal leher serta taucang-taucangnya. Dia dikabarkan mati di dalam benteng.

Manusia bisa mati dengan banyak cara dan beginilah jalannya sejarah. Simak saja dulu, sebelum akhirnya kau memutuskan untuk mempercayai sepenuhnya atau menganggapnya kebohongan belaka.

 

Pedoman Berdagang

Tersedia dua pilihan bagi orang-orang bermata sipit, berambut kuncir berkepang itu: terlunta-lunta menjadi batur di tanah rantau atau punya banyak duit dan bisa sarapan semangkuk bubur dengan irisan tipis daging babi yang dihidangkan bersama secawan teh di pagi hari.

Mereka paham rasanya berbulan-bulan dipiuhkan angin muson di dalam kapal. Terombang-ambing laksana nasib ditubir pedang, terhunus atau melawan sebaik-baiknya buat jadi pemenang. Tak sedikit dari mereka yang jadi taipan gula atau pedagang kain sutera atau mencegat petani, membeli tanaman pala mereka sebelum akhirnya dijual di pelabuhan dengan harga lebih tinggi. Keluwesan bergaul dengan pribumi merupakan taktik dagang mereka.

Pada mulanya, tokoh kita ini adalah seorang pedagang kain sutera. Tak ada pilihan lain baginya untuk menggelar lapak dagangannya di pasar. Di perkampungan itu, semua orang adalah pendatang, semua orang mencari peruntungan di pasar.Tokoh kita bukan pendatang baru tentu saja.Iaseorang totok yang murah senyumdari Haiting-Hokkian bermargakan Kwee.

“Saya kabarkan ke semua orang, ini ada barang istimewa. Warna cerah sedap di mata, halus di kulit ini kain sutera namanya,” begitulah ia berceloteh tiap hari pada para pengunjung.

Tuan Kwee An Say melafalkan itu setengah berteriak, setengah melagu. Ia mafhum bahwa bersilat lidah adalah cara mujarab yang bisa membuat setiap mata orang-orang di pasar melirik dagangannya. Ia menjadikan setiap kisah, setiap tuturan adalah pedoman berdagang dan siapapun patut mendengar sebelum akhirnya kepincut pada lipatan-lipatan kain suteranya.

Tokoh kita ini tak menyangkabahwa pedoman yang ia yakinibisa memantik iri hatisesama pedagang dan akibatnya, ia tersembur fitnah. Mula-mula semua pedagang percaya bahwa rejeki oleh dewa-dewa pasti dibagi rata. Tapi pernah pada satu waktu, berhari-hari, orang-orang lalu-lalang saja di depan lapak mereka. Sesama pedagang mengeluh tak terkecuali Kwee An Say.

Tak ingin larut berpanjang angan. Keesokan paginya, tuan Kwee An Say keluar dari pondok kayu miliknya, mampir ke kelenteng Kwee Lak Kwaa, ia sembahyang memohon pada dewa supaya dirinya ditimpa nasib baik hari ini. Setibanya di pasar, ia gelar kain-kainnya dan mengawali hari itu dengan sebuah cerita.

Ia mengangkat kain sutera putih. Kedua tangannya terbuka, menengadah seperti tengah memanjatkan puja-puji dan segala doa. “Ada kisah lama, mengalir dari telinga ke telinga. Seorang pendekar pedang yang punya hasrat membunuh sang raja. Muasalnya dari Dinasti Qin, jaman perang tak kenal surga. Dendam menyala sampai jarak sepuluh depa dari sang raja…”

Tak satupun mata yang luput memandang si juru cerita.Semua orang tahu akhir cerita itu. Sang raja tak hilang nyawa. Jubahnya tetap putih serupa salju. Ia menutup ceritanya begini, “Putih ini kain surga. Siapa pakai bakal beroleh damai.”

Cerita terus menggelinding dari hari ke hari. Hingga pada hari ketujuh, orang-orang mulai merubunginya ketika ia membawakan hikayat daun bambu. “Bolehlah dengar cerita soal warna hijau perlambang cerdik pandai.” Tuan pedagang berkisah tentang seorang lintah darat yang kena tipu pak tua manakala ia menagih hutang padanya. Merasa tak bisa bayar hutang, si kakek mengadali si lintah dengan sebilah bambu dan daunnya. “’Tuan, hanya ini yang hamba punya,’ kata si kakek, ‘lekatkan daun bambu ini di jidat tuan, niscaya tuan tak terlihat.’” Sebagaimana orang-orang mempercayai setiap kisah tuan pedagang, demikian pula dengan si lintah. Ia datang ke pasar dan berjalan dengan sehelai daun bambu di jidat dan nyaris mati kena bogem orang sepasar karena ulahnya meremas setiap bokong perempuan. Kata tuan pedagang, “Boleh remas bokong istri, asal belikan sutera hijau ini.”

“Jangan dengar…” seseorang berteriak lebih kencang, bikin kerumunan buyar.Mereka menoleh serempak.Seorang pedagang kain yang lain, siap jadi pesaing Tuan Kwee. Tubuhnya kerempeng, bermata cekung, pakaian yang ia kenakan nampak kedodoran. “Tiada guna kalian dengar dia punya cerita,” serunya. “Sini-sini, aku beri kisah asli. Kisah pedagang kain sutera yang hidupnya berpeluh bohong belaka.”

Biadab betul itu orang mengarang cerita, batin Tuan Kwee. Ia pendam hasrat buat balas dendam. Disambanginya lapak dagang milik si kerempeng. “Ini kain dari Daratan Selatan, halus di badan, sedap di pandang,” kata si kerempeng. Ekor matanya menangkap keberadaan Tuan Kwee di antara kerumunan. “Orang dagang dalam Pecinan, dagang kain dalam pasar Gang Baru, Tuan Kwee barangnya tak laku, kena saing dia sama diriku.”

“Aku yang belah ruyung, kau yang beroleh sagunya.”Tuan Kwee tajam menatap sebelum akhirnya, si kerempeng hanya balas dengan seringai.

 

Tokoh Kita Seorang Pendekar

Dua hari kemudian,ia undur diri dari Pasar Gang Baru. Mengembaralah tokoh kita ke Barat. Ia bertandang ke Kendal dan di alun-alun Kaliwungu dagangannya ludes dan memutuskan pulang setelah tiga hari di sana dan sepulangnya dari Kendal, ia memutuskan memakai dua buruh pribumi buat menggendong pauwhok (buntalan), naik ke arah Selatan, ke Ungaran.

Perjalanan ke Selatan lumayan melelahkan. Mereka dikepung bukit di kanan-kiri, hawa dingin, dan jalanan setapak rebah menanjak. Tak ada peristiwa berarti pada hari pertama perjalanan mereka. Matahari tergantung di atas kepala, ketika mereka mulai memasuki daerah Ungaran.

Masuklah ketiganya ke sebuah pondokan.Mereka tentu ingin membuang dahaga dan di musim kemarau seperti sekarang, tiada pilihan yang lebih menyegarkan selain kelapa muda.Dua orang batur dan majikannya itu, nyaris bersamaan menyeka lelehan air degan yang merembes di pinggiran bibir dengan punggung tangannya.

Di luar, di daerah dataran tinggi ini, angin kemarau terhenti sejenak.Cericit burung beku.Di muka pintu, seseorang berdiri angkuh, berkacak pinggang. Matanya tajam menatap ke arah Kwee An Say. Di tangan kirinya, tergenggam sebilah golok.Mereka masuk ke dalam, bertiga,mendekati rombongan tokoh kita.

“Tentu kau tidak buta,” kata seseorang bertubuh kekar sambil petentang-petenteng membusungkan dada, “dan bisa melihat kedatanganku kemari, tiada lain buat minta upeti padamu.” Nampaknya, ia ketua regu bromocorah dengan golok seukuran lengan terselip di pinggang.

Kwee An Say menoleh ke arah mata batur-baturnya. Ia ayunkan kepalanya ke atas, celingak-celinguk. Dia meminta pertimbangan, siapa yang dimaksud kau di sini.Pimpinan regu begal itu meraung.Ia jungkalkan degan milik Kwee An Say. Di hadapan mereka, wajahpemilik kedai pucat pasi, tubuhnya gemetar.Kwee An Say tenang saja menoleh ke muka pimpinan regu begal. Ia mengangguk-angguk. “Si Kuncir ini kelihatannya tuli,” ucapnya menunjuk Kwee An Say, “aku merasa tak berdosa jika harus memecahkan kepalamu, Kuncir. Beri kami separuh kepeng uang yang kau punya dan kau bisa minggat dari sini.”

“Tapi tuan-tuan, hanya nyawa yang hamba punya.Hamba rombongan pedagang dan belum ada hasil sama sekali.”Itu bukan jawaban menyenangkan bagi regu begal Cabang Atas dan bukan suatu kekhilafan manakala sebilah golok terhunus menyabet leher Kwee An Say. Iahanya merenggangkan kakinya lebih lebar, mengokohkan kuda-kudanya lalu menarik mundur dua tapak kakinya.

Ia enteng saja menekuk tubuhnya ke belakang membuat taucangnya menyentuh tanah. Tanpa aba-aba dua baturnya menyingkirkeluar warung sambil menenteng pauwhok. Hasrat buat mencincang tubuh Kwee An Say kian membuncah. Tapi kali ini mereka keliru berhadapan dengan seseorang.Keributan ini jadi tontonan menyenangkan di siang bolong bagi insan-insan yang ingin mengusir rasa lapar dan dahaga di warung.Satu tendangan kaki kiri, cepat dan keras menghantam lengan si kekar, membuat goloknya lepas dan terjatuh ke tanah. Dua orang yang lain maju mendekat. Tokoh kita, pendekar kita, memicingkan mata ke arah keduanya.Ia berdiri dari kursinya kemudian membatin, “Demi dewa bumi, Fu De Zheng Shen, demi keadilan dan kesejahteraan, takluklah bromocarah-bromocorah ini.” Ia melolos sebilah bambu sepanjang tangannya dari balik baju. Kemudian berputar menghindari tusukan golok. Debu mengambang tersinari matahari. Semua orang tahu, semua mata menyimak liukan lentur tubuhnya menghindari tendangan dan tebasan golok, membuat mereka paham kini tengah berhadapan dengan siapa. Pendekar kita lumayan berkeringat. Bulir-bulirnya meleleh di kanan dan kiri keningnya. Di bawahnya, si lelaki gagah berleher pendek serupa lembu, berdada bidang dan berlengan kekar itu, yang sedari awal petentang-petenteng nyaris mencium kaki Kwee An Say. Tak ada tambahan luka sayatan di lengan kirinya. Hal itu semestinya bisa dilakukan Kwee An Say, tapi ia memilih yang lain.Ia ulurkan tangannya ke muka si leher pendek.

Atas tumbangnya regu bandit Cabang Atas, orang-orang kemudian menyebut tokoh kita Kiai Angsee, pendekar seruling bambu. Sungguh sejarah tak mencatat yang ini: sebenarnya di dalam bambu itu adalah wadah sebilah belati. Akan tetapi sejarah mencatat yang lain, bahwa regu bromocorah itu setia mengantar dan atau melindungi perjalanan rombongan dagang Kwee An Say demi menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang merintangi perjalanan.

 

Kekalahan

Sudah menjadi catatan sejarah bahwa pada tahun-tahun berikutnya di kehidupan Kwee Ansay adalah zaman sulit. Akhir Oktober 1741. Ini adalah zaman perangdi mana orang-orang Cina di Batavia membakar kampung mereka sebelum memilih bergabung dengan pribumi dan akhirnya keliling Jawa melawan Compagnie.Mula-mula Valckenier—penerus Murjangkung—tak ambil pusing atas keberadaan orang-orang bermata sipit itu. Lama kelamaan, populasi mereka membludak dan dia sadar bahwa di tangan mereka apapun bisa jadi duit. Mereka keluyuran di kota-kota sebagai ahli kunci, penjual arak, dan tentu saja berdagang kain seperti tokoh kita.

Orang-orang Cina itu cepat sekali kaya harta karena keuletan mereka dan yang demikian menjadikan si bengis Valckenier tak terima. Mula-mula ia mencekik mereka dengan pajak tinggi tapi ia keliru. Kian tinggi pajak, kian melejit pula kekayaan mereka.Dimaklumatkanlah perintah penangkapan besar-besaran orang Cina.Sebagian dipenggal di lapangan untuk tontonan, sisanya dicemplung-cemplungkan ke tengah laut.

Maka, di bawah pimpinan Kapiten Sepanjang, mereka membentuk laskar Cina, bergerilya dari satu kota ke kota lain. Membakar benteng-benteng dan menggempur tembok-tembok pemerintahan dengan meriam.

Di malam Oktober yang dingin itu terjadi pertemuan di tengah hujan deras yang menghardik atap gubuk di perbukitan Bergota. Kapiten Sepanjang duduk di atas dipan mengudungi dirinya dengan selimut sutra penuh tambal-tambalan karung bekas gula. Saat itu Kwee An Say menghimpun gerakan di Semarang dan menemuinya buat mengabarkan kalau Compagnie mulai merayap menuju Pecinan.

“Kapiten Kwee,” kata Sepanjang, “Semarang aku percayakan padamu.Aku tak mungkin berlama-lama di sini. Besok aku bakal ke Jepara dan menurut telik sandi, kekuatan pasukan di sana kian menipis. Kita jangan sampai dipecundangi oleh anak buah Valckenier.Lebih baik mati berkalang tanah, ketimbang hidup berkalung malu.”

Kwee An Say menitahkan nyaris setengah pasukannya yang berjaga dalam Pecinan mengawal Kapitan Sepanjang. Itu membuat kerja mereka mendirikan Pan Shia molor hingga seminggu. Mereka kerja lembur hingga larut malam, berselimut dingin, dan kerap membuat orang-orang Cina melongok dari jendela rumahnya. Benteng yang terbangun dari tumpukan balok-balok kayu itu akhrinya jadi juga mengelilingi bagian barat Pecinan. Orang-orang dijadwal berjaga bergiliran. Dan malam ketika Kwee An Say baru keluar dari kelenteng Kwee Lak Kwa, Pecinan diserang. Benteng Pan Shia (balok kayu) itu menjadi kuburannya setelah sempat menghunus belati berselongsong bambu itu dari balik bajunya, menghujamkan ujung lancipnya ke lambung serdadu yang mengepungnya dan nyaris memotong hidung Kapten Hugo Verijsel. Tapi bagaimanapun derasnya peluru merobohkannya terlebih dulu. []

 

Catatan:

* Bentuk kisah ini sepenuhnya berhutang pada Sejarah Aib (2006) karya Jorge Luis Borges

 

 

Ahsanul Mahdzi. Aktif di komunitas baca-tulis Kelab Buku Semarang. Bisa dihubungi di media sosial (twitter) @san_sanoel.

 

Share:

0 komentar